Tampilkan postingan dengan label Femina. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Femina. Tampilkan semua postingan

Selasa, 01 Maret 2011

SUATU HARI, INGIN MENINGGALKAN SUSAN

Aku ingin meninggalkan Susan. Tidak untuk sementara, tapi untuk selama-lamanya. Ya, aku ingin kami berpisah, dan hidup dengan cara masing-masing. Tidak usah harus ke mana-mana berdua. Tidak usah saling cemburu. Karena hal itu sangat menyakitkan. Maka pagi itu, dengan mengendap-endap, aku keluar rumah, mendorong mobil keluar garasi, lalu wezzz, mobil kunyalakan, dan aku ngebut ke jalan raya menuju tol. Kutinggalkan Susan sendirian di rumah. Tapi di tengah perjalanan, perasaanku mulai tidak enak. Rasanya tidak fair jika tidak mengatakan sesuatu padanya. Mobil langsung kuarahkan ke rest area dan aku masuk ke sebuah resto. Sambil minum kopi, kukirim pesan singkat, “Susan, aku pergi. Good bye,” kataku.

Menurut taksiranku, pada pagi buta itu Susan masih tidur lelap. Tapi karena telepon genggamnya selalu ditaruh di bawah bantalnya, saat itu juga ia menjawab pesan singkatku.

“Apa maksudnya ‘goodbye’?”

Kujelaskan seperti niatku: aku akan pergi meninggalkan dia selama-lamanya. Kita berpisah. Karena untuk hidup bersama ternyata susah, meski kita saling mencintai. Padahal, begitu kataku, saling mencintai itu tidak cukup. Sedang untuk hidup bersama, adalah hal lain.

“Gila. Teganya, “ dia membalas. Dan beberapa detik kemudian, menyusul pesan berikutnya: “Oh oke. Silakan pergi. Selamat jalan. Terimakasih untuk segalanya.”

Tapi keputusanku sudah bulat. Jadi kujawab, aku memang serius, tidak main-main.

“Oke. Oke. Kamu sudah tahu akibatnya.”

Kujawab, aku ingin cari udara segar karena selama ini aku merasa ditimbun pekerjaan yang bertumpuk-tumpuk.

“Good. Good. Tak usah banyak mulut. Aku sudah menduga sejak lama. Kamu memang pengecut.”

Aku tulis, aku sudah tidak kuat dengan sikapnya yang terlau over protetive. Urusanku banyak tapi setiap hari aku harus direcoki oleh urusan-urusannya yang remeh-temeh.

“Forget it. Silakan pergi ke mana kamu suka. Kita putus. Aku sudah tak perduli lagi. Akhirnya Tuhan membuka mataku,” tulis Susan dari sana.

“Aku kira perpisahan ini memang jalan yang terbaik buat kita. Untuk kamu dan untuk aku,” tulisku sambil menghela nafas. Lama tak ada jawaban, sampai akhirnya muncul tulisan di layar I Phone-ku. “Goodbye.”


Akhirnya……. oh akhirnya…… Aku menarik nafas dalam-dalam. Aku termangu di pojok resto di rest area itu.

***

Pernah saya membaca cerpen berjudul “Suami Istri Bersumbu Pendek” di sebuah koran. Kupikir, seperti itulah kami berdua. Ibarat kompor, sumbu kami sangat pendek. Apapun masalahnya, intinya hanya satu: rasa cemburu. Kalau perasaan itu tidak kami kelola dengan baik, dengan cepat api dalam tabung minyak tanah akan naik menjalar sumbu yang segera berkobar menyebar ke mana-mana menyebabkan hati kami rasanya meledak dan tubuh kami terbakar hangus.


Semalam, sebelum aku akhirnya memutuskan untuk pergi, kami terlibat pertengkaran hebat. Selagi kami asyik chating-an, seseorang menulis komentar di halaman fesbukku. Seorang perempuan yang tidak kukenal meminta perkenalan. Dari foto yang tertera, tampaknya dia memang cukup cantik. Tahu-tahu, aku menerima caci makinya.


“Astaga. Aku ini salah apa? Aku kan belum menanggapi ajakan pertemanannya?”


“Aku hanya ingin tahu apa jawabmu terhadap sapaan wanita gatal itu?” kata Susan. Hadoh.


“Aku paling akan menjawab yang normatif, apa salahnya?”


“Uh, aku akan lihat. Kamu pasti akan mengungkapkan rasa senang karena perempuan cantik itu telah mengajakmu berkenalan.”


Karena Susan terus ngomel, aku mengalah. “Baik. Aku tidak akan menjawabnya sama sekali. Kalau perlu, aku langsung memblokir namanya. Asal kamu tahu aku tidak kenal perempuan itu,” jawabku.


“Uh. Aku akan lihat.”


“Lihat saja.”


Seperti biasa, persoalan kemudian melebar kemana-mana seperti tumpahan air gelas di meja. Atau minyak tanah yang menjalar ke sumbu. Menjalar ke mana-mana.


Di lain hari, persoalan meruncing hanya hara-gara seekor kucing. Aku menemukan seekor kucing di halaman minimart. Kucing itu aku bawa pulang, dan aku rawat. Tak nyana, dari hal sepele itu api neraka berkobar.


“Kamu rupanya ingin menyamai hobi bekas pacarmu, suka memelihara kucing.”


Hadoh, siapa bekas pacarku pun, aku tak ingat.


Susan berpangkutangan menatapku dengan wajah tetap tidak mau tahu.


“Sejak kapan kamu mencintai kucing? Aku tidak melihat track-record-mu sebagai penggemar kucing. Selama ini kamu bilang kamu sangat benci kucing karena binatang itu sangat celamitan. Binatang piaraan yang selama ini sering kamu ceritakan adalah anjing, ikan, burung, hamster, iguana, ular, kelinci………………...”


Aku menggigit bibir dan diam-diam mengepalkan tinju.


“Baik. Kalau itu maumu. Aku akan buang kucing itu,” kataku


Aku mencari kardus, dan kucing malang itu kumasukkan ke dalam kardus. Kardus berisi kucing itu aku berikan kepada sopirku yang katanya anaknya penggemar kucing. Dan aku segera melapor: “Aku sudah membuangnya di kali.”


Dia menangis dan mengatakan bahwa dia mencintaiku setengah mati. Sehingga dia tidak ingin aku menduakannya, bahkan dengan seekor kucing sekali pun. Dia minta maaf. Dia tidak berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya. “Aku terlalu mencintaimu, itulah kesalahanku,” kata Susan.


Seminggu berlalu dengan tenang. Kami pergi ke Puncak. Pergi ke Bandung. Menonton bioskop. Mengunjungi acara-acara kesenian. Tapi pada hari kedelapan, minyak tanah itu naik ke atas sumbu lagi. Gara-garanya dia meminjam telepon genggamku. Tanpa sengaja dia melihat ada nama asing –tentu saja perempuan--, langsung saja sumbu itu terbakar.


“Siapa dia?”


“Sudahlah. Aku akan hapus nama itu jika kamu tidak suka,” kataku sambil merebut handhopne dari tangannya.


Esoknya kami tertawa-tawa. Aku nulis puisi, dia memuji-muji puisiku. Hari berikutnya juga aman. Dia memberiku oleh-oleh kerupuk dari Magelang. “Ini kerupuk kualitas ekspor,” katanya. Aku coba mencicipi. Hm. “Enak ya?” kataku. Besoknya, aku mengajak di ketemu relasi di Kafe Black Canyon Cikini. Kami berpelukan di dalam mobil, di ruang ATM dan di halaman parkir. Tapi pulang dari Black Canyon, sumbu berkobar lagi. Dia menangis sesunggukan.
“Siapa perempuan yang melambaikan tangan padamu itu?”


Setelah berkerut dahi, akhirnya aku ingat. Ketika duduk di Black Canyon beberapa jam lalu, tanpa sengaja aku beradu pandang dengan seorang wanita. Secara naluriah saja aku menganggukkan kepala, dan perempuan itu membalas dengan lambaian tangan padaku. Tak nyana, sekarang itu menjadi bencana.


Aku pandangi mukanya. “Eh kamu tanya siapa dia? Mana aku tau? Aku tak kenal siapa dia. Kami cuma beradu pandang. Gila kamu. Aku bahkan sudah tak ingat hal itu. Eh kamu malah yang mengingat-ingat. Aku tak kenal. Emang gue pikirin?” jawabku dengan darah sudah sampai di ubun-ubun.


Sepanjang jalan ke rumahnya, kami diam seribu basa. Aku melucu, dia tetap cemberut. Aku membacakan secuplik sajak-sajaknya, dia buang muka. Aku minta permen, dia pura-pura tak mendengar. Aku sudah tak kuat. Aku balas dengan diam. Sepanjang jalan ke rumahnya, aku setel tape recorder kencang-kencang. Aku ngebut sepuasnya. Malamnya, aku nulis di inbox fesbuknya. Dan karena marah, suara ketikan di tuts keyboardku itu sampai berderak-derak.
“Kamu sakit jiwa. Aku tidak kuat dengan sikap over-protektif-mu itu.”


Esoknya sampai tengah hari dia tidak mengirim pesan singkat sama sekali. Aku pun tak mau kehilangan nyali. Aku juga ogah mengirim pesan singkat. Menjelang senja, hatiku lumer. Tapi aku tetap mencoba bertahan. Tahu-tahu ketika aku buka fesbuk, kubaca pesan dalam inboxku: “Aku kangen tapi aku sebel”. Hm. Rasain. Aku tetap tak mau menjawab. Rupanya dia juga tak menjawab. Hatiku mulai nyaris lumer lagi. Aku sudah mulai mengetik pesan singkat. Belum sempat aku pencet tombol send, masuk pesannya. “I miss U.” Hm. Kali ini aku tak membuang waktu. Kujawab segera: “So am I.” Astaga, aku menyesal ketika aku kemudian menekan tombol send. Mestinya aku tetap bersikukuh. Oh. Kenapa aku sangat lemah? Kenapa aku harus mengatakan hal-hal yang tak perlu?


Malamnya kami ke Goethe Hause, nonton acara baca puisi. Kali ini, seorang pria menyalaminya dengan hangat. Aku langsung buang muka. Ketika duduk di tengah gelap di dalam gedung, aku berbisik: “Asal kamu tahu, aku tidak suka melihat kamu berjabat tangan dengan lelaki itu,” kataku setengah mengancam.


Sepanjang acara aku tidak bercakap. Dia memegang tanganku.


“Kamu cemburu ya?”


“Gampangcemburu itu sifat tidak baik. Aku bukan pencemburu kayak kamu. Tapi kalau kamu mau tahu jawabnya, aku sayang kamu. Itulah penyebabnya” kataku. Dia menjotos perutku.

***

Aku menimang-nimang I-phoneku. Langit sudah terang tanah. Perasaan menyesal dan kangen pada Susan diam-diam mulai menyesap ke dalam darahku. Sambil bergegas menuju mobil, aku buru-buru mengetik pesan susulan:


“Tunggu. Lupakan ucapan-ucapanku yang tadi. Yang benar, aku mencintaimu. Sangat,” aku mengetik dengan cepat. Dan karena takut dia terlanjur ngambek, aku segera meneleponnya. Sambil menunggu teleponku dia angkat, aku merasa menyesal sungguh-sungguh. Kenapa aku harus meninggalkannya? Kenapa aku pergi tanpa mengajaknya? Kenapa aku pergi tak memberitahu sebelumnya? Kenapa aku harus berpisah dengannya? Gila. Mestinya semalam, aku bilang: besok kita jalan yuk. Ke Kroya. Ke Korea. Ke Kairo. Ah itu pasti sebuah kejutan baginya.


Ketika kemudian dia mengangkat telepon, aku mengatakan buru-buru: “Aku mencintai kamu. Aku tidak pernah membayangkan hidup tanpa kamu. Jangan tidur. Cepat mandi. Siapakan kopor. Aku akan menjemputmu. Kita akan pergi,” kataku menggebu.


“Gila. Pergi ke mana?”


“Ke ujung dunia!” kataku ingin menangis.


Aku langsung menancap gas pulang ke rumah.


Hm. Ingin meninggalkan Susan tapi sekaligus mencintai Susan mungkin memang hanya sebuah ilusi.***


.

.

Serpong City, 22 Feb. 2011


DIMUAT DI MAJALAH FEMINA

.

.

Sabtu, 09 Oktober 2010

Rahasia Keluarga

Cerpen: Kurniawan Junaedhie

Tidak habis pikir, ayah mertua yang sudah berumur 80 tahun ingin menikah lagi. Hare gene? Kabar itu saya peroleh dari istri. Istri memperoleh info itu dari adik iparnya, istri adik lelakinya. Adik ipar mendapat berita itu dari perawat yang merawat ayah. Saya minta istri menginterogasi perawat yang sengaja kami gaji untuk mengurus ayah.

“Dari mana kamu tahu?” tanya istri saya pada perawat itu.

“Tuan besar yang bilang sendiri.”

“Mungkin bercanda saja.”

“Enggak, kok Bu. Beliau serius. Saya hapal, mana yang becanda mana yang serius.”

“Kok bisa?”

“Ya bisa saja, Bu.”

“Bukan. Maksudku, kenapa dia bilang sama kamu, tidak pada saya.”

“Enggak tahu Bu.”

“Awas kalau kamu bohong. Hidup sudah susah. Jangan mengada-ada.”

***

Saya pernah membaca buku karangan Gabriel Garcia Marques yang menggambarkan bagaimana sepasang suami istri di hari tuanya menghadapi berbagai macam masalah gejala ketuaan. Akibat prostat, sang suami tidak bisa mengemudikan alat kencingnya tepat ke dalam pot sehingga nyiprat ke mana-mana menimbulkan bau pesing. Dan itu menyebabkan keluhan sang istri setiap hari. Sang istri lalu mengajari suami untuk kencing duduk seperti yang biasa dilakukan kaum perempuan.

Saya tidak menyamakan ayah dengan tokoh suami dalam cerita Marques. Tapi kisah itu bisa dijadikan perbandingan. Ayah mertua sudah lama menduda sejak ibu mertua meninggal hampir 25 tahun lalu. Waktu itu, usianya 55 tahun. Sebuah usia emas, kata kebanyakan pujangga. Kata-kata itu tampaknya memang tidak berlebihan. Pada saat itu semangat ayah masih berkobar-kobar. Setelah pensiun setahun berikutnya, ia langsung menerima pekerjaan sebagai komisaris di beberapa PT, meskipun kerjanya hanya duduk dan memimpin rapat. Kadang-kadang cita-citanya juga masih seperti cita-cita anak muda. Misalnya saja, ia masih kepingin membangun pabrik peniti, membuka ranch untuk peternakan kuda, keliling dunia dan sebagainya.

Ketika itu sudah banyak handai taulan yang menyarankan pada kami sebagai anak menantunya agar mendesak ayah segera menikah lagi. Biar ada yang merawat dan membantunya mengingat dua anaknya sudah berkeluarga. Tapi saran yang jenius itu tak kesampaian. Semua tidak berani maju mengatakan sendiri pada ayah. Ayah sendiri sejauh itu, tak menunjukkan minat untuk menikah lagi. Dan yang pasti dalam usia seperti itu, dia terus sibuk dan bergerak terus.

Gara-gara itu, dia selalu menjadi ikon dalam keluarga kami. Kalau kami --saya sebagai menantu, dan adik istri saya yang lelaki-- kelihatan letoy sedikit saja, nama ayah disebut sebagai suri tauladan.

He is my hero.”

“Masak kalah sama Ayah?”

“Bravo Ayah!”

“Viva Ayah!”

Tidak ada yang mengalahkan ayah. Saya sudah harus mengurangi gula. Adik lelaki istri yang lebih muda, sudah kena kolesterol. Makannya dijaga, tidak boleh sembarangan makan yang mengandung lemak. Sementara ayah, hebat, bebas pantang.

Tapi tentu saja ayah, seperti orang lain, juga harus menyerah pada faktor usia. Setelah sempat lima tahun mengemudikan beberapa perusahaan sebagai komisaris, ayah mulai merasa lebih baik lebih banyak di rumah. Awalnya saya mengira, ayah akan segera mengalami post power syndrome, ternyata dugaan saya keliru. Dia tetap gembira, terus sibuk dan bergerak terus. Dua minggu sekali, dia bikin arisan bersama teman-temannya di kafe-kafe favoritnya. Minum kopi. Minum wine. Dan bersama teman-temannya itu ayah juga masih sempat ikut tur ke Cina, Israel, dan Afrika. Sebagai anak-menantunya, kami bukannya tidak pernah membujuk agar rumah besarnya dijual saja dan uangnya dimasukkan sebagai deposito, lalu ayah ikut salah seorang di antara kami. Tinggal di rumah sambil momong cucu, siapa tahu tidak hanya bisa memperpanjang umur tapi juga membuat hidupnya lebih berkualitas. Tapi lagi-lagi ayah menolak.

“Sudahlah, kalian tidak usah cerewet. Ayah tahu apa yang harus ayah lakukan.”

Nah, sekarang terbetik berita ayah mertua berniat menikah lagi. Jelas ini bukan main-main, kalau kata-kata sang perawat benar. Hanya, hare gene?

Benar saja, berita ayah mertua yang berumur 80 tahun mau menikah lagi itu menyebar. Waktu belanja kebutuhan rumahtangga bulanan di supermarket, saya dan istri ketemu tetangga yang menanyakan kabar itu. Gile.

“Darimana Bapak tahu mertua saya mau nikah lagi?” tanya saya sedikit malu.

“Saya dengar dari istri saya.”

Istri saya melabrak istri tetangga.

“Darimana Ibu tahu Ayah saya mau nikah lagi?”

“Dari perawat.”

Tengkuk saya berdiri mendengar cerita istri.

“Kurang ajar. Siapa sih nama perawat itu?” kata saya.

“Namanya Ningsih.”

“Oke, kamu tanya Ningsih.”

Istri terus mengusut. Perawat Ningsih diinterogasi lagi.

“Kamu jangan kayak ember dong. Masak berita seperti itu sampai ke telinga orang lain?” kata istri saya marah-marah di telepon.

“Saya tidak bohong. Masak orang seperti saya berani bohong?”

“Saya kan juga sudah bilang sama Ibu tapi Ibu tidak percaya.”

“Nyatanya?”

“Nyatanya pigimana, Bu? Nyatanya Tuan Besar bilang sama saya, dia mau menikah lagi.”

“Saya sebagai anaknya saja enggak tahu, kok kamu sok tau.”

“Sumpah. Kalau Ibu tidak percaya, silakan tanya sendiri pada Tuan Besar.”

“Pokoknya saya tidak mau kalau kamu jadi ember.”

Saya langsung menyarankan pada istri supaya sebaiknya dia menanyakan langsung pada ayah. Jangan percaya pada mulut orang. Tapi istri tidak mau. Dia malah ganti menyarankan ke adik iparnya. Eh adik iparnya juga tidak mau. Kikuk katanya, karena dia hanya seorang menantu. Dengan alasan itu maka sekarang dia ganti mem-forward perintah saya ke perawatnya lagi.

“Dodol,” kata saya marah. “Kalau kalian tidak berani, saya yang maju bertanya. Ini soal serius. Kita perlu bertanya, biar segalanya jelas, Kalau memang iya, maka kita tinggal pikirkan bagaimana caranya. Kalau tidak juga jadi jelas. Supaya tidak menjadi bahan fitnah. Emang siapa ayah? Jenderal bukan, pejabat bukan.”

Suatu kali saya ketiban tugas harus menjemput dia di bandara karena Pak Ujang, kepala rumah tangga sekaligus sopir pribadinya sakit. Merasa dalam satu mobil, dan kebetulan bertemu muka, maka saya tidak mau melewatkan kesempatan untuk bertanya, apakah dia tidak kerepotan mengurus rumah, mengingat banyak tugas dan pekerjaannya?

“Ah, enggak apa-apa. Di setiap kantor, ayah kan punya satu sekretaris. Mereka selalu yang urus. Sudah cukuplah.”

“Tapi bagaimana kalau ada genteng bocor, bayar rekening listrik atau mengurus makan?”

“Kan ada Pak Ujang.”

“Mudah-mudahan sih tidak, tapi bagaimana kalau suatu hari Ayah sakit, siapa yang merawat?”

“Kan ada perawat.”

“Saya dengar dari Uni, bahwa…”

“Sudahlah, kalian tidak usah cerewet. Ayah tahu apa yang harus ayah lakukan.”

Saya diam membisu. Lidah saya seperti digunting.

Sampai di rumah, dengan wajah ditekuk saya melapor pada istri hasil pembicaraan yang menemui jalan buntu itu. Istri terpingkal-pingkal. “Mau aksi bau terasi,” katanya. Tapi lagi-lagi seperti kemarin-kemarin, saya tetap merasa perlu agar istri sebaiknya menanyakan langsung pada ayahnya. Jangan mudah percaya pada gosip, apalagi dari mulut perawat. Tapi istri –juga seperti kemarin-kemarin-- tidak mau. Dia malah ganti menyarankan ke adik iparnya. Eh adik iparnya juga –seperti kemarin-kemarin-- tidak mau. Kikuk katanya, karena dia hanya seorang menantu. Dengan alasan itu maka sekarang dia ganti mem-forward perintah saya ke perawat-nya lagi.

“Asem,” kata saya marah. “Kalau kalian tidak berani, bagaimana dong. Ini soal serius. Bukan main-main. Kita perlu bertanya, biar segalanya jelas, Kalau memang iya, maka kita tinggal pikirkan bagaimana caranya. Kalau tidak juga jadi jelas. Supaya tidak menjadi bahan fitnah.” Tapi itulah soalnya: saya sendiri tidak berani bertanya sendiri.

Akhirnya kami sepakat untuk tidak membicarakan hal itu lagi. Kami hanya sepakat menjaga agar berita itu –kalau pun benar—tidak menyebar ke mana-mana. Kami juga hanya sepakat untuk diam-diam mengawasi perilaku ayah. Tapi tak lama kemudian, kami ditelepon ayah. Dia memberitahu bahwa dia akan segera menikah.

Dia juga memberitahu bahwa calon istrinya adalah seorang janda, berusia 37 tahun, bukan Ningsih.

Setahun kemudian, lahirlah adik kami.

Ketika adik kami berusia dua tahun, ayah mertua meninggal dunia. Lahir, jodoh dan mati bukan milik manusia. Ningsih bukan ember.***

Gading Serpong, 2010

(Dimuat di Majalah Femina No. 39, 9 Oktober 2010)
.
.

Minggu, 17 Januari 2010

Kita Tidak Berjodoh, Sayangku

Kurniawan Junaedhie

DUNIA tidak hilang bersama Helga, kata Andre dalam hati. Tapi orang-orang itu selalu mengusik dunianya dengan banyak bertanya. “Apakah kamu merasa jantungmu tinggal separuh setelah bercerai?” Begitulah cara mereka bertanya. Seolah-olah, jantung manusia ada dua keping dan seolah-olah lelaki yang ditinggal oleh seorang istri adalah bencana. Maka Andre menjawab semaunya: “Aku tidak percaya pada kata-kata penyair. Terlalu melebih-lebihkan. Aku biasa saja tuh.”

Waktu mereka menikah, semua orang juga gempar.

“Berarti Mama Laurens benar,” kata seorang kerabat pada Andre.

“Mama Laurens? Aku merasa pernah dengar nama ini. Siapa ya?”

“Peramal. Lho kan kamu sendiri yang bilang, dia meramal bahwa kamu akan menikah dengan wanita asing.”

“Tapi Helga wanita Indonesia. Ibunya asal Manado dan ayahnya Yogya. Tidak ada darah blasteran sama sekali.”

“Nyatanya Helga kan orang asing bagimu dan bagi kita. Tidak kita kenal sebelumnya.”

“O. Benar juga ya.”

Sekarang, mereka sudah resmi bercerai. Yang pasti sekarang mereka akan merasa hidup dalam dunia yang ganjil. Sekarang Andre tak perlu lagi membeli dua tiket untuk menonton bioskop. Juga tak perlu membeli dua gelas Ice Chocolate Late ukuran medium kalau lagi buka Internet di Starbucks. Tidak perlu lagi mencari sepatu Jimmy Coo, Gucci atau Christian Louboutin, atau tas Prada, Mulberry dan Fendi untuk istri, adik-adik dan ibu mertuanya, jika dia pergi ke Tsim Sat Sui di Hong Kong atau di Harrods di London. Tidak perlu langganan majalah wanita, beli tabloid A dan B atau beli buku-buku masak. Tidak perlu lagi pasang alarm untuk mengingatkan acara-acara televisi yang akan mereka tonton.

Ibarat baju, hidupku sekarang menjadi ringkas, dan sporty, gumam Andre sambil terkekeh. Ibarat rumah atau kebun, hidupku juga menjadi sangat minimalis. Kegiatanku sekarang hanya ke kantor, bekerja, dan pulang ke rumah, tidur. Yups, termasuk tidur sendiri di kasur yang lebar. Bergulingan. He, tak ada siapa-siapa yang bisa aku peluk atau memelukku. Aneh benar ya?

Jangankan orang lain, Andre sendiri tidak percaya pada kabar bahwa mereka bisa bercerai. Malam itu istrinya pulang kantor membawa secarik kertas, bertuliskan: Kamu dilahirkan bersama, dan bersama-sama kamu akan hidup selanjutnya… Tetapi biarlah ada ruang dalam kebersamaanmu. Dan biarlah angin surga menari di antara kalian. Tidak sari-sarinya, pikir Andre. Jadi dia bertanya,

“Apa maksudmu? Aku tahu ini kata-kata seorang pujangga,” kata Andre.

“Aku jenuh.”

“Jenuh kenapa?”

Helga menjelaskan panjang lebar tentang kehidupan perkawinan mereka. Intinya, dia bilang perkawinan mereka seperti robot. Membosankan. No future. Memuakkan.

“Emang kamu tidak merasakan?” tanyanya.

Tak ada jawaban.

Keesokan paginya, mereka juga tidak melanjutkan karena lupa.

Malamnya, selagi Andre membaca buku, dia mendengar istrinya mengeluh panjang pendek. Karena merasa terganggu, Andre menoleh. Istrinya menjawab, dia gelisah. Andre tetap cuek. Semua orang sehat selalu gelisah, pikirnya, karena dia juga sering mengalami. Tapi kali ini Helga tetap mengeluh panjang pendek. Bahkan suara keluhan itu seperti sengaja dikeras-keraskan supaya Andre mendengar.

“Jangan-jangan kamu punya PIL,” kata Andre menebak.

“Ah, ngawur,” bantah Helga. Sekilas terbayang wajah seorang lelaki di kantornya. Perjaka. Brondong. Tapi segera ditepisnya. Memang tak ada hubungan apa-apa. “Jangan-jangan kamu sendiri yang punya WIL.”

“Hus. Jangan ngaco,” jawab Andre cepat. Sambil berkata begitu sebetulnya Andre juga sempat membayangkan wajah seorang perempuan, sekretaris di kantornya, seorang wanita single parent. Tapi dia segera mengusirnya. Memang bukan itu, alasannya.

“Kita sebaiknya bercerai,” kata Helga.

Andre melihat mimik istrinya.

“Kamu serius?”

“Serius”

“Terserah, kalau itu baik untuk kita.”

“Betulkah tak ada pertengkaran sehingga kalian memutuskan untuk bercerai?” tanya paman jauh Helga.

“Sama sekali tidak,” kata Helga.

“Mungkin karena kalian tidak punya anak,” kata tantenya. “Jangan-jangan kamu yang mandul.”
“Kami sudah ke dokter kandungan. Bukan aku.”

“Jadi suamimu?”

“Dia juga sudah. Bukan juga. Mungkin kami belum diizinkan Tuhan saja.”

“Sudah kamu pikirkan? Apakah kamu tidak saling mencintai? Jangan-jangan kamu merasa dia bukan tipe pria idealmu?”

Oh, mengapa orang jadi ikut campur urusan kami? Helga hampir menangis.

Mungkin orang tidak percaya: mereka saling mencintai. Bagi Andre, Helga adalah istri yang baik. Dia wanita karir, yang setiap hari bangun pagi lebih dulu untuk menyiapkan handuk, sabun mandi, odol, sikat gigi dan segelas kopi untuk Andre sebelum dia pergi ke kantornya. Kalau malamnya habis begadang di kantor karena deadline, Andre dibiarkan bangun kesiangan. Lalu dari kantor, biasanya, Helga menelepon bertanya, seperti belum lama ini ketika dia harus mengantar tamu asing berbelanja ke duty free shop.

“Kubelikan Wine ya? Sudah habis kan? Cuma 14 dollar. Murah.” Dia tahu kesukaan suaminya, Wine Australia. Dia tahu, Andre setop minum Wine sejak harganya menjadi Rp. 400rb. Dan pulangnya, dia tidak hanya membawakan Wine dengan brand kesukaan suaminya, tapi juga spaghetti, kacang kelinci, kacang bali, indomi dan lain sebagainya. Sebagian besar kesukaan Andre. Dia tahu kalau Andre bekerja dia suka ngemil. Dan kalau ngemil , Ande bisa lupa diri. Satu toples kacang bawang bisa habis dalam semalaman. Bagaimana dia tidak baik? Andre juga boleh pulang kantor kapan saja asal memberitahunya lebih dulu. Kalau tidak, jangan coba-coba. Helga bisa membuat telepon Andre berdering-dering sampai Andre menerimanya tak perduli apakah dia berada di ruang meeting atau di toilet. Dia juga bisa kirim SMS sampai belasan bahkan puluhan kali, bila Andre tidak langsung menjawab. “Harap kamu tahu, aku selalu kepikiran bila kamu pergi.” Dia juga sangat percaya bahwa Andre bukan lelaki pencelamit, yaitu laki-laki yang suka menyeleweng diam-diam dengan perempuan lain. Andre memang pria setia.

Umur Andre 26 ketika berkenalan dengan Helga, yang saat itu ‘baru’ berumur 24 tahun. Mereka bertemu di Hard Rock Cafe di Kuta, Bali. Perkenalan mereka kayak sinetron saja. Diawali tabrakan di resto itu. Lalu minuman dalam gelas yang dibawanya tumpah, dan membasahi baju Andre. Tadinya Andre ingin marah. Tapi entahlah. Bukannya marah, malah mereka bertukar nomor telepon. Persis kan? Nah sepulang dari sana, di Jakarta, mereka melanjutkan perkenalan. Setelah menjalani masa pacaran yang sangat singkat tiga bulan, mereka pun memutuskan untuk menikah. Pernikahan dilangsungkan sederhana, tanpa resepsi, kecuali sekadar selamatan di antara keluarga terdekat.

“Seorang yang sendirian tak ada apa-apanya. Dua orang yang saling memiliki membuat sebuah dunia,” tulis Helga setelah pernikahan di buku hariannya. Dan beberapa tahun kemudian dia memindahkan kata-kata itu ke blognya.

Dan selama pernikahan, karir mereka melejit dengan pesat. Dari sekedar sekretaris biasa Helga dipromosikan menjadi assistant general manager, dengan tambahan gaji ala kadarnya, meski sebetulnya pekerjaannya sama. Andre sendiri naik pangkat. Dari reporter, menjadi koordinator reporter dan sekarang redaktur. Dengan naik pangkat, jam kerjanya bisa lebih bebas, dan gajinya meningkat. Teman-temannya menyebut mereka pasangan DINK. Double Income No Kids.

Kehidupan suami istri itu juga secara lahir batin tidak ada masalah apa-apa. Termasuk dalam hubungan seks. Bahkan karena hanya tinggal berdua dalam satu rumah, atau karena merasa tidak ada kegiatan lain, mereka mengaku bisa melakukannya 2-3 kali dalam sehari. Bahkan bisa lebih. Seperti malam itu, saat nonton televisi bersama, mungkin karena iseng, kemudian mereka bercumbu di depan pesawat televisi. Paginya, hidup berjalan seperti biasa.

Esoknya dari kantor, Helga menulis di inbox Facebook Andre.

“Siapa yang akan jadi penggugatnya? Kamu?”

Lama tidak mendapat tanggapan, istrinya lalu mengirim SMS ke Andre:

“Baca inbox di fesbuk!”

“Sabar. Aku masih di jalan. Macet tau.”

Tak lama kemudian muncul jawaban dari Andre: “Terserahlah. Kamu juga boleh.”

Helga sedang menelepon kliennya, ketika melirik, ada balasan dari suaminya. Sambil tetap berbicara di telepon dia mengetik di keyboard.

“Kamu saja.”

Lama tak ada jawaban.

“Lalu mengenai alasan perceraian bagaimana?” tanya Andre pada istrinya.

Sambil tetap mengempit gagang telepon di leher, jari-jari Helga mengetik di keyboard:

“Terserah. Coba cari ide.”

“Sering cekcok, atau tidak bisa rukun saja?”

Sambil terus bicara, jari-jari Helga mengetik keyboard: “Klise. Pasti ditolak. Apalagi tidak ada saksi. Saksi dibutuhkan untuk menguatkan hal itu,”

“Jadi apa ya?”

“Karena kita tidak punya anak.”

“Ah, jangan. Pasti ditolak juga. Hakim pasti akan menyarankan kita untuk mengdopsi anak. ”

Suami istri itu berkerut dahi memikirkannya. Malamnya keduanya tidak bisa tidur. Andre sudah coba memejamkan mata tapi tidak bisa tidur juga. Lalu dilihatnya istrinya di sebelahnya. Tampaknya juga belum bisa tidur, karena kalau sudah tidur pasti akan terdengar dengkurnya.

“Sebetulnya, kamu masih mecintai aku tidak?” tanya Andre memecah kesunyian.

Istrinya membuka mata, membalik ke arahnya.

“Masih. Kamu?

“Masih”

Dari kegelapan, ia menatap mata istrinya. Ia mencangkungkan tangannya, memeluk. Lalu mereka bergulingan. Bermesraan, seperti biasa. Malam larut. Sesudah itu Andre bangun. Keluar kamar, merokok. Istrinya menyusul.

“Besok aku bolos kantor saja. Nggak bisa tidur”

“Ya, saya juga.”

Lusanya baru mereka ngantor. Seperti biasa, sebelum berangkat istrinya menyediakan roti lapis selai untuk dibawa sarapan di mobil. Setelah mengantar istrinya di Jalan Sudirman, baru ia meluncur ke kantornya di Kuningan. Seperti biasa.

Pada pukul 12,00, saat lunch, rupanya mereka merasakan kegelisahan yang sama. Istrinya membuka Facebook, dan menulis di inbox: “Aku masih bingung.”

Tiga detik kemudian, Andre yang selalu membuka Facebook-nya menjawab:

“Jadi batal saja?”

Muncul balasan dari sana: “Kenapa batal?”

Andre mengetik keyboard: “Kukira kamu menyesal.”

“Ah, tidak.”

Perceraian dilangsungkan di pengadilan negeri setempat. Karena sama-sama bekerja dan merasa tidak punya waktu untuk mengurus perceraian, maka mereka menyewa pengacara masing-masing. Tentang siapa pengacara dirundingkan bersama dan biaya juga di-tanggung renteng berdua. Karena sampai detik-detik terakhir tidak ditemukan alasan yang tepat untuk bercerai, para pengacara pun kemudian membuat skenario agar putusan cerai segera didapat dari hakim. Salah satunya, Andre dan Helga cukup datang saja pada hari pertama sidang, selanjutnya tidak perlu datang. Baru pada sidang di mana hakim akan mengambil putusan final, mereka menghadiri persidangan. Itu pun mereka datang langsung dari kantor masing-masing.

Sesuai skenario, putusan pun jatuh.

“Ayo kita foto,” kata Helga, ketika mereka hendak berpisah di halaman pengadilan.

Andre yang sudah siap masuk mobil hendak kembali ke kantor, menoleh: “Eh iya, sampai lupa. Penting, untuk kenang-kenangan,” katanya.

Helga mengeluarkan kamera digital dan menyerahkan kepada pengacaranya, dan minta mengambil foto. Klik.

“Awas, jangan pasang di Facebook,” kata Helga.

Sejak itu Andre dan Helga mulai menjalani hari-harinya sendiri. Semua serba sendiri. Mulai dari bangun pagi sendiri, membuat kopi, dan seterusnya. Keduanya merasa hari-harinya begitu nyaman. Hening tetapi damai.

“Kami biasa saja, tidak pernah merasa ada yang hilang,” kata Andre dan Helga pada teman-teman yang ikut prihatin.

Pulang dari kantor, Ande dan Helga mampir di sebuah convenient store dekat rumah. Diborongnya beberapa kardus mi instant, sayur mayur beserta, bumbu dapur siap olah. Dengan demikian, jika malam-malam harus bekerja lembur dan kelaparan, dengan mudah ia menyalakan kompor gas, dan memasaknya sendiri. Mereka juga memborong secukupnya teh celup, dan kopi instant, sehingga ia tidak kerepotan saat bangun pagi. Jadi, apa susahnya?

Sesampai di rumah, Andre duduk di meja makan, melepas dasi dan melempar sepatunya. Helga juga duduk di sofa, melempar tas dan menyepak sepatunya. Andre lalu bergegas masuk kamar mandi. Helga ikut masuk kamar mandi. Mereka mencopot pakaiannya, menyalakan shower, dan kemudian berendam di bathtub sambil bersiul-siul.

Kamar mandi itu dipisahkan sekitar 10 kilometer jauhnya. Andre di sebuah apartemen di Senayan dan Helga di apartemen di kawasan Kelapa Gading. Hidup ternyata tak perlu didramatisir.***

Bandung- Serpong, 3 Januari 2010

(Dimuat di Majalah FEMINA No. 6/ XXXVIII 13 - 19 Februari 2010 dengan judul JODOH)
-
-