Tampilkan postingan dengan label Sinar Harapan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sinar Harapan. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 28 November 2009

Hidup Ini Indah

Cerpen: Kurniawan Junaedhie



“Aku akan bunuh diri,” kata saya mengancam, pada istri.

Istri balik mengancam.

“Mana mungkin kau berani.”

“Aku berani. Apa yang kutakuti?”

“Coba pikir-pikir dulu.”

“Sudah aku pikirkan. Anak tidak punya. Orangtua tidak punya. Apa yang kutakuti?”

“Coba saja, kalau berani.”

Saya berkelebat ke dapur, dan mengambil pisau dapur. Saya acung-acungkan pisau itu ke arah istri saya.

“Coba saja, kalau berani.”

Ya Allah. Dia tidak menggubris sama sekali, dan matanya tetap melotot ke arah layar televisi. Dia sama sekali tidak takut bahwa pisau itu saya hunjamkan ke jantung saya. Dia sama sekaki tidak cemas bahwa jika hal itu terjadi, maka seisi kampung akan gempar, dan dia akan dibikin repot.

Karena geram, saya lempar pisau itu ke sofa. Clep. Pisau itu nyungsep di sofa. Barulah istri saya melotot ke arah saya, “He, kau pikir, kita bisa beli sofa baru?”

Malamnya, saya tidak bisa tidur. Saya bergulingan di tempat tidur. Sementara di sebelahku, istri, enak-enak saja tidur terlelap dan ngorok. Seolah-olah persoalan percobaan bunuh diriku tidak menjadi beban pikirannya. Rupanya dia menganggap peristiwa seorang suami mengacung-acungkan pisau untuk menghabisi hidupnya itu hanya angin lalu. O perempuan, macam apa pula yang ada di depanku ini?

Sudah lama saya dan istri ingin bercerai. Ya, sejak saya merasa bahwa rumah seperti neraka layaknya. Saya tidak bohong, atau berlebih-lebihan. Bayangkan.

Kehidupan saya dan istri tak ubahnya seperti petasan bersumbu pendek saja. Dari hal remeh-temeh, bisa melebar ke mana-mana. Saya ngomong ke timur, istri saya bicara ke barat. Pokoknya, tidak pernah nyambung sama sekali. Dan seperti saya bilang tadi: Keributan bisa muncul begitu saja dari hal-hal sepele seperti ada kucing mengeong tiba-tiba, atau hanya sekedar ada seekor tikus lewat di sudut tembok. Atau sekadar pintu kamar mandi.
Suatu kali, saya menutup pintu kamar mandi dengan kasar. Sebetulnya, tidak kasar. Hanya karena pintu melengkung karena perubahan cuaca, maka pintu tidak pas masuk ke kusen sehingga saya paksakan masuk. Istri yang sedang nonton televisi di kamar keluar. Dia menyarankan agar saya berhati-hati, karena harga pintu kamar mandi sangat mahal. Saya tersinggung merasa dibilang tidak tahu harga pintu. Istri lalu mengatakan, begitu saja marah. Saya pun tambah marah. Pertengkaran berkobar. Gelas piring dibanting. Istri masuk kamar, mengunci pintu, menyetel televisinya keras, mungkin supaya tetangga tidak perlu mendengar kegaduhan kami.

Meski saya bukan suami yang baik, sekali tempo saya mencoba juga berusaha menjadi seorang suami pengertian.

Ada beberapa kali sepulang kantor, saya coba membawakan makanan. Tapi saya mendapati istri saya cemberut di depan televisi. Dan kadang hanya karena membaui saya pulang, dia langsung ngumpet di kamar. Saya mencoba sabar. Baik-baik saya letakkan penganan di meja makan, maksudnya agar dia mengambil dengan sendirinya, kalau lapar. Tapi hal itu tak dia gubris. Saya mengalah, masuk ke kamar. Sekitar beberapa jam kemudian, merasa ruangan sudah sunyi, saya keluar lagi, dan hlo, makanan saya masih tergeletak di meja makanan. Tidak disentuhnya sama sekali. Besoknya saya tanya, kenapa dia tidak makan penganan yang saya bawa? Dengan ringan dia menjawab, tidak kepingin.

Pokoknya saya merasa bahwa kehidupan keluarga saya sangat ganjil. Ada yang salah. Kalau bukan saya, pasti dia. Atau sebaliknya.

Betapa pun dengan keadaan seperti itu, saya merasa gagal menjadi suami. Dengan demikian, dia mestinya juga merasa gagal menjadi istri. Tapi kenapa dia tidak mengakuinya sekalipun suaminya sudah mencoba melakukan upaya bunuh diri?


Perjodohan

Setahun lalu seseorang telah menjodohkan saya dengan perempuan ini. Pada suatu malam, selagi asyik membaca buku sambil nonton warta berita malam, ada orang mengetuk pintu. Orang itu, lelaki paruh baya, datang bersama seorang wanita muda sepantaran anaknya. Saya sama sekali tidak kenal kedua orang itu sebelumnya. Lelaki paruh baya itu mengenakan peci. Berjenggot putih. Yang wanita, mengenakan rok terusan, dan tidak memakai make up apa pun. Polos.

Lelaki paruh baya berpeci dan berjenggot putih itu langsung mengatakan bahwa, dia disuruh oleh seseorang untuk mengantar wanita itu ke rumah saya.

“Mengantar? Untuk saya? Siapa orang itu?”

Dia menyebut sebuah nama.

“Ah, saya tidak mengenalnya.”

“Anda kenal atau tidak, tidak penting buat saya. Yang penting adalah bahwa dia yang menyuruh saya. Saya berani sumpah,” kata lelaki paruh baya berjenggot putih berpeci itu mengangkat telunjuknya.

“Maksudnya?” saya menyelidik.

“Saya diminta membawa wanita ini untuk Anda nikahi.”

Gila. Dahi saya berlipat. Saya memukul kening, dan mengelus rambut. Saya menengok arloji. Jam sepuluh limabelas. Bukan mimpi. Tapi bagaimana mungkin, mereka bisa tahu bahwa saya adalah seorang bujang lapuk? Bukankah sangat banyak lelaki di kampung saya? Kenapa harus saya?

“Saya kira Anda salah alamat,” kata saya mulai bersikap defensif.

“Memang Andalah yang dimaksud,” katanya.

“Anggap saja ini amanah,” kata pria berpeci berjanggut putih setengah baya itu menimpali

Saya mengerling wanita belasan tahun itu. Seperti kesan pertama tadi, dia tidak jelek. Bahkan, kalau tidak bisa dikatakan cantik pun bisa saya katakan, wajahnya lumayan rupawan. Kulitnya bersih. Tingginya 160 centian, lurus sepundak saya, tapi tidak terlalu gemuk. Matanya bulat. Hidungnya bangir. Bibirnya mungil.

Ini pasti akal-akalan. Bukan tidak mungkin, mereka adalah komplotan penipu yang ingin membodohi saya. Informasi bahwa saya seorang perjaka dengan mudah bisa saja diakses dari pak RT atau pak RW. Dan bisa juga mereka tahu bahwa beberapa tahun lalu saya memasang nama dan alamat saya di rubrik jodoh. Apa susahnya?

“Jadi saya harus mengawini dia? Haha, gampang amat?” saya tertawa dengan getir.

“Apa boleh buat. Ini amanah” kata pria setengah baya berjenggot putih dan berpeci itu dengan yakin.

Saya langsung menyelinap masuk kamar. Diam-diam saya menghubungi pak RT melalui telepon. Saya bilang, ada orang mencurigakan datang ke rumah saya dan tampaknya ingin menipu saya. Karena itu sebaiknya dia segera datang, sebelum saya main hakim sendiri.
Sejurus kemudian, pak RT datang. Saya minta mereka bercakap-cakap sendiri, sementara saya masuk untuk melanjutkan membaca dan nonton televisi.

Tak lama kemudian pak RT masuk dan membisiki , “Tidak saya lihat perbuatan jahat yang dibawa para tamu ini. Mereka berniat baik. Yaitu agar kamu menikahi wanita itu.”

Saya menggeram.

“Ini memang aneh. Tapi anggap saja ini, keajaiban. Ini datang dari Allah. Sebagaimana takdir dan mati, jodoh datangnya dari Allah. Ingat kata Allah: Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

Hanya Allah yang maha tahu.

Malam itu, sekitar pukul 12.00, saya dinikahkan dengan wanita itu di depan penghulu, dan dua saksi yang dipanggil secara dadakan melalui SMS.

Takdir senapan

Sembari tidur, saya amat-amati wajah wanita yang jadi istri saya itu. Saya dengar bunyi nafasnya. Saya lihat bibirnya ternganga. Tidak jelek, pikir saya. Beginikah wajah malaikat yang suka dibicarakan di mesjid-mesjid dan gereja itu? Hm. Saya tidak tau. Yang pasti, wanita yang jadi istri saya ini tidak punya sayap dan punggungnya rata. Dia juga tidak bercahaya, sebagaimana yang saya tahu dari gambar malaikat dan bidadari. Wujud malaikat mustahil dapat dilihat dengan mata telanjang, karena mata manusia tercipta dari unsur dasar tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk tidak akan mampu melihat wujud dari malaikat yang asalnya terdiri dari cahaya, bahkan Muhammad sendiri pun disebutkan secara jelas hanya mampu melihat wujud asli dari malaikat Jibril sebanyak dua kali. Tapi seandainya benar dia malaikat, lalu siapa dia? Jibril? Mikail? Israfil? Malik? Munkar dan Nankir? Atau Ridwan?
Sekali lagi saya amat-amati wajahnya yang lelap tertidur. Saya lihat bibirnya yang terkatup. Sungguh sulit dipahami bahwa dari bibir mungil itu semua umpatannya terlontar padaku. Segar dalam ingatan bagaimana perilaku perempuan ini terhadap suaminya. Astagfirullah. Rasa benci tiba-tiba menggelucak.

Saya kontan berbalik memunggungi. Bersamaan dengan itu tiba-tiba hidung saya seperti membaui bau yang tak sedap. Jelas, bau itu muncul dari hati busuk wanita yang ada di samping saya.

Serta merta saya teringat sesuatu.

Saya memiliki senapan angin dengan kaliber 4,5 mm untuk berburu yang kutaruh di dinding meja makan. Kalau saya tembak dia sekarang, maka tamat sudah riwayatnya, pikirku. Dengan sendirinya, berakhir pula penderitaan saya selama ini. Sambil berpikir begitu saya melompat dari tempat tidur, dan berlari ke ruang makan, tempat dimana senapan itu diletakkan.

Saya sambar senapan itu dari tempatnya, dinding ruang makan. Beberapa butir proyektil masih bersisa di dalamnya. Saya kokang. Senapan dalam posisi siap tembak. Saya berlari menerobos gorden kamar dengan membawa senapan itu.

“Hei, bangun. Bangun,” kata saya berteriak, meminta wanita itu bangun. Saya berdiri di pinggir tempat tidur, dalam posisi siap menembak.

Mendengar saya berteriak, istri saya terbangun. Dia mengucek mata. Dan karena melihat saya berdiri dengan senapan, dia nampak kaget, dan mencoba duduk.

“Jangan gila. Apa yang akan kau lakukan? Menembakku?” tanyanya.

“Jangan banyak mulut.” Senapan sudah kuacungkan ke arah jantungnya.

Dia menguap sebentar. Lalu bangkit berdiri dan menghampiri saya.

“Jangan gila,” katanya menonjok dadaku, sambil berlalu.

Saya terhuyung. Namun demikian senapan itu terus saya acungkan ke arahnya. Pendeknya, kapan saja, saya sudah siap menembaknya.

“Hei, kau mau ke mana? Aku akan menembakmu. Sumpah.”

Dia menatap saya dengan tenang. Tidak takut sama sekali.

Padahal dia tahu benar, bahwa senapan ini pernah saya gunakan untuk menembak seekor anak kerbau.

“He, kamu tidak takut?” saya menggertak.

“Ada apa sebenarnya?”

Mukanya bego.

“Aku ingin menembakmu.”

“Mana berani kau melakukannya?”

Karena geram, tanpa pikir panjang saya tarik pelatuk. Dan dor…dor...dor... Senapan menyalak beberapa kali. Kaca jendela hancur berkeping-keping.

Dalam sekejap, orang sekampung menerobos masuk ke dalam rumah, dan mendapati saya terduduk dengan wajah kosong dengan senapan terkulai di tangan. Wanita yang menjadi istri saya itu menangis meraung-raung. Dia memeluk saya. Kami berpelukan. Betapa indah hidup ini.***

Serpong, 2010

Dimuat di Sinar Harapan 10 Juli 2010

Jumat, 29 Agustus 2008

Opera Jakarta

Cerpen: Kurniawan Junaedhie

Opera Jakarta

Kedua tangan saya ditelikung. Seutas dadung[1], tali yang biasa untuk mengikat peti jenazah, melingkar kencang di kedua pergelangan tangan saya. Tak berdaya karena itu, saya menggejol-gejolkan kaki. Kedua bajingan itu rupanya sewot. Lutut saya ditebas. Teringat saya ketika dulu masih aktif sebagai pemain sepak bola. Begini rasanya, jika betis digampar lawan. Saya mengerang. Tanpa menghiraukan erangan saya, mereka mengikat kedua pergelangan kaki saya. Jangan tanya wajah dan badan saya, semua sudah bonyok 100 persen.

Aduh mak. Ingin benar saya mengeluarkan segala perbendaharaan sumpah serapah, tapi sia-sia. Sebab beberapa menit kemudian, mereka memberondongkan enam atau tujuh peluru ke tubuh saya. Dua di perut, satu dekat jantung, tiga nyungsep di batok kepala dan sebuah tembus persis di sekitar pinggang. Dan itu sudah cukup membuat saya, tidak saja mampus, tapi merasakan kesakitan luar biasa di dalam kemampusan saya.

Bayangan yang mula-mula muncul saat pelan-pelan nyawa meninggalkan raga adalah wajah-wajah orang-orang terdekat saya. Yang pertama muncul adalah wajah Astuti, istri saya. Oleh nasib, dia akan dikerubuti wartawan atas kematian saya. Mereka akan menghujani 1001 pertanyaan, yang mungkin akan membuat migrainnya kumat, terutama kalau wartawan-wartawan itu bodoh dan menanyakan bagaimana perasaannya. (Tanpa ditanya pun orang tahu Astuti jelas akan berduka ditinggal mati suaminya). Astuti juga akan bengong, kalau ditanya penyebab kematian saya (Mestinya pertanyaan terakhir itu diajukan kepada polisi yang masih sibuk melakukan visum et repertum.) Kecuali wartawan itu pintar, bisa jadi Astuti akan terpancing untuk menguak masa lalu saya dengan dia. Sehingga menghamburlah dari mulutnya semua kenangan manisnya bersama saya, termasuk memamerkan semua foto dokumentasi pribadi seperti foto waktu saya dianugerahi Bintang Mahaputra, Dr.HC. dan foto waktu saya mencium dia di depan Museum Louvre, Paris. (Aha, foto-foto itu rasanya sudah menguning, dan saya hapal guntingan di pinggirnya bergerigi, khas foto jadul.)

Para wartawan itu bukan tidak mungkin juga akan menguber-uber ketiga anak saya: Iwan Permata, Ida Baskoro, dan Tini Himawan demi untuk memperoleh komentar mengenai saya. Dasar bodoh, mereka lupa, tanpa ditanya pun, sudah pasti anak-anak saya akan mengatakan kehebatan ayah mereka. Dan tanpa ditanya, ketiga anak saya juga pasti akan menegas-negaskan bahwa selama hayat ayah tercintanya tidak punya musuh barang seorangpun.

Biar saja, wartawan-wartawan itu rupanya belum tahu, anak-anak saya adalah penganut semboyan: Right or wrong is my country yang suka diplesetkan menjadi right or wrong is my parent. (Dua anak perempuan saya, terang-terangan pemuja ayahnya. Gelas mug keduanya saja bertuliskan, My Father is My Hero).

Lalu, Pak Tumengung sopir saya, juga akan jadi sasaran berikut. Dia difoto, diberi pertanyaan sejenis. (Hahaha, wajahnya akan masuk koran dan layar televisi.)
Mendadak, saya merasa kangen bertemu mereka. Dimana mereka sekarang?
Hari itu, entah kenapa, setelah dua malam tidak pulang ke rumah (nginep di rumah simpanan saya), saya merasa kangen dan mencari Astuti di kamarnya. Saya lihat matanya terbeliak. Surprise.

“Tumben, kamu mencari saya,”

“Emang gak boleh?“

"Sudah sekian lama rasanya….”

“Sudah sekian lama apanya?”

“Kamu tidak nggombali saya.”

Lalu saya peluk dia. Hampir tidak saya lepaskan, kalau dia tidak mengingatkan,
“Ada anak-anak.”

Itu terjadi beberapa hari lalu di suatu pagi ketika saya akan pergi ke kantor. Sekarang saja baru teringat, pagi itu Astuti tidak berada di rumah ketika kedua zombie itu menjemput saya. Adakah hubungannya?

Iwan, anak saya menuturkan, sejak siang ibunya pergi menyetir sendiri mobil BMW 318i-nya keluar rumah. Iwan tidak curiga apa-apa, karena menduga ibunya ada janjian sama saya. Jadi ia cuek saja, terus memandikan American PitBull, anjing kesayangannya.
Ida dan Tini di kampus. Jadi tidak tahu apa-apa. Sibuk kuliah.Pak Tumenggung, sopir, menuturkan hal yang sama, ketika dia melap mobil satunya, majikan wanitanya tahu-tahu mengeluarkan mobil dari garasi, dan pergi sendirian. Dia tidak bertanya kemana (boro-boro bertanya: mau ngapain), takut dibilang cerewet, dan sotoy. [2] Dia hanya menyangka, nyonyanya ada janjian bertemu saya di sebuah tempat.

Jadi tidak ada yang tahu. Kenapa tidak ada yang tahu? Apakah ini merupakan firasat?
Anehnya, saya memang tidak menangkap firasat apa-apa dalam detik-detik penghabisan itu. Tidak ada sehelai rambut saya pun yang jatuh. Tidak ada satu gigi saya pun yang tanggal. Sama sekali tidak bermimpi yang aneh-aneh malam harinya sebagaimana tanda-tanda (katanya) orang yang mau meninggal..

Pokoknya, bussiness as usual. Sehingga saya tidak mencari Astuti atau menyuruh Iwan menghubungi ibunya lewat hand phone atau menyuruh Pak Tumenggung lapor polisi, siapa tahu bannya kempes di jalan atau kecelakaan. Atau memanggil Ida dan Tini untuk berkumpul, misalnya.

****
Rasa panas di bagian perut, dekat jantung, di dalam batok kepala dan di bagian pinggang menambah kenanaran saya. Kematian rupanya begitu sederhana datangnya. Tak ada beda kematian pejabat seperti saya dengan pemerkosa atau bahkan anjing kurap. Bahkan mungkin daun-daun kering yang berserakan di sekitar tubuh saya jauh lebih beruntung nasibnya dibanding saya.

Gerangan dosa apa sampai-sampai saya harus mengalami nasib senahas ini? Apakah ada sejawat yang ngiri karena belakangan nama saya disassuskan masuk bursa menteri? Apakah bukan soal harta, karena belum lama berselang Astuti sempat dikabarkan berhak menerima hak waris tapi dikangkangi adik lelakinya? Apa ada yang tahu saya mempunyai tabungan di Singapura malah di Swiss? Apa karena belakangan saya banyak menarik dana rupiah saya untuk saya belikan dollar? Atau karena korupsi? (Ah, berapa besarnya sih, kalau benar saya korupsi. Teman-teman lain lebih rakus dibanding saya.)
Astaga. Jangan-jangan soal perempuan.

Sampai di sini, tiba-tiba nyali saya ciut dan hati merasa kecut. Jangan-jangan Astuti sudah mencium affair saya dengan seorang wanita. Jangan-jangan justru karena itu, pembunuhan ini dirancang. Jangan-jangan kedua pembunuh itu adalah upahan Astuti. Jangan-jangan, memang Astutilah, actor intellectual-nya. Buktinya, tidak sari-sarinya hari ini dia menghilang entah kemana.

Juga tumben, dia tidak menelepon, atau kirim sms untuk saya mengabarkan dia lagi ke mana atau sedang apa. Miris hati saya tiba-tiba. Apakah dia berada di balik konspirasi ini? Kalau betul, apa motifnya sehingga tega-teganya dia menzolimi saya seperti ini? Apakah dia tahu kenakalan saya di luar rumah? Kalau pun tahu, kenapa dia tidak mengajak saya untuk membahas masalah ini secara baik-baik saja seperti masalah-masalah lainnya? Bukankah dia bisa melarang saya? Apa repotnya kalau bertengkar duluan? Dan kalau memang dia berkeberatan, bukankah saya bisa memutuskan pacar gelap saya itu?

Apa susahnya?

Di tengah gelimang darah yang rasanya mengucur dari delapan penjuru alam itu, saya menyesal. Seharusnya saya merasa beruntung mempunyai isteri seperti Astuti. Orangnya cantik, meski gemuk (waktu saya pacari dulu masih langsing). Dan lebih dari itu, dia adalah wanita legowo dan panjang sabar. Dikenal rajin beribadah, dan suka beramal. Dan termasuk jenis wanita yang tak mau ikut—ikutan urusan lelaki.

Dasar tidak tahu diri. Keunggulan pribadi wanita seperti Astuti itu, saya manipulasi dan sekaligus saya jadikan sebagai kelemahan dia. Kesabaran dan sikap cuek terhadap urusan suami yang tak berujung itu kemudian mengirim saya kepada serangkaian petualangan. Saya lalu berhubungan dengan wanita itu. Mula-mula iseng saja. Saya ajak dia menemani main golf. Karena tampaknya tidak ada penolakan, (karena iseng) saya mulai mengajak dia menemani kalau ada acara seminar di Tugu. (Belakangan malah saya ajak jalan-jalan ke Harrold London berduaan. Edun). Dan tanpa sadar, saya sudah berada di bawah cengkeramannya. Sering saya marah-marah tanpa alasan jika berada di rumah tapi merasa lebih plong kalau bersama dia. (Kalau Astuti peka, dia akan tahu, bahwa itu salah satu dari tanda suami selingkuh.)

Kalau kesadaran muncul, selalu saya katakan pada wanita itu agar dia hengkang saja dari kehidupan saya, karena saya sudah punya isteri, dan tiga anak, yang juga mungkin sebentar lagi nikah. Apakah dia tidak lebih baik mencari peruntungan lain dengan lelaki lain yang sebaya umurnya? Begitu kata saya. Tapi wanita sialan itu tampaknya tidak perduli. Bahkan ia tidak menyembunyikan kemesraannya jika saya ajak di tempat umum, dan makan-makan di hotel-hotel berbintang. Anehnya, saya ngikut saja. Seolah tetap ridho diporot habis-habisan olehnya. Apakah saya sudah dipelet?
Sampai di situ saya ternganga. Jangan-jangan pacar gelap saya itu salah seorang anggota sindikat narkotika internasional. Jangan-jangan dia agen rahasia dari CIA, KGB, GRU, Mossad atau intel dari negara asing lainnya yang ditugaskan untuk mengorek keterangan-keterangan rahasia dari saya. Jangan-jangan. Sialan. Jadi, beginilah akhir karir saya, berakhir tuntas karena terpedaya asmara.

Bau anyir darah yang menyergah hidung saya, menyadarkan bahwa mayat saya masih belum dikebumikan. Padahal saya sudah rela, dikuburkan dengan cara apa saja, asal tidak dibiarkan mayat saya digerogoti anjing. Heran, kenapa sampai lama saya dibiarkan terlentang di sini?

“Wajah Bapak ini kayaknya suka nampang di televisi,” kata pembunuh satu.

Pembunuh dua tergoda ingin tahu, lalu dia menatap wajah saya.

“Hm… ya, kayaknya dia selebritis,” terdengar sayup-sayup suara meresap lewat telinga saya yang pecah. Rupanya saya jadi tontonan. Setelah itu, saya lihat mereka kasak-kusuk. Rupanya, ada sesuatu yang dicarinya. Benar juga. Setelah sesuatu yang dicarinya ketemu, tergopoh-gopoh mereka mendatangi mayat saya. Seorang membawa selembar karung, seorang lagi ngerjain saya lagi. Badan saya, mereka lipat-lipat seperti piyama, lalu mereka masukkan ke dalam karung itu.

Lalu saya merintih yang tentu saja tidak didengar sedikitpun oleh para bajingan itu. Lalu saya rasakan mereka mengikat ujung karung itu sambil ngomel-ngomel. (Rupanya ikatannya masih dianggap kurang kuat, padahal talinya sudah habis. Haha…… Ingin saya tertawa. Tolol benar kedua orang ini. Pasti para pembunuh pemula. Apa dikiranya saya akan lari? Kan saya sudah jadi mayat? Atau takut saya hidup lagi? Emangnya saya bangsa jin genderuwo? Haha….)

“Apa kata saya,” tiba-tiba saya dengar sebuah suara lagi. “Kalau orang banyak dosanya memang selalu bikin repot. Contohnya Bapak ini. Sudah mati pun masih bikin repot kita.”

“Dasar PKI!”

Keringat seakan-akan langsung membasahi badan saya yang belum sempurna jadi jenazah itu. Tahu-tahu badan saya terangkat dan terayun. Gedubrak! Saya terpelanting dan jatuh nyungsep di papan kayu yang penuh jerami. Belum sadar apa yang terjadi, saya mendengar derum mesin melaju. Sadarlah saya, sekarang saya berada di bak sebuah truk yang sedang melejit ke sebuah tempat.***

Gading Serpong, 2009


[1] Tali berukuran besar
[2] Sotoy: Sok tahu, bahasa gaul


Dimuat Sinar Harapan, 23 Mei 2009