Tampilkan postingan dengan label Opera Sabun Colek. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opera Sabun Colek. Tampilkan semua postingan

Minggu, 07 November 2010

Pengarang Yang Disandera Tokoh Cerpennya

Cerpen: Kurniawan Junaedhie


Ruangan itu dingin temaram. Baunya aneh, mengesankan bahwa rumah itu sudah lama tidak berpenghuni. Hanya ada terang dari tungku pembakaran yang merah menyala berkobar-kobar. Mengingat suhu yang dingin, ditambah ada tungku pembakaran, aku sempat berpikir, apakah aku sedang berada di sebuah rumah di sebuah negeri semacam Amsterdam, Oostende, Paris, Stuttgart, Brussels, atau Manhattan, New York? Nama-nama kota yang sesungguhnya hanya kutahu dari sajak-sajak para penyair Indonesia. Anehnya, aku juga merasa seperti berada dalam sebuah tempat di mana tinggal makhluk-makhluk aneh seperti yang digambarkan Lewis Carrol dalam Alice in Wonderland.

Begitulah. Dalam cerita ini, dikisahkan aku telah dibawa ke rumah itu oleh tokoh perempuan dalam salah satu cerpenku. Padahal beberapa menit lalu, aku masih asyik bekerja di ruang kerjaku. Tiba-tiba perempuan itu muncul, mengerdipkan mata, dan --seperti dihipnotis,-- aku patuh saja pada perintahnya untuk membuka garasi, menyalakan mobil, menjalankannya, menutup pintu garasi, dan meninggalkan rumah. Padahal aku yakin, saat itu aku sedang tidak bermimpi sambil berjalan atau noctabulism . Karena kalau aku mengalami somnambulism , seharusnya ada yang melihatku, dan mencegahku. Nyatanya tidak. Jadi ini sebuah cerita yang sungguh mustahil, absurd dan tidak masuk akal sama sekali seperti cerita-cerita rekaan Kafka.

Di dalam ruangan itu juga ada lampu gantung yang bergoyang-goyang. Hanya sinarnya lemah, kalah oleh benderang tungku perapian. Sehingga sempat pula aku membayangkan bahwa tempat ini semacam Kastil Neuschwanstein, yang letaknya di bukit dekat Hohenschwangau di selatan Bavaria, Jerman. Atau paling tidak aku merasa sedang berada di sebuah rumah bergaya gotik (kalau istilah ini benar). Ini juga mengherankan. Aku tidak pernah membuat cerita dengan setting seperti ini.

Sebagai pengarang, aku dikenal tidak pandai melukiskan rumah-rumah yang sophisticated, karena aku bukan dari kalangan itu. Jadi itulah nasibku. Akibat ketidakbecusanku menulis cerita-cerita glamor (seperti novel pop, novel metro pop), sains fiksi dan sejenisnya, maka aku hanya bisa menulis cerita tentang cinta yang abstrak dan tentang perempuan, dua hal yang siapa pun bisa melakukannya, apalagi karena semua itu dengan setting kemiskinan, sesuai kemampuanku.

Aku jelas bukan pengarang sekaliber Budi Darma yang bisa menulis Orang-Orang Blomingtoon, atau Umar Kayam yang menulis Seribu Kunang-Kunang di Manhattan, atau Sitor Situmorangyang menulis Paris La Nuit. Aku bukan jenis pengarang yang bisa menulis tentang salju, musim gugur, atau karpet Parsi seperti Goenawan Mohamad. Aku sendiri sebetulnya tak yakin benar, apakah kalau berada di luar negeri maka ilham akan bermunculan dan kata-kata berhamburan seperti salju? Aku tidak berani mengira-ira. Yang jelas, aku hanya bisa memeras-meras daya khayalku agar bisa menuliskan kebohongan menjadi kebenaran. Hanya itu tugasku, dan inilah hasilnya.

****

Bunyi sepatu yang dipakai perempuan itu menyadarkanku bahwa saat itu aku tidak sendirian. Dibantu tempias cahaya dari perapian dan lampu gantung, samar-samar aku menangkap sosoknya. Perempuan itu hadir persis seperti tokoh yang kugambarkan dalam salah satu cerpenku: tinggi semampai, cantik, tubuhnya padat, dadanya membusung, berambut panjang dan umurnya 37 tahun. Mirip Ken Dedes.

Karena dia diam, dan aku tak sabar menunggu, maka akulah yang memulai percakapan.
“Apa yang akan kamu katakan sehingga membawaku ke tempat ini?” tanyaku.

Aku menunggu jawabannya. Tapi perempuan itu tidak juga menjawab. Jadi aku meneruskan,
“Kalau ini menyangkut ceritaku yang membawa-bawa dirimu, katakan saja terus terang, biar aku mengerti. Percayalah, itu sekadar bualanku. Bualan itu pun tidak bermaksud untuk menjelek-jelekan kamu. Saat itu aku sedang suntuk di depan komputer, lalu karena tidak menemu kata untuk menulis sajak, maka aku coba mereka-reka cerita. Itulah awalnya,” sambungku.

Lagi-lagi, perempuan itu tak bergeming, diam seperti patung. Itu membuatku dalam posisi yang sangat inferior. Aku hanya melihat dia menggeser posisinya sehingga sekarang berdiri di depan perapian. Oleh cahaya dari perapian, tubuh perempuan yang dibalut gaun panjang transparan itu tentu saja menghasilkan sebuah siluet yang sangat indah. Mungkin seperti lukisan S Sudjojono, atau Hardi. Pada saat ini aku sesungguhnya sedang menyesali, kenapa sebagai pengarang aku tidak mau belajar di luar masalah-masalah kepengarangan, seperti, membuat film dokumenter, geografi, teknologi, astronomi……? Mengapa hari-hari senggangku hanya kuhabiskan untuk nongkrong-nongkrong di kafe, sekadar membahas daun gugur, kepak burung, ricik air? Mestinya waktu yang banyak itu juga bisa kugunakan untuk bisa belajar berdebat, atau atau membaca buku-buku agar khasanah sastraku bertambah luas.

Amboi. Perempuan itu sekarang beranjak. Ia duduk di kursi bar. Kakinya mengangkang. Aku lihat betis dan pahanya yang seperti lilin. Benar kan? Aku merasa sebagai Ken Arok yang sedang terpana melihat betis Ken Dedes. Perempuan itu tetap menatapku sekaligus membuatku kikuk. Aku ingat peristiwa di hotel itu. Dia membugil di depanku, menyodorkan payudaranya yang sintal. Saat itu aku sedang mengambil air minum, tiba-tiba dia meraih pundakku, menjatuhkan tubuhku ke ranjang, dan melucutinya. Untuk sejurus lamanya dia bergerak-gerak di atas tubuhku: pelan, kemudian cepat, selanjutnya cepat sekali. Hm. Kalau orang hanya melihat mimiknya yang tidak berdosa, mana mungkin orang percaya pada kenyataan itu? Pasti dikiranya aku yang membual. Dasar pengarang.

Perempuan itu tetap tak bergeming. Dia masih duduk dengan posisi seperti tadi: mengangkang. Aku lihat paha dan betisnya yang seperti lilin. Aku sungguh-sungguh merasa seperti Ken Arok melihat betis Ken Dedes.

Kudengar suara hujan dan halilintar menyambar-nyambar. Di tengah kegelapan, di antara cahaya api yang muncul berkobar dari tungku perapian, kulihat juga ada cahaya mengerjap yang ditimbulkan oleh cahaya kilat. Tahulah aku bahwa saat itu hujan turun dengan lebat di luar rumah. Bahkan rumah itu pun seperti terpengaruh, terbukti lampu gantungnya ikut bergoyang. Saat itu juga aku merasa limbung, seperti lampu yang dipermainkan angin.

“Cobalah berempati sedikit, seandainya kamu berada di pihakku. Bukankah cukup fair, kalau aku hanya mengambil sedikit saja dari realitas, mungkin 10 sampai 25 persen; selebihnya hanya bualanku belaka. Bukankah itu fair?” kataku menjelaskan. “Lagi pula kamu toh tahu, aku bukan pengarang yang dengan gampang membuat fakta menjadi fiksi. Tugasku hanyalah membuat sebuah bualan menjadi sebuah kenyataan tanpa harus membuat pembaca merasa dibohongi, risi, dihina intelektualitasnya, dibodohi, atau direndahkan. Lihat. Masih banyak pengarang yang mengambil hampir seluruh bagian dan peristiwa dari dirinya sendiri, dan malah mengubahnya seolah-olah menjadi fiksi. Mereka menjadi tokoh dalam fiksinya. Kenapa kamu timpakan kesalahan, hanya padaku? Ini sungguh tidak adil,” aku ingin memekik.

Sekelebat aku ingat kata-kataku dalam cerpen itu:

Dia duduk seenaknya di samping saya menyetir. Dia menyilangkan kaki bahkan, mengangkat kakinya di dashboard seperti orang slebor sehingga roknya tersingkap. Dengan sendirinya, diterpa lampu-lampu jalanan, dengan sangat jelas saya bisa melihat celana dalamnya. Saya pikir, dia mabuk, kebanyakan alkohol. Tapi saya pura-pura tidak tahu. Perempuan memang sering tak terduga.

“Oh, kalau itu masalahnya, sesungguhnya karena aku hanya ingin melukiskan kepada pembaca betapa sensualnya dirimu. Tidak lebih tidak kurang. Aku merasa punya hak untuk mengatakan bahwa kamu memang melakukan hal itu,” kataku terbata. “Dan cobalah kamu ingat-ingat lagi. Tak sedikitpun aku menceritakan adegan yang lebih dari itu. Apalagi dalam kisah itu aku melukiskan diriku sebagai seorang pria budiman. Apakah aku salah?”

Aku menekuk pandangan.

Perempuan dalam cerpen itu sekarang turun dari kursi barnya. Sekilas tampak belah dadanya. Bersamaan dengan adanya kilat yang disusul halilintar, lagi-lagi muncul running text yang menampilkan bagian kalimat dalam cerpenku itu:

Begitu pelayan pembawa air minum meninggalkan kami, dia sudah memeluk saya. Saya agak kaget. Terkesiap. Dia menciumi saya. Mencopoti pakaian saya sambil juga mencopoti gaunnya sehingga kami berpelukan dalam keadaan telanjang.

“ Jadi kamu mau menyanggahnya?”

Aku lihat reaksinya. Wajahnya dingin, seperti patung lilin. Dia sekarang melangkah memutariku. Aku ikut memutar pandangan mengikuti gerakannya. Terdengar tik-tok sepatunya yang berhak tinggi di antara renyai hujan.

“Atau kamu malah ingin menolak semua fakta itu dengan mengatakan bahwa tulisanku mencemarkan nama baikmu?” Aku menangis. Terus terang, aku menangis mengingat peristiwa di hotel itu. Alangkah sialnya, kenapa pada hari itu aku harus menemui perempuan itu. Padahal dia datang diantar oleh suaminya yang hanya menurunkannya di teras hotel untuk selanjutnya menggeblas pergi. Saat itu juga aku sempat bertanya, kenapa suaminya tidak ikut turun supaya kita bisa berkenalan? Tapi perempuan itu hanya tersenyum, dan mengatakan dia akan langsung pulang, karena harus menjaga anak-anak mereka yang sedang belajar di rumah. Saat itu bahkan dia menampakkan wajah gembira, dan mengatakan bahwa keadaan itu lebih baik karena kita bisa bebas. ‘Bebas untuk apa?’ Saat itu aku sudah ingin berteriak. Tapi, itulah salahku, aku malah ikut saja ajakannya untuk ke kamar hotel itu.

Aku sekarang menangis.

“Aku ingin minta maaf pada suamimu,” teriakku pada perempuan itu.

Suasana hening itu tiba-tiba pecah oleh suara tokek di balik lemari. Aku lihat perempuan itu masuk ke dalam gelap. Hanya kulihat punggungnya yang mulus sekelebatan karena pantulan api pembakaran dari tungku pembakaran. Lampu gantung tetap terayun dengan sinar lampu yang lemah. Tubuhku mendadak jadi dingin dan lapar. Aku merasa dalam sebuah ketidakpastian. Linglung tak berdaya. Bersamaan dengan itu, aku juga mulai putus asa.***

BSD/ Serpong, 2010

Catatan:

[1] Noctambulism: Berjalan dalam tidur tergolong gangguan dalam kelompok parasomnia. Penderita biasanya terjaga saat tidur atau masih terjaga namun berada dalam kondisi seperti tidur (sleeping state).

[2] Somnambulism: Gangguan yang membuat orang berjalan dalam keadaan tidur.


Kurniawan Junaedhie, tinggal di pinggiran Jakarta. Menulis puisi dan cerpen di media massa. Buku cerpennya: “Tukang Bunga & Burung Gagak” (2010). Menerbitkan buku kumpulan Puisi “Perempuan dalam Secangkir Kopi” (2010), dan ikut dalam antologi 15 penyair Indonesia “Senandoeng Radja Ketjl” (2010).

Dimuat di Jurnal Nasional 7 November 2010

http://www.jurnalnasional.com/show/newspaper?rubrik=Puisi&berita=148221&pagecomment=1

Senin, 18 Oktober 2010

Bekas Pengarang atawa Pengarang Bekas

Cerita pendek: Kurniawan Junaedhie


Hamid Hamaluddin –biasa dipanggil HH-- meradang, ketika tahu naskahnya dikembalikan redaksi suratkabar. Kalau sekadar cinta ditolak, mah, biasa. Tapi soal ini? Lihat saja. Mukanya merah padam. Giginya gemeletuk. Darahnya mendidih. Terdengar suaranya menggeram-geram seperti singa yang mencabik-cabik mangsanya. Naskah yang dikembalikan redaksi itu disobek-sobeknya, lalu dicampakkan ke lantai dan diinjak-injak. Itulah kenanganku terhadap HH berbelas tahun lalu.

Sebetulnya tak jelek-jelek amat reputasi HH. Pertemuan kami terakhir adalah saat kami berdua membaca puisi di Teater Arena TIM, atas undangan Dewan Kesenian Jakarta beberapa belas tahun lalu. Beberapa bulan setelah itu, kudengar dia menikah dengan seorang wanita bule. Dan sejak itu, kudengar dia ikut istrinya pindah ke Belanda. Sesekali kubaca sajak-sajaknya dimuat di majalah terkemuka, dan di beberapa suratkabar di Jakarta. Tapi selebihnya, kawanku HH ini seperti hilang digulung ombak. Namanya tak lagi terdengar. Tak banyak pengarang masa kini yang kenal namanya, kecuali teman-teman seangkatannya seperti aku.

Tidak kusangka, ketika aku jalan-jalan di sebuah mal di Jakarta, aku bertemu dia. Tadinya aku pangling. Kukira Syafrial Airifin, penyair asal Minang yang biasa nongkrong di TIM. Tapi dari caranya tertawa, seri wajahnya tak mungkin kulupakan. Bedanya, dia makin bersih, gemuk, dan rambutnya semakin putih. Dan waktu kutanya apa pekerjaannya kini, ---alamak,--- rupanya dia sekarang menjadi anggota parlemen.

Setelah bertukar nomor handphone, kami berpisah. Beberapa hari kemudian, ketika dia membaca karanganku di sebuah media, dia menelponku. Kami janjian bertemu. Awalnya aku minta ketemu di TIM saja. Tapi di luar dugaan, dia tidak mau.

“Jangan bawa aku bernostalgia,” katanya sengit. “Kita cari suasana lain sajalah,” katanya.

HH memilih singgah di Plaza Semanggi, dan masuk ke sebuah kafe. Dia pesan Blueberry Juice dan aku dengan sigap pesan kopi hitam panas. Karena kami sama-sama belum makan siang, dia pesan Tomodachi Beef Steak dan aku (setelah melihat-lihat daftar menu dengan susah payah) memilih: sop buntut saja.

Sambil makan, kami bercerita tentang macam-macam hal termasuk, nasib kepengarangannya. Aku bertanya, kenapa karya-karyanya sekarang tak pernah kubaca lagi di media massa, dan apakah dia masih berkarya mengingat puisi-puisinya seingatku sangat bagus dan dipuji banyak kalangan.

“Aku sudah menanggalkan mimpi menjadi pengarang, Bung.” HH tertawa.

“Bukankah namamu sudah dikenal oleh mereka?” tanyaku sambil menuang gula ke kopi tubruk yang di kafe itu dibilang sebagai hot black coffee.

“Terkenal buat siapa?” sembur HH, sambil meludahkan ampas kopi di pisin.

“Jangan sudzon, kawan. Cobalah kau kirim lagi.”

“Pokoknya aku sudah tak mau menulis, Bung,” katanya. “Aku sudah berhenti dari dunia kepengarangan, tepatnya sejak dunia kepengarangan kita dipenuhi kolusi dan nepotisme,” katanya dengan nada masgul. “Kau tahu kenapa Buku Kumpulan Cerpen Si Polan diterbitkan oleh Departemen Kehutanan? Kenapa puisi-puisi Si Pailul bisa tampil di Suara Hariana? Kenapa cerpen-cerpen Si Polan bisa dimuat di koran Rompas? Dan kenapa Goenawan Suwigno mau menulis kata pengantar di buku kumpulan cerpen Badu Hasan?”

Aku menggeleng.

“Ah naif amat kau ini. Ya, tentu saja, karena mereka sudah saling berkenalan. Ada yang berkenalan karena satu gang dalam sebuah organisasi, ada yang karena sering bertemu dalam acara-acara sastra, ada yang sering bersurat-suratan dan macam-macam. Sedang aku dan para penulis pemula itu siapa yang kenal? Para pembuat keputusan di media itu tak tahu namaku. Kami tak pernah ngobrol dengan mereka. Aku tak suka menjawab email, tak ikut Facebook atau Twitter-an.”

“Bukankan mereka punya nama-nama besar karena karangan mereka memang hebat?”

“Bung,” kata dia lagi seperti menyesali kenapa aku harus menjawab. “Sebetulnya aku ingin mengungkapkan rahasia besar yang selama ini kupendam kepadamu.”

“Oya?” tanyaku ingin tahu.

“Sedikit-dikitnya ada lima jenis pengarang di Indonesia,” katanya sembari membuka telapak tangan kanannya dan mengeluarkan ibu jarinya seperti mengabsen.

“Yang pertama adalah jenis pengarang populer. Cirinya, karya mereka hampir tiap minggu dimuat di media massa, dan secara periodik menerbitkan buku baru. Kenapa mereka bisa begitu? Mereka adalah jenis yang menurut Seno Gumira Adjidarma disebut ‘manusia pergaulan’. Mereka kenal dengan hampir semua redaktur sastra, dengan cara apa saja, hanya agar karyanya mudah dimuat. Dalam kasus lebih ekstrem, pengarang oportunistik seperti ini pintar menjilat, menyogok redaktur, atau kalau perlu mengupah juri-juri lomba agar karyanya dimenangkan dan dinobatkan sebagai sastrawan besar. Sayangnya, karya-karya itu ditulis dengan semangat kejar tayang, sehingga mereka menulis secara ngawur, tergesa-gesa, terkantuk-kantuk, tanpa permenungan sehingga karyanya tidak memiliki kedalaman sehingga dunia tidak bergeming. Semboyan mereka, asal eksis dan narsis.”

Aku ternganga. Tak percaya aku melihat HH berkata seperti itu. Padahal rasanya, belum lama dia menjadi seniman militant di TIM. Ya beberapa puluh tahun lalu, kami memang seperti berumah di TIM. Bahkan rasanya segala sudut di pekarangan TIM itu tahu betul seluk beluk kami, siapa kami. HH, misalnya, setiap hari berdeklamasi di halaman belakang gedung IKJ (waktu itu LKPJ) untuk, katanya, mengasah perasaan dan menghaluskan budi bahasanya. Setiap hari kami juga nongkrong di warung-warung di pinggir Jalan Kalipasir. Kagum melihat Sutardji Calzoum Bahri. Dan saat itu HH pengen benar mengalahkan dia. Karena menurut pendapatnya pada waktu itu, semakin eksentrik kita maka semakin orang kagum pada kita. HH sepengetahuanku waktu itu juga kagum pada orang-orang yang suka mendebat dalam acara diskusi seperti Kamsudi Merdeka. Karena menurut hemat dia, orang yang pandai mendebat, akan dihargai orang.

“Dan sekarang pengarang jenis kedua. Mereka adalah kelompok pengarang yang tidak pernah melakukan apa-apa. Tak punya karya, tapi berpikir pun tidak. Tak ada buah pikirannya yang mewarnai khasanah sastra kita. Tapi menariknya, pengarang jenis ini tampil di mana-mana, hadir dalam acara apa pun dan muncul dalam event mana pun. Hahaha…. Nah ini yang ketiga. Mereka adalah pengarang yang senangnya berpikir sampai jidatnya berkilap. Kerja mereka cuma berdebat melulu. Di mana-mana dia senang mengajak kita berdiskusi. Mengkritik, mencerca, dan melecehkan. Seperti pengarang jenis kedua, mereka pun tak pernah menghasilkan karya.”

“Yang keempat adalah jenis pengarang yang bisanya hanya menulis. Dia tak senang berdiskusi. Selalu menghindar untuk berdiskusi. Pengarang jenis ini tentu saja tak pernah muncul dalam acara diskusi. Banyak hal menjadi penyebabnya. Bisa jadi dia memang tidak cerdas, pikirannya dangkal karena mereka tak suka membaca buku. Tapi bisa jadi, karena mereka ditakdirkan memiliki bakat alam."

“Dan ini yang kelima. Yaitu jenis pengarang yang masuk dalam golongan bekas pengarang, tapi sekarang tidak mengarang. Mereka hidup dalam mimpi-mimpi masa lalunya. Pengarang jenis ini karena merasa senior, kerjanya menggurui. Mereka selalu menekankan, betapa pentingnya kita belajar sejarah kesusastraan, dan sejenisnya. Bah, bukankah itu akal-akalan dia, agar kita mau membaca karangan-karangannya? Hahaha”

Aku termenung.

Aku merasa ciut. Aku mencoba menyeruput kopiku. Terasa hambar. HH menyalakan rokok untuk ke sekian kalinya. Aku memanggil penjaga kafe untuk mengganti asbak yang sudah penuh dengan asbak baru yang licin.

“Nah itulah rahasia yang ingin kusampaikan padamu,” katanya terbahak.

Sekarang kepalaku pening. Leherku kelu. Aku sudah merasa mau semaput karena caffein dari kopi tubruk itu mulai bekerja ditambah aroma nikotin yang mengharubiru. Cewek petugas café mendekatiku, berbisik, apakah aku mau menambah kopi lagi? Aku menggeleng. Aku berdiri minta pulang. Tawaran HH untuk mengantar ke halte atau terminal kutolak, dengan alasan aku masih ada acara lain.

Sejak itu, aku tak lagi bertemu dengan HH. Aku hanya melihat penampilannya di layar televisi. Rasanya aku juga mulai tidak ingin bertemu dia lagi. Bagiku dia sudah bukan lagi seorang sahabat yang enak diajak bicara tentang daun, angin atau gemericik suara air. Sebaliknya mungkin saja aku juga bukan sahabat yang layak dia ingat, sehingga hilang pulalah namaku dalam ingatannya. Kami masing-masing dipisah dua benua. Tapi mimik HH yang marah waktu naskahnya ditolak redaksi tetap kuingat. Itulah kenanganku terhadap HH. Tidak mungkin kulupa.*** (Nama dalam cerita ini umumnya fiktif. Hanya sebagian yang benar.)


Cibinong, Bogor, 2010

Dimuat Hr. Suara Karya 16 Oktober 2010
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=264090

Sabtu, 09 Oktober 2010

Rahasia Keluarga

Cerpen: Kurniawan Junaedhie

Tidak habis pikir, ayah mertua yang sudah berumur 80 tahun ingin menikah lagi. Hare gene? Kabar itu saya peroleh dari istri. Istri memperoleh info itu dari adik iparnya, istri adik lelakinya. Adik ipar mendapat berita itu dari perawat yang merawat ayah. Saya minta istri menginterogasi perawat yang sengaja kami gaji untuk mengurus ayah.

“Dari mana kamu tahu?” tanya istri saya pada perawat itu.

“Tuan besar yang bilang sendiri.”

“Mungkin bercanda saja.”

“Enggak, kok Bu. Beliau serius. Saya hapal, mana yang becanda mana yang serius.”

“Kok bisa?”

“Ya bisa saja, Bu.”

“Bukan. Maksudku, kenapa dia bilang sama kamu, tidak pada saya.”

“Enggak tahu Bu.”

“Awas kalau kamu bohong. Hidup sudah susah. Jangan mengada-ada.”

***

Saya pernah membaca buku karangan Gabriel Garcia Marques yang menggambarkan bagaimana sepasang suami istri di hari tuanya menghadapi berbagai macam masalah gejala ketuaan. Akibat prostat, sang suami tidak bisa mengemudikan alat kencingnya tepat ke dalam pot sehingga nyiprat ke mana-mana menimbulkan bau pesing. Dan itu menyebabkan keluhan sang istri setiap hari. Sang istri lalu mengajari suami untuk kencing duduk seperti yang biasa dilakukan kaum perempuan.

Saya tidak menyamakan ayah dengan tokoh suami dalam cerita Marques. Tapi kisah itu bisa dijadikan perbandingan. Ayah mertua sudah lama menduda sejak ibu mertua meninggal hampir 25 tahun lalu. Waktu itu, usianya 55 tahun. Sebuah usia emas, kata kebanyakan pujangga. Kata-kata itu tampaknya memang tidak berlebihan. Pada saat itu semangat ayah masih berkobar-kobar. Setelah pensiun setahun berikutnya, ia langsung menerima pekerjaan sebagai komisaris di beberapa PT, meskipun kerjanya hanya duduk dan memimpin rapat. Kadang-kadang cita-citanya juga masih seperti cita-cita anak muda. Misalnya saja, ia masih kepingin membangun pabrik peniti, membuka ranch untuk peternakan kuda, keliling dunia dan sebagainya.

Ketika itu sudah banyak handai taulan yang menyarankan pada kami sebagai anak menantunya agar mendesak ayah segera menikah lagi. Biar ada yang merawat dan membantunya mengingat dua anaknya sudah berkeluarga. Tapi saran yang jenius itu tak kesampaian. Semua tidak berani maju mengatakan sendiri pada ayah. Ayah sendiri sejauh itu, tak menunjukkan minat untuk menikah lagi. Dan yang pasti dalam usia seperti itu, dia terus sibuk dan bergerak terus.

Gara-gara itu, dia selalu menjadi ikon dalam keluarga kami. Kalau kami --saya sebagai menantu, dan adik istri saya yang lelaki-- kelihatan letoy sedikit saja, nama ayah disebut sebagai suri tauladan.

He is my hero.”

“Masak kalah sama Ayah?”

“Bravo Ayah!”

“Viva Ayah!”

Tidak ada yang mengalahkan ayah. Saya sudah harus mengurangi gula. Adik lelaki istri yang lebih muda, sudah kena kolesterol. Makannya dijaga, tidak boleh sembarangan makan yang mengandung lemak. Sementara ayah, hebat, bebas pantang.

Tapi tentu saja ayah, seperti orang lain, juga harus menyerah pada faktor usia. Setelah sempat lima tahun mengemudikan beberapa perusahaan sebagai komisaris, ayah mulai merasa lebih baik lebih banyak di rumah. Awalnya saya mengira, ayah akan segera mengalami post power syndrome, ternyata dugaan saya keliru. Dia tetap gembira, terus sibuk dan bergerak terus. Dua minggu sekali, dia bikin arisan bersama teman-temannya di kafe-kafe favoritnya. Minum kopi. Minum wine. Dan bersama teman-temannya itu ayah juga masih sempat ikut tur ke Cina, Israel, dan Afrika. Sebagai anak-menantunya, kami bukannya tidak pernah membujuk agar rumah besarnya dijual saja dan uangnya dimasukkan sebagai deposito, lalu ayah ikut salah seorang di antara kami. Tinggal di rumah sambil momong cucu, siapa tahu tidak hanya bisa memperpanjang umur tapi juga membuat hidupnya lebih berkualitas. Tapi lagi-lagi ayah menolak.

“Sudahlah, kalian tidak usah cerewet. Ayah tahu apa yang harus ayah lakukan.”

Nah, sekarang terbetik berita ayah mertua berniat menikah lagi. Jelas ini bukan main-main, kalau kata-kata sang perawat benar. Hanya, hare gene?

Benar saja, berita ayah mertua yang berumur 80 tahun mau menikah lagi itu menyebar. Waktu belanja kebutuhan rumahtangga bulanan di supermarket, saya dan istri ketemu tetangga yang menanyakan kabar itu. Gile.

“Darimana Bapak tahu mertua saya mau nikah lagi?” tanya saya sedikit malu.

“Saya dengar dari istri saya.”

Istri saya melabrak istri tetangga.

“Darimana Ibu tahu Ayah saya mau nikah lagi?”

“Dari perawat.”

Tengkuk saya berdiri mendengar cerita istri.

“Kurang ajar. Siapa sih nama perawat itu?” kata saya.

“Namanya Ningsih.”

“Oke, kamu tanya Ningsih.”

Istri terus mengusut. Perawat Ningsih diinterogasi lagi.

“Kamu jangan kayak ember dong. Masak berita seperti itu sampai ke telinga orang lain?” kata istri saya marah-marah di telepon.

“Saya tidak bohong. Masak orang seperti saya berani bohong?”

“Saya kan juga sudah bilang sama Ibu tapi Ibu tidak percaya.”

“Nyatanya?”

“Nyatanya pigimana, Bu? Nyatanya Tuan Besar bilang sama saya, dia mau menikah lagi.”

“Saya sebagai anaknya saja enggak tahu, kok kamu sok tau.”

“Sumpah. Kalau Ibu tidak percaya, silakan tanya sendiri pada Tuan Besar.”

“Pokoknya saya tidak mau kalau kamu jadi ember.”

Saya langsung menyarankan pada istri supaya sebaiknya dia menanyakan langsung pada ayah. Jangan percaya pada mulut orang. Tapi istri tidak mau. Dia malah ganti menyarankan ke adik iparnya. Eh adik iparnya juga tidak mau. Kikuk katanya, karena dia hanya seorang menantu. Dengan alasan itu maka sekarang dia ganti mem-forward perintah saya ke perawatnya lagi.

“Dodol,” kata saya marah. “Kalau kalian tidak berani, saya yang maju bertanya. Ini soal serius. Kita perlu bertanya, biar segalanya jelas, Kalau memang iya, maka kita tinggal pikirkan bagaimana caranya. Kalau tidak juga jadi jelas. Supaya tidak menjadi bahan fitnah. Emang siapa ayah? Jenderal bukan, pejabat bukan.”

Suatu kali saya ketiban tugas harus menjemput dia di bandara karena Pak Ujang, kepala rumah tangga sekaligus sopir pribadinya sakit. Merasa dalam satu mobil, dan kebetulan bertemu muka, maka saya tidak mau melewatkan kesempatan untuk bertanya, apakah dia tidak kerepotan mengurus rumah, mengingat banyak tugas dan pekerjaannya?

“Ah, enggak apa-apa. Di setiap kantor, ayah kan punya satu sekretaris. Mereka selalu yang urus. Sudah cukuplah.”

“Tapi bagaimana kalau ada genteng bocor, bayar rekening listrik atau mengurus makan?”

“Kan ada Pak Ujang.”

“Mudah-mudahan sih tidak, tapi bagaimana kalau suatu hari Ayah sakit, siapa yang merawat?”

“Kan ada perawat.”

“Saya dengar dari Uni, bahwa…”

“Sudahlah, kalian tidak usah cerewet. Ayah tahu apa yang harus ayah lakukan.”

Saya diam membisu. Lidah saya seperti digunting.

Sampai di rumah, dengan wajah ditekuk saya melapor pada istri hasil pembicaraan yang menemui jalan buntu itu. Istri terpingkal-pingkal. “Mau aksi bau terasi,” katanya. Tapi lagi-lagi seperti kemarin-kemarin, saya tetap merasa perlu agar istri sebaiknya menanyakan langsung pada ayahnya. Jangan mudah percaya pada gosip, apalagi dari mulut perawat. Tapi istri –juga seperti kemarin-kemarin-- tidak mau. Dia malah ganti menyarankan ke adik iparnya. Eh adik iparnya juga –seperti kemarin-kemarin-- tidak mau. Kikuk katanya, karena dia hanya seorang menantu. Dengan alasan itu maka sekarang dia ganti mem-forward perintah saya ke perawat-nya lagi.

“Asem,” kata saya marah. “Kalau kalian tidak berani, bagaimana dong. Ini soal serius. Bukan main-main. Kita perlu bertanya, biar segalanya jelas, Kalau memang iya, maka kita tinggal pikirkan bagaimana caranya. Kalau tidak juga jadi jelas. Supaya tidak menjadi bahan fitnah.” Tapi itulah soalnya: saya sendiri tidak berani bertanya sendiri.

Akhirnya kami sepakat untuk tidak membicarakan hal itu lagi. Kami hanya sepakat menjaga agar berita itu –kalau pun benar—tidak menyebar ke mana-mana. Kami juga hanya sepakat untuk diam-diam mengawasi perilaku ayah. Tapi tak lama kemudian, kami ditelepon ayah. Dia memberitahu bahwa dia akan segera menikah.

Dia juga memberitahu bahwa calon istrinya adalah seorang janda, berusia 37 tahun, bukan Ningsih.

Setahun kemudian, lahirlah adik kami.

Ketika adik kami berusia dua tahun, ayah mertua meninggal dunia. Lahir, jodoh dan mati bukan milik manusia. Ningsih bukan ember.***

Gading Serpong, 2010

(Dimuat di Majalah Femina No. 39, 9 Oktober 2010)
.
.

Senin, 29 Maret 2010

Perempuan Pemuja Kata

Cerpen: Kurniawan Junaedhie

Kamu mungkin akan melupakan orang yang tertawa denganmu, tetapi tidak mungkin melupakan orang yang pernah menangis denganmu (Kahlil Gibran)

Sungguh menakjubkan. Perempuan itu tidak hanya cantik, tetapi juga pandai menyusun kata. Dan kata itu oleh dia, --menurut hemat saya-- ditekuk-tekuknya, lalu dibentuknya menjadi kalimat, dan kalimat-kalimat itu kemudian ditata dan dipatut-patutkannya dalam sebuah rangkaian puisi atau prosa. Maka besar dugaan saya, ia telah menuliskan banyak kata selama hidupnya. Tapi kemudian dia menyanggah.

Perempuan itu menurut pengakuannya sendiri berusia 37 tahun. Ia adalah ibu dari dua anak yang berusia 17 tahun dan 12 tahun. Ketika si bungsu lahir, sekitar umur 3 bulan, suaminya kabur dengan perempuan lain. Sejak itu ia tidak pernah bersua lagi dengan suaminya, kecuali ketika mengurus surat perceraiannya. Itu pun tak sempat bertemu, karena si suami kemudian menyerahkan urusan perceraiannya kepada pengacaranya. Selanjutnya, ia kawin lagi dengan suaminya yang sekarang.

Dengan cara bodoh saja, saya bisa menaksir bahwa ia menikah sedikitnya pada saat berusia 20 tahun. Itu pun dengan catatan, begitu menikah, dia hamil dan langsung melahirkan si sulung tadi. Dan sejak 12 tahun lalu, kalau keterangan yang diberikan benar dan sahih, maka sejak saat itu pula ia tidak pernah tidur bersama lelaki lainnya, kecuali suami sialan itu. Hanya ada keterangan tambahan: saat dia berjilbab dan berusia 20 tahun dia diperkosa.

Kalau saya mengatakan tubuhnya langsing, jangan kaget. Tapi memang, ketika saya kemudian mengetahui lebih jauh, sungguh menakjubkan bahwa ternyata perutnya tetap pipih. Tak ubahnya perut seorang gadis. Sepengetahuan saya, itu bukan perut ibu dari dua orang anak yang biasanya sudah berlipat-lipat, membentuk undak-undakan. Dan ketika saya pun kemudian menyentuh tubuhnya, --subhanallah-- semakin takjublah saya, bahwa payudaranya ternyata masih sintal. Kedua gunung kembar itu berdiri gagah: tegak dan tidak loyo. Sekali lagi, aneh. Ini jelas bukan gambaran lumrah untuk payudaya seorang ibu dari dua anak yang biasanya sudah menggelambir.

Tapi begitulah kira-kira urutannya, bagaimana saya bisa mengenal perempuan berperut pipih yang pintar bermain kata itu. Apakah karena ia jarang disentuh lelaki bahkan suaminya? Kenapa ia suka merangkai kata? Kenapa ia tetap cantik? Semua itu menjadi pertanyaan saya, setelah beberapa kali pertemuan.

Ia menelepon saya pada suatu Sabtu. Karena saya sedang bersama keluarga, telepon tidak saya angkat. Saya kirim SMS, agar ia kirim pesan singkat saja. Beberapa detik kemudian, ia mengirim pesan, bahwa ia ingin bertemu saya.

Saya segera meluncur dan bertemu di sebuah kafe, di bilangan Sabang. Kafe itu bernama Kopi Thiam Oey, katanya, milik Bondan Winarno. Siapa Bondan, tak penting benar. Saya hanya ingin mengatakan bahwa, saya bertemu di sana di suatu hari Sabtu, di mana kafe itu biasanya penuh sesak dengan tetamu.

Penerangan lampu di kafe itu remang-remang. Enak untuk main mata dan bisa untuk saling menjawil tanpa diketahui orang.

“Kenapa kamu mau berkenalan dengan saya?” itulah pertanyaan yang sering saya ulang-ulang setiap bertemu. “Saya hanya lelaki berumur. Kalau kamu mau, kenapa kamu tidak memilih saja lelaki lain, yang jauh lebih muda?”

Perempuan itu tersenyum dan menyandarkan kepalanya di pundak saya.

Hubungan kami sebetulnya baru berlangsung 3 bulan. Tapi kami merasa sudah akrab satu sama lain. Mungkin karena hampir setiap menit, kami berkirim pesan pendek. Atau kalau kebetulan kami sedang membuka internet, kami berkirim pesan lewat inbox atau chatting. Pekerjaan itu bisa memakan waktu dari pagi sampai subuh dinihari. Nah, ini dia.

Pada mulanya adalah, kata.

Ia menulis begini di dinding Facebook-nya:

Kamu mungkin akan melupakan orang yang tertawa denganmu, tetapi tidak mungkin melupakan orang yang pernah menangis denganmu (Kahlil Gibran)

Bagi saya, kalimat ini agak aneh. Kahlil Gibran bagi saya kedengarannya sudah kuno. Kenapa perempuan itu menyukai Gibran? Adakah kelebihannya?

“Dari mana kamu tahu?” tanya saya.

“Saya membaca 'The Prophet' dalam versi aslinya,” jawabnya.

Untung saya tidak sedang berhadapan muka. Kalau tidak, dia tahu perubahan wajah saya, karena saya cuma membaca hasil terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh Bahrum Rangkuti pada tahun 1949.

Beberapa hari kemudian, dia menulis lagi begini:

Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. (SGA)

Saya merasa tidak asing dengan kalimat itu. Siapa SGA? Saya juga tidak merasa asing dengan akronim ini. Langsung aku menanyakan, pemilik kalimat itu, di bawahnya. “Aku pemuja Seno Gumira Adjidarma,” tulisnya kemudian. “Aku bahkan kenal istrinya. Ike namanya.” Dia melanjutkan.

Saya bertanya, bukankah kamu pemilik dan pemuja banyak kata, kenapa kamu mengutip tulisan itu?

“Bagi saya kata-kata cuma benda yang bisa ditekuk-tekuk, atas kemauan saya. Sayalah majikan atas kata-kata itu. Saya tidak pasrah pada kemauan kata-kata. Kata-kata yang dibiarkan memang akan liar seperti anjing hutan. Kata-kata yang dibiarkan juga akan seperti serpihan batu, yang tidak kuat bobotnya. Kata-kata harus diarahkan agar sesuai tujuan kita,” tulisnya mengejutkan.

“Jadi apa arti puisi-puisimu selama ini?”

“Tangkaplah dari apa yang kumau. Jangan kamu mau terpedaya kata-kata di dalamnya.”

Saya bukan sastrawan, bukan pujangga. Tapi dari situ saya tahu bahwa dia tidak hanya bercitarasa tinggi, tetapi juga asyik. Saya senang berkenalan dengan perempuan seperti ini. Jarang-jarang ada perempuan seperti ini. Kami keterusan bermain kata. Sampai akhirnya perempuan itu minta ketemuan di sebuah Mal. Saya sempat merasa aneh.

“Bagaimana suamimu?” tanya saya.

“Saya punya suami tapi itu tidak penting benar.”

Aku melongo. Perempuan itu malah balik bertanya, “Apa yang salah?”

Saya agak terpojok.

“Tentu tidak apa-apa,” saya cepat mengelak dan mengalihkan perhatian. “Saya belum pernah ke Mal itu.”

“Kita ketemu di JCO saja. Dari luar, sudah tampak mereknya. Siapa datang duluan, duduk saja di situ.”

“Oke.”

Seorang lelaki setengah umur seperti saya jelas tidak nyaman berduaan di tempat umum dengan seorang perempuan. Meski saya bukan selebritis, bukan tidak mungkin ada saja kenalan di mal itu yang melihat kami. Karena itu saya mengajak dia mencari tempat yang lebih afdol. Tanpa dinyana dia menawari masuk karaoke. Yang surprise, perempuan yang kata-katanya romantis itu, tak segan-segan menyanyi dengan riang. Dan sekali tempo, menyerahkan mike agar saya juga ikut menyanyi. Aku mulai berpikir bahwa perempuan ini sesungguhnya kesepian. Dia pada dasarnya membutuhkan teman, untuk berbagi perasaan dan bertukar pikiran. Dan saya dianggapnya orang yang tepat untuk itu. Dan meski tempatnya remang-remang, kami tidak melakukan apa-apa, kecuali bercakap-cakap, atau berbisik-bisik. Seingat saya dia sempat menyandar di pundak saya. Tapi kemudian, dia minta maaf, merasa tidak pada tempatnya. Kami minum bir, ngobrol ringan, menyanyi, Begitulah, kami berada di karaoke itu sampai karaoke itu tutup.

Karena hari sudah malam, saya menawarkan diri untuk mengantarnya ke rumah. Nah di dalam mobil, saya mulai melihat dia agak genit. Dia duduk seenaknya di samping saya menyetir. Dia menyilangkan kaki bahkan, mengangkat kakinya di dashboard seperti orang slebor sehingga roknya tersingkap. Dengan sendirinya, diterpa lampu-lampu jalanan, dengan sangat jelas saya bisa melihat celana dalamnya. Saya pikir, dia mabuk, kebanyakan alkohol. Tapi saya pura-pura tidak tahu. Perempuan memang sering tak terduga.

Tepat di depan rumahnya saya turunkan dia. Dia agak lama berkutat sebelum turun, padahal central lock sudah saya buka. Dalam kegelapan di dalam mobil itu, saya merasa, dia terus memandangi saya.

“Ada apa?” saya bertanya mendadak ke arahnya.

“Aku senang berkenalan denganmu,” jawabnya. Senyumnya lucu. Tidak nakal.

Karena tidak turun-turun juga, saya pikir, dia mungkin ingin kami berciuman dulu seperti dalam film-film. Saya mengangsurkan wajah. Saya pegang tangannya. Tapi dia langsung membuka pintu. Melompat keluar. Saya dibuat terkesima. Padahal saya ingin mengucapkan salam untuk suaminya.

Minggu berikutnya saya janji ketemuan lagi. Bukan di JCO, tapi di toko buku masih di Mal itu. Karena saya pria berumur yang tak ingin dilihat orang sedang kencan dengan perempuan lain, saya ajak dia keluar dari Mal. Kali ini tanpa ragu saya ajak dia ke motel. Kalau pun dia menolak, atau tersinggung saya sudah siap jawabannya. Tapi perempuan itu tidak menolak.

Begitu pelayan pembawa air minum meninggalkan kami, dia sudah memeluk saya. Saya agak kaget. Terkesiap. Dia menciumi saya. Mencopoti pakaian saya sambil juga mencopoti gaunnya sehingga kami berpelukan dalam keadaan telanjang. Dia melakukan apa saja yang selama ini tidak pernah saya bayangkan.

Sehabis itu, bahkan selama di mobil waktu saya antar pulang, kami tidak bercakap sepatah kata pun. Kata-kata tiba-tiba menjadi tidak berarti. Di depan rumah, saya turunkan dia. Juga tanpa ciuman seperti dalam film. Saya membayangkan, suaminya sedang mengintai dari balik pintu.
Besok paginya, begitu bangun tidur saya membuka Facebook. Saya tidak menemukan pesan atau kalimat-kalimatnya. Di kantor, saya buka lagi. Masih tidak saya temukan apa-apa di Facebook. Kemana dia? Apa dia menyesal telah bertemu saya face to face? Saya punya nomor handphone-nya. Tapi kalau benar dia telah menyesal berjumpa saya, buat apa saya menghubunginya?

Malamnya saya tidur gelisah. Saya seperti membaca baliho besar iklan rokok yang betuliskan, Gak Ada Loe, Gak Rame. Saya ingat suara perempuan itu. Saya ingat waktu dia pegang microphone di tempat karaoke. Saya ingat aroma rambutnya ketika dia secara tak sengaja menyandarkan kepalanya di pundak saya. Saya ingat kakinya mengangkang di dashboard itu. Saya ingat celana dalam itu. Saya ingat bagaimana dia seperti ular membelit saya, dan menggigit saya. Pokoknya saya gelisah. Saya membuka laptop. Lampu layar laptop benderang dalam kegelapan kamar. Cahaya di layar itu menimpa wajah istri saya sedang tidur terlelap. Tapi kata-kata perempuan itu tidak ada di layar. Layar seperti kehilangan kata-kata bersama hilangnya perempuan itu. Saya kemudian membayangkan bahwa suaminya sesungguhnya tahu semua perbuatan istrinya, tapi tak mampu berkata-kata. ***

Gading Serpong, Sept/ Nov. 2009



Dimuat Jurnal Nasional 28 Maret 2010
http://www.jurnalnasional.com/show/newspaper?rubrik=Cerpen&berita=117567&pagecomment=1

Secuplik komentar sejawat yang terekam melalui inbox (cerpen ini tidak disiarkan di FB:

Hardiansyah Kurdi 28 Maret jam 16:35
wah sudah dilahap sampai tuntas. bagus sekali, Pak. ini... sepertinya lebih bagus dari TBBG. rileks sekali feelnya. Mantabs. Tersanjung telah diberi kesempatan baca ini. Btw, kalo kirim cerpen ke Jurnas, via email mana ya, Pak? Pengen kirim2. Makasih banyak.

Kurnia Effendi 28 Maret jam 17:54
Wah mantap. Hanya KJ yang bisa membetot pembaca sejak awal hingga akhir, terseret arus, lalu terperangah. Panaaaas! Panaaas! ayo siap-siap buku baru

Iksaka Banu 28 Maret jam 20:09
Super mantap. Sdh cukup lama gak baca cerpen dgn gaya ungkap seperti ini. Mengalir. Pas. Tdk berbunga-bunga (padahal baru saja launching tukang bunga ya mas?)

Foeza Hutabarat 28 Maret jam 20:13
Facebook, ular betina dan singa jantan...haha...siapa yang kalah, tak soal...yg soal, boleh juga tuh HR buat ngajak kumur merasakan sensasi kopitam Oey...soal lagi, tokoh aku itu sudah di atas angin, karena suami perempuan itu tak bisa berkata-kata, hahaaa...

Ardi Nugroho 29 Maret jam 9:12
membaca cerpen Mas KJ serasa berekreasi ke ancol dan masuk ke dufan.. rileks dengan letupan yang nyaman mendul mendul..rasa yang sama pernah saya alami saat membaca OLENKA yang saya jadikan master piece dalam rasa baca saya.. -----sempat juga tersetrum mak nyus.. disini:

"Dia duduk seenaknya di samping saya menyetir. Dia menyilangkan kaki bahkan, mengangkat kakinya di dashboard seperti orang slebor sehingga roknya tersingkap. Dengan sendirinya, diterpa lampu-lampu jalanan, dengan sangat jelas saya bisa melihat celana dalamnya. Saya pikir, dia mabuk, kebanyakan alkohol. Tapi saya pura-pura tidak tahu. Perempuan memang sering tak terduga."

sungguh, aku terpana dengan cara Mas KJ memperlakukan imajinasi...

Selasa, 01 Desember 2009

Perempuan Beraroma Melati

Cerpen: Kurniawan Junaedhie

“Bapak akan membaui aroma bunga melati. Perempuan itu muncul pada sekitar jam 2 pagi dengan aroma bunga melati yang menusuk,” kata Hatta, teman di samping saya berbisik. Teman itu melanjutkan: “Perempuan itu muncul ketika suasana sudah senyap tak lama setelah satpam memukul kentongan dua kali. Parasnya cantik. Gaunnya panjang berwarna putih. Dia masuk dari kaca riben itu,” katanya.

Saya menatap kaca riben tempat wanita itu katanya bakal masuk. Kuduk saya meremang. Saat itu sekitar jam 10 malam lewat. Televisi dan lampu neon sudah dimatikan petugas. Cahaya hanya muncul samar-samar dari lampu teras yang menerobos masuk kaca riben jendela. Bau keringat basi bercampur bau obat menguar seluruh ruangan. Ruangan yang tadi siang berupa kantor, merangkap apotek dan poliklinik rumahsakit yang luasnya 5 x 6 meter itu penuh dengan orang yang mirip pengungsi. Saya kira ada puluhan. Mereka adalah keluarga pasien yang terpaksa menginap dan berbaring di sini, kerena mereka tinggal di luar kota, sementara mereka harus menunggui keluarganya dirawat seperti saya. Pihak manajemen rumahsakit melarang keluarga, ikut menginap di dalam kamar rawat. Hanya satu orang yang diizinkan, lainnya tidak boleh. Begitu aturannya. Ini malam pertama saya tidur di barak itu, sedang bagi Hatta merupakan malam ke-24.

Saya lihat orang-orang yang tidur di barak ini sungguh amburadul. Ada yang tidur menghadap utara, dan selatan, sementara lainnya menghadap ke timur dan ke barat. Ada juga yang hanya asal-asalan meletakkan kepala, pokoknya asal bisa terlentang dan bisa merebahkan badan.

Ah, kalau tahu bakal begini, mungkin saya juga tidak mau ikut mengantar anak berobat ke sini. Sesungguhnya, sebelum ke sini, Juwita anak saya sudah dirawat di rumahsakit kota saya. Awalnya merasa kepala pusing dan mual. Diduga tipus. Setelah bed rest di rumahsakit selama dua minggu, penyakit itu dinyatakan sembuh oleh dokter. Tapi, Juwita tetap merasa sakit kepala. Bahkan, sekarang sesak napas. Bagian jantungnya terasa penuh. Dokter mengusut riwayat penyakitnya. Ketahuan. anak saya lahir dengan kelainan jantung. Dokter yang curiga penyebab jantung terasa penuh adalah akibat kelainan jantung sejak kecil itu lalu merujuk Juwita ke rumahsakit ini. Saya menemani istri mengantar Juwita karena anak-anak lain tidak bisa meninggalkan kuliahnya. Begitu ceritanya.

Duk. Kepala saya tertendang kaki orang di atas saya.

“Tapi Bapak tidak usah takut. Perempuan itu tidak ngapa-ngapain, kok. Dia hanya akan menampakkan pada orang-orang yang keluarganya bakal meninggal,” suara Hatta berbisik di telinga.

“Semacam tanda?” tanya saya bergetar.

“Begitulah yang saya dengar dari para penghuni yang pulang.”

Tengkuk saya meremang lagi. Kalau ada selimut, saya mungkin akan menutupi wajah saya dengan selimut. Tapi tidak ada. Bahkan alas tidur pun saya tidak ada sementara teman-teman lain menggunakan tikar dan koran untuk alas tidur. Punggung saya sakit.

Duk. Kepala saya tertendang lagi. Sialan. Kali ini oleh kaki orang yang tidur di atas sebelah kiri saya. Di bawah, kaki saya juga berkali-kali tanpa sengaja menendang kepala seorang ibu. Untung ibu itu tidak marah. Dia hanya mengelus kelapanya. Mungkin maklum. Sementara di kiri kanan saya berjubelan orang tidur. Saya lihat ada kepala anak kecil yang nyelip di sela-sela paha seorang lelaki gendut yang sedang asyik mengorok. Suara dengkur bersahut-sahutan. Seperti sebuah orchestra suara kodok dan suara gergaji. Saya tak tahan. Sungguh seperti barak pengungsi yang saya selalu saya lihat di televisi. Padahal menurut Hatta, jumlah penghuni malam ini sudah berkurang banyak. Tadi siang, tercatat ada tiga penghuni yang pulang.

“Senang ya kalau bisa pulang?” kata saya.

“Asal Bpak tahu, mereka pulang karena dua kemungkinan: kerabat yang dirawat meninggal, atau kerabat yang dirawat sembuh,” katanya getir.

Saya tertegun.

“Begitulah romantika hidup, setiap hari ada yang datang dan ada yang pergi,” kata Hatta pahit. “Mereka yang pulang itulah yang malam harinya melihat perempuan itu,” kata Hatta, lagi-lagi menyebut-nyebut perempuan itu yang membuat bulu kuduk saya terus meremang.

Sayup-sayup terdengar bunyi lift-lift yang anjlog di gedung sebelah.

Saya menarik napas. Betapa pun saya sudah harus merasa beruntung bisa tidur di sini. Hatta-lah yang tadi siang menganjurkan agar saya tidur di ruang kantor merangkap apotek dan poliklinik yang kalau malam jadi barak itu. Seperti dikatakannya, ia terpaksa ada di situ karena anaknya yang berumur lima tahun mengalami koma setelah proses pembedahan. Dia tidak bisa pulang karena setiap hari dia harus menengok anaknya di ruang ICU. Sama seperti saya, waktu pertama datang ke rumahsakit, istrinya juga ikut. Tapi setelah 10 hari tidak ada perkembangan, istrinya pulang karena masih harus mengurus ketiga anaknya yang sehat di rumah. “Kalau bukan dokter saja, mungkin sudah saya labrak mereka. Saya selalu tidak berdaya dan lembek di depan mereka. Kita dipaksa menganggap mereka sebagai juru selamat.”

Dari tempias sorot lampu teras, saya lihat mata Hatta melihat langit-langit. Sementara itu, saya membayangkan, aroma bunga melati yang menusuk, perempuan berparas cantik, gaun panjang warna putih dan pukul 2 dinihari saat satpam membunyikan kentongan dua kali. Hm. Menyesal juga kenapa harus ikut tidur di barak. Ah, kalau bukan karena sayang anak…

“Mudah-mudahan malam ini kita berdua tidak perlu melihat perempuan itu,” katanya sambil masih menatap langit-langit yang remang-remang.

“Ya.” Saya menguap. Terdengar dia juga menguap.

“Bapak tidur saja. Saya juga sudah ngantuk.”

Rupanya saking lelahnya saya langsung tertidur pulas. Saya baru terbangun ketika mendengar teriakan petugas. “Ayo bangun, bangun, hari sudah siang. Kantor mau dirapikan. Sebentar lagi karyawan datang. Ayo.”

Para penghuni barak itu pun rame-rame bangun. Suara geresek kertas koran, sarung, dan tikar yang dikemasi terasa hiruk pikuk. Lalu, setelah itu, seperti ritual saja, semua beramai-ramai memburu kamar mandi dan WC umum yang tersedia di sejumlah blok rumahsakit agar kebagian. Hatta menggandeng tangan saya agar mengikut dia.

“Ayo cepat,. Cepat. Kalau tidak cepat tidak dapat,” katanya. Saya sempat melihat seorang ibu menarik-narik tangan anaknya yang sibuk menyeret-nyeret tikarnya.

Karena ikut Hatta, saya menemukan kamar mandi yang bebas dari antrean jauh dari situ, yaitu dekat kamar mati.

Sesudah badan segar, dan sarapan bubur ayam di pinggir jalan depan rumahsakit, kami berpisah. Hatta menuju ICU melihat kondisi anaknya, saya sendiri menengok Juwita di kamar inap. Ketika saya lewat, orang-orang yang tadi antre di kamar mandi dekat barak sudah lenyap. Tak ada lagi wajah-wajah yang tadi saya lihat tidur di barak. “Kalau tidak sedang menunggui di kamar inap atau di ICU, mereka memanfaatkan waktu ke Dufan atau melancong ke Pasar Tanah Abang membeli tekstil. Mumpung di Jakarta,” kata pemilik warung dekat halaman parkir tempat saya ngopi untuk merintang waktu. Barak pun sudah lenyap, menjelma menjadi ruang kantor yang bersih, wangi dan ber-AC.

***

Seperti kemarin, setelah Isya, malam itu satu demi satu orang mulai berduyun-duyun masuk menyesaki ruang kantor yang sudah kembali jadi barak.

“Tadi siang tiga penghuni pulang lagi, “ kata Hatta sambil membaca koran. “Mudah-mudahan tidak ada di antara kita berdua yang nanti malam melihat sosok wanita bergaun putih yang beraroma melati itu.”

Hatta melipat koran dan merebahkan badan.

Bulu kuduk saya berdiri.

Tak lama kemudian, seperti kemarin, persis pukul 9, AC dimatikan petugas. Sejam kemudian, pesawat televisi giliran dimatikan. Selanjutnya, lampu neon dimatikan. Ruang seketika menjadi gelap. Semua kegiatan berhenti. Tinggal lampu teras. Suasana yang tadi riuh mendadak senyap. Penghuni mulai merebahkan diri di lantai siap memicingkan mata. Suasana pengap. Seiring dengan itu bau keringat basi bercampur obat pun mulai menguar lagi. Tiba-tiba terdengar ada bunyi SMS. Karena bunyinya sama, hampir semua yang mendengar meraba handphonenya. Tapi belum sempat melihat handphone, seorang bapak bersama anak lelakinya, yang tidur persis di bawah pesawat televisi, sontak berdiri. Keduanya keluar. Agaknya ada panggilan penting. Benar saja. Tak lama kemudian bapak itu muncul lagi tapi kali hanya untuk mengambil ransel. Matanya lebam. “Istri saya meninggal,” katanya lirih mohon pamit.

Terdengar gemuruh orang mengucap Innalillahi….

“Berarti, sudah lima orang pulang hari ini,” kata Hatta. “Di sini, kita sedang menunggu giliran, dengan hanya dua kemungkinan,” lanjutnya.

Saya memiringkan kepala, menghindari tubrukan dari kepala teman sebelah kiri sekaligus menghindari Hatta yang saya lihat tengah melamun.

“Sejak siang tadi saya juga terima SMS dari istri,” terdengar lirih suara Hatta dari kegelapan.

“Istri sakit. Anak-anak juga sakit. Uang sekolah belum dibayarkan. Bank dan rentenir menagih. Saya diminta pulang. Tak tahan dia menghadapi debt collector. Padahal sudah dua mobil dan sebidang tanah kami melayang untuk kesembuhan putrid saya.” Suaranya parau. “Asal Bapak tahu, ini malam ke-25 saya ada di sini. Saya sudah tidak betah. Tak berkesudahan. Tak tahu sampai kapan.”

Saya berbalik menoleh. Saya lihat ada air menggenang di matanya.

“Hidup jalan terus. Kalau semua tumbang, bagaimana? Masih ada tiga anak yang harus kami hidupi,” katanya menarawang dalam gelap. “Mudah-mudahan malam ini tidak ada yang melihat perempuan itu,” katanya.

Saya menguap. Terdengar dia juga menguap.

“Mas tidur saja. Saya juga sudah ngantuk.”

Seperti kemarin, saya baru terbangun oleh teriakan petugas. “Ayo bangun, bangun, hari sudah siang. Kantor mau dirapikan. Sebentar lagi karyawan datang. Ayo.” Kami pun rame-rame bangun. Suara geresek kertas koran, sarung, dan tikar yang dilipat, terasa hiruk pikuk. Lalu, setelah itu, ritual pagi dimulai, semua beramai-ramai memburu kamar mandi dan WC umum.

Di depan kamar mandi dekat kamar mati itu dia menatap saya.

“Saya telah melihat perempuan itu. Saya membaui aroma bunga melati yang menusuk,” katanya lunglai. ***

Serpong November 2009

Sabtu, 28 November 2009

Hidup Ini Indah

Cerpen: Kurniawan Junaedhie



“Aku akan bunuh diri,” kata saya mengancam, pada istri.

Istri balik mengancam.

“Mana mungkin kau berani.”

“Aku berani. Apa yang kutakuti?”

“Coba pikir-pikir dulu.”

“Sudah aku pikirkan. Anak tidak punya. Orangtua tidak punya. Apa yang kutakuti?”

“Coba saja, kalau berani.”

Saya berkelebat ke dapur, dan mengambil pisau dapur. Saya acung-acungkan pisau itu ke arah istri saya.

“Coba saja, kalau berani.”

Ya Allah. Dia tidak menggubris sama sekali, dan matanya tetap melotot ke arah layar televisi. Dia sama sekali tidak takut bahwa pisau itu saya hunjamkan ke jantung saya. Dia sama sekaki tidak cemas bahwa jika hal itu terjadi, maka seisi kampung akan gempar, dan dia akan dibikin repot.

Karena geram, saya lempar pisau itu ke sofa. Clep. Pisau itu nyungsep di sofa. Barulah istri saya melotot ke arah saya, “He, kau pikir, kita bisa beli sofa baru?”

Malamnya, saya tidak bisa tidur. Saya bergulingan di tempat tidur. Sementara di sebelahku, istri, enak-enak saja tidur terlelap dan ngorok. Seolah-olah persoalan percobaan bunuh diriku tidak menjadi beban pikirannya. Rupanya dia menganggap peristiwa seorang suami mengacung-acungkan pisau untuk menghabisi hidupnya itu hanya angin lalu. O perempuan, macam apa pula yang ada di depanku ini?

Sudah lama saya dan istri ingin bercerai. Ya, sejak saya merasa bahwa rumah seperti neraka layaknya. Saya tidak bohong, atau berlebih-lebihan. Bayangkan.

Kehidupan saya dan istri tak ubahnya seperti petasan bersumbu pendek saja. Dari hal remeh-temeh, bisa melebar ke mana-mana. Saya ngomong ke timur, istri saya bicara ke barat. Pokoknya, tidak pernah nyambung sama sekali. Dan seperti saya bilang tadi: Keributan bisa muncul begitu saja dari hal-hal sepele seperti ada kucing mengeong tiba-tiba, atau hanya sekedar ada seekor tikus lewat di sudut tembok. Atau sekadar pintu kamar mandi.
Suatu kali, saya menutup pintu kamar mandi dengan kasar. Sebetulnya, tidak kasar. Hanya karena pintu melengkung karena perubahan cuaca, maka pintu tidak pas masuk ke kusen sehingga saya paksakan masuk. Istri yang sedang nonton televisi di kamar keluar. Dia menyarankan agar saya berhati-hati, karena harga pintu kamar mandi sangat mahal. Saya tersinggung merasa dibilang tidak tahu harga pintu. Istri lalu mengatakan, begitu saja marah. Saya pun tambah marah. Pertengkaran berkobar. Gelas piring dibanting. Istri masuk kamar, mengunci pintu, menyetel televisinya keras, mungkin supaya tetangga tidak perlu mendengar kegaduhan kami.

Meski saya bukan suami yang baik, sekali tempo saya mencoba juga berusaha menjadi seorang suami pengertian.

Ada beberapa kali sepulang kantor, saya coba membawakan makanan. Tapi saya mendapati istri saya cemberut di depan televisi. Dan kadang hanya karena membaui saya pulang, dia langsung ngumpet di kamar. Saya mencoba sabar. Baik-baik saya letakkan penganan di meja makan, maksudnya agar dia mengambil dengan sendirinya, kalau lapar. Tapi hal itu tak dia gubris. Saya mengalah, masuk ke kamar. Sekitar beberapa jam kemudian, merasa ruangan sudah sunyi, saya keluar lagi, dan hlo, makanan saya masih tergeletak di meja makanan. Tidak disentuhnya sama sekali. Besoknya saya tanya, kenapa dia tidak makan penganan yang saya bawa? Dengan ringan dia menjawab, tidak kepingin.

Pokoknya saya merasa bahwa kehidupan keluarga saya sangat ganjil. Ada yang salah. Kalau bukan saya, pasti dia. Atau sebaliknya.

Betapa pun dengan keadaan seperti itu, saya merasa gagal menjadi suami. Dengan demikian, dia mestinya juga merasa gagal menjadi istri. Tapi kenapa dia tidak mengakuinya sekalipun suaminya sudah mencoba melakukan upaya bunuh diri?


Perjodohan

Setahun lalu seseorang telah menjodohkan saya dengan perempuan ini. Pada suatu malam, selagi asyik membaca buku sambil nonton warta berita malam, ada orang mengetuk pintu. Orang itu, lelaki paruh baya, datang bersama seorang wanita muda sepantaran anaknya. Saya sama sekali tidak kenal kedua orang itu sebelumnya. Lelaki paruh baya itu mengenakan peci. Berjenggot putih. Yang wanita, mengenakan rok terusan, dan tidak memakai make up apa pun. Polos.

Lelaki paruh baya berpeci dan berjenggot putih itu langsung mengatakan bahwa, dia disuruh oleh seseorang untuk mengantar wanita itu ke rumah saya.

“Mengantar? Untuk saya? Siapa orang itu?”

Dia menyebut sebuah nama.

“Ah, saya tidak mengenalnya.”

“Anda kenal atau tidak, tidak penting buat saya. Yang penting adalah bahwa dia yang menyuruh saya. Saya berani sumpah,” kata lelaki paruh baya berjenggot putih berpeci itu mengangkat telunjuknya.

“Maksudnya?” saya menyelidik.

“Saya diminta membawa wanita ini untuk Anda nikahi.”

Gila. Dahi saya berlipat. Saya memukul kening, dan mengelus rambut. Saya menengok arloji. Jam sepuluh limabelas. Bukan mimpi. Tapi bagaimana mungkin, mereka bisa tahu bahwa saya adalah seorang bujang lapuk? Bukankah sangat banyak lelaki di kampung saya? Kenapa harus saya?

“Saya kira Anda salah alamat,” kata saya mulai bersikap defensif.

“Memang Andalah yang dimaksud,” katanya.

“Anggap saja ini amanah,” kata pria berpeci berjanggut putih setengah baya itu menimpali

Saya mengerling wanita belasan tahun itu. Seperti kesan pertama tadi, dia tidak jelek. Bahkan, kalau tidak bisa dikatakan cantik pun bisa saya katakan, wajahnya lumayan rupawan. Kulitnya bersih. Tingginya 160 centian, lurus sepundak saya, tapi tidak terlalu gemuk. Matanya bulat. Hidungnya bangir. Bibirnya mungil.

Ini pasti akal-akalan. Bukan tidak mungkin, mereka adalah komplotan penipu yang ingin membodohi saya. Informasi bahwa saya seorang perjaka dengan mudah bisa saja diakses dari pak RT atau pak RW. Dan bisa juga mereka tahu bahwa beberapa tahun lalu saya memasang nama dan alamat saya di rubrik jodoh. Apa susahnya?

“Jadi saya harus mengawini dia? Haha, gampang amat?” saya tertawa dengan getir.

“Apa boleh buat. Ini amanah” kata pria setengah baya berjenggot putih dan berpeci itu dengan yakin.

Saya langsung menyelinap masuk kamar. Diam-diam saya menghubungi pak RT melalui telepon. Saya bilang, ada orang mencurigakan datang ke rumah saya dan tampaknya ingin menipu saya. Karena itu sebaiknya dia segera datang, sebelum saya main hakim sendiri.
Sejurus kemudian, pak RT datang. Saya minta mereka bercakap-cakap sendiri, sementara saya masuk untuk melanjutkan membaca dan nonton televisi.

Tak lama kemudian pak RT masuk dan membisiki , “Tidak saya lihat perbuatan jahat yang dibawa para tamu ini. Mereka berniat baik. Yaitu agar kamu menikahi wanita itu.”

Saya menggeram.

“Ini memang aneh. Tapi anggap saja ini, keajaiban. Ini datang dari Allah. Sebagaimana takdir dan mati, jodoh datangnya dari Allah. Ingat kata Allah: Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

Hanya Allah yang maha tahu.

Malam itu, sekitar pukul 12.00, saya dinikahkan dengan wanita itu di depan penghulu, dan dua saksi yang dipanggil secara dadakan melalui SMS.

Takdir senapan

Sembari tidur, saya amat-amati wajah wanita yang jadi istri saya itu. Saya dengar bunyi nafasnya. Saya lihat bibirnya ternganga. Tidak jelek, pikir saya. Beginikah wajah malaikat yang suka dibicarakan di mesjid-mesjid dan gereja itu? Hm. Saya tidak tau. Yang pasti, wanita yang jadi istri saya ini tidak punya sayap dan punggungnya rata. Dia juga tidak bercahaya, sebagaimana yang saya tahu dari gambar malaikat dan bidadari. Wujud malaikat mustahil dapat dilihat dengan mata telanjang, karena mata manusia tercipta dari unsur dasar tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk tidak akan mampu melihat wujud dari malaikat yang asalnya terdiri dari cahaya, bahkan Muhammad sendiri pun disebutkan secara jelas hanya mampu melihat wujud asli dari malaikat Jibril sebanyak dua kali. Tapi seandainya benar dia malaikat, lalu siapa dia? Jibril? Mikail? Israfil? Malik? Munkar dan Nankir? Atau Ridwan?
Sekali lagi saya amat-amati wajahnya yang lelap tertidur. Saya lihat bibirnya yang terkatup. Sungguh sulit dipahami bahwa dari bibir mungil itu semua umpatannya terlontar padaku. Segar dalam ingatan bagaimana perilaku perempuan ini terhadap suaminya. Astagfirullah. Rasa benci tiba-tiba menggelucak.

Saya kontan berbalik memunggungi. Bersamaan dengan itu tiba-tiba hidung saya seperti membaui bau yang tak sedap. Jelas, bau itu muncul dari hati busuk wanita yang ada di samping saya.

Serta merta saya teringat sesuatu.

Saya memiliki senapan angin dengan kaliber 4,5 mm untuk berburu yang kutaruh di dinding meja makan. Kalau saya tembak dia sekarang, maka tamat sudah riwayatnya, pikirku. Dengan sendirinya, berakhir pula penderitaan saya selama ini. Sambil berpikir begitu saya melompat dari tempat tidur, dan berlari ke ruang makan, tempat dimana senapan itu diletakkan.

Saya sambar senapan itu dari tempatnya, dinding ruang makan. Beberapa butir proyektil masih bersisa di dalamnya. Saya kokang. Senapan dalam posisi siap tembak. Saya berlari menerobos gorden kamar dengan membawa senapan itu.

“Hei, bangun. Bangun,” kata saya berteriak, meminta wanita itu bangun. Saya berdiri di pinggir tempat tidur, dalam posisi siap menembak.

Mendengar saya berteriak, istri saya terbangun. Dia mengucek mata. Dan karena melihat saya berdiri dengan senapan, dia nampak kaget, dan mencoba duduk.

“Jangan gila. Apa yang akan kau lakukan? Menembakku?” tanyanya.

“Jangan banyak mulut.” Senapan sudah kuacungkan ke arah jantungnya.

Dia menguap sebentar. Lalu bangkit berdiri dan menghampiri saya.

“Jangan gila,” katanya menonjok dadaku, sambil berlalu.

Saya terhuyung. Namun demikian senapan itu terus saya acungkan ke arahnya. Pendeknya, kapan saja, saya sudah siap menembaknya.

“Hei, kau mau ke mana? Aku akan menembakmu. Sumpah.”

Dia menatap saya dengan tenang. Tidak takut sama sekali.

Padahal dia tahu benar, bahwa senapan ini pernah saya gunakan untuk menembak seekor anak kerbau.

“He, kamu tidak takut?” saya menggertak.

“Ada apa sebenarnya?”

Mukanya bego.

“Aku ingin menembakmu.”

“Mana berani kau melakukannya?”

Karena geram, tanpa pikir panjang saya tarik pelatuk. Dan dor…dor...dor... Senapan menyalak beberapa kali. Kaca jendela hancur berkeping-keping.

Dalam sekejap, orang sekampung menerobos masuk ke dalam rumah, dan mendapati saya terduduk dengan wajah kosong dengan senapan terkulai di tangan. Wanita yang menjadi istri saya itu menangis meraung-raung. Dia memeluk saya. Kami berpelukan. Betapa indah hidup ini.***

Serpong, 2010

Dimuat di Sinar Harapan 10 Juli 2010

Senin, 16 November 2009

Tukang Bunga & Burung Gagak

Cerpen: Kurniawan Junaedhie

Di kota P, ada seorang tukang bunga yang bersahabat dengan seekor burung gagak hitam. Biasanya, tanpa diketahui banyak orang, gagak itu terbang melintas di depan kiosnya ber-kwak-kwak seperti memberi kode kepada si tukang bunga. Burung gagak itu lalu hinggap di pohon angsana, satu-satunya pohon di dekat kiosnya. Sesudah itu, si tukang bunga, seperti seorang lelaki yang menemui selingkuhannya, mengendap-endap datang ke sana menjumpainya. Entah apa yang dipercakapkan keduanya. Yang jelas, biasanya, keesokan harinya, ada orang meninggal di kota itu. Dan si tukang bunga pun sibuk memperoleh banyak pesanan. Itulah penghasilan utamanya dari menjual bunga.

Tapi sudah dua minggu ini, si burung gagak tak tampak. Si tukang bunga, pemilik sebuah kios bunga menjadi resah. Berhari-hari dia gelisah, tidak bisa tidur, dan tidak enak makan. Apalagi radio transistornya sudah lama tidak menyiarkan berita lelayu. Apakah sudah tidak ada lagi orang yang mati di kota ini? Sementara itu, selama beberapa hari ini kebetulan si tukang bunga juga mengalami mimpi-mimpi yang aneh. Yaitu mimpi tentang mendiang ibunya, dan mendiang istrinya yang mengajaknya pergi ke sebuah tempat yang jauh.

Dan dalam waktu yang hampir bersamaan, datang segerombolan pemuda entah darimana, memalak seenaknya. Meski si tukang bunga sudah berulangkali meyakinkan bahwa kiosnya sepi, tetapi pemuda itu tidak percaya dan ngotot tetap minta uang. Mereka tetap tidak mau mengerti bahwa pesanan bunga untuk orang mati sudah tidak ada. Akibatnya setiap hari dia harus membuang bunga-bunga yang membusuk. Bunga-bunga menumpuk, menggunung, menjadi sampah. Tumpukan sampah itu tentu saja menimbulkan bau tak sedap. Baunya minta ampun. Sampah-sampah itu kadang-kadang menutupi got, membuat got jadi macet dan membuat air tergenang.

Karena trotoar juga termasuk jalur hijau, maka hal itu mengundang petugas yang mengaku-aku dari dinas kebersihan pemkot datang dan menggertak dia untuk segera merobohkan kiosnya. Tapi karena sesampai di sana petugas itu membaui bau-bauan tak sedap, semakin marahlah petugas kebersihan pemkot itu. “Wah, bau-bau ini jelas mengganggu lingkungan,” ujar petugas pemkot. Setelah beradu mulut, petugas pemkot memberi waktu sebulan pada si tukang bunga untuk merobohkannya sendiri. Atau kalau tidak, akan didatangkan sebuah bulldozer untuk meratakannya dengan tanah. Entah karena adanya sampah dengan bau yang ditimbulkannya, nyatanya orang yang datang ke kiosnya juga mulai sepi. Yang datang hanyalah ibu-ibu pejabat yang sudah merasa tergantung pada bantuannya, dan pemuda-pemuda yang kepepet yang harus memberi bunga pada pacarnya.

Seperti ada tangan aneh yang mengatur semua ini, pikir si tukang bunga. Semua serba dadakan. Tidak ada gejala yang tampak sebelumnya.

Saking gelisahnya, setiap hari dia duduk mencangkung di depan kiosnya, dengan kepala selalu menengadah ke langit. Kalau itu dirasakannya membosankan, ia pun menyusuri trotoar dan menengok ke arah pohon-pohon yang ada di kota itu. Tapi sejauh-jauh mata memandang yang terlihat hanya langit yang bebas, matahari terik dan angin yang berkesiur pelan, dan pohon-pohon yang tak bergerak. Dan sahabatnya itu sama sekali tak tampak. Kemana dia gerangan?

“Jangan-jangan sakit?” dia berpikir.

Kios milik si toko bunga jauh sederhana dibanding dengan toko-toko bunga di pusat kota yang biasanya wangi, dan penuh dengan rangkaian bunga di etalasenya. Kios si tukang bunga tak ada pajangan bunga sama sekali. Bahkan etalase saja sama sekali tidak punya. Kios itu pun hanya dibangun setengah permanen. Tiang-tiang seluruhnya terbuat dari bambu, dan atapnya dari ijuk. Yang membedakan dengan kios-kios cukur, atau kios-kios penjual ayam goreng paling hanyalah banyaknya tumpukan bunga dan kini, sampah-sampah bunga yang menggunung.

Meski begitu selama ini pelanggannya banyak dari berbagai kalangan. Termasuk para ibu pejabat yang datang ke kiosnya untuk minta dirangkaikan bunga untuk keperluan arisan atau rapat di kantor dan sekali tempo ada juga anak muda datang ke sana, sekedar minta saran untuk dibuatkan rangkaian bunga yang pas. Tapi lebih banyak lagi, preman-preman yang datang ke sana, yang minta diberikan bunga apa saja sebagai tanda cinta untuk pasangannya. Semua diberikan cuma-cuma. Akibatnya setiap kali ia membuka kiosnya, banyak orang berebutan datang supaya dapat kebagian bunga-bunga gratis.

“Lho, apa Bapak tidak rugi? Bagaimana Bapak bisa memberi bunga secara gratis pada pengunjung yang datang?” seseorang pernah bertanya.

“O, tidak apa. Daripada jadi sampah, mendingan saya berikan pada siapa saja secara cuma-cuma. Lagipula orang yang saya beri itu juga senang,” jawabnya tertawa.

Bukan rahasia umum pula, bahwa si tukang bunga adalah pendengar radio. Ke mana pun dia bergerak, sebuah radio transistor mini tercangklong di pundaknya. Tapi tak banyak yang tahu bahwa radio itu sebetulnya berfungsi untuk memantau berita dukacita setelah sebelumnya si burung gagak sahabatnya datang memberi kode. Jadi berita radio itu sebetulnya hanya untuk memastikan, siapa dan di mana alamat keluarga yang berduka. Boleh percaya boleh tidak, meski kota itu kecil, tapi selama ini memang ada saja di antara penduduk kota itu yang meninggal. Kadang satu, kadang belasan. Penyebabnya bisa macam-macam: karena usia tua, karena penyakit atau bunuh diri. Si tukang bunga sangat senang bila ada berita seperti itu. Begitu ada berita lelayu disiarkan, baginya itu pertanda baik. Pesanan bunga akan segera datang berlimpah. Dia merasa harus bersiap-siap untuk menyambut datangnya rejeki dari Tuhan itu.

Tapi itulah, banyak hal menimpa dirinya belakangan, sebelum menyadari bahwa si burung gagak sahabatnya sudah lama tak menyambanginya. Radio transistornya sudah lama tidak menyiarkan berita lelayu.

“Apakah sudah tidak ada lagi orang yang mati di kota ini? Apakah acara itu sudah dihapuskan?” tanyanya lewat telepon kepada seorang penyiar radio yang jadi langganannya.

“Acara apa?”

“Acara berita kematian.”

Si penyiar radio terbahak. “Ah, itu berarti memang tidak ada orang meninggal. Kita harus senang karena hal itu menandakan kesejahteraan masyarakat meningkat,” jawab si penyiar.

Dia lalu menceritakan mimpi-mimpi anehnya pada seorang ibu pejabat yang dianggapnya dekat. Yaitu mimpi tentang mendiang ibunya, dan mendiang istrinya yang mengajaknya pergi ke sebuah tempat yang jauh.

“Mimpi didatangi ibu dan istri kok dibilang aneh?” tanya ibu pejabat itu.

“Ya, soalnya sudah lama saya tidak pernah bermimpi mereka.”

“Barangkali Bapak kangen sama mereka, jadi terbawa dalam mimpi,”

“Ah, tidak. Saya bahkan sudah melupakan mereka.”

“Itu juga bisa jadi penyebab.”

“Ah, ada-ada saja,” gumam si tukang bunga tidak mengerti.

Dan sekarang saja baru disadari, si burung gagak sahabatnya hampir satu minggu tak muncul. Pantas. Kemana burung gagak itu pergi? Kenapa burung gagak tidak datang mengunjungi dia lagi?

“Kalau dia berhalangan, pasti ada sebab musababnya,” pikirnya. Dia yakin, burung gagak itu sakit, dan sekarang sedang beristirahat sambil bersembunyi di sebuah tempat. Dia merasa harus menolongnya. Paling sedikit, dia harus tahu sebab musababnya, kenapa ia tak datang.

Karena didorong rasa penasaran, dia rela menutup kiosnya. Orang yang setiap hari lalulalang di depan kiosnya tentu terheran-heran.

“Kok tumben tutup? Mau kemana, pak?”

“Ada urusan.”

“Bagaimana kalau ada orang cari bunga?”

“Bilang saja, saya ada urusan.”

“Sampai kapan”

“Sampai urusan diselesaikan.”

Dan dia mulai menyusuri setiap sudut kota. Setiap pohon dan gerumbulan pohon didatangi. Jangan-jangan di burung gagak di sana, pikirnya. Dia juga terus menengok ke arah langit, siapa tahu dia bisa melihat ada burung melintas. Tapi pemandangan langit masih seperti biasa: tetap luas tak bertepi dengan gumpalan-gumpalan awan di sela-selanya. Tak ada kehidupan. Tak ada bayangan dan suara burung gagak.

Ia pun mulai menyusuri trotorar dan menjelajahi sudut-sudut kota mencari burung gagak itu. Dan terhadap setiap pepohonan dia selalu menengok dan menoleh-noleh. Dia berharap jangan-jangan sahabatnya itu tengah duduk bertengger di sana. Tapi si tukang bunga menjadi kecewa setelah yakin bahwa pohon-pohon itu tetap kosong; hanya berisi ranting, cabang dan daun. Ia lalu menatap langit yang bertepi. Tapi langit itu juga tetap kosong. Sesekali ia juga menghentikan langkah. Mencoba memasang kupingnya. Ini menyebabkan ia mendengar suara ricik air, debur orang mandi, dan bunyi kodok mendengkur. Tapi ternyata sejauh-jauh dan sekuat-kuat ia memasang kupingnya, tidak ada terdengar suara kwak-kwak sama sekali. Hanya kesiur angin. Hanya daun-daun yang rontok tertiup angin. Kemana dia pergi? tanyanya.

“Ayolah sahabatku, menampaklah, jangan buat aku seperti ini,” katanya meratap dalam hati.

Jika magrib keburu tiba, si tukang bunga pun bergegas pulang ke rumah. Dan paginya dia berangkat lagi. Orang-orang yang biasa lalulalang di depan kiosnya kembali berseru-seru. Tapi dia tetap mengatakan bahwa urusannya belum selesai.

“Kami merasa sepi, tidak mendengar lagi suara radio,” kata salah seorang dari mereka.

Si tukang bunga tak menjawab sepatah kata pun, Tampak benar, ia sedang dirundung banyak masalah. Maka di bawah tatapan orang-orang yang melihatnya, ia pun terus melanjutkan langkah kakinya. Menyusuri sepanjang trotoar kota. Menengok pepohonan. Menatap langit. Memasang kuping. Saat itu, ia mulai menyadari bahwa dia merasa kangen sekali bertemu dengan sahabatnya itu. Dan baru menyadari betapa besar rasa kangen itu. Dan betapa persahabatan itu telah menjadi ketergantungan.

Hari itu, entah pada hari ke berapa, langit yang senja, dengan cepat menjadi gelap. Langit mendadak gelap. Lampu-lampu jalanan menjelaskan rintik hujan, pertanda hari gerimis. Ia pun memutuskan untuk berteduh di bawah sebuah pohon. Tiba-tiba ada suara kwak-kwak di atasnya. Ia menoleh ke langit secara reflek. Seekor burung gagak melintas di tengah rintik hujan. Matanya berkilat. Bulu-bulunya kuyup karena hujan. Si tukang bunga terkesiap. Tanpa menggubris hujan dan terpaan lampu yang menerjangnya, ia pun lari menyeberang jalan. Saat itu juga orang-orang di pinggir jalan menyaksikan seorang lelaki dengan mencangkong sebuah transistor menyeberang jalan, menubruk sebuah mobil yang sedang berlalu dengan kencang. Lalu terdengar kwak-kwak, suara burung gagak.***

Serpong 20 Sept. 2009

lelayu= dukacita

Dimuat di Suara Karya, 7 November 2009
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=239389

Perempuan Pemuja Kata

Cerpen: Kurniawan Junaedhie

Kamu mungkin akan melupakan orang yang tertawa denganmu, tetapi tidak mungkin melupakan orang yang pernah menangis denganmu (Kahlil Gibran)


Sungguh menakjubkan. Perempuan itu tidak hanya cantik, tetapi juga pandai menyusun kata. Dan kata itu oleh dia, --menurut hemat saya-- ditekuk-tekuknya, lalu dibentuknya menjadi kalimat, dan kalimat-kalimat itu kemudian ditata dan dipatut-patutkannya dalam sebuah rangkaian puisi atau prosa. Maka besar dugaan saya, ia telah menuliskan banyak kata selama hidupnya. Tapi kemudian dia menyanggah.

Perempuan itu menurut pengakuannya sendiri berusia 37 tahun. Ia adalah ibu dari dua anak yang berusia 17 tahun dan 12 tahun. Ketika si bungsu lahir, sekitar umur 3 bulan, suaminya kabur dengan perempuan lain. Sejak itu ia tidak pernah bersua lagi dengan suaminya, kecuali ketika mengurus surat perceraiannya. Itu pun tak sempat bertemu, karena si suami kemudian menyerahkan urusan perceraiannya kepada pengacaranya.

Dengan cara bodoh saja, saya bisa menaksir bahwa ia menikah sedikitnya pada saat berusia 20 tahun. Itu pun dengan catatan, begitu menikah, dia hamil dan langsung melahirkan si sulung tadi. Dan sejak 12 tahun lalu, kalau keterangan yang diberikan benar dan sahih, maka sejak saat itu pula ia tidak pernah tidur bersama lelaki lainnya, kecuali suami sialan itu. Hanya ada keterangan tambahan: saat dia berjilbab dan berusia 20 tahun dia diperkosa.

Kalau saya mengatakan tubuhnya langsing, jangan kaget. Tapi memang, ketika saya kemudian mengetahui lebih jauh, sungguh menakjubkan bahwa, ternyata perutnya tetap pipih. Tak ubahnya perut seorang gadis. Sepengetahuan saya, itu bukan perut ibu dari dua orang anak yang biasanya sudah berlipat-lipat, membentuk undak-undakan. Dan ketika saya pun kemudian menyentuh tubuhnya, --subhanallah-- semakin takjublah saya, bahwa payudaranya ternyata masih sintal. Kedua gunung kembar itu berdiri gagah: tegak dan tidak loyo. Sekali lagi, aneh. Ini jelas bukan gambaran lumrah untuk payudaya seorang ibu dari dua anak yang biasanya sudah menggelambir.

Tapi begitulah kira-kira urutannya, bagaimana saya bisa mengenal perempuan berperut pipih yang pintar bermain kata itu. Apakah karena ia jarang disentuh lelaki lain setelah pisah dari suaminya? Kenapa ia suka merangkai kata? Kenapa ia tetap cantik? Semua itu menjadi pertanyaan saya, setelah beberapa kali pertemuan.

Ia menelepon saya pada suatu Sabtu. Karena saya sedang bersama keluarga, telepon tidak saya angkat. Saya kirim SMS, agar ia kirim pesan singkat saja. Beberapa detik kemudian, ia mengirim pesan, bahwa ia ingin bertemu saya.

Saya segera meluncur dan bertemu di sebuah kafe, di bilangan Sabang. Kafe itu bernama Kopi Thiam Oey, katanya, milik Bondan Winarno. Siapa Bondan, tak penting benar. Saya hanya ingin mengatakan bahwa, saya bertemu di sana di suatu hari Sabtu, di mana kafe itu biasanya penuh sesak dengan tetamu.

Penerangan lampu di kafe itu remang-remang. Enak untuk main mata dan bisa untuk saling menjawil tanpa diketahui orang.

“Kenapa kamu mau berkenalan dengan saya?” itulah pertanyaan yang sering saya ulang-ulang setiap bertemu. “Saya hanya lelaki berumur. Kalau kamu mau, kenapa kamu tidak memilih saja lelaki lain, yang jauh lebih muda?”

Perempuan itu tersenyum dan menyandarkan kepalanya di pundak saya.

Hubungan kami sebetulnya baru berlangsung 3 bulan. Tapi kami merasa sudah akrab satu sama lain. Mungkin karena hampir setiap menit, kami berkirim pesan pendek. Atau kalau kebetulan kami sedang membuka internet, kami berkirim pesan lewat inbox atau chatting. Pekerjaan itu bisa memakan waktu dari pagi sampai subuh dinihari. Nah, ini dia.

Pada mulanya adalah, kata.

Ia menulis begini di dinding Fesbuknya:

Kamu mungkin akan melupakan orang yang tertawa denganmu, tetapi tidak mungkin melupakan orang yang pernah menangis denganmu (Kahlil Gibran)

Bagi saya, kalimat ini agak aneh. Kahlil Gibran bagi saya kedengarannya sudah kuno. Kenapa perempuan itu menyukai Gibran? Adakah kelebihannya?

“Dari mana kamu tahu?” tanya saya.

“Saya membaca The Prophet dalam versi aslinya,” jawabnya.

Untung saya tidak sedang berhadapan muka. Kalau tidak, dia tahu perubahan wajah saya, karena saya cuma membaca hasil terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh Bahrum Rangkuti pada tahun 1949.

Beberapa hari kemudian, dia menulis lagi begini:

Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. (SGA)

Saya merasa tidak asing dengan kalimat itu. Siapa SGA? Saya juga tidak merasa asing dengan akronim ini. Langsung aku menanyakan, pemilik kalimat itu, di bawahnya. “Aku pemuja Seno Gumira Adjidarma,” tulisnya kemudian. “Aku bahkan kenal istrinya. Ike namanya.” Dia melanjutkan.

Saya bertanya, bukankah kamu pemilik dan pemuja banyak kata, kenapa kamu mengutip tulisan itu?

“Bagi saya kata-kata cuma benda yang bisa ditekuk-tekuk, atas kemauan saya. Sayalah majikan atas kata-kata itu. Saya tidak pasrah pada kemauan kata-kata. Kata-kata yang dibiarkan memang akan liar seperti anjing hutan. Kata-kata yang dibiarkan juga akan seperti serpihan batu, yang tidak kuat bobotnya. Kata-kata harus diarahkan agar sesuai tujuan kita,” tulisnya mengejutkan.

“Jadi apa arti puisi-puisimu selama ini?”

“Tangkaplah dari apa yang kumau. Jangan kamu mau terpedaya kata-kata di dalamnya.”

Saya bukan sastrawan, bukan pujangga. Tapi dari situ saya tahu bahwa dia tidak hanya bercitarasa tinggi, tetapi juga asyik. Saya senang berkenalan dengan perempuan seperti ini. Jarang-jarang ada perempuan seperti ini. Kami keterusan bermain kata. Sampai akhirnya perempuan itu minta ketemuan di sebuah Mal. Saya sempat merasa aneh.

“Bagaimana suamimu?” tanya saya.

“Saya punya suami tapi itu tidak penting benar.”

Aku melongo. Perempuan itu malah balik bertanya, “Apa yang salah?”

Saya agak terpojok.

“Tentu tidak apa-apa,” saya cepat mengelak dan mengalihkan perhatian. “Tapi mal itu pasti luas. Saya belum pernah ke mal itu.”

“Kita ketemu di JCO saja. Dari luar, sudah tampak mereknya. Siapa datang duluan, duduk saja di situ.”

“Oke.”

Seorang lelaki setengah umur seperti saya jelas tidak nyaman berduaan di tempat umum dengan seorang perempuan. Meski saya bukan selebritis, bukan tidak mungkin ada saja kenalan di mal itu yang melihat kami. Karena itu saya mengajak dia mencari tempat yang lebih afdol. Tanpa dinyana dia menawari masuk karaoke. Yang surprise, perempuan yang kata-katanya romantis itu, tak segan-segan menyanyi dengan riang. Dan sekali tempo, menyerahkan mike agar saya juga ikut menyanyi. Aku mulai berpikir bahwa perempuan ini sesungguhnya kesepian. Dia pada dasarnya membutuhkan teman, untuk berbagi perasaan dan bertukar pikiran. Dan saya dianggapnya orang yang tepat untuk itu. Dan meski tempatnya remang-remang, kami tidak melakukan apa-apa, kecuali bercakap-cakap, atau berbisik-bisik. Seingat saya dia sempat menyandar di pundak saya. Tapi kemudian, dia minta maaf, merasa tidak pada tempatnya.

Kami minum bir, ngobrol ringan, menyanyi, Begitulah, kami berada di karaoke itu sampai karaoke itu tutup.

Karena hari sudah malam, saya menawarkan diri untuk mengantarnya ke rumah. Nah di dalam mobil, saya mulai melihat dia agak genit. Dia duduk seenaknya di samping saya menyetir. Dia menyilangkan kaki bahkan, mengangkat kakinya di dashboard seperti orang slebor sehingga roknya tersingkap. Dengan sendirinya, diterpa lampu-lampu jalanan, dengan sangat jelas saya bisa melihat celana dalamnya. Saya pikir, dia mabuk, kebanyakan alkohol. Tapi saya pura-pura tidak tahu. Perempuan memang sering tak terduga.

Tepat di depan rumahnya saya turunkan dia. Dia agak lama berkutat sebelum turun, padahal central lock sudah saya buka. Dalam kegelapan di dalam mobil itu, saya merasa, dia terus memandangi saya.

“Ada apa?” saya bertanya mendadak ke arahnya.

“Aku senang berkenalan denganmu,” jawabnya. Senyumnya lucu. Tidak nakal.

Karena tidak turun-turun juga saya pikir, dia mungkin ingin kami berciuman dulu seperti dalam film-film. Saya mengangsurkan wajah. Saya pegang tangannya. Tapi dia langsung membuka pintu. Melompat keluar. Saya dibuat terkesima. Padahal saya ingin mengucapkan salam untuk suaminya.

Minggu berikutnya saya janji ketemuan lagi. Bukan di JCO, tapi di toko buku masih di mal itu. Karena saya pria berumur yang tak ingin dilihat orang sedang kencan dengan perempuan lain, saya ajak dia keluar dari mal. Kali ini tanpa ragu saya ajak dia ke motel. Kalau pun dia menolak, atau tersinggung saya sudah siap jawabannya. Tapi perempuan itu tidak menolak.

Begitu pelayan pembawa air minum meninggalkan kami, dia sudah memeluk saya. Saya agak kaget. Terkesiap. Dia menciumi saya. Mencopoti pakaian saya sambil juga mencopoti gaunnya sehingga kami berpelukan dalam keadaan telanjang. Dia melakukan apa saja yang selama ini tidak pernah saya bayangkan.

Sehabis itu, bahkan selama di mobil waktu saya antar pulang, kami tidak bercakap sepatah kata pun. Kata-kata tiba-tiba menjadi tidak berarti. Di depan rumah, saya turunkan dia. Juga tanpa ciuman seperti dalam film. Saya membayangkan, suaminya sedang mengintai dari balik pintu.

Besok paginya, begitu bangun tidur saya membuka Facebook. Saya tidak menemukan pesan atau kalimat-kalimatnya. Di kantor, saya buka lagi. Masih tidak saya temukan apa-apa di fesbuk. Kemana dia? Apa dia menyesal telah bertemu saya face to face? Saya punya nomor handphonenya. Tapi kalau benar dia telah menyesal berjumpa saya, buat apa saya menghubunginya?

Malamnya saya tidur gelisah. Saya seperti membaca baliho besar iklan rokok yang betuliskan, Gak Ada Loe, Gak Rame. Saya ingat suara perempuan itu. Saya ingat waktu dia pegang microphone di tempat karaoke. Saya ingat aroma rambutnya ketika dia secara tak sengaja menyandarkan kepalanya di pundak saya. Saya ingat kakinya mengangkang di dashboard itu. Saya ingat celana dalam itu. Saya ingat bagaimana dia seperti ular membelit saya, dan menggigit saya. Pokoknya saya gelisah. Saya membuka laptop. Lampu layar laptop benderang dalam kegelapan kamar. Cahaya di layar itu menimpa wajah istri saya sedang tidur terlelap. Tapi kata-kata perempuan itu tidak ada di layar. Layar seperti kehilangan kata-kata bersama hilangnya perempuan itu. Saya kemudian membayangkan bahwa suaminya sesungguhnya tahu semua perbuatan istrinya, tapi tak mampu berkata-kata. ***



Serpong, 9 Sept. 2009


Sepatu Elvis

Cerpen: Kurniawan Junaedhie


Meski sudah beberapa kali ditawari membeli sepatu baru, Farhan tetap ogah dan bersikukuh bahwa dia tidak memerlukannya. Padahal, menurut istrinya, sepatu yang selama ini dia pakai, sudah tidak up to date lagi. Kulitnya saja sudah berkerut-kerut, seperti kulit nenek-nenek. Warna hitamnya pun sudah bulukan. Bahkan cenderung sudah berjamur. Tapi karena rajin dirawat dan disemir, kerut-kerut itu nyaris tidak tampak dan warnanya tetap kinclong. Saking setia pada sepatu itu, warga di kompleks perumahan di mana Farhan tinggal sangat familiar dengan sepatunya. Bahkan beberapa anak muda tetangga suka meledek bahwa saking kinclongnya, sepatunya bisa untuk bercermin. Mereka menjuluki sepatu Farhan sebagai Sepatu Elvis, sepatu yang dulu konon sering dipakai mendiang Elvis Presley. Haknya tinggi, dan ujungnya lancip.

Tapi baru-baru ini, sikap Farhan berubah drastis. Dia merasa bosan dengan sepatu Elvisnya. Dia ingin membeli, memiliki dan memakai sepatu baru. Alasannya, musim hujan akan segera tiba. Dia takut bila sepatu lama itu menginjak tanah, solnya copot tertinggal di tanah becek mengingat usianya yang sudah tua. Sudah banyak kejadian seperti itu yang dilihatnya, dan itu pasti akan membuat pemiliknya malu luar biasa. Untungnya sekarang membeli sepatu tidak harus di Pasar Baru. Di mana pun tersedia. Maka Farhan pun dengan cepat mendapat penggantinya.

Persoalannya, bagaimana nasib sepatu yang lama? Dia merasa sayang jika sepatu Elvis itu dibuang begitu saja. Dia tidak mau jika sepatu itu sampai ke tangan para pemulung karena para pemulung akan tega mencacah-cacahnya untuk bahan daur ulang.

“Lagipula, sudah banyak kenangan tersimpan dalam sepatu itu,” kata Farhan pada istri dan anak-anaknya. “Dia yang menemani kita ke mana pun kita pergi selama ini. Bahkan dia menemani kita ketika kita kawin dulu. Masak kau tak ingat? Butut-butut begitu, dia juga yang menemani langkahku sejak merintis karier sampai sekarang.”

Karena itu sepatu lama disepakati untuk disimpan saja sebagai kenang-kenangan. Apalagi istri Farhan pandai mendokumentasikan benda-benda bersejarah seperti itu. Mulai dari tiket pesawat, pulpen, batu batere, tas kresek sampai nota-nota pembelian sudah berhasil disimpannya. Barang-barang itu kini berdesak-desakan di kamarnya, sebagian di kamar anaknya dan sebagian di ruang tamu.

Dasar Farhan, meski sudah memiliki sepatu baru, ia masih saja suka kepingin melirik sepatu Elvis-nya. Mungkin, karena, seperti katanya kepada siapa pun, ia melihat sejarah hidupnya di sana. Bahkan karena itu, suatu hari, suami istri itu nyaris bertengkar hebat.

“Mana sepatu lamaku?” tanya Farhan.

“Ada di tumpukan,” jawab istrinya

“Tumpukan yang mana? Begitu banyak tumpulan di rumah ini. Yang mana?”

“Heran, sudah punya sepatu baru masih juga mencari sepatu lama,” gerutu istrinya.

“Sudahlah. Jangan cerewet. Tolong cari sepatuku. Hayo…”

“Kalau mencari barang jangan pake mulut dong,” kata istrinya kesal. Istrinya mulai mencari dan mengubek-ubek seluruh sudut rumah. Tapi karena banyak tumpukan benda-benda bersejarah di rumahnya, sepatu itu belum juga ketemu. Farhan sudah mulai tidak sabar. Rupanya dia sudah ngebet dan kangen melihat sepatu lamanya.

“Ayo cari, pokoknya cari sampai ketemu,” katanya meledak-ledak.

Istrinya stres dibuatnya. Terpaksa ia mengerahkan seluruh anggota rumah –termasuk si Mbak-- untuk mencarinya.

Penyisiran dilakukan di semua sudut rumah. Semua lemari digeledah Semua kardus yang dicurigai dibongkar. Meja kursi disingkirkan. Alhamdulillah, sepatu lama itu akhirnya ketemu juga. Di sebuah sudut yang tak terduga. Dekat WC.

“Keterlaluan. Sepatu bersejarah kok ditaruh sembarangan,” ujar Farhan mengumpat-umpat.

Karena kapok mengalami kejadian serupa, istrinya sekarang sengaja menaruh sepatu Elvis Farhan di ruang keluarga. Dengan demikian, bila Farhan kangen, sepatu itu dengan mudah ditemukannya. Tapi pada suatu hari, muncul kegemparan baru. Anak-anak Farhan yang biasanya nonton televisi di ruang itu, merasa terganggu oleh bau-bau yang tidak sedap.

“Baunya seperti terasi,” kata anak sulungnya.

“Terasi yang sudah busuk,” sambung anak keduanya.

“Jangan-jangan ada bangkai tikus.”

Akibat bau tak sedap itu darah tinggi Farhan ikut kumat. Dia meminta istrinya segera mengusut sumber bau-bauan itu.

“Ini tidak sehat. Setiap hari kita menghisap udara di ruang ini. Bisa-bisa kita kena radang paru,” katanya setengah berteriak.

“Heran ya, saya kok tidak membaui apa-apa,” kata istrinya sambil mendengus-dengus.

“Tentu saja, kamu kan setiap hari di rumah. Jadi hidungmu sudah terbiasa,” jawab Farhan.

Tapi meski sudah dicari, sumber bau rupanya tak mudah ditemukan. Maka seisi rumah pun uring-uringan. Anak-anak mulai tidak betah di rumah. Pulang sekolah mereka tidak langsung pulang ke rumah tetapi melancong dulu ke mal. Alasannya, tidak tahan dengan bau menyegat di ruang tamu. Untung, sumber bau segera ditemukan. Ia berada dalam sebuah kardus yang isinya tak lain tak bukan adalah sepatu lama Farhan.

“Heran, Ayah tidak hapal pada bau sepatunya sendiri,” gerutu anak-anaknya.

“Iya ya, bisa-bisanya aku tidak hapal bau sepatu sendiri,” komentar Farhan tersipu-sipu.

“Tentu saja, Ayahmu setiap hari memakainya. Jadi hidungnya sudah kebal,” istrinya menyindir.

Karena dianggap bau sepatu itu sudah mengusik keharmonisan rumahtangga, dan Farhan masih juga bersikukuh tidak akan membuangnya, kali ini disepakati sepatu Elvis diletakkan di ruang tamu saja. Paling tidak jauh dari ruang pertemuan keluarga.

“Bagaimana kalau tamu-tamu terusik oleh baunya?” tanya istrinya.

“Gampang. Nanti saya tarok di atas lemari pajang biar baunya tidak perlu mengusik orang yang berada di bawahnya,” kata si Mbak yang punya usul. Dan si Mbak juga meyakinkan bahwa selama itu dia akan rajin menyemprot air freshner. Benar saja. Bau sepatu mulai bisa diredam. Para tamu, terbukti tak ada yang sampai menutup hidung kecuali jika tamu itu berlama-lama.

Farhan senang. Dia masih bisa menjumpai sepatunya dengan mudah, meski Cuma memandang kardusnya saja dari bawah. Sedang istri dan si Mbak senang, karena mereka tidak perlu lagi direpotkan oleh hal-hal yang tidak perlu.

Tapi pada suatu hari terjadi sesuatu yang mengejutkan. Gara-gara seekor kucing yang memburu tikus, kardus sepatu Elvis tersenggol, terjatuh, dan –alamak-- menimpa seorang tamu yang ada di bawahnya. Farhan dan istri kaget bukan main. Karena merasa bersalah, Farhan dan istri terbungkuk-bungkuk minta maaf pada sang tamu. Farhan yang merasa malu, marah besar pada istri. Istri menimpakan kesalahan pada si Mbak yang menaruh kardus sepatu di atas lemari. Si Mbak tak mau disalahkan begitu saja. Dia menyalahkan kucing yang seenaknya melompat ke atas lemari pajangan.

Diam-diam istri dan si Mbak mulai tidak senang dengan sepatu itu. Juga anak-anak. Sepatu itu sudah terlalu menyusahkan mereka. Maka mereka mulai berkomplot, bagaimana caranya mengenyahkan sepatu itu tanpa harus diketahui Farhan.

“Kardusnya tetap kita pasang, tapi sepatunya kita buang,” usul anak-anaknya. Si Mbak ditugaskan membuang sepatu butut itu.

“Terserah buang ke mana. Ke laut kek atau ke sumur, sebodo. Pokoknya jangan ada di rumah ini. Bikin sial,” kata anak-anak itu meluap emosinya.

“Beres,” kata si Mbak.

Sejak itu, keluarga itu mulai menikmati kedamaiannya kembali. Masing-masing anggota keluarga bekerja kembali sesuai fitrahnya. Setiap hari Farhan berangkat dan pulang kantor seperti biasa. Istri Farhan mengurus rumahtangga. Anak-anak kuliah. Si Mbak bekerja di dapur. Hari-hari berjalan dengan nyaman. Sekarang tak ada lagi yang perlu mengendus-endus bau yang tak sedap. Tak ada lagi perasaan saling mencurigai, dan orang yang berbicara meledak-ledak di rumah. Farhan sendiri mulai merasakan kebahagian tersendiri. Bau tak sedap sudah tak ada lagi. Kardus sepatu juga masih di tempatnya. Kalau lagi kangen ia masih bisa mengerling kardus sepatu Elvis-nya.

Namun kedamaian itu rupanya tak berlangsung lama. Keluarga itu masih harus menerima ujian. Di suatu pagi, terjadi peristiwa yang mungkin tak akan bisa mereka lupakan seumur hidup. Keluarga itu belum menyadari apa-apa, ketika Si Mbak berteriak dengan panik pada suatu pagi.

“Banjir..banjir…!”

Si Mbak menggedor pintu majikannya. Betapa kaget Farhan, ketika dia bangun dan hendak mencari sendalnya, lantai kamarnya sudah digenangi air. Ia pun melompat dan bersijingkat keluar. Tahulah sekarang, air sudah menggenangi seluruh rumahnya hampir setinggi 5 centi. Rupanya banjir melanda di kompleks perumahannya akibat hujan turun semalaman. Bukan hanya rumah, tetapi air hujan itu juga menggenangi sebuah mushala, lapangan voli, dan sebuah taman kanak-kanak yang berada di kompleks. Dan yang bikin para ibu kesal, toko-toko penjual air mineral, gas elpiji dan beras juga tutup. Pemiliknya sibuk menyelamatkan harta bendanya dari amukan air. Akibatnya para bapak tidak bisa berangkat kerja, dan anak-anak bolos sekolah.

Seperti tetangga lain, tanpa pikir panjang Farhan menyuruh istri, anak dan si Mbak untuk menyelamatkan buku, majalah, koran, timbangan badan, dan aneka kardus ke atas meja atau lemari agar tidak basah atau terhanyut oleh genangan air.

Untunglah, musibah itu tak berlangsung lama. Sekitar jam 8, genangan air itu mulai menyusut. Jam 10, praktis genangan air sudah lenyap, berganti lumpur yang berserakan di seluruh kompleks.

Tapi sekitar pukul 11, mendadak ia mendengar suara gaduh di halaman rumah.

Ada segerombolan orang terdiri dari kaum bapak, kaum ibu dan pemuda yang mencoba menerobos masuk ke rumah Farhan tapi mereka sedang dihalang-halangi oleh Satpam kompleks.

Mereka menuding-nuding Farhan yang muncul di pintu, dengan penuh amarah.

“Apa salah saya?” tanya Farhan dengan bloon.

Salah seorang yang marah itu melempar sesuatu ke kaca rumah,

“Ini salahmu,” kata pemuda itu.

Kaca jendela nako hancur berkeping-keping.

Di antara kepingan itu, ternyata terdapat sepatunya yang sebelah kiri.

“Kenapa dengan sepatu saya?” tanya Farhan belum memahami keadaan sambil tergugu melihat sepatu Elvisnya dilempar orang dalam keadaan bonyok.

“Jangan belagak pilon !” teriak mereka.

Lagi-lagi, salah seorang di antara kerumunan yang marah itu melempar sesuatu ke arah jendela yang lain. “Gara-gara sepatu Elvis butut milik Bapak itulah, got jadi macet dan menimbulkan banjir.”

Kaca jendela utama pun pecah terbelah lalu berkeping-keping.

Dan di antara kepingan kaca itu, terdapat sepatunya yang sebelah kanan. Lengkap sudah penderitaan Farhan.***

Serpong, 7 September 2009


(Dimuat di Jurnas 18 Oktober 2009
http://jurnalnasional.com/?med=Koran%20Harian&sec=Cerpen&rbrk=&id=106670&postdate=2009-10-18&detail=Cerpen)

Seorang Pemuda Berambut Gondrong

Cerpen: Kurniawan Junaedhie

Atas kersaning Gusti Allah, akhirnya Joko Bodo, anak muda berambut gondrong itu terpilih jadi anggota legislatif. Tidak hanya mendulang banyak suara, anak pengangguran itu juga terbukti telah menggulingkan nama-nama politisi senior, yang selama ini banyak diwawancarai televisi dan dikutip analisis politiknya di media massa. Ibarat tinju, dalam sekali ayunan swing, riwayat para politisi senior itu dibikin knock out oleh Joko Bodo. Posisi mereka langsung tumbang. Sang juara baru muncul. "The wonder boy", begitu suratkabar lokal menjuluki Joko Bodo, sesaat Komisi Pemilihan Umum mengumumkan hasil finalnya.

Seperti dikomando, orang di desa Dukuh Setu berduyun-duyun datang ke rumah orangtua Joko Bodo memberi upeti. Ada yang membawa padi, bebek, papaya, beras, gula pasir, ayam, telor dan rambutan. Dapur keluarga Yuliansyah mendadak menjadi penuh sesak oleh upeti-upeti itu. Para ibu sibuk membuat penganan dan sibuk menyedu kopi untuk para tamu bapak-bapak yang notabene suaminya sendiri.

Yang ikut sibuk tentu saja para pimpinan partai di mana Joko Bodo mencalonkan diri. Mereka langsung menempatkan diri sebagai panitia. Ikut sibuk menyambut tamu, menemani orangtua Joko Bodo dan sesekali meneriakkan slogan-slogan partai. Beberapa di antaranya bahkan berinisiatip membentangkan spanduk di pagar rumah orangtua Joko Bodo. Spanduk itu bertuliskan, "Sugeng Rawuh" tapi di bagian bawah dan samping kiri kanan tercantum lambang partai yang mengusung Joko Bodo.

"Sudah saya duga. Anak saya itu memang jempolan. Otaknya cemerlang," kata bapaknya kepada handai taulan yang menyalaminya. Bapak Joko Bodo dikenal sebagai tukang adu ayam. Jadi dia merasa bahwa, kali ini jagoannya tidak meleset.

Di lembar pencontrengan tentu saja nama Joko Bodo tidak tercantum. Di sana ia menggunakan nama asli, sesuatu akta lahir: Yuliansyah Fariduddin Kazim . Ah, sebuah nama yang keren. Yuliansyah, karena dia lahir di bulan Juli. Sedang dua nama terakhir, sepertinya dalam bahasa arab, berarti permata agama yang penyabar.

Nama Joko Bodo sendiri nama pemberian orangtuanya sewaktu kecil karena sebagai anak laki-laki dia dianggap bodo. Tentu saja si Joko Bodo menjadi dewasa, dan tidak terus bodo. Dia berkembang kemudian menjadi anak pintar.

Ketika teman-teman sebayanya memilih jadi pegawai negeri, ia malah memilih menjadi preman. Pekerjaannya, memalak tukang parkir dan pedagang di pasar. Kebetulan pula ia juga dikaruniai alam dengan banyak hal yang tak semua orang memilikinya. Ia, misalnya dikenal pandai dan jago berkelahi. Bahkan, ia pernah dikeroyok 10 orang sekaligus dan nyatanya tidak keder, meski tentu saja dia kalah, badannya babak belur. Tak hanya itu. Ia juga dikabarkan pernah membunuh sedikitnya 7 orang dalam masa 5 tahun. Tapi tak jelas dalam urusan apa, kenapa ia sampai membunuh orang sebanyak itu, dan kenapa dia tidak masuk bui karena itu. Ia memang diketahui pernah masuk sel di tahan polisi karena suatu kasus. Tapi esoknya dia sudah dibebaskan, karena konon, polisi ngeri. Meski tak jelas kebenarannya, berita-berita itu diterima masyarakat sebagai suatu mitos. Nama Joko Bodo pun melambung, sebagai seorang tokoh lokal yang disegani.

Dibanding nama Joko Bodo, praktis, nama para politisi yang mengaku memiliki konstituen di desa itu, tak ada seujung kuku hitamnya. Jangankan mereka, pak lurah dan pak camat pun, masih kalah pamor. Orang mana di kampung Dukuh Setu yang tidak kenal nama Joko Bodo, si preman gondrong? Mulai dari aki nini sampai anak balita yang sudah kenal orang, pasti tahu namanya. Mulai dari tukang becak, tukang ojeg yang mangkal di Dukuh Setu sampai para pejabat setingkat RT, RW sampai Kecamatan juga sangat friendly dengan nama Joko Bodo. Macam-macam reaksi orang memang kalau mendengar nama Joko Bodo. Ada yang bangga, tapi ada juga yang miris.

Ketika hajatan kecil itu berlangsung, rombongan Pak lurah bertandang. Dia datang diiringi para staf desa, seperti carik, jogoboyo, jogotirto, modin dan kebayan . Hadirin semua berdiri. Pak lurah dan rombongan menyalami bapak Joko Bodo. Mereka lalu duduk di ruang tamu bersama tamu-tamu lain para tetangga. Pak lurah dan rombongan sengaja diberi tempat duduk yang bagus, berupa sofa yang biar empuk kain pelapisnya sudah rombeng. Sebagaimana tujuan kedatangannya, Pak lurah langsung memuji-muji Joko Bodo dengan menyebut nama Yuliansyah sebagai sang pembawa perubahan. Sekali tempo, pak lurah juga mencoba memprediksi bahwa Yuliansyah pasti akan membawa berkah bagi kampungnya.

"Saya kira, dia tahu aspirasi kita. Yang mana, dia pasti akan memperjuangkannya," begitu kata pak lurah dengan gaya bahasa kelurahan.

"Sudah pasti, pak lurah. Itu tak perlu diragukan lagi," sahut ketua parpol.

Ayah dan ibu Joko Bodo manggut-manggut. Hidungnya kembang kempis. Karena kikuk, mereka lalu menyilakan, pak lurah beserta staf menikmati hidangan.

"Yang mana kita tahu, bahwa Joko Bodo eh Yuliansyah adalah wakil dari kampung kita. Sehingga," lanjut pak lurah.

Sekali lagi ayah ibu Joko Bodo manggut-manggut. Hidungnya kembang kempis. Lalu karena kikuk, mereka menyilakan pak lurah beserta staf menikmati hidangan. Ketika obrolan lagi seru-serunya, pak lurah meraba kantong baju dinasnya. Rupanya handphonenya yang disetel silence mode itu bergerak-gerak tanda ada telepon masuk. Dia langsung mengangkat hpnya dan melihat layar sekejap. "Pak camat, " gumamnya diikuti sedikit rasa panik. Tanpa sadar dia berdiri.

Halo pak camat," sapanya dengan nada sopan dan takjim. Dia diam menyimak. Rupanya pembicara di seberang banyak dan panjang bicaranya sehingga tak kedengaran suara pak lurah. Dia hanya sesekali kedengarannya mengatakan, "Baik. Baik, pak. Siap". Dan setelah beberapa waktu, ia langsung menutup handphonenya dan memasukkannya kembali di baju dinasnya. "Wah sebentar lagi pak camat mau rawuh," katanya seperti gelisah kepada tuan rumah.

Ayah ibu Joko Bodo manggut-manggut. Mereka sibuk berpikir, mimpi apa mereka semalam sehingga tiba-tiba saja rumah mereka didatangi para tamu agung. Karena tidak kuasa menahan pikirannya, Ibu Joko Bodo langsung berdiri dan mencolek paha suaminya memintanya ikut masuk ke dalam ruangan. Ayah Joko Bodo mengikut di belakangnya tergopoh-gopoh.

"Ini sebetulnya apa-apaan," ibu Joko Bodo langsung saja nerocos begitu mereka sampai di dalam kamar. "Saya betul-betul bingung."

"Sstt jangan keras-keras," jawab ayah Joko Bodo duduk. Dia menatap wajah istrinya "Terus terang, saya juga bingung," katanya. Sekarang mereka duduk terpekur di pinggir dipan. Dari sela jalusi pintu, suara riuh rendah para tetamu berbicara terdengar. Suara cekikikan terdengar. Lalu disambung suara orang ngobrol. Terdengar suara pak lurah, diikuti suara jogotirto. Atau sebaliknya diawali suara jogoboyo, kemudian diikuti pak lurah. Kadang juga ada suara ibu-ibu. Gelas pecah. Berdeting. Hari sudah menjelang sore. Sebentar lagi magrib.

Menjagokan Joko Bodo sebagai calon legislatif sebetulnya bukan ide original mereka. Ide itu datang dari para pimpinan parpol. "Hanya dua ekor sapi," kata pimpinan partai.

"Untuk disate?" ayah dan ibu Joko Bodo terkesiap sehingga bertanya secara kompak.

Ketua partai tertawa terbahak-bahak. Orang tua itu baru engeh kemudian apa arti kata-kata dua ekor sapi itu. Yaitu, sekitar harga dua ekor sapi kira-kira biaya kampanye untuk menjadikan Joko Bodo jadi seorang caleg .

"Dua ekor sapi?" ibunya ternganga. Pamannya seorang pedagang toko bahan bangunan tamatan SMEA melecehkan. "Namanya saja Joko Bodo. Bagaimana bisa menjadi pimpinan rakyat, membuat undang-undang apalagi mengusulkan anggaran Negara? Dua ekor sapi terlalu mahal untuk itu. Itu sama saja berjudi."

Mendengar kata-kata judi disebut, ayah Joko Bodo justru terpicu adrenalinnya. Sebagai tukang adu jago puluhan tahun, ia tahu bagaimana menilai baik buruknya kualitas ayam jagonya.

Paling tidak sebagai ayam aduan Joko Bodo memiliki sejumlah kriteria yang menjanjikan. Ia memiliki teknik tarung dan teknik pukul yang bagus. Sejarah juga sudah membuktikan. Bahkan, ia pernah dikeroyok 10 orang sekaligus dan nyatanya tidak keder, meski tentu saja dia kalah, badannya babak belur.

Ia juga memiliki darah keturunan yang kuat. Ia bukan jenis ayam aduan yang `cengeng' yang baru tiga empat kali kena pukul sudah keok. Sejarah hidupnya sudah membuktikan. Ia juga dikabarkan pernah membunuh sedikitnya 7 orang dalam masa 5 tahun.

Dan yang tak kurang penting, Joko Bodo juga memiliki katuranggga kemenangan. Katurangga berhubungan dengan anatomi susunan fisik seekor ayam. Entah itu warna bulunya yang `matang', susunan sisik kakinya yang bertuah, matanya yang bening, atau jenggernya yang berwibawa. Untuk semua itu, ibarat ayam aduan, Joko Bodo pun bisa dipertaruhkan. Memang tidak bisa dibuktikan secara ilmiah tapi percaya atau tidak, katurangga hanya merupakan pengalaman orang tua dahulu.

Nyatanya, sejak hasil manual dihitung, nama Joko Bodo langsung bertengger di atas nama-nama oldcrack. Sampai kemudian dinyatakan hitungan final nama Joko Bodo terus bertahan.

Pintu tiba-tiba diketuk. "Pak, bu, pak camat sudah rawuh," terdengar suara luar.

Kedua orangtua itu langsung berdiri, dan tergopoh membuka pintu kamar, lari ke depan untuk menyongsong pak camat. Pak Camat kelihatan berdiri di pintu. Dia seolah-olah sengaja berdiri untuk menunggu tuan rumah menyambutnya. Setelah tuan rumah menyambutnya, dan mempersilakan duduk, barulah ia duduk. Pak camat duduk persis di samping pak lurah. Sementara itu staf pak lurah seperti jogoboyo, kebayan dan jogotirto langsung tungganglanggang, mengambil posisi duduk menjauh.

"Saya hanya ingin mengucapkan selamat. Karena terus terang saya bangga sekali, bahwa warga kita ini ada yang terpilih sebagai wakil rakyat tingkat propinsi," kata pak camat dengan jumawa begitu merasa nyaman di tempat duduknya. Tampak pak lurah menyimak dengan takjim.

"Karena itu saya berharap agar nantinya, anggaran untuk pembangunan jalan raya, pembangunan mesjid, dalam rangka pembangunan spiritual dan imtak itu akan terus berlanjut. Juga, pembangunan-pembangunan yang lain"

Meski, pidato pak camat sebetulnya tidak jelas benar nalarnya, pimpinan parpol dan pak lurah beserta staf bertepuk tangan sendiri. Baru kemudian diikuti tepuk tangan para hadirin.

Pak lurah menimpali. "Yang mana." "Saya sangat suka dengan julukan yang diberikan wartawan. Apa itu pak lurah?" tanya pak camat menoleh ke arah pak lurah.

Pak lurah tergagap karena rupanya lagi melamun dan tidak menduga akan ditanya. Dia langsung menoleh ke stafnya. Untung jogotirto sudah menyiapkan jawaban cespleng: "The Wonder Boy."

"Yaya, the wonder boy. Kira-kira artinya," Ketua partai menyambung sebelum terlanjur ditanya:

"Anak ajaib, pak."

"Hanya dengan dua ekor sapi," bapak Joko Bodo bergumam sendirian. Ibu Joko Bodo yang mendengar gumamam itu melirik suaminya. "Ya, hanya dengan dua ekor sapi," katanya lirih.

Malam terus merambat. Langit tidak sepenuhnya gelap, karena ada rembulan mencorong di sela-sela awan. Rumah orangtua Yuliansyah sudah mirip pasar malam. Ada tukang nasi, tukang ketoprak, tukang martabak dan tukang-tukang lainnya. Pedagang pulsa dan teh botol juga ada di sana. Terdengar ramai denting piring, orang terbahak, dan suara radio. Beberapa lampu penerangan juga diam-diam sudah mulai terpasang entah siapa yang memasang dan memanjat tiang listrik.

Di sudut malam, jauh dari keramaian, si wonder boy itu sendiri cengar cengir di pojokan. Merokok. Mengepulkan asap rokok. Bermain-main handphone, kirim sms entah untuk siapa. Cuek bebek. ***

* Serpong, Mei 2009

Dimuat Suara Karya 30 Mei 2009
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=227980