Senin, 16 November 2009

Sepatu Elvis

Cerpen: Kurniawan Junaedhie


Meski sudah beberapa kali ditawari membeli sepatu baru, Farhan tetap ogah dan bersikukuh bahwa dia tidak memerlukannya. Padahal, menurut istrinya, sepatu yang selama ini dia pakai, sudah tidak up to date lagi. Kulitnya saja sudah berkerut-kerut, seperti kulit nenek-nenek. Warna hitamnya pun sudah bulukan. Bahkan cenderung sudah berjamur. Tapi karena rajin dirawat dan disemir, kerut-kerut itu nyaris tidak tampak dan warnanya tetap kinclong. Saking setia pada sepatu itu, warga di kompleks perumahan di mana Farhan tinggal sangat familiar dengan sepatunya. Bahkan beberapa anak muda tetangga suka meledek bahwa saking kinclongnya, sepatunya bisa untuk bercermin. Mereka menjuluki sepatu Farhan sebagai Sepatu Elvis, sepatu yang dulu konon sering dipakai mendiang Elvis Presley. Haknya tinggi, dan ujungnya lancip.

Tapi baru-baru ini, sikap Farhan berubah drastis. Dia merasa bosan dengan sepatu Elvisnya. Dia ingin membeli, memiliki dan memakai sepatu baru. Alasannya, musim hujan akan segera tiba. Dia takut bila sepatu lama itu menginjak tanah, solnya copot tertinggal di tanah becek mengingat usianya yang sudah tua. Sudah banyak kejadian seperti itu yang dilihatnya, dan itu pasti akan membuat pemiliknya malu luar biasa. Untungnya sekarang membeli sepatu tidak harus di Pasar Baru. Di mana pun tersedia. Maka Farhan pun dengan cepat mendapat penggantinya.

Persoalannya, bagaimana nasib sepatu yang lama? Dia merasa sayang jika sepatu Elvis itu dibuang begitu saja. Dia tidak mau jika sepatu itu sampai ke tangan para pemulung karena para pemulung akan tega mencacah-cacahnya untuk bahan daur ulang.

“Lagipula, sudah banyak kenangan tersimpan dalam sepatu itu,” kata Farhan pada istri dan anak-anaknya. “Dia yang menemani kita ke mana pun kita pergi selama ini. Bahkan dia menemani kita ketika kita kawin dulu. Masak kau tak ingat? Butut-butut begitu, dia juga yang menemani langkahku sejak merintis karier sampai sekarang.”

Karena itu sepatu lama disepakati untuk disimpan saja sebagai kenang-kenangan. Apalagi istri Farhan pandai mendokumentasikan benda-benda bersejarah seperti itu. Mulai dari tiket pesawat, pulpen, batu batere, tas kresek sampai nota-nota pembelian sudah berhasil disimpannya. Barang-barang itu kini berdesak-desakan di kamarnya, sebagian di kamar anaknya dan sebagian di ruang tamu.

Dasar Farhan, meski sudah memiliki sepatu baru, ia masih saja suka kepingin melirik sepatu Elvis-nya. Mungkin, karena, seperti katanya kepada siapa pun, ia melihat sejarah hidupnya di sana. Bahkan karena itu, suatu hari, suami istri itu nyaris bertengkar hebat.

“Mana sepatu lamaku?” tanya Farhan.

“Ada di tumpukan,” jawab istrinya

“Tumpukan yang mana? Begitu banyak tumpulan di rumah ini. Yang mana?”

“Heran, sudah punya sepatu baru masih juga mencari sepatu lama,” gerutu istrinya.

“Sudahlah. Jangan cerewet. Tolong cari sepatuku. Hayo…”

“Kalau mencari barang jangan pake mulut dong,” kata istrinya kesal. Istrinya mulai mencari dan mengubek-ubek seluruh sudut rumah. Tapi karena banyak tumpukan benda-benda bersejarah di rumahnya, sepatu itu belum juga ketemu. Farhan sudah mulai tidak sabar. Rupanya dia sudah ngebet dan kangen melihat sepatu lamanya.

“Ayo cari, pokoknya cari sampai ketemu,” katanya meledak-ledak.

Istrinya stres dibuatnya. Terpaksa ia mengerahkan seluruh anggota rumah –termasuk si Mbak-- untuk mencarinya.

Penyisiran dilakukan di semua sudut rumah. Semua lemari digeledah Semua kardus yang dicurigai dibongkar. Meja kursi disingkirkan. Alhamdulillah, sepatu lama itu akhirnya ketemu juga. Di sebuah sudut yang tak terduga. Dekat WC.

“Keterlaluan. Sepatu bersejarah kok ditaruh sembarangan,” ujar Farhan mengumpat-umpat.

Karena kapok mengalami kejadian serupa, istrinya sekarang sengaja menaruh sepatu Elvis Farhan di ruang keluarga. Dengan demikian, bila Farhan kangen, sepatu itu dengan mudah ditemukannya. Tapi pada suatu hari, muncul kegemparan baru. Anak-anak Farhan yang biasanya nonton televisi di ruang itu, merasa terganggu oleh bau-bau yang tidak sedap.

“Baunya seperti terasi,” kata anak sulungnya.

“Terasi yang sudah busuk,” sambung anak keduanya.

“Jangan-jangan ada bangkai tikus.”

Akibat bau tak sedap itu darah tinggi Farhan ikut kumat. Dia meminta istrinya segera mengusut sumber bau-bauan itu.

“Ini tidak sehat. Setiap hari kita menghisap udara di ruang ini. Bisa-bisa kita kena radang paru,” katanya setengah berteriak.

“Heran ya, saya kok tidak membaui apa-apa,” kata istrinya sambil mendengus-dengus.

“Tentu saja, kamu kan setiap hari di rumah. Jadi hidungmu sudah terbiasa,” jawab Farhan.

Tapi meski sudah dicari, sumber bau rupanya tak mudah ditemukan. Maka seisi rumah pun uring-uringan. Anak-anak mulai tidak betah di rumah. Pulang sekolah mereka tidak langsung pulang ke rumah tetapi melancong dulu ke mal. Alasannya, tidak tahan dengan bau menyegat di ruang tamu. Untung, sumber bau segera ditemukan. Ia berada dalam sebuah kardus yang isinya tak lain tak bukan adalah sepatu lama Farhan.

“Heran, Ayah tidak hapal pada bau sepatunya sendiri,” gerutu anak-anaknya.

“Iya ya, bisa-bisanya aku tidak hapal bau sepatu sendiri,” komentar Farhan tersipu-sipu.

“Tentu saja, Ayahmu setiap hari memakainya. Jadi hidungnya sudah kebal,” istrinya menyindir.

Karena dianggap bau sepatu itu sudah mengusik keharmonisan rumahtangga, dan Farhan masih juga bersikukuh tidak akan membuangnya, kali ini disepakati sepatu Elvis diletakkan di ruang tamu saja. Paling tidak jauh dari ruang pertemuan keluarga.

“Bagaimana kalau tamu-tamu terusik oleh baunya?” tanya istrinya.

“Gampang. Nanti saya tarok di atas lemari pajang biar baunya tidak perlu mengusik orang yang berada di bawahnya,” kata si Mbak yang punya usul. Dan si Mbak juga meyakinkan bahwa selama itu dia akan rajin menyemprot air freshner. Benar saja. Bau sepatu mulai bisa diredam. Para tamu, terbukti tak ada yang sampai menutup hidung kecuali jika tamu itu berlama-lama.

Farhan senang. Dia masih bisa menjumpai sepatunya dengan mudah, meski Cuma memandang kardusnya saja dari bawah. Sedang istri dan si Mbak senang, karena mereka tidak perlu lagi direpotkan oleh hal-hal yang tidak perlu.

Tapi pada suatu hari terjadi sesuatu yang mengejutkan. Gara-gara seekor kucing yang memburu tikus, kardus sepatu Elvis tersenggol, terjatuh, dan –alamak-- menimpa seorang tamu yang ada di bawahnya. Farhan dan istri kaget bukan main. Karena merasa bersalah, Farhan dan istri terbungkuk-bungkuk minta maaf pada sang tamu. Farhan yang merasa malu, marah besar pada istri. Istri menimpakan kesalahan pada si Mbak yang menaruh kardus sepatu di atas lemari. Si Mbak tak mau disalahkan begitu saja. Dia menyalahkan kucing yang seenaknya melompat ke atas lemari pajangan.

Diam-diam istri dan si Mbak mulai tidak senang dengan sepatu itu. Juga anak-anak. Sepatu itu sudah terlalu menyusahkan mereka. Maka mereka mulai berkomplot, bagaimana caranya mengenyahkan sepatu itu tanpa harus diketahui Farhan.

“Kardusnya tetap kita pasang, tapi sepatunya kita buang,” usul anak-anaknya. Si Mbak ditugaskan membuang sepatu butut itu.

“Terserah buang ke mana. Ke laut kek atau ke sumur, sebodo. Pokoknya jangan ada di rumah ini. Bikin sial,” kata anak-anak itu meluap emosinya.

“Beres,” kata si Mbak.

Sejak itu, keluarga itu mulai menikmati kedamaiannya kembali. Masing-masing anggota keluarga bekerja kembali sesuai fitrahnya. Setiap hari Farhan berangkat dan pulang kantor seperti biasa. Istri Farhan mengurus rumahtangga. Anak-anak kuliah. Si Mbak bekerja di dapur. Hari-hari berjalan dengan nyaman. Sekarang tak ada lagi yang perlu mengendus-endus bau yang tak sedap. Tak ada lagi perasaan saling mencurigai, dan orang yang berbicara meledak-ledak di rumah. Farhan sendiri mulai merasakan kebahagian tersendiri. Bau tak sedap sudah tak ada lagi. Kardus sepatu juga masih di tempatnya. Kalau lagi kangen ia masih bisa mengerling kardus sepatu Elvis-nya.

Namun kedamaian itu rupanya tak berlangsung lama. Keluarga itu masih harus menerima ujian. Di suatu pagi, terjadi peristiwa yang mungkin tak akan bisa mereka lupakan seumur hidup. Keluarga itu belum menyadari apa-apa, ketika Si Mbak berteriak dengan panik pada suatu pagi.

“Banjir..banjir…!”

Si Mbak menggedor pintu majikannya. Betapa kaget Farhan, ketika dia bangun dan hendak mencari sendalnya, lantai kamarnya sudah digenangi air. Ia pun melompat dan bersijingkat keluar. Tahulah sekarang, air sudah menggenangi seluruh rumahnya hampir setinggi 5 centi. Rupanya banjir melanda di kompleks perumahannya akibat hujan turun semalaman. Bukan hanya rumah, tetapi air hujan itu juga menggenangi sebuah mushala, lapangan voli, dan sebuah taman kanak-kanak yang berada di kompleks. Dan yang bikin para ibu kesal, toko-toko penjual air mineral, gas elpiji dan beras juga tutup. Pemiliknya sibuk menyelamatkan harta bendanya dari amukan air. Akibatnya para bapak tidak bisa berangkat kerja, dan anak-anak bolos sekolah.

Seperti tetangga lain, tanpa pikir panjang Farhan menyuruh istri, anak dan si Mbak untuk menyelamatkan buku, majalah, koran, timbangan badan, dan aneka kardus ke atas meja atau lemari agar tidak basah atau terhanyut oleh genangan air.

Untunglah, musibah itu tak berlangsung lama. Sekitar jam 8, genangan air itu mulai menyusut. Jam 10, praktis genangan air sudah lenyap, berganti lumpur yang berserakan di seluruh kompleks.

Tapi sekitar pukul 11, mendadak ia mendengar suara gaduh di halaman rumah.

Ada segerombolan orang terdiri dari kaum bapak, kaum ibu dan pemuda yang mencoba menerobos masuk ke rumah Farhan tapi mereka sedang dihalang-halangi oleh Satpam kompleks.

Mereka menuding-nuding Farhan yang muncul di pintu, dengan penuh amarah.

“Apa salah saya?” tanya Farhan dengan bloon.

Salah seorang yang marah itu melempar sesuatu ke kaca rumah,

“Ini salahmu,” kata pemuda itu.

Kaca jendela nako hancur berkeping-keping.

Di antara kepingan itu, ternyata terdapat sepatunya yang sebelah kiri.

“Kenapa dengan sepatu saya?” tanya Farhan belum memahami keadaan sambil tergugu melihat sepatu Elvisnya dilempar orang dalam keadaan bonyok.

“Jangan belagak pilon !” teriak mereka.

Lagi-lagi, salah seorang di antara kerumunan yang marah itu melempar sesuatu ke arah jendela yang lain. “Gara-gara sepatu Elvis butut milik Bapak itulah, got jadi macet dan menimbulkan banjir.”

Kaca jendela utama pun pecah terbelah lalu berkeping-keping.

Dan di antara kepingan kaca itu, terdapat sepatunya yang sebelah kanan. Lengkap sudah penderitaan Farhan.***

Serpong, 7 September 2009


(Dimuat di Jurnas 18 Oktober 2009
http://jurnalnasional.com/?med=Koran%20Harian&sec=Cerpen&rbrk=&id=106670&postdate=2009-10-18&detail=Cerpen)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar