Senin, 16 November 2009

Tukang Bunga & Burung Gagak

Cerpen: Kurniawan Junaedhie

Di kota P, ada seorang tukang bunga yang bersahabat dengan seekor burung gagak hitam. Biasanya, tanpa diketahui banyak orang, gagak itu terbang melintas di depan kiosnya ber-kwak-kwak seperti memberi kode kepada si tukang bunga. Burung gagak itu lalu hinggap di pohon angsana, satu-satunya pohon di dekat kiosnya. Sesudah itu, si tukang bunga, seperti seorang lelaki yang menemui selingkuhannya, mengendap-endap datang ke sana menjumpainya. Entah apa yang dipercakapkan keduanya. Yang jelas, biasanya, keesokan harinya, ada orang meninggal di kota itu. Dan si tukang bunga pun sibuk memperoleh banyak pesanan. Itulah penghasilan utamanya dari menjual bunga.

Tapi sudah dua minggu ini, si burung gagak tak tampak. Si tukang bunga, pemilik sebuah kios bunga menjadi resah. Berhari-hari dia gelisah, tidak bisa tidur, dan tidak enak makan. Apalagi radio transistornya sudah lama tidak menyiarkan berita lelayu. Apakah sudah tidak ada lagi orang yang mati di kota ini? Sementara itu, selama beberapa hari ini kebetulan si tukang bunga juga mengalami mimpi-mimpi yang aneh. Yaitu mimpi tentang mendiang ibunya, dan mendiang istrinya yang mengajaknya pergi ke sebuah tempat yang jauh.

Dan dalam waktu yang hampir bersamaan, datang segerombolan pemuda entah darimana, memalak seenaknya. Meski si tukang bunga sudah berulangkali meyakinkan bahwa kiosnya sepi, tetapi pemuda itu tidak percaya dan ngotot tetap minta uang. Mereka tetap tidak mau mengerti bahwa pesanan bunga untuk orang mati sudah tidak ada. Akibatnya setiap hari dia harus membuang bunga-bunga yang membusuk. Bunga-bunga menumpuk, menggunung, menjadi sampah. Tumpukan sampah itu tentu saja menimbulkan bau tak sedap. Baunya minta ampun. Sampah-sampah itu kadang-kadang menutupi got, membuat got jadi macet dan membuat air tergenang.

Karena trotoar juga termasuk jalur hijau, maka hal itu mengundang petugas yang mengaku-aku dari dinas kebersihan pemkot datang dan menggertak dia untuk segera merobohkan kiosnya. Tapi karena sesampai di sana petugas itu membaui bau-bauan tak sedap, semakin marahlah petugas kebersihan pemkot itu. “Wah, bau-bau ini jelas mengganggu lingkungan,” ujar petugas pemkot. Setelah beradu mulut, petugas pemkot memberi waktu sebulan pada si tukang bunga untuk merobohkannya sendiri. Atau kalau tidak, akan didatangkan sebuah bulldozer untuk meratakannya dengan tanah. Entah karena adanya sampah dengan bau yang ditimbulkannya, nyatanya orang yang datang ke kiosnya juga mulai sepi. Yang datang hanyalah ibu-ibu pejabat yang sudah merasa tergantung pada bantuannya, dan pemuda-pemuda yang kepepet yang harus memberi bunga pada pacarnya.

Seperti ada tangan aneh yang mengatur semua ini, pikir si tukang bunga. Semua serba dadakan. Tidak ada gejala yang tampak sebelumnya.

Saking gelisahnya, setiap hari dia duduk mencangkung di depan kiosnya, dengan kepala selalu menengadah ke langit. Kalau itu dirasakannya membosankan, ia pun menyusuri trotoar dan menengok ke arah pohon-pohon yang ada di kota itu. Tapi sejauh-jauh mata memandang yang terlihat hanya langit yang bebas, matahari terik dan angin yang berkesiur pelan, dan pohon-pohon yang tak bergerak. Dan sahabatnya itu sama sekali tak tampak. Kemana dia gerangan?

“Jangan-jangan sakit?” dia berpikir.

Kios milik si toko bunga jauh sederhana dibanding dengan toko-toko bunga di pusat kota yang biasanya wangi, dan penuh dengan rangkaian bunga di etalasenya. Kios si tukang bunga tak ada pajangan bunga sama sekali. Bahkan etalase saja sama sekali tidak punya. Kios itu pun hanya dibangun setengah permanen. Tiang-tiang seluruhnya terbuat dari bambu, dan atapnya dari ijuk. Yang membedakan dengan kios-kios cukur, atau kios-kios penjual ayam goreng paling hanyalah banyaknya tumpukan bunga dan kini, sampah-sampah bunga yang menggunung.

Meski begitu selama ini pelanggannya banyak dari berbagai kalangan. Termasuk para ibu pejabat yang datang ke kiosnya untuk minta dirangkaikan bunga untuk keperluan arisan atau rapat di kantor dan sekali tempo ada juga anak muda datang ke sana, sekedar minta saran untuk dibuatkan rangkaian bunga yang pas. Tapi lebih banyak lagi, preman-preman yang datang ke sana, yang minta diberikan bunga apa saja sebagai tanda cinta untuk pasangannya. Semua diberikan cuma-cuma. Akibatnya setiap kali ia membuka kiosnya, banyak orang berebutan datang supaya dapat kebagian bunga-bunga gratis.

“Lho, apa Bapak tidak rugi? Bagaimana Bapak bisa memberi bunga secara gratis pada pengunjung yang datang?” seseorang pernah bertanya.

“O, tidak apa. Daripada jadi sampah, mendingan saya berikan pada siapa saja secara cuma-cuma. Lagipula orang yang saya beri itu juga senang,” jawabnya tertawa.

Bukan rahasia umum pula, bahwa si tukang bunga adalah pendengar radio. Ke mana pun dia bergerak, sebuah radio transistor mini tercangklong di pundaknya. Tapi tak banyak yang tahu bahwa radio itu sebetulnya berfungsi untuk memantau berita dukacita setelah sebelumnya si burung gagak sahabatnya datang memberi kode. Jadi berita radio itu sebetulnya hanya untuk memastikan, siapa dan di mana alamat keluarga yang berduka. Boleh percaya boleh tidak, meski kota itu kecil, tapi selama ini memang ada saja di antara penduduk kota itu yang meninggal. Kadang satu, kadang belasan. Penyebabnya bisa macam-macam: karena usia tua, karena penyakit atau bunuh diri. Si tukang bunga sangat senang bila ada berita seperti itu. Begitu ada berita lelayu disiarkan, baginya itu pertanda baik. Pesanan bunga akan segera datang berlimpah. Dia merasa harus bersiap-siap untuk menyambut datangnya rejeki dari Tuhan itu.

Tapi itulah, banyak hal menimpa dirinya belakangan, sebelum menyadari bahwa si burung gagak sahabatnya sudah lama tak menyambanginya. Radio transistornya sudah lama tidak menyiarkan berita lelayu.

“Apakah sudah tidak ada lagi orang yang mati di kota ini? Apakah acara itu sudah dihapuskan?” tanyanya lewat telepon kepada seorang penyiar radio yang jadi langganannya.

“Acara apa?”

“Acara berita kematian.”

Si penyiar radio terbahak. “Ah, itu berarti memang tidak ada orang meninggal. Kita harus senang karena hal itu menandakan kesejahteraan masyarakat meningkat,” jawab si penyiar.

Dia lalu menceritakan mimpi-mimpi anehnya pada seorang ibu pejabat yang dianggapnya dekat. Yaitu mimpi tentang mendiang ibunya, dan mendiang istrinya yang mengajaknya pergi ke sebuah tempat yang jauh.

“Mimpi didatangi ibu dan istri kok dibilang aneh?” tanya ibu pejabat itu.

“Ya, soalnya sudah lama saya tidak pernah bermimpi mereka.”

“Barangkali Bapak kangen sama mereka, jadi terbawa dalam mimpi,”

“Ah, tidak. Saya bahkan sudah melupakan mereka.”

“Itu juga bisa jadi penyebab.”

“Ah, ada-ada saja,” gumam si tukang bunga tidak mengerti.

Dan sekarang saja baru disadari, si burung gagak sahabatnya hampir satu minggu tak muncul. Pantas. Kemana burung gagak itu pergi? Kenapa burung gagak tidak datang mengunjungi dia lagi?

“Kalau dia berhalangan, pasti ada sebab musababnya,” pikirnya. Dia yakin, burung gagak itu sakit, dan sekarang sedang beristirahat sambil bersembunyi di sebuah tempat. Dia merasa harus menolongnya. Paling sedikit, dia harus tahu sebab musababnya, kenapa ia tak datang.

Karena didorong rasa penasaran, dia rela menutup kiosnya. Orang yang setiap hari lalulalang di depan kiosnya tentu terheran-heran.

“Kok tumben tutup? Mau kemana, pak?”

“Ada urusan.”

“Bagaimana kalau ada orang cari bunga?”

“Bilang saja, saya ada urusan.”

“Sampai kapan”

“Sampai urusan diselesaikan.”

Dan dia mulai menyusuri setiap sudut kota. Setiap pohon dan gerumbulan pohon didatangi. Jangan-jangan di burung gagak di sana, pikirnya. Dia juga terus menengok ke arah langit, siapa tahu dia bisa melihat ada burung melintas. Tapi pemandangan langit masih seperti biasa: tetap luas tak bertepi dengan gumpalan-gumpalan awan di sela-selanya. Tak ada kehidupan. Tak ada bayangan dan suara burung gagak.

Ia pun mulai menyusuri trotorar dan menjelajahi sudut-sudut kota mencari burung gagak itu. Dan terhadap setiap pepohonan dia selalu menengok dan menoleh-noleh. Dia berharap jangan-jangan sahabatnya itu tengah duduk bertengger di sana. Tapi si tukang bunga menjadi kecewa setelah yakin bahwa pohon-pohon itu tetap kosong; hanya berisi ranting, cabang dan daun. Ia lalu menatap langit yang bertepi. Tapi langit itu juga tetap kosong. Sesekali ia juga menghentikan langkah. Mencoba memasang kupingnya. Ini menyebabkan ia mendengar suara ricik air, debur orang mandi, dan bunyi kodok mendengkur. Tapi ternyata sejauh-jauh dan sekuat-kuat ia memasang kupingnya, tidak ada terdengar suara kwak-kwak sama sekali. Hanya kesiur angin. Hanya daun-daun yang rontok tertiup angin. Kemana dia pergi? tanyanya.

“Ayolah sahabatku, menampaklah, jangan buat aku seperti ini,” katanya meratap dalam hati.

Jika magrib keburu tiba, si tukang bunga pun bergegas pulang ke rumah. Dan paginya dia berangkat lagi. Orang-orang yang biasa lalulalang di depan kiosnya kembali berseru-seru. Tapi dia tetap mengatakan bahwa urusannya belum selesai.

“Kami merasa sepi, tidak mendengar lagi suara radio,” kata salah seorang dari mereka.

Si tukang bunga tak menjawab sepatah kata pun, Tampak benar, ia sedang dirundung banyak masalah. Maka di bawah tatapan orang-orang yang melihatnya, ia pun terus melanjutkan langkah kakinya. Menyusuri sepanjang trotoar kota. Menengok pepohonan. Menatap langit. Memasang kuping. Saat itu, ia mulai menyadari bahwa dia merasa kangen sekali bertemu dengan sahabatnya itu. Dan baru menyadari betapa besar rasa kangen itu. Dan betapa persahabatan itu telah menjadi ketergantungan.

Hari itu, entah pada hari ke berapa, langit yang senja, dengan cepat menjadi gelap. Langit mendadak gelap. Lampu-lampu jalanan menjelaskan rintik hujan, pertanda hari gerimis. Ia pun memutuskan untuk berteduh di bawah sebuah pohon. Tiba-tiba ada suara kwak-kwak di atasnya. Ia menoleh ke langit secara reflek. Seekor burung gagak melintas di tengah rintik hujan. Matanya berkilat. Bulu-bulunya kuyup karena hujan. Si tukang bunga terkesiap. Tanpa menggubris hujan dan terpaan lampu yang menerjangnya, ia pun lari menyeberang jalan. Saat itu juga orang-orang di pinggir jalan menyaksikan seorang lelaki dengan mencangkong sebuah transistor menyeberang jalan, menubruk sebuah mobil yang sedang berlalu dengan kencang. Lalu terdengar kwak-kwak, suara burung gagak.***

Serpong 20 Sept. 2009

lelayu= dukacita

Dimuat di Suara Karya, 7 November 2009
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=239389

Tidak ada komentar:

Posting Komentar