Senin, 16 November 2009

Seorang Pemuda Berambut Gondrong

Cerpen: Kurniawan Junaedhie

Atas kersaning Gusti Allah, akhirnya Joko Bodo, anak muda berambut gondrong itu terpilih jadi anggota legislatif. Tidak hanya mendulang banyak suara, anak pengangguran itu juga terbukti telah menggulingkan nama-nama politisi senior, yang selama ini banyak diwawancarai televisi dan dikutip analisis politiknya di media massa. Ibarat tinju, dalam sekali ayunan swing, riwayat para politisi senior itu dibikin knock out oleh Joko Bodo. Posisi mereka langsung tumbang. Sang juara baru muncul. "The wonder boy", begitu suratkabar lokal menjuluki Joko Bodo, sesaat Komisi Pemilihan Umum mengumumkan hasil finalnya.

Seperti dikomando, orang di desa Dukuh Setu berduyun-duyun datang ke rumah orangtua Joko Bodo memberi upeti. Ada yang membawa padi, bebek, papaya, beras, gula pasir, ayam, telor dan rambutan. Dapur keluarga Yuliansyah mendadak menjadi penuh sesak oleh upeti-upeti itu. Para ibu sibuk membuat penganan dan sibuk menyedu kopi untuk para tamu bapak-bapak yang notabene suaminya sendiri.

Yang ikut sibuk tentu saja para pimpinan partai di mana Joko Bodo mencalonkan diri. Mereka langsung menempatkan diri sebagai panitia. Ikut sibuk menyambut tamu, menemani orangtua Joko Bodo dan sesekali meneriakkan slogan-slogan partai. Beberapa di antaranya bahkan berinisiatip membentangkan spanduk di pagar rumah orangtua Joko Bodo. Spanduk itu bertuliskan, "Sugeng Rawuh" tapi di bagian bawah dan samping kiri kanan tercantum lambang partai yang mengusung Joko Bodo.

"Sudah saya duga. Anak saya itu memang jempolan. Otaknya cemerlang," kata bapaknya kepada handai taulan yang menyalaminya. Bapak Joko Bodo dikenal sebagai tukang adu ayam. Jadi dia merasa bahwa, kali ini jagoannya tidak meleset.

Di lembar pencontrengan tentu saja nama Joko Bodo tidak tercantum. Di sana ia menggunakan nama asli, sesuatu akta lahir: Yuliansyah Fariduddin Kazim . Ah, sebuah nama yang keren. Yuliansyah, karena dia lahir di bulan Juli. Sedang dua nama terakhir, sepertinya dalam bahasa arab, berarti permata agama yang penyabar.

Nama Joko Bodo sendiri nama pemberian orangtuanya sewaktu kecil karena sebagai anak laki-laki dia dianggap bodo. Tentu saja si Joko Bodo menjadi dewasa, dan tidak terus bodo. Dia berkembang kemudian menjadi anak pintar.

Ketika teman-teman sebayanya memilih jadi pegawai negeri, ia malah memilih menjadi preman. Pekerjaannya, memalak tukang parkir dan pedagang di pasar. Kebetulan pula ia juga dikaruniai alam dengan banyak hal yang tak semua orang memilikinya. Ia, misalnya dikenal pandai dan jago berkelahi. Bahkan, ia pernah dikeroyok 10 orang sekaligus dan nyatanya tidak keder, meski tentu saja dia kalah, badannya babak belur. Tak hanya itu. Ia juga dikabarkan pernah membunuh sedikitnya 7 orang dalam masa 5 tahun. Tapi tak jelas dalam urusan apa, kenapa ia sampai membunuh orang sebanyak itu, dan kenapa dia tidak masuk bui karena itu. Ia memang diketahui pernah masuk sel di tahan polisi karena suatu kasus. Tapi esoknya dia sudah dibebaskan, karena konon, polisi ngeri. Meski tak jelas kebenarannya, berita-berita itu diterima masyarakat sebagai suatu mitos. Nama Joko Bodo pun melambung, sebagai seorang tokoh lokal yang disegani.

Dibanding nama Joko Bodo, praktis, nama para politisi yang mengaku memiliki konstituen di desa itu, tak ada seujung kuku hitamnya. Jangankan mereka, pak lurah dan pak camat pun, masih kalah pamor. Orang mana di kampung Dukuh Setu yang tidak kenal nama Joko Bodo, si preman gondrong? Mulai dari aki nini sampai anak balita yang sudah kenal orang, pasti tahu namanya. Mulai dari tukang becak, tukang ojeg yang mangkal di Dukuh Setu sampai para pejabat setingkat RT, RW sampai Kecamatan juga sangat friendly dengan nama Joko Bodo. Macam-macam reaksi orang memang kalau mendengar nama Joko Bodo. Ada yang bangga, tapi ada juga yang miris.

Ketika hajatan kecil itu berlangsung, rombongan Pak lurah bertandang. Dia datang diiringi para staf desa, seperti carik, jogoboyo, jogotirto, modin dan kebayan . Hadirin semua berdiri. Pak lurah dan rombongan menyalami bapak Joko Bodo. Mereka lalu duduk di ruang tamu bersama tamu-tamu lain para tetangga. Pak lurah dan rombongan sengaja diberi tempat duduk yang bagus, berupa sofa yang biar empuk kain pelapisnya sudah rombeng. Sebagaimana tujuan kedatangannya, Pak lurah langsung memuji-muji Joko Bodo dengan menyebut nama Yuliansyah sebagai sang pembawa perubahan. Sekali tempo, pak lurah juga mencoba memprediksi bahwa Yuliansyah pasti akan membawa berkah bagi kampungnya.

"Saya kira, dia tahu aspirasi kita. Yang mana, dia pasti akan memperjuangkannya," begitu kata pak lurah dengan gaya bahasa kelurahan.

"Sudah pasti, pak lurah. Itu tak perlu diragukan lagi," sahut ketua parpol.

Ayah dan ibu Joko Bodo manggut-manggut. Hidungnya kembang kempis. Karena kikuk, mereka lalu menyilakan, pak lurah beserta staf menikmati hidangan.

"Yang mana kita tahu, bahwa Joko Bodo eh Yuliansyah adalah wakil dari kampung kita. Sehingga," lanjut pak lurah.

Sekali lagi ayah ibu Joko Bodo manggut-manggut. Hidungnya kembang kempis. Lalu karena kikuk, mereka menyilakan pak lurah beserta staf menikmati hidangan. Ketika obrolan lagi seru-serunya, pak lurah meraba kantong baju dinasnya. Rupanya handphonenya yang disetel silence mode itu bergerak-gerak tanda ada telepon masuk. Dia langsung mengangkat hpnya dan melihat layar sekejap. "Pak camat, " gumamnya diikuti sedikit rasa panik. Tanpa sadar dia berdiri.

Halo pak camat," sapanya dengan nada sopan dan takjim. Dia diam menyimak. Rupanya pembicara di seberang banyak dan panjang bicaranya sehingga tak kedengaran suara pak lurah. Dia hanya sesekali kedengarannya mengatakan, "Baik. Baik, pak. Siap". Dan setelah beberapa waktu, ia langsung menutup handphonenya dan memasukkannya kembali di baju dinasnya. "Wah sebentar lagi pak camat mau rawuh," katanya seperti gelisah kepada tuan rumah.

Ayah ibu Joko Bodo manggut-manggut. Mereka sibuk berpikir, mimpi apa mereka semalam sehingga tiba-tiba saja rumah mereka didatangi para tamu agung. Karena tidak kuasa menahan pikirannya, Ibu Joko Bodo langsung berdiri dan mencolek paha suaminya memintanya ikut masuk ke dalam ruangan. Ayah Joko Bodo mengikut di belakangnya tergopoh-gopoh.

"Ini sebetulnya apa-apaan," ibu Joko Bodo langsung saja nerocos begitu mereka sampai di dalam kamar. "Saya betul-betul bingung."

"Sstt jangan keras-keras," jawab ayah Joko Bodo duduk. Dia menatap wajah istrinya "Terus terang, saya juga bingung," katanya. Sekarang mereka duduk terpekur di pinggir dipan. Dari sela jalusi pintu, suara riuh rendah para tetamu berbicara terdengar. Suara cekikikan terdengar. Lalu disambung suara orang ngobrol. Terdengar suara pak lurah, diikuti suara jogotirto. Atau sebaliknya diawali suara jogoboyo, kemudian diikuti pak lurah. Kadang juga ada suara ibu-ibu. Gelas pecah. Berdeting. Hari sudah menjelang sore. Sebentar lagi magrib.

Menjagokan Joko Bodo sebagai calon legislatif sebetulnya bukan ide original mereka. Ide itu datang dari para pimpinan parpol. "Hanya dua ekor sapi," kata pimpinan partai.

"Untuk disate?" ayah dan ibu Joko Bodo terkesiap sehingga bertanya secara kompak.

Ketua partai tertawa terbahak-bahak. Orang tua itu baru engeh kemudian apa arti kata-kata dua ekor sapi itu. Yaitu, sekitar harga dua ekor sapi kira-kira biaya kampanye untuk menjadikan Joko Bodo jadi seorang caleg .

"Dua ekor sapi?" ibunya ternganga. Pamannya seorang pedagang toko bahan bangunan tamatan SMEA melecehkan. "Namanya saja Joko Bodo. Bagaimana bisa menjadi pimpinan rakyat, membuat undang-undang apalagi mengusulkan anggaran Negara? Dua ekor sapi terlalu mahal untuk itu. Itu sama saja berjudi."

Mendengar kata-kata judi disebut, ayah Joko Bodo justru terpicu adrenalinnya. Sebagai tukang adu jago puluhan tahun, ia tahu bagaimana menilai baik buruknya kualitas ayam jagonya.

Paling tidak sebagai ayam aduan Joko Bodo memiliki sejumlah kriteria yang menjanjikan. Ia memiliki teknik tarung dan teknik pukul yang bagus. Sejarah juga sudah membuktikan. Bahkan, ia pernah dikeroyok 10 orang sekaligus dan nyatanya tidak keder, meski tentu saja dia kalah, badannya babak belur.

Ia juga memiliki darah keturunan yang kuat. Ia bukan jenis ayam aduan yang `cengeng' yang baru tiga empat kali kena pukul sudah keok. Sejarah hidupnya sudah membuktikan. Ia juga dikabarkan pernah membunuh sedikitnya 7 orang dalam masa 5 tahun.

Dan yang tak kurang penting, Joko Bodo juga memiliki katuranggga kemenangan. Katurangga berhubungan dengan anatomi susunan fisik seekor ayam. Entah itu warna bulunya yang `matang', susunan sisik kakinya yang bertuah, matanya yang bening, atau jenggernya yang berwibawa. Untuk semua itu, ibarat ayam aduan, Joko Bodo pun bisa dipertaruhkan. Memang tidak bisa dibuktikan secara ilmiah tapi percaya atau tidak, katurangga hanya merupakan pengalaman orang tua dahulu.

Nyatanya, sejak hasil manual dihitung, nama Joko Bodo langsung bertengger di atas nama-nama oldcrack. Sampai kemudian dinyatakan hitungan final nama Joko Bodo terus bertahan.

Pintu tiba-tiba diketuk. "Pak, bu, pak camat sudah rawuh," terdengar suara luar.

Kedua orangtua itu langsung berdiri, dan tergopoh membuka pintu kamar, lari ke depan untuk menyongsong pak camat. Pak Camat kelihatan berdiri di pintu. Dia seolah-olah sengaja berdiri untuk menunggu tuan rumah menyambutnya. Setelah tuan rumah menyambutnya, dan mempersilakan duduk, barulah ia duduk. Pak camat duduk persis di samping pak lurah. Sementara itu staf pak lurah seperti jogoboyo, kebayan dan jogotirto langsung tungganglanggang, mengambil posisi duduk menjauh.

"Saya hanya ingin mengucapkan selamat. Karena terus terang saya bangga sekali, bahwa warga kita ini ada yang terpilih sebagai wakil rakyat tingkat propinsi," kata pak camat dengan jumawa begitu merasa nyaman di tempat duduknya. Tampak pak lurah menyimak dengan takjim.

"Karena itu saya berharap agar nantinya, anggaran untuk pembangunan jalan raya, pembangunan mesjid, dalam rangka pembangunan spiritual dan imtak itu akan terus berlanjut. Juga, pembangunan-pembangunan yang lain"

Meski, pidato pak camat sebetulnya tidak jelas benar nalarnya, pimpinan parpol dan pak lurah beserta staf bertepuk tangan sendiri. Baru kemudian diikuti tepuk tangan para hadirin.

Pak lurah menimpali. "Yang mana." "Saya sangat suka dengan julukan yang diberikan wartawan. Apa itu pak lurah?" tanya pak camat menoleh ke arah pak lurah.

Pak lurah tergagap karena rupanya lagi melamun dan tidak menduga akan ditanya. Dia langsung menoleh ke stafnya. Untung jogotirto sudah menyiapkan jawaban cespleng: "The Wonder Boy."

"Yaya, the wonder boy. Kira-kira artinya," Ketua partai menyambung sebelum terlanjur ditanya:

"Anak ajaib, pak."

"Hanya dengan dua ekor sapi," bapak Joko Bodo bergumam sendirian. Ibu Joko Bodo yang mendengar gumamam itu melirik suaminya. "Ya, hanya dengan dua ekor sapi," katanya lirih.

Malam terus merambat. Langit tidak sepenuhnya gelap, karena ada rembulan mencorong di sela-sela awan. Rumah orangtua Yuliansyah sudah mirip pasar malam. Ada tukang nasi, tukang ketoprak, tukang martabak dan tukang-tukang lainnya. Pedagang pulsa dan teh botol juga ada di sana. Terdengar ramai denting piring, orang terbahak, dan suara radio. Beberapa lampu penerangan juga diam-diam sudah mulai terpasang entah siapa yang memasang dan memanjat tiang listrik.

Di sudut malam, jauh dari keramaian, si wonder boy itu sendiri cengar cengir di pojokan. Merokok. Mengepulkan asap rokok. Bermain-main handphone, kirim sms entah untuk siapa. Cuek bebek. ***

* Serpong, Mei 2009

Dimuat Suara Karya 30 Mei 2009
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=227980

Tidak ada komentar:

Posting Komentar