Tampilkan postingan dengan label Suara Karya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Suara Karya. Tampilkan semua postingan

Senin, 18 Oktober 2010

Bekas Pengarang atawa Pengarang Bekas

Cerita pendek: Kurniawan Junaedhie


Hamid Hamaluddin –biasa dipanggil HH-- meradang, ketika tahu naskahnya dikembalikan redaksi suratkabar. Kalau sekadar cinta ditolak, mah, biasa. Tapi soal ini? Lihat saja. Mukanya merah padam. Giginya gemeletuk. Darahnya mendidih. Terdengar suaranya menggeram-geram seperti singa yang mencabik-cabik mangsanya. Naskah yang dikembalikan redaksi itu disobek-sobeknya, lalu dicampakkan ke lantai dan diinjak-injak. Itulah kenanganku terhadap HH berbelas tahun lalu.

Sebetulnya tak jelek-jelek amat reputasi HH. Pertemuan kami terakhir adalah saat kami berdua membaca puisi di Teater Arena TIM, atas undangan Dewan Kesenian Jakarta beberapa belas tahun lalu. Beberapa bulan setelah itu, kudengar dia menikah dengan seorang wanita bule. Dan sejak itu, kudengar dia ikut istrinya pindah ke Belanda. Sesekali kubaca sajak-sajaknya dimuat di majalah terkemuka, dan di beberapa suratkabar di Jakarta. Tapi selebihnya, kawanku HH ini seperti hilang digulung ombak. Namanya tak lagi terdengar. Tak banyak pengarang masa kini yang kenal namanya, kecuali teman-teman seangkatannya seperti aku.

Tidak kusangka, ketika aku jalan-jalan di sebuah mal di Jakarta, aku bertemu dia. Tadinya aku pangling. Kukira Syafrial Airifin, penyair asal Minang yang biasa nongkrong di TIM. Tapi dari caranya tertawa, seri wajahnya tak mungkin kulupakan. Bedanya, dia makin bersih, gemuk, dan rambutnya semakin putih. Dan waktu kutanya apa pekerjaannya kini, ---alamak,--- rupanya dia sekarang menjadi anggota parlemen.

Setelah bertukar nomor handphone, kami berpisah. Beberapa hari kemudian, ketika dia membaca karanganku di sebuah media, dia menelponku. Kami janjian bertemu. Awalnya aku minta ketemu di TIM saja. Tapi di luar dugaan, dia tidak mau.

“Jangan bawa aku bernostalgia,” katanya sengit. “Kita cari suasana lain sajalah,” katanya.

HH memilih singgah di Plaza Semanggi, dan masuk ke sebuah kafe. Dia pesan Blueberry Juice dan aku dengan sigap pesan kopi hitam panas. Karena kami sama-sama belum makan siang, dia pesan Tomodachi Beef Steak dan aku (setelah melihat-lihat daftar menu dengan susah payah) memilih: sop buntut saja.

Sambil makan, kami bercerita tentang macam-macam hal termasuk, nasib kepengarangannya. Aku bertanya, kenapa karya-karyanya sekarang tak pernah kubaca lagi di media massa, dan apakah dia masih berkarya mengingat puisi-puisinya seingatku sangat bagus dan dipuji banyak kalangan.

“Aku sudah menanggalkan mimpi menjadi pengarang, Bung.” HH tertawa.

“Bukankah namamu sudah dikenal oleh mereka?” tanyaku sambil menuang gula ke kopi tubruk yang di kafe itu dibilang sebagai hot black coffee.

“Terkenal buat siapa?” sembur HH, sambil meludahkan ampas kopi di pisin.

“Jangan sudzon, kawan. Cobalah kau kirim lagi.”

“Pokoknya aku sudah tak mau menulis, Bung,” katanya. “Aku sudah berhenti dari dunia kepengarangan, tepatnya sejak dunia kepengarangan kita dipenuhi kolusi dan nepotisme,” katanya dengan nada masgul. “Kau tahu kenapa Buku Kumpulan Cerpen Si Polan diterbitkan oleh Departemen Kehutanan? Kenapa puisi-puisi Si Pailul bisa tampil di Suara Hariana? Kenapa cerpen-cerpen Si Polan bisa dimuat di koran Rompas? Dan kenapa Goenawan Suwigno mau menulis kata pengantar di buku kumpulan cerpen Badu Hasan?”

Aku menggeleng.

“Ah naif amat kau ini. Ya, tentu saja, karena mereka sudah saling berkenalan. Ada yang berkenalan karena satu gang dalam sebuah organisasi, ada yang karena sering bertemu dalam acara-acara sastra, ada yang sering bersurat-suratan dan macam-macam. Sedang aku dan para penulis pemula itu siapa yang kenal? Para pembuat keputusan di media itu tak tahu namaku. Kami tak pernah ngobrol dengan mereka. Aku tak suka menjawab email, tak ikut Facebook atau Twitter-an.”

“Bukankan mereka punya nama-nama besar karena karangan mereka memang hebat?”

“Bung,” kata dia lagi seperti menyesali kenapa aku harus menjawab. “Sebetulnya aku ingin mengungkapkan rahasia besar yang selama ini kupendam kepadamu.”

“Oya?” tanyaku ingin tahu.

“Sedikit-dikitnya ada lima jenis pengarang di Indonesia,” katanya sembari membuka telapak tangan kanannya dan mengeluarkan ibu jarinya seperti mengabsen.

“Yang pertama adalah jenis pengarang populer. Cirinya, karya mereka hampir tiap minggu dimuat di media massa, dan secara periodik menerbitkan buku baru. Kenapa mereka bisa begitu? Mereka adalah jenis yang menurut Seno Gumira Adjidarma disebut ‘manusia pergaulan’. Mereka kenal dengan hampir semua redaktur sastra, dengan cara apa saja, hanya agar karyanya mudah dimuat. Dalam kasus lebih ekstrem, pengarang oportunistik seperti ini pintar menjilat, menyogok redaktur, atau kalau perlu mengupah juri-juri lomba agar karyanya dimenangkan dan dinobatkan sebagai sastrawan besar. Sayangnya, karya-karya itu ditulis dengan semangat kejar tayang, sehingga mereka menulis secara ngawur, tergesa-gesa, terkantuk-kantuk, tanpa permenungan sehingga karyanya tidak memiliki kedalaman sehingga dunia tidak bergeming. Semboyan mereka, asal eksis dan narsis.”

Aku ternganga. Tak percaya aku melihat HH berkata seperti itu. Padahal rasanya, belum lama dia menjadi seniman militant di TIM. Ya beberapa puluh tahun lalu, kami memang seperti berumah di TIM. Bahkan rasanya segala sudut di pekarangan TIM itu tahu betul seluk beluk kami, siapa kami. HH, misalnya, setiap hari berdeklamasi di halaman belakang gedung IKJ (waktu itu LKPJ) untuk, katanya, mengasah perasaan dan menghaluskan budi bahasanya. Setiap hari kami juga nongkrong di warung-warung di pinggir Jalan Kalipasir. Kagum melihat Sutardji Calzoum Bahri. Dan saat itu HH pengen benar mengalahkan dia. Karena menurut pendapatnya pada waktu itu, semakin eksentrik kita maka semakin orang kagum pada kita. HH sepengetahuanku waktu itu juga kagum pada orang-orang yang suka mendebat dalam acara diskusi seperti Kamsudi Merdeka. Karena menurut hemat dia, orang yang pandai mendebat, akan dihargai orang.

“Dan sekarang pengarang jenis kedua. Mereka adalah kelompok pengarang yang tidak pernah melakukan apa-apa. Tak punya karya, tapi berpikir pun tidak. Tak ada buah pikirannya yang mewarnai khasanah sastra kita. Tapi menariknya, pengarang jenis ini tampil di mana-mana, hadir dalam acara apa pun dan muncul dalam event mana pun. Hahaha…. Nah ini yang ketiga. Mereka adalah pengarang yang senangnya berpikir sampai jidatnya berkilap. Kerja mereka cuma berdebat melulu. Di mana-mana dia senang mengajak kita berdiskusi. Mengkritik, mencerca, dan melecehkan. Seperti pengarang jenis kedua, mereka pun tak pernah menghasilkan karya.”

“Yang keempat adalah jenis pengarang yang bisanya hanya menulis. Dia tak senang berdiskusi. Selalu menghindar untuk berdiskusi. Pengarang jenis ini tentu saja tak pernah muncul dalam acara diskusi. Banyak hal menjadi penyebabnya. Bisa jadi dia memang tidak cerdas, pikirannya dangkal karena mereka tak suka membaca buku. Tapi bisa jadi, karena mereka ditakdirkan memiliki bakat alam."

“Dan ini yang kelima. Yaitu jenis pengarang yang masuk dalam golongan bekas pengarang, tapi sekarang tidak mengarang. Mereka hidup dalam mimpi-mimpi masa lalunya. Pengarang jenis ini karena merasa senior, kerjanya menggurui. Mereka selalu menekankan, betapa pentingnya kita belajar sejarah kesusastraan, dan sejenisnya. Bah, bukankah itu akal-akalan dia, agar kita mau membaca karangan-karangannya? Hahaha”

Aku termenung.

Aku merasa ciut. Aku mencoba menyeruput kopiku. Terasa hambar. HH menyalakan rokok untuk ke sekian kalinya. Aku memanggil penjaga kafe untuk mengganti asbak yang sudah penuh dengan asbak baru yang licin.

“Nah itulah rahasia yang ingin kusampaikan padamu,” katanya terbahak.

Sekarang kepalaku pening. Leherku kelu. Aku sudah merasa mau semaput karena caffein dari kopi tubruk itu mulai bekerja ditambah aroma nikotin yang mengharubiru. Cewek petugas café mendekatiku, berbisik, apakah aku mau menambah kopi lagi? Aku menggeleng. Aku berdiri minta pulang. Tawaran HH untuk mengantar ke halte atau terminal kutolak, dengan alasan aku masih ada acara lain.

Sejak itu, aku tak lagi bertemu dengan HH. Aku hanya melihat penampilannya di layar televisi. Rasanya aku juga mulai tidak ingin bertemu dia lagi. Bagiku dia sudah bukan lagi seorang sahabat yang enak diajak bicara tentang daun, angin atau gemericik suara air. Sebaliknya mungkin saja aku juga bukan sahabat yang layak dia ingat, sehingga hilang pulalah namaku dalam ingatannya. Kami masing-masing dipisah dua benua. Tapi mimik HH yang marah waktu naskahnya ditolak redaksi tetap kuingat. Itulah kenanganku terhadap HH. Tidak mungkin kulupa.*** (Nama dalam cerita ini umumnya fiktif. Hanya sebagian yang benar.)


Cibinong, Bogor, 2010

Dimuat Hr. Suara Karya 16 Oktober 2010
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=264090

Minggu, 13 Juni 2010

Perempuan Beraroma Melati

Cerpen: Kurniawan Junaedhie

Saat itu sekitar jam 10 malam lewat. Lampu neon dan pesawat televisi sudah dimatikan. Cahaya hanya muncul samar-samar dari lampu teras yang menerobos masuk kaca riben jendela.
Ruangan yang tadi siang berupa kantor merangkap apotek dan poliklinik yang luasnya 5 x 6 meter itu kini praktis sudah berubah fungsi menjadi barak. Orang bergeletakan seperti ikan asin. Orang tidur dengan posisi amburadul. Yang penting, bisa terlentang dan merebahkan badan. Mereka adalah keluarga pasien luar kota yang terpaksa menginap di barak sialan ini kerena harus menunggui kerabatnya yang sedang menjalani rawat inap. Pasalnya, pihak rumahsakit hanya mengizinkan satu orang saja yang boleh menginap di dalam kamar rawat. Lainnya tidak boleh.

Bau keringat basi bercampur bau obat menguar seluruh ruangan.

Saya sedang terlentang menatap langit-langit bersama teman saya Hatta. Ini malam pertama saya tidur di barak itu, sedang bagi Hatta merupakan malam ke-24. Ada rasa sesal, kenapa saya harus ikut mengantar anak saya berobat ke sini. Saya ada di sini semata karena menemani istri mengantar anak saya karena abang-abangnya tidak bisa meninggalkan kuliahnya.

“Sungguh. Aku bukan mau menakuti-nakuti. Tapi kamu akan membaui aroma bunga melati,” bisik Hatta. “Perempuan itu muncul pada sekitar jam dua pagi ketika suasana sudah senyap tak lama setelah satpam memukul kentongan dua kali. Parasnya cantik. Gaunnya panjang berwarna putih. Dia masuk dari kaca riben itu,” katanya sambil menunjuk ke arah jendela.

Kuduk saya meremang.

Duk. Kepala saya tertendang kaki orang di atas saya.

“Tapi kamu tidak usah takut. Perempuan itu tidak ngapa-ngapain. Dia hanya akan menampakkan pada orang yang keluarganya bakal meninggal,” suara Hatta berbisik di telinga.

“Semacam tanda bagi keluarga yang akan ditinggalkan?” tanya saya bergetar.

“Ya. Begitulah yang saya dengar dari para penghuni yang pulang.”

Tengkuk saya meremang lagi. Kalau ada selimut, saya mungkin akan menutupi wajah saya dengan selimut. Tapi jangankan selimut, alas tidur pun saya tidak punya, sementara teman-teman lain menggunakan tikar dan koran untuk alas tidur. Punggung saya sakit.

Duk. Kepala saya tertendang lagi. Sialan. Kali ini oleh kaki orang yang tidur di atas sebelah kiri saya. Di bawah, kaki saya juga berkali-kali tanpa sengaja menendang kepala seorang ibu. Untung ibu itu tidak marah. Dia hanya mengelus kepalanya. Mungkin maklum. Sementara di kiri kanan saya berjubelan orang tidur. Saya lihat ada kepala anak kecil yang nyelip di sela-sela paha seorang lelaki gendut yang sedang asyik mengorok. Suara dengkur bersahut-sahutan. Seperti sebuah orchestra suara kodok dan suara gergaji. Saya tak tahan. Sungguh seperti barak pengungsi yang saya selalu saya lihat di televisi. Padahal menurut Hatta, jumlah penghuni malam ini sudah berkurang banyak. Tadi siang, tercatat ada tiga penghuni yang pulang.

“Senang ya kalau bisa pulang?” kata saya.

“Ya. Hanya ada dua kemungkinan kita bisa meninggalkan tempat ini: kerabat kita meninggal, atau kerabat kita sembuh,” katanya getir.

Saya tertegun.

“Begitulah romantika hidup, setiap hari ada yang datang dan ada yang pergi,” kata Hatta pahit.
“Mereka yang pulang itulah yang malam harinya melihat perempuan itu,” kata Hatta, lagi-lagi menyebut-nyebut perempuan itu sehingga bulu kuduk saya terus meremang.

Sayup-sayup terdengar bunyi lift yang anjlog di gedung sebelah.

Saya menarik napas. Betapa pun saya beruntung bisa tidur di sini. Hatta-lah yang tadi siang menganjurkan agar saya tidur di ruang kantor merangkap apotek dan poliklinik yang kalau malam jadi barak itu. Seperti dikatakannya, ia terpaksa ada di situ karena anaknya yang berumur lima tahun mengalami koma setelah proses pembedahan. Dia tidak bisa pulang karena setiap hari harus menengok anaknya di ruang ICU. Sama seperti saya, waktu pertama datang ke rumahsakit, istrinya juga ikut. Tapi setelah 10 hari tidak ada perkembangan, istrinya pulang karena masih harus mengurus ketiga anaknya yang sehat di rumah.
“Kalau bukan dokter saja, mungkin sudah saya labrak mereka. Saya selalu tidak berdaya dan lembek di depan mereka. Kita dipaksa menganggap mereka sebagai juru selamat.”

Dari tempias sorot lampu teras, saya lihat mata Hatta melihat langit-langit. Sementara itu, saya membayangkan, aroma bunga melati yang menusuk, perempuan berparas cantik, gaun panjang warna putih dan pukul 2 dinihari saat satpam membunyikan kentongan dua kali. Hm. Menyesal juga kenapa harus ikut tidur di barak. Ah, kalau bukan karena sayang anak…

“Mudah-mudahan malam ini salah seorang di antara kita tidak perlu melihat perempuan itu,” katanya sambil masih menatap langit-langit yang remang-remang.

“Ya.” Saya menguap. Terdengar dia juga menguap.

“Kamu tidur saja. Saya juga sudah ngantuk.”

Rupanya saking lelahnya saya langsung tertidur pulas. Saya baru terbangun ketika mendengar teriakan petugas. “Ayo bangun, bangun, hari sudah siang. Kantor mau dirapikan. Sebentar lagi karyawan datang. Ayo.”

Para penghuni barak itu pun rame-rame bangun. Suara geresek kertas koran, sarung, dan tikar yang dikemasi terasa hiruk pikuk. Lalu, setelah itu, seperti ritual saja, semua beramai-ramai memburu kamar mandi dan WC umum yang tersedia di sejumlah blok rumahsakit agar kebagian. Hatta menggandeng tangan saya agar mengikut dia.

“Ayo cepat. Cepat. Kalau tidak cepat tidak dapat,” katanya. Saya sempat melihat seorang ibu menarik-narik tangan anaknya yang sibuk menyeret-nyeret tikarnya.

Karena ikut Hatta, saya menemukan kamar mandi yang bebas dari antrean jauh dari situ, yaitu dekat kamar mati.

Sesudah badan segar, dan sarapan bubur ayam di pinggir jalan depan rumahsakit, kami berpisah. Hatta menuju ICU melihat kondisi anaknya, sedang saya sendiri menengok putri saya di kamar inap. Ketika saya lewat, orang-orang yang tadi antre di kamar mandi dekat barak sudah lenyap. Tak ada lagi wajah-wajah yang tadi saya lihat tidur di barak. Mereka rupanya memanfaatkan waktu ke Dufan atau melancong ke Pasar Tanah Abang membeli tekstil. “Dasar Melayu, ke Jakarta untuk menjagai keluarga sakit, malah jalan-jalan,” kata pemilik warung dekat halaman parkir tempat saya ngopi. Barak pun sudah lenyap, menjelma menjadi ruang kantor yang bersih, wangi dan ber-AC.

***

Malam itu, seperti kemarin, setelah Isya, satu demi satu orang mulai berduyun-duyun menyesaki ruang kantor yang sudah kembali jadi barak.

“Tadi siang tiga penghuni pulang lagi, “ kata Hatta ketika saya mencoba merebahkan badan di sampingnya. “Mudah-mudahan tidak ada di antara kita berdua yang nanti malam melihat sosok wanita bergaun putih yang beraroma melati itu.”

Hatta melipat koran dan menatap langit-langit. Bulu kuduk saya berdiri.

Tak lama kemudian, seperti kemarin, persis pukul 9, AC dimatikan petugas. Sejam kemudian, pesawat televisi giliran dimatikan. Selanjutnya, lampu neon dimatikan. Ruang seketika menjadi gelap. Semua kegiatan berhenti. Tinggal lampu teras. Suasana yang tadi riuh mendadak senyap. Penghuni mulai merebahkan diri di lantai siap memicingkan mata. Suasana pengap. Seiring dengan itu bau keringat basi bercampur obat pun mulai menguar lagi. Tiba-tiba terdengar ada bunyi SMS. Karena bunyinya sama, hampir semua yang mendengar meraba handphonenya. Tapi belum sempat melihat handphone, seorang bapak bersama anak lelakinya, yang tidur persis di bawah pesawat televisi, sontak berdiri. Keduanya keluar. Agaknya ada panggilan penting. Benar saja. Tak lama kemudian bapak itu muncul lagi tapi kali hanya untuk mengambil ransel. Matanya lebam. “Istri saya meninggal,” katanya lirih mohon pamit.

Terdengar gemuruh orang mengucap Innalillahi….

“Berarti, sudah lima orang pulang hari ini,” kata Hatta. “Hm, semua orang yang ada di sini memang sedang menunggu giliran, dengan dua kemungkinan,” lanjutnya.

Saya memiringkan kepala, menghindari tubrukan dari kepala teman sebelah kiri sekaligus menghindari Hatta yang saya lihat tengah melamun. Sayup-sayup terdengar bunyi lift yang anjlog di gedung sebelah.

“Tadi siang saya juga terima SMS dari istri,” terdengar lirih suara Hatta dari kegelapan. “Istri sakit. Anak-anak juga sakit. Uang sekolah belum dibayarkan. Bank dan rentenir menagih. Saya diminta pulang. Tak tahan dia menghadapi debt collector. Padahal sudah dua mobil dan sebidang tanah kami melayang untuk kesembuhan putri saya.” Suaranya parau. “Asal kamu tahu, ini malam ke-25 saya ada di sini. Saya sudah tidak betah. Tak berkesudahan. Tak tahu sampai kapan.”

Saya berbalik menoleh. Saya lihat ada air menggenang di matanya.

“Hidup jalan terus. Masih ada tiga anak yang harus saya nafkahi,” katanya menerawang dalam gelap.

Saya menguap. Terdengar dia juga menguap.
“Kamu tidur saja. Saya juga sudah ngantuk.”

***

Pagi itu, seperti kemarin, saya baru terbangun oleh teriakan petugas.

“Ayo bangun, bangun, hari sudah siang. Kantor mau dirapikan. Sebentar lagi karyawan datang. Ayo.”

Kami pun rame-rame bangun. Suara geresek kertas koran, sarung, dan tikar yang dilipat terasa hiruk pikuk. Lalu, setelah itu, semua beramai-ramai memburu kamar mandi dan WC umum. Kami ikut berlari seperti pengungsi. Tapi di depan kamar mandi dekat kamar mati itu mendadak Hatta berhenti. Dia berbalik dan menatap saya.

“Saya sudah melihat perempuan itu semalam. Dia masuk dari kaca riben itu. Dia muncul ketika suasana sudah senyap tak lama setelah satpam memukul kentongan dua kali. Saya membaui aroma bunga melati yang menusuk,” katanya lalu meraung-raung sambil meninju-ninju dinding kamar mandi. ***

Serpong, 28 Feb. 2010

Senin, 16 November 2009

Tukang Bunga & Burung Gagak

Cerpen: Kurniawan Junaedhie

Di kota P, ada seorang tukang bunga yang bersahabat dengan seekor burung gagak hitam. Biasanya, tanpa diketahui banyak orang, gagak itu terbang melintas di depan kiosnya ber-kwak-kwak seperti memberi kode kepada si tukang bunga. Burung gagak itu lalu hinggap di pohon angsana, satu-satunya pohon di dekat kiosnya. Sesudah itu, si tukang bunga, seperti seorang lelaki yang menemui selingkuhannya, mengendap-endap datang ke sana menjumpainya. Entah apa yang dipercakapkan keduanya. Yang jelas, biasanya, keesokan harinya, ada orang meninggal di kota itu. Dan si tukang bunga pun sibuk memperoleh banyak pesanan. Itulah penghasilan utamanya dari menjual bunga.

Tapi sudah dua minggu ini, si burung gagak tak tampak. Si tukang bunga, pemilik sebuah kios bunga menjadi resah. Berhari-hari dia gelisah, tidak bisa tidur, dan tidak enak makan. Apalagi radio transistornya sudah lama tidak menyiarkan berita lelayu. Apakah sudah tidak ada lagi orang yang mati di kota ini? Sementara itu, selama beberapa hari ini kebetulan si tukang bunga juga mengalami mimpi-mimpi yang aneh. Yaitu mimpi tentang mendiang ibunya, dan mendiang istrinya yang mengajaknya pergi ke sebuah tempat yang jauh.

Dan dalam waktu yang hampir bersamaan, datang segerombolan pemuda entah darimana, memalak seenaknya. Meski si tukang bunga sudah berulangkali meyakinkan bahwa kiosnya sepi, tetapi pemuda itu tidak percaya dan ngotot tetap minta uang. Mereka tetap tidak mau mengerti bahwa pesanan bunga untuk orang mati sudah tidak ada. Akibatnya setiap hari dia harus membuang bunga-bunga yang membusuk. Bunga-bunga menumpuk, menggunung, menjadi sampah. Tumpukan sampah itu tentu saja menimbulkan bau tak sedap. Baunya minta ampun. Sampah-sampah itu kadang-kadang menutupi got, membuat got jadi macet dan membuat air tergenang.

Karena trotoar juga termasuk jalur hijau, maka hal itu mengundang petugas yang mengaku-aku dari dinas kebersihan pemkot datang dan menggertak dia untuk segera merobohkan kiosnya. Tapi karena sesampai di sana petugas itu membaui bau-bauan tak sedap, semakin marahlah petugas kebersihan pemkot itu. “Wah, bau-bau ini jelas mengganggu lingkungan,” ujar petugas pemkot. Setelah beradu mulut, petugas pemkot memberi waktu sebulan pada si tukang bunga untuk merobohkannya sendiri. Atau kalau tidak, akan didatangkan sebuah bulldozer untuk meratakannya dengan tanah. Entah karena adanya sampah dengan bau yang ditimbulkannya, nyatanya orang yang datang ke kiosnya juga mulai sepi. Yang datang hanyalah ibu-ibu pejabat yang sudah merasa tergantung pada bantuannya, dan pemuda-pemuda yang kepepet yang harus memberi bunga pada pacarnya.

Seperti ada tangan aneh yang mengatur semua ini, pikir si tukang bunga. Semua serba dadakan. Tidak ada gejala yang tampak sebelumnya.

Saking gelisahnya, setiap hari dia duduk mencangkung di depan kiosnya, dengan kepala selalu menengadah ke langit. Kalau itu dirasakannya membosankan, ia pun menyusuri trotoar dan menengok ke arah pohon-pohon yang ada di kota itu. Tapi sejauh-jauh mata memandang yang terlihat hanya langit yang bebas, matahari terik dan angin yang berkesiur pelan, dan pohon-pohon yang tak bergerak. Dan sahabatnya itu sama sekali tak tampak. Kemana dia gerangan?

“Jangan-jangan sakit?” dia berpikir.

Kios milik si toko bunga jauh sederhana dibanding dengan toko-toko bunga di pusat kota yang biasanya wangi, dan penuh dengan rangkaian bunga di etalasenya. Kios si tukang bunga tak ada pajangan bunga sama sekali. Bahkan etalase saja sama sekali tidak punya. Kios itu pun hanya dibangun setengah permanen. Tiang-tiang seluruhnya terbuat dari bambu, dan atapnya dari ijuk. Yang membedakan dengan kios-kios cukur, atau kios-kios penjual ayam goreng paling hanyalah banyaknya tumpukan bunga dan kini, sampah-sampah bunga yang menggunung.

Meski begitu selama ini pelanggannya banyak dari berbagai kalangan. Termasuk para ibu pejabat yang datang ke kiosnya untuk minta dirangkaikan bunga untuk keperluan arisan atau rapat di kantor dan sekali tempo ada juga anak muda datang ke sana, sekedar minta saran untuk dibuatkan rangkaian bunga yang pas. Tapi lebih banyak lagi, preman-preman yang datang ke sana, yang minta diberikan bunga apa saja sebagai tanda cinta untuk pasangannya. Semua diberikan cuma-cuma. Akibatnya setiap kali ia membuka kiosnya, banyak orang berebutan datang supaya dapat kebagian bunga-bunga gratis.

“Lho, apa Bapak tidak rugi? Bagaimana Bapak bisa memberi bunga secara gratis pada pengunjung yang datang?” seseorang pernah bertanya.

“O, tidak apa. Daripada jadi sampah, mendingan saya berikan pada siapa saja secara cuma-cuma. Lagipula orang yang saya beri itu juga senang,” jawabnya tertawa.

Bukan rahasia umum pula, bahwa si tukang bunga adalah pendengar radio. Ke mana pun dia bergerak, sebuah radio transistor mini tercangklong di pundaknya. Tapi tak banyak yang tahu bahwa radio itu sebetulnya berfungsi untuk memantau berita dukacita setelah sebelumnya si burung gagak sahabatnya datang memberi kode. Jadi berita radio itu sebetulnya hanya untuk memastikan, siapa dan di mana alamat keluarga yang berduka. Boleh percaya boleh tidak, meski kota itu kecil, tapi selama ini memang ada saja di antara penduduk kota itu yang meninggal. Kadang satu, kadang belasan. Penyebabnya bisa macam-macam: karena usia tua, karena penyakit atau bunuh diri. Si tukang bunga sangat senang bila ada berita seperti itu. Begitu ada berita lelayu disiarkan, baginya itu pertanda baik. Pesanan bunga akan segera datang berlimpah. Dia merasa harus bersiap-siap untuk menyambut datangnya rejeki dari Tuhan itu.

Tapi itulah, banyak hal menimpa dirinya belakangan, sebelum menyadari bahwa si burung gagak sahabatnya sudah lama tak menyambanginya. Radio transistornya sudah lama tidak menyiarkan berita lelayu.

“Apakah sudah tidak ada lagi orang yang mati di kota ini? Apakah acara itu sudah dihapuskan?” tanyanya lewat telepon kepada seorang penyiar radio yang jadi langganannya.

“Acara apa?”

“Acara berita kematian.”

Si penyiar radio terbahak. “Ah, itu berarti memang tidak ada orang meninggal. Kita harus senang karena hal itu menandakan kesejahteraan masyarakat meningkat,” jawab si penyiar.

Dia lalu menceritakan mimpi-mimpi anehnya pada seorang ibu pejabat yang dianggapnya dekat. Yaitu mimpi tentang mendiang ibunya, dan mendiang istrinya yang mengajaknya pergi ke sebuah tempat yang jauh.

“Mimpi didatangi ibu dan istri kok dibilang aneh?” tanya ibu pejabat itu.

“Ya, soalnya sudah lama saya tidak pernah bermimpi mereka.”

“Barangkali Bapak kangen sama mereka, jadi terbawa dalam mimpi,”

“Ah, tidak. Saya bahkan sudah melupakan mereka.”

“Itu juga bisa jadi penyebab.”

“Ah, ada-ada saja,” gumam si tukang bunga tidak mengerti.

Dan sekarang saja baru disadari, si burung gagak sahabatnya hampir satu minggu tak muncul. Pantas. Kemana burung gagak itu pergi? Kenapa burung gagak tidak datang mengunjungi dia lagi?

“Kalau dia berhalangan, pasti ada sebab musababnya,” pikirnya. Dia yakin, burung gagak itu sakit, dan sekarang sedang beristirahat sambil bersembunyi di sebuah tempat. Dia merasa harus menolongnya. Paling sedikit, dia harus tahu sebab musababnya, kenapa ia tak datang.

Karena didorong rasa penasaran, dia rela menutup kiosnya. Orang yang setiap hari lalulalang di depan kiosnya tentu terheran-heran.

“Kok tumben tutup? Mau kemana, pak?”

“Ada urusan.”

“Bagaimana kalau ada orang cari bunga?”

“Bilang saja, saya ada urusan.”

“Sampai kapan”

“Sampai urusan diselesaikan.”

Dan dia mulai menyusuri setiap sudut kota. Setiap pohon dan gerumbulan pohon didatangi. Jangan-jangan di burung gagak di sana, pikirnya. Dia juga terus menengok ke arah langit, siapa tahu dia bisa melihat ada burung melintas. Tapi pemandangan langit masih seperti biasa: tetap luas tak bertepi dengan gumpalan-gumpalan awan di sela-selanya. Tak ada kehidupan. Tak ada bayangan dan suara burung gagak.

Ia pun mulai menyusuri trotorar dan menjelajahi sudut-sudut kota mencari burung gagak itu. Dan terhadap setiap pepohonan dia selalu menengok dan menoleh-noleh. Dia berharap jangan-jangan sahabatnya itu tengah duduk bertengger di sana. Tapi si tukang bunga menjadi kecewa setelah yakin bahwa pohon-pohon itu tetap kosong; hanya berisi ranting, cabang dan daun. Ia lalu menatap langit yang bertepi. Tapi langit itu juga tetap kosong. Sesekali ia juga menghentikan langkah. Mencoba memasang kupingnya. Ini menyebabkan ia mendengar suara ricik air, debur orang mandi, dan bunyi kodok mendengkur. Tapi ternyata sejauh-jauh dan sekuat-kuat ia memasang kupingnya, tidak ada terdengar suara kwak-kwak sama sekali. Hanya kesiur angin. Hanya daun-daun yang rontok tertiup angin. Kemana dia pergi? tanyanya.

“Ayolah sahabatku, menampaklah, jangan buat aku seperti ini,” katanya meratap dalam hati.

Jika magrib keburu tiba, si tukang bunga pun bergegas pulang ke rumah. Dan paginya dia berangkat lagi. Orang-orang yang biasa lalulalang di depan kiosnya kembali berseru-seru. Tapi dia tetap mengatakan bahwa urusannya belum selesai.

“Kami merasa sepi, tidak mendengar lagi suara radio,” kata salah seorang dari mereka.

Si tukang bunga tak menjawab sepatah kata pun, Tampak benar, ia sedang dirundung banyak masalah. Maka di bawah tatapan orang-orang yang melihatnya, ia pun terus melanjutkan langkah kakinya. Menyusuri sepanjang trotoar kota. Menengok pepohonan. Menatap langit. Memasang kuping. Saat itu, ia mulai menyadari bahwa dia merasa kangen sekali bertemu dengan sahabatnya itu. Dan baru menyadari betapa besar rasa kangen itu. Dan betapa persahabatan itu telah menjadi ketergantungan.

Hari itu, entah pada hari ke berapa, langit yang senja, dengan cepat menjadi gelap. Langit mendadak gelap. Lampu-lampu jalanan menjelaskan rintik hujan, pertanda hari gerimis. Ia pun memutuskan untuk berteduh di bawah sebuah pohon. Tiba-tiba ada suara kwak-kwak di atasnya. Ia menoleh ke langit secara reflek. Seekor burung gagak melintas di tengah rintik hujan. Matanya berkilat. Bulu-bulunya kuyup karena hujan. Si tukang bunga terkesiap. Tanpa menggubris hujan dan terpaan lampu yang menerjangnya, ia pun lari menyeberang jalan. Saat itu juga orang-orang di pinggir jalan menyaksikan seorang lelaki dengan mencangkong sebuah transistor menyeberang jalan, menubruk sebuah mobil yang sedang berlalu dengan kencang. Lalu terdengar kwak-kwak, suara burung gagak.***

Serpong 20 Sept. 2009

lelayu= dukacita

Dimuat di Suara Karya, 7 November 2009
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=239389

Seorang Pemuda Berambut Gondrong

Cerpen: Kurniawan Junaedhie

Atas kersaning Gusti Allah, akhirnya Joko Bodo, anak muda berambut gondrong itu terpilih jadi anggota legislatif. Tidak hanya mendulang banyak suara, anak pengangguran itu juga terbukti telah menggulingkan nama-nama politisi senior, yang selama ini banyak diwawancarai televisi dan dikutip analisis politiknya di media massa. Ibarat tinju, dalam sekali ayunan swing, riwayat para politisi senior itu dibikin knock out oleh Joko Bodo. Posisi mereka langsung tumbang. Sang juara baru muncul. "The wonder boy", begitu suratkabar lokal menjuluki Joko Bodo, sesaat Komisi Pemilihan Umum mengumumkan hasil finalnya.

Seperti dikomando, orang di desa Dukuh Setu berduyun-duyun datang ke rumah orangtua Joko Bodo memberi upeti. Ada yang membawa padi, bebek, papaya, beras, gula pasir, ayam, telor dan rambutan. Dapur keluarga Yuliansyah mendadak menjadi penuh sesak oleh upeti-upeti itu. Para ibu sibuk membuat penganan dan sibuk menyedu kopi untuk para tamu bapak-bapak yang notabene suaminya sendiri.

Yang ikut sibuk tentu saja para pimpinan partai di mana Joko Bodo mencalonkan diri. Mereka langsung menempatkan diri sebagai panitia. Ikut sibuk menyambut tamu, menemani orangtua Joko Bodo dan sesekali meneriakkan slogan-slogan partai. Beberapa di antaranya bahkan berinisiatip membentangkan spanduk di pagar rumah orangtua Joko Bodo. Spanduk itu bertuliskan, "Sugeng Rawuh" tapi di bagian bawah dan samping kiri kanan tercantum lambang partai yang mengusung Joko Bodo.

"Sudah saya duga. Anak saya itu memang jempolan. Otaknya cemerlang," kata bapaknya kepada handai taulan yang menyalaminya. Bapak Joko Bodo dikenal sebagai tukang adu ayam. Jadi dia merasa bahwa, kali ini jagoannya tidak meleset.

Di lembar pencontrengan tentu saja nama Joko Bodo tidak tercantum. Di sana ia menggunakan nama asli, sesuatu akta lahir: Yuliansyah Fariduddin Kazim . Ah, sebuah nama yang keren. Yuliansyah, karena dia lahir di bulan Juli. Sedang dua nama terakhir, sepertinya dalam bahasa arab, berarti permata agama yang penyabar.

Nama Joko Bodo sendiri nama pemberian orangtuanya sewaktu kecil karena sebagai anak laki-laki dia dianggap bodo. Tentu saja si Joko Bodo menjadi dewasa, dan tidak terus bodo. Dia berkembang kemudian menjadi anak pintar.

Ketika teman-teman sebayanya memilih jadi pegawai negeri, ia malah memilih menjadi preman. Pekerjaannya, memalak tukang parkir dan pedagang di pasar. Kebetulan pula ia juga dikaruniai alam dengan banyak hal yang tak semua orang memilikinya. Ia, misalnya dikenal pandai dan jago berkelahi. Bahkan, ia pernah dikeroyok 10 orang sekaligus dan nyatanya tidak keder, meski tentu saja dia kalah, badannya babak belur. Tak hanya itu. Ia juga dikabarkan pernah membunuh sedikitnya 7 orang dalam masa 5 tahun. Tapi tak jelas dalam urusan apa, kenapa ia sampai membunuh orang sebanyak itu, dan kenapa dia tidak masuk bui karena itu. Ia memang diketahui pernah masuk sel di tahan polisi karena suatu kasus. Tapi esoknya dia sudah dibebaskan, karena konon, polisi ngeri. Meski tak jelas kebenarannya, berita-berita itu diterima masyarakat sebagai suatu mitos. Nama Joko Bodo pun melambung, sebagai seorang tokoh lokal yang disegani.

Dibanding nama Joko Bodo, praktis, nama para politisi yang mengaku memiliki konstituen di desa itu, tak ada seujung kuku hitamnya. Jangankan mereka, pak lurah dan pak camat pun, masih kalah pamor. Orang mana di kampung Dukuh Setu yang tidak kenal nama Joko Bodo, si preman gondrong? Mulai dari aki nini sampai anak balita yang sudah kenal orang, pasti tahu namanya. Mulai dari tukang becak, tukang ojeg yang mangkal di Dukuh Setu sampai para pejabat setingkat RT, RW sampai Kecamatan juga sangat friendly dengan nama Joko Bodo. Macam-macam reaksi orang memang kalau mendengar nama Joko Bodo. Ada yang bangga, tapi ada juga yang miris.

Ketika hajatan kecil itu berlangsung, rombongan Pak lurah bertandang. Dia datang diiringi para staf desa, seperti carik, jogoboyo, jogotirto, modin dan kebayan . Hadirin semua berdiri. Pak lurah dan rombongan menyalami bapak Joko Bodo. Mereka lalu duduk di ruang tamu bersama tamu-tamu lain para tetangga. Pak lurah dan rombongan sengaja diberi tempat duduk yang bagus, berupa sofa yang biar empuk kain pelapisnya sudah rombeng. Sebagaimana tujuan kedatangannya, Pak lurah langsung memuji-muji Joko Bodo dengan menyebut nama Yuliansyah sebagai sang pembawa perubahan. Sekali tempo, pak lurah juga mencoba memprediksi bahwa Yuliansyah pasti akan membawa berkah bagi kampungnya.

"Saya kira, dia tahu aspirasi kita. Yang mana, dia pasti akan memperjuangkannya," begitu kata pak lurah dengan gaya bahasa kelurahan.

"Sudah pasti, pak lurah. Itu tak perlu diragukan lagi," sahut ketua parpol.

Ayah dan ibu Joko Bodo manggut-manggut. Hidungnya kembang kempis. Karena kikuk, mereka lalu menyilakan, pak lurah beserta staf menikmati hidangan.

"Yang mana kita tahu, bahwa Joko Bodo eh Yuliansyah adalah wakil dari kampung kita. Sehingga," lanjut pak lurah.

Sekali lagi ayah ibu Joko Bodo manggut-manggut. Hidungnya kembang kempis. Lalu karena kikuk, mereka menyilakan pak lurah beserta staf menikmati hidangan. Ketika obrolan lagi seru-serunya, pak lurah meraba kantong baju dinasnya. Rupanya handphonenya yang disetel silence mode itu bergerak-gerak tanda ada telepon masuk. Dia langsung mengangkat hpnya dan melihat layar sekejap. "Pak camat, " gumamnya diikuti sedikit rasa panik. Tanpa sadar dia berdiri.

Halo pak camat," sapanya dengan nada sopan dan takjim. Dia diam menyimak. Rupanya pembicara di seberang banyak dan panjang bicaranya sehingga tak kedengaran suara pak lurah. Dia hanya sesekali kedengarannya mengatakan, "Baik. Baik, pak. Siap". Dan setelah beberapa waktu, ia langsung menutup handphonenya dan memasukkannya kembali di baju dinasnya. "Wah sebentar lagi pak camat mau rawuh," katanya seperti gelisah kepada tuan rumah.

Ayah ibu Joko Bodo manggut-manggut. Mereka sibuk berpikir, mimpi apa mereka semalam sehingga tiba-tiba saja rumah mereka didatangi para tamu agung. Karena tidak kuasa menahan pikirannya, Ibu Joko Bodo langsung berdiri dan mencolek paha suaminya memintanya ikut masuk ke dalam ruangan. Ayah Joko Bodo mengikut di belakangnya tergopoh-gopoh.

"Ini sebetulnya apa-apaan," ibu Joko Bodo langsung saja nerocos begitu mereka sampai di dalam kamar. "Saya betul-betul bingung."

"Sstt jangan keras-keras," jawab ayah Joko Bodo duduk. Dia menatap wajah istrinya "Terus terang, saya juga bingung," katanya. Sekarang mereka duduk terpekur di pinggir dipan. Dari sela jalusi pintu, suara riuh rendah para tetamu berbicara terdengar. Suara cekikikan terdengar. Lalu disambung suara orang ngobrol. Terdengar suara pak lurah, diikuti suara jogotirto. Atau sebaliknya diawali suara jogoboyo, kemudian diikuti pak lurah. Kadang juga ada suara ibu-ibu. Gelas pecah. Berdeting. Hari sudah menjelang sore. Sebentar lagi magrib.

Menjagokan Joko Bodo sebagai calon legislatif sebetulnya bukan ide original mereka. Ide itu datang dari para pimpinan parpol. "Hanya dua ekor sapi," kata pimpinan partai.

"Untuk disate?" ayah dan ibu Joko Bodo terkesiap sehingga bertanya secara kompak.

Ketua partai tertawa terbahak-bahak. Orang tua itu baru engeh kemudian apa arti kata-kata dua ekor sapi itu. Yaitu, sekitar harga dua ekor sapi kira-kira biaya kampanye untuk menjadikan Joko Bodo jadi seorang caleg .

"Dua ekor sapi?" ibunya ternganga. Pamannya seorang pedagang toko bahan bangunan tamatan SMEA melecehkan. "Namanya saja Joko Bodo. Bagaimana bisa menjadi pimpinan rakyat, membuat undang-undang apalagi mengusulkan anggaran Negara? Dua ekor sapi terlalu mahal untuk itu. Itu sama saja berjudi."

Mendengar kata-kata judi disebut, ayah Joko Bodo justru terpicu adrenalinnya. Sebagai tukang adu jago puluhan tahun, ia tahu bagaimana menilai baik buruknya kualitas ayam jagonya.

Paling tidak sebagai ayam aduan Joko Bodo memiliki sejumlah kriteria yang menjanjikan. Ia memiliki teknik tarung dan teknik pukul yang bagus. Sejarah juga sudah membuktikan. Bahkan, ia pernah dikeroyok 10 orang sekaligus dan nyatanya tidak keder, meski tentu saja dia kalah, badannya babak belur.

Ia juga memiliki darah keturunan yang kuat. Ia bukan jenis ayam aduan yang `cengeng' yang baru tiga empat kali kena pukul sudah keok. Sejarah hidupnya sudah membuktikan. Ia juga dikabarkan pernah membunuh sedikitnya 7 orang dalam masa 5 tahun.

Dan yang tak kurang penting, Joko Bodo juga memiliki katuranggga kemenangan. Katurangga berhubungan dengan anatomi susunan fisik seekor ayam. Entah itu warna bulunya yang `matang', susunan sisik kakinya yang bertuah, matanya yang bening, atau jenggernya yang berwibawa. Untuk semua itu, ibarat ayam aduan, Joko Bodo pun bisa dipertaruhkan. Memang tidak bisa dibuktikan secara ilmiah tapi percaya atau tidak, katurangga hanya merupakan pengalaman orang tua dahulu.

Nyatanya, sejak hasil manual dihitung, nama Joko Bodo langsung bertengger di atas nama-nama oldcrack. Sampai kemudian dinyatakan hitungan final nama Joko Bodo terus bertahan.

Pintu tiba-tiba diketuk. "Pak, bu, pak camat sudah rawuh," terdengar suara luar.

Kedua orangtua itu langsung berdiri, dan tergopoh membuka pintu kamar, lari ke depan untuk menyongsong pak camat. Pak Camat kelihatan berdiri di pintu. Dia seolah-olah sengaja berdiri untuk menunggu tuan rumah menyambutnya. Setelah tuan rumah menyambutnya, dan mempersilakan duduk, barulah ia duduk. Pak camat duduk persis di samping pak lurah. Sementara itu staf pak lurah seperti jogoboyo, kebayan dan jogotirto langsung tungganglanggang, mengambil posisi duduk menjauh.

"Saya hanya ingin mengucapkan selamat. Karena terus terang saya bangga sekali, bahwa warga kita ini ada yang terpilih sebagai wakil rakyat tingkat propinsi," kata pak camat dengan jumawa begitu merasa nyaman di tempat duduknya. Tampak pak lurah menyimak dengan takjim.

"Karena itu saya berharap agar nantinya, anggaran untuk pembangunan jalan raya, pembangunan mesjid, dalam rangka pembangunan spiritual dan imtak itu akan terus berlanjut. Juga, pembangunan-pembangunan yang lain"

Meski, pidato pak camat sebetulnya tidak jelas benar nalarnya, pimpinan parpol dan pak lurah beserta staf bertepuk tangan sendiri. Baru kemudian diikuti tepuk tangan para hadirin.

Pak lurah menimpali. "Yang mana." "Saya sangat suka dengan julukan yang diberikan wartawan. Apa itu pak lurah?" tanya pak camat menoleh ke arah pak lurah.

Pak lurah tergagap karena rupanya lagi melamun dan tidak menduga akan ditanya. Dia langsung menoleh ke stafnya. Untung jogotirto sudah menyiapkan jawaban cespleng: "The Wonder Boy."

"Yaya, the wonder boy. Kira-kira artinya," Ketua partai menyambung sebelum terlanjur ditanya:

"Anak ajaib, pak."

"Hanya dengan dua ekor sapi," bapak Joko Bodo bergumam sendirian. Ibu Joko Bodo yang mendengar gumamam itu melirik suaminya. "Ya, hanya dengan dua ekor sapi," katanya lirih.

Malam terus merambat. Langit tidak sepenuhnya gelap, karena ada rembulan mencorong di sela-sela awan. Rumah orangtua Yuliansyah sudah mirip pasar malam. Ada tukang nasi, tukang ketoprak, tukang martabak dan tukang-tukang lainnya. Pedagang pulsa dan teh botol juga ada di sana. Terdengar ramai denting piring, orang terbahak, dan suara radio. Beberapa lampu penerangan juga diam-diam sudah mulai terpasang entah siapa yang memasang dan memanjat tiang listrik.

Di sudut malam, jauh dari keramaian, si wonder boy itu sendiri cengar cengir di pojokan. Merokok. Mengepulkan asap rokok. Bermain-main handphone, kirim sms entah untuk siapa. Cuek bebek. ***

* Serpong, Mei 2009

Dimuat Suara Karya 30 Mei 2009
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=227980