Senin, 16 November 2009

Perempuan Pemuja Kata

Cerpen: Kurniawan Junaedhie

Kamu mungkin akan melupakan orang yang tertawa denganmu, tetapi tidak mungkin melupakan orang yang pernah menangis denganmu (Kahlil Gibran)


Sungguh menakjubkan. Perempuan itu tidak hanya cantik, tetapi juga pandai menyusun kata. Dan kata itu oleh dia, --menurut hemat saya-- ditekuk-tekuknya, lalu dibentuknya menjadi kalimat, dan kalimat-kalimat itu kemudian ditata dan dipatut-patutkannya dalam sebuah rangkaian puisi atau prosa. Maka besar dugaan saya, ia telah menuliskan banyak kata selama hidupnya. Tapi kemudian dia menyanggah.

Perempuan itu menurut pengakuannya sendiri berusia 37 tahun. Ia adalah ibu dari dua anak yang berusia 17 tahun dan 12 tahun. Ketika si bungsu lahir, sekitar umur 3 bulan, suaminya kabur dengan perempuan lain. Sejak itu ia tidak pernah bersua lagi dengan suaminya, kecuali ketika mengurus surat perceraiannya. Itu pun tak sempat bertemu, karena si suami kemudian menyerahkan urusan perceraiannya kepada pengacaranya.

Dengan cara bodoh saja, saya bisa menaksir bahwa ia menikah sedikitnya pada saat berusia 20 tahun. Itu pun dengan catatan, begitu menikah, dia hamil dan langsung melahirkan si sulung tadi. Dan sejak 12 tahun lalu, kalau keterangan yang diberikan benar dan sahih, maka sejak saat itu pula ia tidak pernah tidur bersama lelaki lainnya, kecuali suami sialan itu. Hanya ada keterangan tambahan: saat dia berjilbab dan berusia 20 tahun dia diperkosa.

Kalau saya mengatakan tubuhnya langsing, jangan kaget. Tapi memang, ketika saya kemudian mengetahui lebih jauh, sungguh menakjubkan bahwa, ternyata perutnya tetap pipih. Tak ubahnya perut seorang gadis. Sepengetahuan saya, itu bukan perut ibu dari dua orang anak yang biasanya sudah berlipat-lipat, membentuk undak-undakan. Dan ketika saya pun kemudian menyentuh tubuhnya, --subhanallah-- semakin takjublah saya, bahwa payudaranya ternyata masih sintal. Kedua gunung kembar itu berdiri gagah: tegak dan tidak loyo. Sekali lagi, aneh. Ini jelas bukan gambaran lumrah untuk payudaya seorang ibu dari dua anak yang biasanya sudah menggelambir.

Tapi begitulah kira-kira urutannya, bagaimana saya bisa mengenal perempuan berperut pipih yang pintar bermain kata itu. Apakah karena ia jarang disentuh lelaki lain setelah pisah dari suaminya? Kenapa ia suka merangkai kata? Kenapa ia tetap cantik? Semua itu menjadi pertanyaan saya, setelah beberapa kali pertemuan.

Ia menelepon saya pada suatu Sabtu. Karena saya sedang bersama keluarga, telepon tidak saya angkat. Saya kirim SMS, agar ia kirim pesan singkat saja. Beberapa detik kemudian, ia mengirim pesan, bahwa ia ingin bertemu saya.

Saya segera meluncur dan bertemu di sebuah kafe, di bilangan Sabang. Kafe itu bernama Kopi Thiam Oey, katanya, milik Bondan Winarno. Siapa Bondan, tak penting benar. Saya hanya ingin mengatakan bahwa, saya bertemu di sana di suatu hari Sabtu, di mana kafe itu biasanya penuh sesak dengan tetamu.

Penerangan lampu di kafe itu remang-remang. Enak untuk main mata dan bisa untuk saling menjawil tanpa diketahui orang.

“Kenapa kamu mau berkenalan dengan saya?” itulah pertanyaan yang sering saya ulang-ulang setiap bertemu. “Saya hanya lelaki berumur. Kalau kamu mau, kenapa kamu tidak memilih saja lelaki lain, yang jauh lebih muda?”

Perempuan itu tersenyum dan menyandarkan kepalanya di pundak saya.

Hubungan kami sebetulnya baru berlangsung 3 bulan. Tapi kami merasa sudah akrab satu sama lain. Mungkin karena hampir setiap menit, kami berkirim pesan pendek. Atau kalau kebetulan kami sedang membuka internet, kami berkirim pesan lewat inbox atau chatting. Pekerjaan itu bisa memakan waktu dari pagi sampai subuh dinihari. Nah, ini dia.

Pada mulanya adalah, kata.

Ia menulis begini di dinding Fesbuknya:

Kamu mungkin akan melupakan orang yang tertawa denganmu, tetapi tidak mungkin melupakan orang yang pernah menangis denganmu (Kahlil Gibran)

Bagi saya, kalimat ini agak aneh. Kahlil Gibran bagi saya kedengarannya sudah kuno. Kenapa perempuan itu menyukai Gibran? Adakah kelebihannya?

“Dari mana kamu tahu?” tanya saya.

“Saya membaca The Prophet dalam versi aslinya,” jawabnya.

Untung saya tidak sedang berhadapan muka. Kalau tidak, dia tahu perubahan wajah saya, karena saya cuma membaca hasil terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh Bahrum Rangkuti pada tahun 1949.

Beberapa hari kemudian, dia menulis lagi begini:

Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. (SGA)

Saya merasa tidak asing dengan kalimat itu. Siapa SGA? Saya juga tidak merasa asing dengan akronim ini. Langsung aku menanyakan, pemilik kalimat itu, di bawahnya. “Aku pemuja Seno Gumira Adjidarma,” tulisnya kemudian. “Aku bahkan kenal istrinya. Ike namanya.” Dia melanjutkan.

Saya bertanya, bukankah kamu pemilik dan pemuja banyak kata, kenapa kamu mengutip tulisan itu?

“Bagi saya kata-kata cuma benda yang bisa ditekuk-tekuk, atas kemauan saya. Sayalah majikan atas kata-kata itu. Saya tidak pasrah pada kemauan kata-kata. Kata-kata yang dibiarkan memang akan liar seperti anjing hutan. Kata-kata yang dibiarkan juga akan seperti serpihan batu, yang tidak kuat bobotnya. Kata-kata harus diarahkan agar sesuai tujuan kita,” tulisnya mengejutkan.

“Jadi apa arti puisi-puisimu selama ini?”

“Tangkaplah dari apa yang kumau. Jangan kamu mau terpedaya kata-kata di dalamnya.”

Saya bukan sastrawan, bukan pujangga. Tapi dari situ saya tahu bahwa dia tidak hanya bercitarasa tinggi, tetapi juga asyik. Saya senang berkenalan dengan perempuan seperti ini. Jarang-jarang ada perempuan seperti ini. Kami keterusan bermain kata. Sampai akhirnya perempuan itu minta ketemuan di sebuah Mal. Saya sempat merasa aneh.

“Bagaimana suamimu?” tanya saya.

“Saya punya suami tapi itu tidak penting benar.”

Aku melongo. Perempuan itu malah balik bertanya, “Apa yang salah?”

Saya agak terpojok.

“Tentu tidak apa-apa,” saya cepat mengelak dan mengalihkan perhatian. “Tapi mal itu pasti luas. Saya belum pernah ke mal itu.”

“Kita ketemu di JCO saja. Dari luar, sudah tampak mereknya. Siapa datang duluan, duduk saja di situ.”

“Oke.”

Seorang lelaki setengah umur seperti saya jelas tidak nyaman berduaan di tempat umum dengan seorang perempuan. Meski saya bukan selebritis, bukan tidak mungkin ada saja kenalan di mal itu yang melihat kami. Karena itu saya mengajak dia mencari tempat yang lebih afdol. Tanpa dinyana dia menawari masuk karaoke. Yang surprise, perempuan yang kata-katanya romantis itu, tak segan-segan menyanyi dengan riang. Dan sekali tempo, menyerahkan mike agar saya juga ikut menyanyi. Aku mulai berpikir bahwa perempuan ini sesungguhnya kesepian. Dia pada dasarnya membutuhkan teman, untuk berbagi perasaan dan bertukar pikiran. Dan saya dianggapnya orang yang tepat untuk itu. Dan meski tempatnya remang-remang, kami tidak melakukan apa-apa, kecuali bercakap-cakap, atau berbisik-bisik. Seingat saya dia sempat menyandar di pundak saya. Tapi kemudian, dia minta maaf, merasa tidak pada tempatnya.

Kami minum bir, ngobrol ringan, menyanyi, Begitulah, kami berada di karaoke itu sampai karaoke itu tutup.

Karena hari sudah malam, saya menawarkan diri untuk mengantarnya ke rumah. Nah di dalam mobil, saya mulai melihat dia agak genit. Dia duduk seenaknya di samping saya menyetir. Dia menyilangkan kaki bahkan, mengangkat kakinya di dashboard seperti orang slebor sehingga roknya tersingkap. Dengan sendirinya, diterpa lampu-lampu jalanan, dengan sangat jelas saya bisa melihat celana dalamnya. Saya pikir, dia mabuk, kebanyakan alkohol. Tapi saya pura-pura tidak tahu. Perempuan memang sering tak terduga.

Tepat di depan rumahnya saya turunkan dia. Dia agak lama berkutat sebelum turun, padahal central lock sudah saya buka. Dalam kegelapan di dalam mobil itu, saya merasa, dia terus memandangi saya.

“Ada apa?” saya bertanya mendadak ke arahnya.

“Aku senang berkenalan denganmu,” jawabnya. Senyumnya lucu. Tidak nakal.

Karena tidak turun-turun juga saya pikir, dia mungkin ingin kami berciuman dulu seperti dalam film-film. Saya mengangsurkan wajah. Saya pegang tangannya. Tapi dia langsung membuka pintu. Melompat keluar. Saya dibuat terkesima. Padahal saya ingin mengucapkan salam untuk suaminya.

Minggu berikutnya saya janji ketemuan lagi. Bukan di JCO, tapi di toko buku masih di mal itu. Karena saya pria berumur yang tak ingin dilihat orang sedang kencan dengan perempuan lain, saya ajak dia keluar dari mal. Kali ini tanpa ragu saya ajak dia ke motel. Kalau pun dia menolak, atau tersinggung saya sudah siap jawabannya. Tapi perempuan itu tidak menolak.

Begitu pelayan pembawa air minum meninggalkan kami, dia sudah memeluk saya. Saya agak kaget. Terkesiap. Dia menciumi saya. Mencopoti pakaian saya sambil juga mencopoti gaunnya sehingga kami berpelukan dalam keadaan telanjang. Dia melakukan apa saja yang selama ini tidak pernah saya bayangkan.

Sehabis itu, bahkan selama di mobil waktu saya antar pulang, kami tidak bercakap sepatah kata pun. Kata-kata tiba-tiba menjadi tidak berarti. Di depan rumah, saya turunkan dia. Juga tanpa ciuman seperti dalam film. Saya membayangkan, suaminya sedang mengintai dari balik pintu.

Besok paginya, begitu bangun tidur saya membuka Facebook. Saya tidak menemukan pesan atau kalimat-kalimatnya. Di kantor, saya buka lagi. Masih tidak saya temukan apa-apa di fesbuk. Kemana dia? Apa dia menyesal telah bertemu saya face to face? Saya punya nomor handphonenya. Tapi kalau benar dia telah menyesal berjumpa saya, buat apa saya menghubunginya?

Malamnya saya tidur gelisah. Saya seperti membaca baliho besar iklan rokok yang betuliskan, Gak Ada Loe, Gak Rame. Saya ingat suara perempuan itu. Saya ingat waktu dia pegang microphone di tempat karaoke. Saya ingat aroma rambutnya ketika dia secara tak sengaja menyandarkan kepalanya di pundak saya. Saya ingat kakinya mengangkang di dashboard itu. Saya ingat celana dalam itu. Saya ingat bagaimana dia seperti ular membelit saya, dan menggigit saya. Pokoknya saya gelisah. Saya membuka laptop. Lampu layar laptop benderang dalam kegelapan kamar. Cahaya di layar itu menimpa wajah istri saya sedang tidur terlelap. Tapi kata-kata perempuan itu tidak ada di layar. Layar seperti kehilangan kata-kata bersama hilangnya perempuan itu. Saya kemudian membayangkan bahwa suaminya sesungguhnya tahu semua perbuatan istrinya, tapi tak mampu berkata-kata. ***



Serpong, 9 Sept. 2009


Tidak ada komentar:

Posting Komentar