Selasa, 01 Maret 2011

SUATU HARI, INGIN MENINGGALKAN SUSAN

Aku ingin meninggalkan Susan. Tidak untuk sementara, tapi untuk selama-lamanya. Ya, aku ingin kami berpisah, dan hidup dengan cara masing-masing. Tidak usah harus ke mana-mana berdua. Tidak usah saling cemburu. Karena hal itu sangat menyakitkan. Maka pagi itu, dengan mengendap-endap, aku keluar rumah, mendorong mobil keluar garasi, lalu wezzz, mobil kunyalakan, dan aku ngebut ke jalan raya menuju tol. Kutinggalkan Susan sendirian di rumah. Tapi di tengah perjalanan, perasaanku mulai tidak enak. Rasanya tidak fair jika tidak mengatakan sesuatu padanya. Mobil langsung kuarahkan ke rest area dan aku masuk ke sebuah resto. Sambil minum kopi, kukirim pesan singkat, “Susan, aku pergi. Good bye,” kataku.

Menurut taksiranku, pada pagi buta itu Susan masih tidur lelap. Tapi karena telepon genggamnya selalu ditaruh di bawah bantalnya, saat itu juga ia menjawab pesan singkatku.

“Apa maksudnya ‘goodbye’?”

Kujelaskan seperti niatku: aku akan pergi meninggalkan dia selama-lamanya. Kita berpisah. Karena untuk hidup bersama ternyata susah, meski kita saling mencintai. Padahal, begitu kataku, saling mencintai itu tidak cukup. Sedang untuk hidup bersama, adalah hal lain.

“Gila. Teganya, “ dia membalas. Dan beberapa detik kemudian, menyusul pesan berikutnya: “Oh oke. Silakan pergi. Selamat jalan. Terimakasih untuk segalanya.”

Tapi keputusanku sudah bulat. Jadi kujawab, aku memang serius, tidak main-main.

“Oke. Oke. Kamu sudah tahu akibatnya.”

Kujawab, aku ingin cari udara segar karena selama ini aku merasa ditimbun pekerjaan yang bertumpuk-tumpuk.

“Good. Good. Tak usah banyak mulut. Aku sudah menduga sejak lama. Kamu memang pengecut.”

Aku tulis, aku sudah tidak kuat dengan sikapnya yang terlau over protetive. Urusanku banyak tapi setiap hari aku harus direcoki oleh urusan-urusannya yang remeh-temeh.

“Forget it. Silakan pergi ke mana kamu suka. Kita putus. Aku sudah tak perduli lagi. Akhirnya Tuhan membuka mataku,” tulis Susan dari sana.

“Aku kira perpisahan ini memang jalan yang terbaik buat kita. Untuk kamu dan untuk aku,” tulisku sambil menghela nafas. Lama tak ada jawaban, sampai akhirnya muncul tulisan di layar I Phone-ku. “Goodbye.”


Akhirnya……. oh akhirnya…… Aku menarik nafas dalam-dalam. Aku termangu di pojok resto di rest area itu.

***

Pernah saya membaca cerpen berjudul “Suami Istri Bersumbu Pendek” di sebuah koran. Kupikir, seperti itulah kami berdua. Ibarat kompor, sumbu kami sangat pendek. Apapun masalahnya, intinya hanya satu: rasa cemburu. Kalau perasaan itu tidak kami kelola dengan baik, dengan cepat api dalam tabung minyak tanah akan naik menjalar sumbu yang segera berkobar menyebar ke mana-mana menyebabkan hati kami rasanya meledak dan tubuh kami terbakar hangus.


Semalam, sebelum aku akhirnya memutuskan untuk pergi, kami terlibat pertengkaran hebat. Selagi kami asyik chating-an, seseorang menulis komentar di halaman fesbukku. Seorang perempuan yang tidak kukenal meminta perkenalan. Dari foto yang tertera, tampaknya dia memang cukup cantik. Tahu-tahu, aku menerima caci makinya.


“Astaga. Aku ini salah apa? Aku kan belum menanggapi ajakan pertemanannya?”


“Aku hanya ingin tahu apa jawabmu terhadap sapaan wanita gatal itu?” kata Susan. Hadoh.


“Aku paling akan menjawab yang normatif, apa salahnya?”


“Uh, aku akan lihat. Kamu pasti akan mengungkapkan rasa senang karena perempuan cantik itu telah mengajakmu berkenalan.”


Karena Susan terus ngomel, aku mengalah. “Baik. Aku tidak akan menjawabnya sama sekali. Kalau perlu, aku langsung memblokir namanya. Asal kamu tahu aku tidak kenal perempuan itu,” jawabku.


“Uh. Aku akan lihat.”


“Lihat saja.”


Seperti biasa, persoalan kemudian melebar kemana-mana seperti tumpahan air gelas di meja. Atau minyak tanah yang menjalar ke sumbu. Menjalar ke mana-mana.


Di lain hari, persoalan meruncing hanya hara-gara seekor kucing. Aku menemukan seekor kucing di halaman minimart. Kucing itu aku bawa pulang, dan aku rawat. Tak nyana, dari hal sepele itu api neraka berkobar.


“Kamu rupanya ingin menyamai hobi bekas pacarmu, suka memelihara kucing.”


Hadoh, siapa bekas pacarku pun, aku tak ingat.


Susan berpangkutangan menatapku dengan wajah tetap tidak mau tahu.


“Sejak kapan kamu mencintai kucing? Aku tidak melihat track-record-mu sebagai penggemar kucing. Selama ini kamu bilang kamu sangat benci kucing karena binatang itu sangat celamitan. Binatang piaraan yang selama ini sering kamu ceritakan adalah anjing, ikan, burung, hamster, iguana, ular, kelinci………………...”


Aku menggigit bibir dan diam-diam mengepalkan tinju.


“Baik. Kalau itu maumu. Aku akan buang kucing itu,” kataku


Aku mencari kardus, dan kucing malang itu kumasukkan ke dalam kardus. Kardus berisi kucing itu aku berikan kepada sopirku yang katanya anaknya penggemar kucing. Dan aku segera melapor: “Aku sudah membuangnya di kali.”


Dia menangis dan mengatakan bahwa dia mencintaiku setengah mati. Sehingga dia tidak ingin aku menduakannya, bahkan dengan seekor kucing sekali pun. Dia minta maaf. Dia tidak berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya. “Aku terlalu mencintaimu, itulah kesalahanku,” kata Susan.


Seminggu berlalu dengan tenang. Kami pergi ke Puncak. Pergi ke Bandung. Menonton bioskop. Mengunjungi acara-acara kesenian. Tapi pada hari kedelapan, minyak tanah itu naik ke atas sumbu lagi. Gara-garanya dia meminjam telepon genggamku. Tanpa sengaja dia melihat ada nama asing –tentu saja perempuan--, langsung saja sumbu itu terbakar.


“Siapa dia?”


“Sudahlah. Aku akan hapus nama itu jika kamu tidak suka,” kataku sambil merebut handhopne dari tangannya.


Esoknya kami tertawa-tawa. Aku nulis puisi, dia memuji-muji puisiku. Hari berikutnya juga aman. Dia memberiku oleh-oleh kerupuk dari Magelang. “Ini kerupuk kualitas ekspor,” katanya. Aku coba mencicipi. Hm. “Enak ya?” kataku. Besoknya, aku mengajak di ketemu relasi di Kafe Black Canyon Cikini. Kami berpelukan di dalam mobil, di ruang ATM dan di halaman parkir. Tapi pulang dari Black Canyon, sumbu berkobar lagi. Dia menangis sesunggukan.
“Siapa perempuan yang melambaikan tangan padamu itu?”


Setelah berkerut dahi, akhirnya aku ingat. Ketika duduk di Black Canyon beberapa jam lalu, tanpa sengaja aku beradu pandang dengan seorang wanita. Secara naluriah saja aku menganggukkan kepala, dan perempuan itu membalas dengan lambaian tangan padaku. Tak nyana, sekarang itu menjadi bencana.


Aku pandangi mukanya. “Eh kamu tanya siapa dia? Mana aku tau? Aku tak kenal siapa dia. Kami cuma beradu pandang. Gila kamu. Aku bahkan sudah tak ingat hal itu. Eh kamu malah yang mengingat-ingat. Aku tak kenal. Emang gue pikirin?” jawabku dengan darah sudah sampai di ubun-ubun.


Sepanjang jalan ke rumahnya, kami diam seribu basa. Aku melucu, dia tetap cemberut. Aku membacakan secuplik sajak-sajaknya, dia buang muka. Aku minta permen, dia pura-pura tak mendengar. Aku sudah tak kuat. Aku balas dengan diam. Sepanjang jalan ke rumahnya, aku setel tape recorder kencang-kencang. Aku ngebut sepuasnya. Malamnya, aku nulis di inbox fesbuknya. Dan karena marah, suara ketikan di tuts keyboardku itu sampai berderak-derak.
“Kamu sakit jiwa. Aku tidak kuat dengan sikap over-protektif-mu itu.”


Esoknya sampai tengah hari dia tidak mengirim pesan singkat sama sekali. Aku pun tak mau kehilangan nyali. Aku juga ogah mengirim pesan singkat. Menjelang senja, hatiku lumer. Tapi aku tetap mencoba bertahan. Tahu-tahu ketika aku buka fesbuk, kubaca pesan dalam inboxku: “Aku kangen tapi aku sebel”. Hm. Rasain. Aku tetap tak mau menjawab. Rupanya dia juga tak menjawab. Hatiku mulai nyaris lumer lagi. Aku sudah mulai mengetik pesan singkat. Belum sempat aku pencet tombol send, masuk pesannya. “I miss U.” Hm. Kali ini aku tak membuang waktu. Kujawab segera: “So am I.” Astaga, aku menyesal ketika aku kemudian menekan tombol send. Mestinya aku tetap bersikukuh. Oh. Kenapa aku sangat lemah? Kenapa aku harus mengatakan hal-hal yang tak perlu?


Malamnya kami ke Goethe Hause, nonton acara baca puisi. Kali ini, seorang pria menyalaminya dengan hangat. Aku langsung buang muka. Ketika duduk di tengah gelap di dalam gedung, aku berbisik: “Asal kamu tahu, aku tidak suka melihat kamu berjabat tangan dengan lelaki itu,” kataku setengah mengancam.


Sepanjang acara aku tidak bercakap. Dia memegang tanganku.


“Kamu cemburu ya?”


“Gampangcemburu itu sifat tidak baik. Aku bukan pencemburu kayak kamu. Tapi kalau kamu mau tahu jawabnya, aku sayang kamu. Itulah penyebabnya” kataku. Dia menjotos perutku.

***

Aku menimang-nimang I-phoneku. Langit sudah terang tanah. Perasaan menyesal dan kangen pada Susan diam-diam mulai menyesap ke dalam darahku. Sambil bergegas menuju mobil, aku buru-buru mengetik pesan susulan:


“Tunggu. Lupakan ucapan-ucapanku yang tadi. Yang benar, aku mencintaimu. Sangat,” aku mengetik dengan cepat. Dan karena takut dia terlanjur ngambek, aku segera meneleponnya. Sambil menunggu teleponku dia angkat, aku merasa menyesal sungguh-sungguh. Kenapa aku harus meninggalkannya? Kenapa aku pergi tanpa mengajaknya? Kenapa aku pergi tak memberitahu sebelumnya? Kenapa aku harus berpisah dengannya? Gila. Mestinya semalam, aku bilang: besok kita jalan yuk. Ke Kroya. Ke Korea. Ke Kairo. Ah itu pasti sebuah kejutan baginya.


Ketika kemudian dia mengangkat telepon, aku mengatakan buru-buru: “Aku mencintai kamu. Aku tidak pernah membayangkan hidup tanpa kamu. Jangan tidur. Cepat mandi. Siapakan kopor. Aku akan menjemputmu. Kita akan pergi,” kataku menggebu.


“Gila. Pergi ke mana?”


“Ke ujung dunia!” kataku ingin menangis.


Aku langsung menancap gas pulang ke rumah.


Hm. Ingin meninggalkan Susan tapi sekaligus mencintai Susan mungkin memang hanya sebuah ilusi.***


.

.

Serpong City, 22 Feb. 2011


DIMUAT DI MAJALAH FEMINA

.

.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar