Minggu, 13 Juni 2010

Perempuan Beraroma Melati

Cerpen: Kurniawan Junaedhie

Saat itu sekitar jam 10 malam lewat. Lampu neon dan pesawat televisi sudah dimatikan. Cahaya hanya muncul samar-samar dari lampu teras yang menerobos masuk kaca riben jendela.
Ruangan yang tadi siang berupa kantor merangkap apotek dan poliklinik yang luasnya 5 x 6 meter itu kini praktis sudah berubah fungsi menjadi barak. Orang bergeletakan seperti ikan asin. Orang tidur dengan posisi amburadul. Yang penting, bisa terlentang dan merebahkan badan. Mereka adalah keluarga pasien luar kota yang terpaksa menginap di barak sialan ini kerena harus menunggui kerabatnya yang sedang menjalani rawat inap. Pasalnya, pihak rumahsakit hanya mengizinkan satu orang saja yang boleh menginap di dalam kamar rawat. Lainnya tidak boleh.

Bau keringat basi bercampur bau obat menguar seluruh ruangan.

Saya sedang terlentang menatap langit-langit bersama teman saya Hatta. Ini malam pertama saya tidur di barak itu, sedang bagi Hatta merupakan malam ke-24. Ada rasa sesal, kenapa saya harus ikut mengantar anak saya berobat ke sini. Saya ada di sini semata karena menemani istri mengantar anak saya karena abang-abangnya tidak bisa meninggalkan kuliahnya.

“Sungguh. Aku bukan mau menakuti-nakuti. Tapi kamu akan membaui aroma bunga melati,” bisik Hatta. “Perempuan itu muncul pada sekitar jam dua pagi ketika suasana sudah senyap tak lama setelah satpam memukul kentongan dua kali. Parasnya cantik. Gaunnya panjang berwarna putih. Dia masuk dari kaca riben itu,” katanya sambil menunjuk ke arah jendela.

Kuduk saya meremang.

Duk. Kepala saya tertendang kaki orang di atas saya.

“Tapi kamu tidak usah takut. Perempuan itu tidak ngapa-ngapain. Dia hanya akan menampakkan pada orang yang keluarganya bakal meninggal,” suara Hatta berbisik di telinga.

“Semacam tanda bagi keluarga yang akan ditinggalkan?” tanya saya bergetar.

“Ya. Begitulah yang saya dengar dari para penghuni yang pulang.”

Tengkuk saya meremang lagi. Kalau ada selimut, saya mungkin akan menutupi wajah saya dengan selimut. Tapi jangankan selimut, alas tidur pun saya tidak punya, sementara teman-teman lain menggunakan tikar dan koran untuk alas tidur. Punggung saya sakit.

Duk. Kepala saya tertendang lagi. Sialan. Kali ini oleh kaki orang yang tidur di atas sebelah kiri saya. Di bawah, kaki saya juga berkali-kali tanpa sengaja menendang kepala seorang ibu. Untung ibu itu tidak marah. Dia hanya mengelus kepalanya. Mungkin maklum. Sementara di kiri kanan saya berjubelan orang tidur. Saya lihat ada kepala anak kecil yang nyelip di sela-sela paha seorang lelaki gendut yang sedang asyik mengorok. Suara dengkur bersahut-sahutan. Seperti sebuah orchestra suara kodok dan suara gergaji. Saya tak tahan. Sungguh seperti barak pengungsi yang saya selalu saya lihat di televisi. Padahal menurut Hatta, jumlah penghuni malam ini sudah berkurang banyak. Tadi siang, tercatat ada tiga penghuni yang pulang.

“Senang ya kalau bisa pulang?” kata saya.

“Ya. Hanya ada dua kemungkinan kita bisa meninggalkan tempat ini: kerabat kita meninggal, atau kerabat kita sembuh,” katanya getir.

Saya tertegun.

“Begitulah romantika hidup, setiap hari ada yang datang dan ada yang pergi,” kata Hatta pahit.
“Mereka yang pulang itulah yang malam harinya melihat perempuan itu,” kata Hatta, lagi-lagi menyebut-nyebut perempuan itu sehingga bulu kuduk saya terus meremang.

Sayup-sayup terdengar bunyi lift yang anjlog di gedung sebelah.

Saya menarik napas. Betapa pun saya beruntung bisa tidur di sini. Hatta-lah yang tadi siang menganjurkan agar saya tidur di ruang kantor merangkap apotek dan poliklinik yang kalau malam jadi barak itu. Seperti dikatakannya, ia terpaksa ada di situ karena anaknya yang berumur lima tahun mengalami koma setelah proses pembedahan. Dia tidak bisa pulang karena setiap hari harus menengok anaknya di ruang ICU. Sama seperti saya, waktu pertama datang ke rumahsakit, istrinya juga ikut. Tapi setelah 10 hari tidak ada perkembangan, istrinya pulang karena masih harus mengurus ketiga anaknya yang sehat di rumah.
“Kalau bukan dokter saja, mungkin sudah saya labrak mereka. Saya selalu tidak berdaya dan lembek di depan mereka. Kita dipaksa menganggap mereka sebagai juru selamat.”

Dari tempias sorot lampu teras, saya lihat mata Hatta melihat langit-langit. Sementara itu, saya membayangkan, aroma bunga melati yang menusuk, perempuan berparas cantik, gaun panjang warna putih dan pukul 2 dinihari saat satpam membunyikan kentongan dua kali. Hm. Menyesal juga kenapa harus ikut tidur di barak. Ah, kalau bukan karena sayang anak…

“Mudah-mudahan malam ini salah seorang di antara kita tidak perlu melihat perempuan itu,” katanya sambil masih menatap langit-langit yang remang-remang.

“Ya.” Saya menguap. Terdengar dia juga menguap.

“Kamu tidur saja. Saya juga sudah ngantuk.”

Rupanya saking lelahnya saya langsung tertidur pulas. Saya baru terbangun ketika mendengar teriakan petugas. “Ayo bangun, bangun, hari sudah siang. Kantor mau dirapikan. Sebentar lagi karyawan datang. Ayo.”

Para penghuni barak itu pun rame-rame bangun. Suara geresek kertas koran, sarung, dan tikar yang dikemasi terasa hiruk pikuk. Lalu, setelah itu, seperti ritual saja, semua beramai-ramai memburu kamar mandi dan WC umum yang tersedia di sejumlah blok rumahsakit agar kebagian. Hatta menggandeng tangan saya agar mengikut dia.

“Ayo cepat. Cepat. Kalau tidak cepat tidak dapat,” katanya. Saya sempat melihat seorang ibu menarik-narik tangan anaknya yang sibuk menyeret-nyeret tikarnya.

Karena ikut Hatta, saya menemukan kamar mandi yang bebas dari antrean jauh dari situ, yaitu dekat kamar mati.

Sesudah badan segar, dan sarapan bubur ayam di pinggir jalan depan rumahsakit, kami berpisah. Hatta menuju ICU melihat kondisi anaknya, sedang saya sendiri menengok putri saya di kamar inap. Ketika saya lewat, orang-orang yang tadi antre di kamar mandi dekat barak sudah lenyap. Tak ada lagi wajah-wajah yang tadi saya lihat tidur di barak. Mereka rupanya memanfaatkan waktu ke Dufan atau melancong ke Pasar Tanah Abang membeli tekstil. “Dasar Melayu, ke Jakarta untuk menjagai keluarga sakit, malah jalan-jalan,” kata pemilik warung dekat halaman parkir tempat saya ngopi. Barak pun sudah lenyap, menjelma menjadi ruang kantor yang bersih, wangi dan ber-AC.

***

Malam itu, seperti kemarin, setelah Isya, satu demi satu orang mulai berduyun-duyun menyesaki ruang kantor yang sudah kembali jadi barak.

“Tadi siang tiga penghuni pulang lagi, “ kata Hatta ketika saya mencoba merebahkan badan di sampingnya. “Mudah-mudahan tidak ada di antara kita berdua yang nanti malam melihat sosok wanita bergaun putih yang beraroma melati itu.”

Hatta melipat koran dan menatap langit-langit. Bulu kuduk saya berdiri.

Tak lama kemudian, seperti kemarin, persis pukul 9, AC dimatikan petugas. Sejam kemudian, pesawat televisi giliran dimatikan. Selanjutnya, lampu neon dimatikan. Ruang seketika menjadi gelap. Semua kegiatan berhenti. Tinggal lampu teras. Suasana yang tadi riuh mendadak senyap. Penghuni mulai merebahkan diri di lantai siap memicingkan mata. Suasana pengap. Seiring dengan itu bau keringat basi bercampur obat pun mulai menguar lagi. Tiba-tiba terdengar ada bunyi SMS. Karena bunyinya sama, hampir semua yang mendengar meraba handphonenya. Tapi belum sempat melihat handphone, seorang bapak bersama anak lelakinya, yang tidur persis di bawah pesawat televisi, sontak berdiri. Keduanya keluar. Agaknya ada panggilan penting. Benar saja. Tak lama kemudian bapak itu muncul lagi tapi kali hanya untuk mengambil ransel. Matanya lebam. “Istri saya meninggal,” katanya lirih mohon pamit.

Terdengar gemuruh orang mengucap Innalillahi….

“Berarti, sudah lima orang pulang hari ini,” kata Hatta. “Hm, semua orang yang ada di sini memang sedang menunggu giliran, dengan dua kemungkinan,” lanjutnya.

Saya memiringkan kepala, menghindari tubrukan dari kepala teman sebelah kiri sekaligus menghindari Hatta yang saya lihat tengah melamun. Sayup-sayup terdengar bunyi lift yang anjlog di gedung sebelah.

“Tadi siang saya juga terima SMS dari istri,” terdengar lirih suara Hatta dari kegelapan. “Istri sakit. Anak-anak juga sakit. Uang sekolah belum dibayarkan. Bank dan rentenir menagih. Saya diminta pulang. Tak tahan dia menghadapi debt collector. Padahal sudah dua mobil dan sebidang tanah kami melayang untuk kesembuhan putri saya.” Suaranya parau. “Asal kamu tahu, ini malam ke-25 saya ada di sini. Saya sudah tidak betah. Tak berkesudahan. Tak tahu sampai kapan.”

Saya berbalik menoleh. Saya lihat ada air menggenang di matanya.

“Hidup jalan terus. Masih ada tiga anak yang harus saya nafkahi,” katanya menerawang dalam gelap.

Saya menguap. Terdengar dia juga menguap.
“Kamu tidur saja. Saya juga sudah ngantuk.”

***

Pagi itu, seperti kemarin, saya baru terbangun oleh teriakan petugas.

“Ayo bangun, bangun, hari sudah siang. Kantor mau dirapikan. Sebentar lagi karyawan datang. Ayo.”

Kami pun rame-rame bangun. Suara geresek kertas koran, sarung, dan tikar yang dilipat terasa hiruk pikuk. Lalu, setelah itu, semua beramai-ramai memburu kamar mandi dan WC umum. Kami ikut berlari seperti pengungsi. Tapi di depan kamar mandi dekat kamar mati itu mendadak Hatta berhenti. Dia berbalik dan menatap saya.

“Saya sudah melihat perempuan itu semalam. Dia masuk dari kaca riben itu. Dia muncul ketika suasana sudah senyap tak lama setelah satpam memukul kentongan dua kali. Saya membaui aroma bunga melati yang menusuk,” katanya lalu meraung-raung sambil meninju-ninju dinding kamar mandi. ***

Serpong, 28 Feb. 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar