Sabtu, 28 November 2009

Hidup Ini Indah

Cerpen: Kurniawan Junaedhie



“Aku akan bunuh diri,” kata saya mengancam, pada istri.

Istri balik mengancam.

“Mana mungkin kau berani.”

“Aku berani. Apa yang kutakuti?”

“Coba pikir-pikir dulu.”

“Sudah aku pikirkan. Anak tidak punya. Orangtua tidak punya. Apa yang kutakuti?”

“Coba saja, kalau berani.”

Saya berkelebat ke dapur, dan mengambil pisau dapur. Saya acung-acungkan pisau itu ke arah istri saya.

“Coba saja, kalau berani.”

Ya Allah. Dia tidak menggubris sama sekali, dan matanya tetap melotot ke arah layar televisi. Dia sama sekali tidak takut bahwa pisau itu saya hunjamkan ke jantung saya. Dia sama sekaki tidak cemas bahwa jika hal itu terjadi, maka seisi kampung akan gempar, dan dia akan dibikin repot.

Karena geram, saya lempar pisau itu ke sofa. Clep. Pisau itu nyungsep di sofa. Barulah istri saya melotot ke arah saya, “He, kau pikir, kita bisa beli sofa baru?”

Malamnya, saya tidak bisa tidur. Saya bergulingan di tempat tidur. Sementara di sebelahku, istri, enak-enak saja tidur terlelap dan ngorok. Seolah-olah persoalan percobaan bunuh diriku tidak menjadi beban pikirannya. Rupanya dia menganggap peristiwa seorang suami mengacung-acungkan pisau untuk menghabisi hidupnya itu hanya angin lalu. O perempuan, macam apa pula yang ada di depanku ini?

Sudah lama saya dan istri ingin bercerai. Ya, sejak saya merasa bahwa rumah seperti neraka layaknya. Saya tidak bohong, atau berlebih-lebihan. Bayangkan.

Kehidupan saya dan istri tak ubahnya seperti petasan bersumbu pendek saja. Dari hal remeh-temeh, bisa melebar ke mana-mana. Saya ngomong ke timur, istri saya bicara ke barat. Pokoknya, tidak pernah nyambung sama sekali. Dan seperti saya bilang tadi: Keributan bisa muncul begitu saja dari hal-hal sepele seperti ada kucing mengeong tiba-tiba, atau hanya sekedar ada seekor tikus lewat di sudut tembok. Atau sekadar pintu kamar mandi.
Suatu kali, saya menutup pintu kamar mandi dengan kasar. Sebetulnya, tidak kasar. Hanya karena pintu melengkung karena perubahan cuaca, maka pintu tidak pas masuk ke kusen sehingga saya paksakan masuk. Istri yang sedang nonton televisi di kamar keluar. Dia menyarankan agar saya berhati-hati, karena harga pintu kamar mandi sangat mahal. Saya tersinggung merasa dibilang tidak tahu harga pintu. Istri lalu mengatakan, begitu saja marah. Saya pun tambah marah. Pertengkaran berkobar. Gelas piring dibanting. Istri masuk kamar, mengunci pintu, menyetel televisinya keras, mungkin supaya tetangga tidak perlu mendengar kegaduhan kami.

Meski saya bukan suami yang baik, sekali tempo saya mencoba juga berusaha menjadi seorang suami pengertian.

Ada beberapa kali sepulang kantor, saya coba membawakan makanan. Tapi saya mendapati istri saya cemberut di depan televisi. Dan kadang hanya karena membaui saya pulang, dia langsung ngumpet di kamar. Saya mencoba sabar. Baik-baik saya letakkan penganan di meja makan, maksudnya agar dia mengambil dengan sendirinya, kalau lapar. Tapi hal itu tak dia gubris. Saya mengalah, masuk ke kamar. Sekitar beberapa jam kemudian, merasa ruangan sudah sunyi, saya keluar lagi, dan hlo, makanan saya masih tergeletak di meja makanan. Tidak disentuhnya sama sekali. Besoknya saya tanya, kenapa dia tidak makan penganan yang saya bawa? Dengan ringan dia menjawab, tidak kepingin.

Pokoknya saya merasa bahwa kehidupan keluarga saya sangat ganjil. Ada yang salah. Kalau bukan saya, pasti dia. Atau sebaliknya.

Betapa pun dengan keadaan seperti itu, saya merasa gagal menjadi suami. Dengan demikian, dia mestinya juga merasa gagal menjadi istri. Tapi kenapa dia tidak mengakuinya sekalipun suaminya sudah mencoba melakukan upaya bunuh diri?


Perjodohan

Setahun lalu seseorang telah menjodohkan saya dengan perempuan ini. Pada suatu malam, selagi asyik membaca buku sambil nonton warta berita malam, ada orang mengetuk pintu. Orang itu, lelaki paruh baya, datang bersama seorang wanita muda sepantaran anaknya. Saya sama sekali tidak kenal kedua orang itu sebelumnya. Lelaki paruh baya itu mengenakan peci. Berjenggot putih. Yang wanita, mengenakan rok terusan, dan tidak memakai make up apa pun. Polos.

Lelaki paruh baya berpeci dan berjenggot putih itu langsung mengatakan bahwa, dia disuruh oleh seseorang untuk mengantar wanita itu ke rumah saya.

“Mengantar? Untuk saya? Siapa orang itu?”

Dia menyebut sebuah nama.

“Ah, saya tidak mengenalnya.”

“Anda kenal atau tidak, tidak penting buat saya. Yang penting adalah bahwa dia yang menyuruh saya. Saya berani sumpah,” kata lelaki paruh baya berjenggot putih berpeci itu mengangkat telunjuknya.

“Maksudnya?” saya menyelidik.

“Saya diminta membawa wanita ini untuk Anda nikahi.”

Gila. Dahi saya berlipat. Saya memukul kening, dan mengelus rambut. Saya menengok arloji. Jam sepuluh limabelas. Bukan mimpi. Tapi bagaimana mungkin, mereka bisa tahu bahwa saya adalah seorang bujang lapuk? Bukankah sangat banyak lelaki di kampung saya? Kenapa harus saya?

“Saya kira Anda salah alamat,” kata saya mulai bersikap defensif.

“Memang Andalah yang dimaksud,” katanya.

“Anggap saja ini amanah,” kata pria berpeci berjanggut putih setengah baya itu menimpali

Saya mengerling wanita belasan tahun itu. Seperti kesan pertama tadi, dia tidak jelek. Bahkan, kalau tidak bisa dikatakan cantik pun bisa saya katakan, wajahnya lumayan rupawan. Kulitnya bersih. Tingginya 160 centian, lurus sepundak saya, tapi tidak terlalu gemuk. Matanya bulat. Hidungnya bangir. Bibirnya mungil.

Ini pasti akal-akalan. Bukan tidak mungkin, mereka adalah komplotan penipu yang ingin membodohi saya. Informasi bahwa saya seorang perjaka dengan mudah bisa saja diakses dari pak RT atau pak RW. Dan bisa juga mereka tahu bahwa beberapa tahun lalu saya memasang nama dan alamat saya di rubrik jodoh. Apa susahnya?

“Jadi saya harus mengawini dia? Haha, gampang amat?” saya tertawa dengan getir.

“Apa boleh buat. Ini amanah” kata pria setengah baya berjenggot putih dan berpeci itu dengan yakin.

Saya langsung menyelinap masuk kamar. Diam-diam saya menghubungi pak RT melalui telepon. Saya bilang, ada orang mencurigakan datang ke rumah saya dan tampaknya ingin menipu saya. Karena itu sebaiknya dia segera datang, sebelum saya main hakim sendiri.
Sejurus kemudian, pak RT datang. Saya minta mereka bercakap-cakap sendiri, sementara saya masuk untuk melanjutkan membaca dan nonton televisi.

Tak lama kemudian pak RT masuk dan membisiki , “Tidak saya lihat perbuatan jahat yang dibawa para tamu ini. Mereka berniat baik. Yaitu agar kamu menikahi wanita itu.”

Saya menggeram.

“Ini memang aneh. Tapi anggap saja ini, keajaiban. Ini datang dari Allah. Sebagaimana takdir dan mati, jodoh datangnya dari Allah. Ingat kata Allah: Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

Hanya Allah yang maha tahu.

Malam itu, sekitar pukul 12.00, saya dinikahkan dengan wanita itu di depan penghulu, dan dua saksi yang dipanggil secara dadakan melalui SMS.

Takdir senapan

Sembari tidur, saya amat-amati wajah wanita yang jadi istri saya itu. Saya dengar bunyi nafasnya. Saya lihat bibirnya ternganga. Tidak jelek, pikir saya. Beginikah wajah malaikat yang suka dibicarakan di mesjid-mesjid dan gereja itu? Hm. Saya tidak tau. Yang pasti, wanita yang jadi istri saya ini tidak punya sayap dan punggungnya rata. Dia juga tidak bercahaya, sebagaimana yang saya tahu dari gambar malaikat dan bidadari. Wujud malaikat mustahil dapat dilihat dengan mata telanjang, karena mata manusia tercipta dari unsur dasar tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk tidak akan mampu melihat wujud dari malaikat yang asalnya terdiri dari cahaya, bahkan Muhammad sendiri pun disebutkan secara jelas hanya mampu melihat wujud asli dari malaikat Jibril sebanyak dua kali. Tapi seandainya benar dia malaikat, lalu siapa dia? Jibril? Mikail? Israfil? Malik? Munkar dan Nankir? Atau Ridwan?
Sekali lagi saya amat-amati wajahnya yang lelap tertidur. Saya lihat bibirnya yang terkatup. Sungguh sulit dipahami bahwa dari bibir mungil itu semua umpatannya terlontar padaku. Segar dalam ingatan bagaimana perilaku perempuan ini terhadap suaminya. Astagfirullah. Rasa benci tiba-tiba menggelucak.

Saya kontan berbalik memunggungi. Bersamaan dengan itu tiba-tiba hidung saya seperti membaui bau yang tak sedap. Jelas, bau itu muncul dari hati busuk wanita yang ada di samping saya.

Serta merta saya teringat sesuatu.

Saya memiliki senapan angin dengan kaliber 4,5 mm untuk berburu yang kutaruh di dinding meja makan. Kalau saya tembak dia sekarang, maka tamat sudah riwayatnya, pikirku. Dengan sendirinya, berakhir pula penderitaan saya selama ini. Sambil berpikir begitu saya melompat dari tempat tidur, dan berlari ke ruang makan, tempat dimana senapan itu diletakkan.

Saya sambar senapan itu dari tempatnya, dinding ruang makan. Beberapa butir proyektil masih bersisa di dalamnya. Saya kokang. Senapan dalam posisi siap tembak. Saya berlari menerobos gorden kamar dengan membawa senapan itu.

“Hei, bangun. Bangun,” kata saya berteriak, meminta wanita itu bangun. Saya berdiri di pinggir tempat tidur, dalam posisi siap menembak.

Mendengar saya berteriak, istri saya terbangun. Dia mengucek mata. Dan karena melihat saya berdiri dengan senapan, dia nampak kaget, dan mencoba duduk.

“Jangan gila. Apa yang akan kau lakukan? Menembakku?” tanyanya.

“Jangan banyak mulut.” Senapan sudah kuacungkan ke arah jantungnya.

Dia menguap sebentar. Lalu bangkit berdiri dan menghampiri saya.

“Jangan gila,” katanya menonjok dadaku, sambil berlalu.

Saya terhuyung. Namun demikian senapan itu terus saya acungkan ke arahnya. Pendeknya, kapan saja, saya sudah siap menembaknya.

“Hei, kau mau ke mana? Aku akan menembakmu. Sumpah.”

Dia menatap saya dengan tenang. Tidak takut sama sekali.

Padahal dia tahu benar, bahwa senapan ini pernah saya gunakan untuk menembak seekor anak kerbau.

“He, kamu tidak takut?” saya menggertak.

“Ada apa sebenarnya?”

Mukanya bego.

“Aku ingin menembakmu.”

“Mana berani kau melakukannya?”

Karena geram, tanpa pikir panjang saya tarik pelatuk. Dan dor…dor...dor... Senapan menyalak beberapa kali. Kaca jendela hancur berkeping-keping.

Dalam sekejap, orang sekampung menerobos masuk ke dalam rumah, dan mendapati saya terduduk dengan wajah kosong dengan senapan terkulai di tangan. Wanita yang menjadi istri saya itu menangis meraung-raung. Dia memeluk saya. Kami berpelukan. Betapa indah hidup ini.***

Serpong, 2010

Dimuat di Sinar Harapan 10 Juli 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar