Minggu, 11 September 2011

CINTA PERLU WAKTU

CINTA PERLU WAKTU
Kurniawan Junaedhie

Menyebalkan, keluh Layla. Dengan kesal ia masuk ke dalam kamar kosnya. Di mobil jemputan, seperti biasa, ia mengintip Facebook dari Blackberrynya. Hm, untuk kesekian kalinya ia mendapat kiriman puisi dari Octa di Fesbuknya. Sesungguhnya anak itu memang punya bakat jadi penyair. Tampangnya saja yang serem, tapi sesungguhnya hatinya mellow. Jelas, puisinya tidak sebagus Chairil Anwar, tapi tidak jeleklah. Layla juga menyukainya. Romantis. Kocak. Atau romantik dan kocak campur jadi satu.

Yang membuatnya agak tidak enak, hanya satu: puisi Octa selalu muncul di Facebook dan memberi kesan pada dunia, itu ditujukan pada dirinya Akibatnya, hubungan Layla dan Octa jadi tersiar luas seolah-olah di antara mereka terjadi hubungan asmara. Buktinya, tahu-tahu si Dude, anak tante kos yang biasanya bertindak sopan, dan beradab tiba-tiba berubah menjadi kepo. Kalau Octa datang, dia bilang, “Tuh, cowok lu datang.” (Hehe, tidak sopan sama sekali, pake elu, pula). Setelah itu, beberapa kali Si Dude kepo itu juga selalu lapor bila Octa menulis puisi atau status, seolah-olah hanya dia yang membaca fesbuk. “Dia semakin termehek-mehek tuh!”

Dan yang bikin kesal, si Dude itu hari itu bilang secara nyinyir.

“Duh, luar biasa ya? Baru saja berpisah beberapa menit, dia sudah menulis kata-kata puitis. Metafor-metafornya asyik,” katanya seperti kritikus sastra. Bulu roma Layla langsung berdiri. Darah naik di kepala. Kalau bukan Dude, yang anak tante kos saja, hm, sudah gue keplak tuh anak, sungut Layla sambil melempar sepatu di kolong.

Tapi, bener juga sih. Octa sendiri memang edan, pikirnya sambil melepas kaos kaki seragam sekolah. Kalau Octa tidak menulis menulis puisi di FB secara bertubi-tubi saja mungkin Si Dude tak perlu berubah dari beradab menjadi kepo. Dan si Dude tetap akan jadi anak manis.

“Plissss, Octa, bukankah kamu bisa kirim puisi-puisimu melalui Direct Message?” katanya kemarin waktu berpapasan di kantin sekolah.

Dasar Octa. Anak pengusaha batubara itu hanya mendengus, pertanda ia tak sudi diperintah Layla. Tapi itu memang haknya. Octa toh bukan apa-apanya. Benar, Octa pernah nembak Layla, tapi Layla sudah mengatakan baik-baik bahwa bukannya dia tidak suka pada Octa tapi karena ia masih suka berteman dengan semua orang.

Meski agak kecewa, Octa harus menerima kenyataan.

“Kukira, memang sebaiknya begitu. Just a friend,” katanya mencoba bersikap ksatria.

Sebagai sekadar teman, dia toh sesungguhnya tetap punya hak privelige yakni bisa mengajak Layla ke mana saja. Paling tidak, Octa adalah salah satu teman cowoknya yang paling dikenal orangtuanya, sehingga dipercaya nonton konser bareng, atau menjemput Layla kalau ada teman ulangtahun.

Tapi entah kenapa, belakangan kelakuan Octa mulai kelewatan. Dia suka menulis puisi di wall-nya dengan ucapan-ucapan yang berlebihan. Boleh jadi itu ekspresi pribadinya. Octa yang berhati mellow dan berbakat jadi penyair itu mungkin saja sedang pamer kehebatannya menulis puisi padanya. Tapi, celakanya, makin ke sini, seluruh dunia rasanya tahu, bahwa isi puisinya tak lebih tak kurang memang ungkapan perasaannya terhadap Layla.

Pernah, ia berniat memblokir akun FB Octa itu. Dengan cara itu Layla berharap kesan bahwa mereka ada hubungan menjadi hilang. Tapi tiba-tiba saja, niat yang hebat itu surut. Bagaimana kalau Octa cowok yang penuh perhatian itu marah? Bagaimana kalau hubungan mereka putus begitu saja dengan kesan tidak terpuji? Bagaimana kalau tiba-tiba anak itu ngambek tidak mau menjemput atau mengantar pulang dengan mobilnya? Bagaimana kalau Octa menuduhnya sebagai cewek sombong, angkuh, sok, dan lain-lain padahal ia paling alergi disebut cewek begituan? Tidak pusing kalau hanya itu. Tapi kalau Octa yang memang ngebet itu lalu broken heart, dan kemudian bunuh diri, nyemplung ke sumur tua dekat sekolah atau nabrak busway, bagaimana? Itu ejekan Betsyiela, adik Layla yang baru duduk di kelas dua SMP. Tapi yang paling sulit dibantah adalah provokasi Adinda Rana, kakak perempuannya, yang seolah-olah memberi support atas tembak-tembakan Octa di Fesbuk itu.

“Sekedar menjaga perasaan eh tali silaturakhmi, apa salahnya?” kata Adinda.

Untung saja, Jeremy, pacarnya tinggal di Paris, dan tak suka main Fesbuk, hanya main twitter. Coba kalau Jeremy sampai tau? Duh.

Toh suatu kali niatan untuk memblokir akun Fesbuk Octa tak terbendung. Dengan mengucap Salam Maria tiga kali, ia nekad mengklik tombol blokir. Itu artinya, dia tidak akan bisa melihat apa saja yang dilakukan oleh Octa dan sebaliknya Octa juga tidak bisa melihat apa yang dilakukan Layla. “Sudah tidak ada gunanya. Dia mau jungkir balik, kek, aku sudah gak perduli. Kita putus hubungan,” kata Layla dalam hati.

Sekitar lima menit setelah itu, telepon genggamnya berdering-dering.

“Gila. Kamu blokir aku ya? Apa salahku? Apa dosaku? Gila banget kamu. Tega-teganya,” kata Octa seperti lipan kepanasan.

“No way!” kata Layla mematikan telepon genggamnya.

Telepon bordering-dering lagi.

“Kalau kamu tetap blokir, aku tak sudi bertemu kamu,” ancamnya.

“Gak takut.” Handphone dibanting.

Telepon berdering-dering lagi. Layla menyambar handuk, dan cuci muka di kamar mandi. Keluar dari kamar mandi, Si Dude mengetuk pintu kamar. Layla sudah siap menggampar.
“Sabar. Cowokmu datang tuh. Kayaknya marah besar,” kata si Dude mengangkat kedua tangannya, lalu berlalu.

Octa duduk di ruang tamu dengan sikap jagoan kalah perang.

“Apa maumu?” tanya Layla.

“Aku minta ampun,” katanya terbantun-bantun.

Hm. Layla menatap matanya. Kasian juga, pikirnya. Sesungguhnya ia makhluk tak berdosa, hanya ia tak tahu apa yang diperbuatnya, pikirnya.

“Mana laptopmu?”

Octa berlari ke mobilnya, dan sejurus kemudian menenteng laptopnya.

“Oke, Octa, aku sudah batalkan pemblokiran akunmu. Kuharap, kamu penuhi janjimu untuk tidak menulis di statusku secara kampungan,” kata Layla.

Sejak itu Layla meneruskan hubungan pertemanan. Tentu saja dengan perasaan ngeri, hati-hati dan tidak lebay. Pendeknya ia tidak mau kalimat-kalimatnya disalah-tafsirkan seenaknya oleh Octa. Karena itu, demi hubungan baik, paling banter Layla hanya menceritakan kesibukan di sekolah, atau si Irene yang liburan ke Bali, atau tentang resto baru. Dan Layla sama sekali menghindari pembicaraan yang bersahut-sahutan. Pokoknya Layla tidak ingin cowok itu terbuai dalam mimpi hanya karena telah menanfsir secara keliru atas komentar-komentarnya.
Entah karena memang tak tahu diri atau apa, dua hari kemudian, penyakit Octa kambuh. Ia menulis status ugal-ugalan lagi di wall Layla.

Layla langsung mengangkat handphone. Tapi belum saja ia membuka mulut, dari seberang sana, Octa sudah menyela.

“Kamu tidak suka ya?” tanyanya.

“Baiklah, kalau kamu tidak suka, akan segera kudelete,” jawab Octa dari sana marah.

“Octa…,” Layla mendengus. Ia sangat heran, mengapa cowok diciptakan Tuhan menjadi mahluk yang licik dan penuh tipu muslihat?

Esoknya, Layla memutuskan untuk menemui Octa.

“Aku ingin tahu apa maumu,”tanyanya.

Anak itu menggaruk-garuk kepalanya.

“Aku tidak mengerti pertanyaanmu,” jawabnya membuat Layla jengkel.

Layla mengulang pertanyaannya.

“Di antara kita tidak ada apa-apa kan?”

Octa menatap matanya,

Layla mengulang lagi ucapannya.

“Memang tidak ada apa-apa. Just a friend,” Octa bergumam.

“Yups. Benar. Karena itu kuminta…,” kata Layla.

“Kamu meminta apa?”

“Aku belum selesai mengatakannya.”

“Oh ya?”

“Karena itu kuminta kamu tidak terlalu sering mengirimkan puisi-puisimu untukku.”

“Jadi kamu tidak suka?”

“Aduh, Octa, sudah pernah kubilang berkali-kali: I like it. Puisimu bagus. Yang tidak kusuka adalah…”

Octa berdiri, dan berlalu.

Que sera sera. Ia memang sudah memutuskan untuk bersikap cuek bebek. Ia sudah memutuskan bahwa cowok itu memang gila. Senewen. Sinting dan lain sebagainya. Bahwa cowok itu memang tak tahu adat, tak tahu diri, dan lain sebagainya. Ia juga memutuskan, ia tidak akan melakukan apa pun! Dengan demikian semua akan tahu, bahwa hubungannya dengan anak pengusaha batu bara yang tak tahu adat itu hanya sementara. Hanya sekedar pengisi waktu. Bukan sebagai piala tempatnya berkeluh kesah, atau mengutarakan impian-impiannya yang selangit atau mengutarakan gagasan-gagasannya yang kadang-kadang dan selalu utopia. Kalau pun itu dianggap pernah ada, itu bukan piala, tapi tong sampah atau asbak rokok! Hanya itu. Biar cowok itu tahu bahwa dia sangat serius atas ucapannya. Biar dia patah hati saja, kalau Betsyiela adiknya benar. Atau nyemplung ke sumur sekolah dan mampus!

Malamnya Layla tidak bisa tidur. Dia merasa bersalah karena telah mengatakan hal yang tak sepantasnya. Meski demikian ia yakin bahwa tindakannya benar. Octa memang harus diberi pelajaran. Sebab kalau tidak, perilakunya itu lama-lama akan mencemarkan nama baiknya.
Hanya tampaknya tujuannya untuk menemukan kebaikan tidak tepat ke sasaran. Buktinya, esoknya, di sekolah, tumben-tumbenan, cowok berhati mellow itu tak kelihatan batang hidungnya. Boro-boro menemuinya seperti biasa. Kejutan berikutnya: hari itu tak ada puisi-puisi Octa yang menghiasi wall Fesbuknya. Dan hari itu juga, ia tidak mengirim pesan singkat sepatah kata pun.

Hm, hari yang aneh, gumam Layla di kamarnya, sambil merebahkan badannya menatap langit-langit. Keringat dingin mengucur tak disengaja. Ia merasa tidak nafsu makan. Ah, andaikan Jeremy ada di sini, gumamnya, sambil melihat foto Jeremy di mejanya. Kalau mau jujur, hubungan dengan Jeremmy sudah berakhir sebetulnya. Sejak dia ke Paris, Layla memang sudah mengambil putusan: hubungan mereka sudah tak memiliki hari depan. Jeremmy juga tampaknya bisa memahami. Hanya, sialnya, dia over protetictive. Masih suka mengatur-atur bila Layla dinilai punya hubungan khusus dengan seseorang. Padahal, apa sih urusannya?

“Hidupku adalah hidupku, hidupmu adalah hidupmu,” kata Layla. Hm. Jadi buat apa andai Jeremmy ada di sini, sekarang, melihat hubungan aneh di antara Layla dan Octa? Nothing!

Dia melirik handphonenya. Layar tetap kosong Tak ada pesan singkat dari siapa pun. Juga dari Octa. Esoknya ia mendapat berita mengejutkan.

“Aku dengar kabar tak mengenakkan, penyairmu masuk rumahsakit. Benar?” tanya Dude Kepo ketika ia keluar makan malam.

“Jangan sotoy. Tahu darimana?”

“Tau saja. Dia kan celeb di fesbuk. Aku baca status orang. Dia sakit tipus,” jawab Dude dengan gaya sok kepo. “Kayaknya serius.”

Astaga. Peluh bercucuran. Layla menatap mata Dude.

“Antar aku ke rumahsakit.”

***

Tampang Octa pucat seperti kertas tisyu. Badannya terbaring lemah takberdaya. Dia kaget melihat Layla membezuknya.

“Ya Tuhan, ternyata kamu daytang, Kupikir…..” kata Octa.

“Psttt, “ Layla memberi isyarat agar Octa tetap dalam posisinya, berbaring.

“Octa,” kata Layla berbisik. “Aku minta maaf. Aku tahu kamu sakit karena aku.”

“Ah ini bukan salahmu,” kata Octa cepat dengan menahan pilu. “Aku saja yang salah karena terlalu menentingkan perasaanku sendiri.” Ia diam sejurus. “Tapi aku janji akan menghapuskan semua perasaanku pada kamu.”

Layla menatap mata Octa.

“Tidak. Itu tidak benar, Octa,” jawab Layla. “Asal kamu tau ya, sebenarya aku sayang sama kamu. Hanya aku perlu waktu.”

“Jadi ….?”

“Ya, love takes time.” Layla tersenyum.

Mata Octa tampak berbinar.

“Ya, aku tahu.”

“Tapi selama menunggu itu, maukah kamu mengajari aku menulis puisi?”

“Tentu saja,” Octa cepat-cepat mengangguk. “Dan mudah-mudahan kamu juga kamu mau bersabar.”

Rasanya Layla ingin memeluk rembulan.***

Sukabumi, 27 Juni 2011

dimuat di majalah story 25 juli 2011