Jumat, 29 Agustus 2008

Opera Jakarta

Cerpen: Kurniawan Junaedhie

Opera Jakarta

Kedua tangan saya ditelikung. Seutas dadung[1], tali yang biasa untuk mengikat peti jenazah, melingkar kencang di kedua pergelangan tangan saya. Tak berdaya karena itu, saya menggejol-gejolkan kaki. Kedua bajingan itu rupanya sewot. Lutut saya ditebas. Teringat saya ketika dulu masih aktif sebagai pemain sepak bola. Begini rasanya, jika betis digampar lawan. Saya mengerang. Tanpa menghiraukan erangan saya, mereka mengikat kedua pergelangan kaki saya. Jangan tanya wajah dan badan saya, semua sudah bonyok 100 persen.

Aduh mak. Ingin benar saya mengeluarkan segala perbendaharaan sumpah serapah, tapi sia-sia. Sebab beberapa menit kemudian, mereka memberondongkan enam atau tujuh peluru ke tubuh saya. Dua di perut, satu dekat jantung, tiga nyungsep di batok kepala dan sebuah tembus persis di sekitar pinggang. Dan itu sudah cukup membuat saya, tidak saja mampus, tapi merasakan kesakitan luar biasa di dalam kemampusan saya.

Bayangan yang mula-mula muncul saat pelan-pelan nyawa meninggalkan raga adalah wajah-wajah orang-orang terdekat saya. Yang pertama muncul adalah wajah Astuti, istri saya. Oleh nasib, dia akan dikerubuti wartawan atas kematian saya. Mereka akan menghujani 1001 pertanyaan, yang mungkin akan membuat migrainnya kumat, terutama kalau wartawan-wartawan itu bodoh dan menanyakan bagaimana perasaannya. (Tanpa ditanya pun orang tahu Astuti jelas akan berduka ditinggal mati suaminya). Astuti juga akan bengong, kalau ditanya penyebab kematian saya (Mestinya pertanyaan terakhir itu diajukan kepada polisi yang masih sibuk melakukan visum et repertum.) Kecuali wartawan itu pintar, bisa jadi Astuti akan terpancing untuk menguak masa lalu saya dengan dia. Sehingga menghamburlah dari mulutnya semua kenangan manisnya bersama saya, termasuk memamerkan semua foto dokumentasi pribadi seperti foto waktu saya dianugerahi Bintang Mahaputra, Dr.HC. dan foto waktu saya mencium dia di depan Museum Louvre, Paris. (Aha, foto-foto itu rasanya sudah menguning, dan saya hapal guntingan di pinggirnya bergerigi, khas foto jadul.)

Para wartawan itu bukan tidak mungkin juga akan menguber-uber ketiga anak saya: Iwan Permata, Ida Baskoro, dan Tini Himawan demi untuk memperoleh komentar mengenai saya. Dasar bodoh, mereka lupa, tanpa ditanya pun, sudah pasti anak-anak saya akan mengatakan kehebatan ayah mereka. Dan tanpa ditanya, ketiga anak saya juga pasti akan menegas-negaskan bahwa selama hayat ayah tercintanya tidak punya musuh barang seorangpun.

Biar saja, wartawan-wartawan itu rupanya belum tahu, anak-anak saya adalah penganut semboyan: Right or wrong is my country yang suka diplesetkan menjadi right or wrong is my parent. (Dua anak perempuan saya, terang-terangan pemuja ayahnya. Gelas mug keduanya saja bertuliskan, My Father is My Hero).

Lalu, Pak Tumengung sopir saya, juga akan jadi sasaran berikut. Dia difoto, diberi pertanyaan sejenis. (Hahaha, wajahnya akan masuk koran dan layar televisi.)
Mendadak, saya merasa kangen bertemu mereka. Dimana mereka sekarang?
Hari itu, entah kenapa, setelah dua malam tidak pulang ke rumah (nginep di rumah simpanan saya), saya merasa kangen dan mencari Astuti di kamarnya. Saya lihat matanya terbeliak. Surprise.

“Tumben, kamu mencari saya,”

“Emang gak boleh?“

"Sudah sekian lama rasanya….”

“Sudah sekian lama apanya?”

“Kamu tidak nggombali saya.”

Lalu saya peluk dia. Hampir tidak saya lepaskan, kalau dia tidak mengingatkan,
“Ada anak-anak.”

Itu terjadi beberapa hari lalu di suatu pagi ketika saya akan pergi ke kantor. Sekarang saja baru teringat, pagi itu Astuti tidak berada di rumah ketika kedua zombie itu menjemput saya. Adakah hubungannya?

Iwan, anak saya menuturkan, sejak siang ibunya pergi menyetir sendiri mobil BMW 318i-nya keluar rumah. Iwan tidak curiga apa-apa, karena menduga ibunya ada janjian sama saya. Jadi ia cuek saja, terus memandikan American PitBull, anjing kesayangannya.
Ida dan Tini di kampus. Jadi tidak tahu apa-apa. Sibuk kuliah.Pak Tumenggung, sopir, menuturkan hal yang sama, ketika dia melap mobil satunya, majikan wanitanya tahu-tahu mengeluarkan mobil dari garasi, dan pergi sendirian. Dia tidak bertanya kemana (boro-boro bertanya: mau ngapain), takut dibilang cerewet, dan sotoy. [2] Dia hanya menyangka, nyonyanya ada janjian bertemu saya di sebuah tempat.

Jadi tidak ada yang tahu. Kenapa tidak ada yang tahu? Apakah ini merupakan firasat?
Anehnya, saya memang tidak menangkap firasat apa-apa dalam detik-detik penghabisan itu. Tidak ada sehelai rambut saya pun yang jatuh. Tidak ada satu gigi saya pun yang tanggal. Sama sekali tidak bermimpi yang aneh-aneh malam harinya sebagaimana tanda-tanda (katanya) orang yang mau meninggal..

Pokoknya, bussiness as usual. Sehingga saya tidak mencari Astuti atau menyuruh Iwan menghubungi ibunya lewat hand phone atau menyuruh Pak Tumenggung lapor polisi, siapa tahu bannya kempes di jalan atau kecelakaan. Atau memanggil Ida dan Tini untuk berkumpul, misalnya.

****
Rasa panas di bagian perut, dekat jantung, di dalam batok kepala dan di bagian pinggang menambah kenanaran saya. Kematian rupanya begitu sederhana datangnya. Tak ada beda kematian pejabat seperti saya dengan pemerkosa atau bahkan anjing kurap. Bahkan mungkin daun-daun kering yang berserakan di sekitar tubuh saya jauh lebih beruntung nasibnya dibanding saya.

Gerangan dosa apa sampai-sampai saya harus mengalami nasib senahas ini? Apakah ada sejawat yang ngiri karena belakangan nama saya disassuskan masuk bursa menteri? Apakah bukan soal harta, karena belum lama berselang Astuti sempat dikabarkan berhak menerima hak waris tapi dikangkangi adik lelakinya? Apa ada yang tahu saya mempunyai tabungan di Singapura malah di Swiss? Apa karena belakangan saya banyak menarik dana rupiah saya untuk saya belikan dollar? Atau karena korupsi? (Ah, berapa besarnya sih, kalau benar saya korupsi. Teman-teman lain lebih rakus dibanding saya.)
Astaga. Jangan-jangan soal perempuan.

Sampai di sini, tiba-tiba nyali saya ciut dan hati merasa kecut. Jangan-jangan Astuti sudah mencium affair saya dengan seorang wanita. Jangan-jangan justru karena itu, pembunuhan ini dirancang. Jangan-jangan kedua pembunuh itu adalah upahan Astuti. Jangan-jangan, memang Astutilah, actor intellectual-nya. Buktinya, tidak sari-sarinya hari ini dia menghilang entah kemana.

Juga tumben, dia tidak menelepon, atau kirim sms untuk saya mengabarkan dia lagi ke mana atau sedang apa. Miris hati saya tiba-tiba. Apakah dia berada di balik konspirasi ini? Kalau betul, apa motifnya sehingga tega-teganya dia menzolimi saya seperti ini? Apakah dia tahu kenakalan saya di luar rumah? Kalau pun tahu, kenapa dia tidak mengajak saya untuk membahas masalah ini secara baik-baik saja seperti masalah-masalah lainnya? Bukankah dia bisa melarang saya? Apa repotnya kalau bertengkar duluan? Dan kalau memang dia berkeberatan, bukankah saya bisa memutuskan pacar gelap saya itu?

Apa susahnya?

Di tengah gelimang darah yang rasanya mengucur dari delapan penjuru alam itu, saya menyesal. Seharusnya saya merasa beruntung mempunyai isteri seperti Astuti. Orangnya cantik, meski gemuk (waktu saya pacari dulu masih langsing). Dan lebih dari itu, dia adalah wanita legowo dan panjang sabar. Dikenal rajin beribadah, dan suka beramal. Dan termasuk jenis wanita yang tak mau ikut—ikutan urusan lelaki.

Dasar tidak tahu diri. Keunggulan pribadi wanita seperti Astuti itu, saya manipulasi dan sekaligus saya jadikan sebagai kelemahan dia. Kesabaran dan sikap cuek terhadap urusan suami yang tak berujung itu kemudian mengirim saya kepada serangkaian petualangan. Saya lalu berhubungan dengan wanita itu. Mula-mula iseng saja. Saya ajak dia menemani main golf. Karena tampaknya tidak ada penolakan, (karena iseng) saya mulai mengajak dia menemani kalau ada acara seminar di Tugu. (Belakangan malah saya ajak jalan-jalan ke Harrold London berduaan. Edun). Dan tanpa sadar, saya sudah berada di bawah cengkeramannya. Sering saya marah-marah tanpa alasan jika berada di rumah tapi merasa lebih plong kalau bersama dia. (Kalau Astuti peka, dia akan tahu, bahwa itu salah satu dari tanda suami selingkuh.)

Kalau kesadaran muncul, selalu saya katakan pada wanita itu agar dia hengkang saja dari kehidupan saya, karena saya sudah punya isteri, dan tiga anak, yang juga mungkin sebentar lagi nikah. Apakah dia tidak lebih baik mencari peruntungan lain dengan lelaki lain yang sebaya umurnya? Begitu kata saya. Tapi wanita sialan itu tampaknya tidak perduli. Bahkan ia tidak menyembunyikan kemesraannya jika saya ajak di tempat umum, dan makan-makan di hotel-hotel berbintang. Anehnya, saya ngikut saja. Seolah tetap ridho diporot habis-habisan olehnya. Apakah saya sudah dipelet?
Sampai di situ saya ternganga. Jangan-jangan pacar gelap saya itu salah seorang anggota sindikat narkotika internasional. Jangan-jangan dia agen rahasia dari CIA, KGB, GRU, Mossad atau intel dari negara asing lainnya yang ditugaskan untuk mengorek keterangan-keterangan rahasia dari saya. Jangan-jangan. Sialan. Jadi, beginilah akhir karir saya, berakhir tuntas karena terpedaya asmara.

Bau anyir darah yang menyergah hidung saya, menyadarkan bahwa mayat saya masih belum dikebumikan. Padahal saya sudah rela, dikuburkan dengan cara apa saja, asal tidak dibiarkan mayat saya digerogoti anjing. Heran, kenapa sampai lama saya dibiarkan terlentang di sini?

“Wajah Bapak ini kayaknya suka nampang di televisi,” kata pembunuh satu.

Pembunuh dua tergoda ingin tahu, lalu dia menatap wajah saya.

“Hm… ya, kayaknya dia selebritis,” terdengar sayup-sayup suara meresap lewat telinga saya yang pecah. Rupanya saya jadi tontonan. Setelah itu, saya lihat mereka kasak-kusuk. Rupanya, ada sesuatu yang dicarinya. Benar juga. Setelah sesuatu yang dicarinya ketemu, tergopoh-gopoh mereka mendatangi mayat saya. Seorang membawa selembar karung, seorang lagi ngerjain saya lagi. Badan saya, mereka lipat-lipat seperti piyama, lalu mereka masukkan ke dalam karung itu.

Lalu saya merintih yang tentu saja tidak didengar sedikitpun oleh para bajingan itu. Lalu saya rasakan mereka mengikat ujung karung itu sambil ngomel-ngomel. (Rupanya ikatannya masih dianggap kurang kuat, padahal talinya sudah habis. Haha…… Ingin saya tertawa. Tolol benar kedua orang ini. Pasti para pembunuh pemula. Apa dikiranya saya akan lari? Kan saya sudah jadi mayat? Atau takut saya hidup lagi? Emangnya saya bangsa jin genderuwo? Haha….)

“Apa kata saya,” tiba-tiba saya dengar sebuah suara lagi. “Kalau orang banyak dosanya memang selalu bikin repot. Contohnya Bapak ini. Sudah mati pun masih bikin repot kita.”

“Dasar PKI!”

Keringat seakan-akan langsung membasahi badan saya yang belum sempurna jadi jenazah itu. Tahu-tahu badan saya terangkat dan terayun. Gedubrak! Saya terpelanting dan jatuh nyungsep di papan kayu yang penuh jerami. Belum sadar apa yang terjadi, saya mendengar derum mesin melaju. Sadarlah saya, sekarang saya berada di bak sebuah truk yang sedang melejit ke sebuah tempat.***

Gading Serpong, 2009


[1] Tali berukuran besar
[2] Sotoy: Sok tahu, bahasa gaul


Dimuat Sinar Harapan, 23 Mei 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar