Minggu, 17 Januari 2010

Kita Tidak Berjodoh, Sayangku

Kurniawan Junaedhie

DUNIA tidak hilang bersama Helga, kata Andre dalam hati. Tapi orang-orang itu selalu mengusik dunianya dengan banyak bertanya. “Apakah kamu merasa jantungmu tinggal separuh setelah bercerai?” Begitulah cara mereka bertanya. Seolah-olah, jantung manusia ada dua keping dan seolah-olah lelaki yang ditinggal oleh seorang istri adalah bencana. Maka Andre menjawab semaunya: “Aku tidak percaya pada kata-kata penyair. Terlalu melebih-lebihkan. Aku biasa saja tuh.”

Waktu mereka menikah, semua orang juga gempar.

“Berarti Mama Laurens benar,” kata seorang kerabat pada Andre.

“Mama Laurens? Aku merasa pernah dengar nama ini. Siapa ya?”

“Peramal. Lho kan kamu sendiri yang bilang, dia meramal bahwa kamu akan menikah dengan wanita asing.”

“Tapi Helga wanita Indonesia. Ibunya asal Manado dan ayahnya Yogya. Tidak ada darah blasteran sama sekali.”

“Nyatanya Helga kan orang asing bagimu dan bagi kita. Tidak kita kenal sebelumnya.”

“O. Benar juga ya.”

Sekarang, mereka sudah resmi bercerai. Yang pasti sekarang mereka akan merasa hidup dalam dunia yang ganjil. Sekarang Andre tak perlu lagi membeli dua tiket untuk menonton bioskop. Juga tak perlu membeli dua gelas Ice Chocolate Late ukuran medium kalau lagi buka Internet di Starbucks. Tidak perlu lagi mencari sepatu Jimmy Coo, Gucci atau Christian Louboutin, atau tas Prada, Mulberry dan Fendi untuk istri, adik-adik dan ibu mertuanya, jika dia pergi ke Tsim Sat Sui di Hong Kong atau di Harrods di London. Tidak perlu langganan majalah wanita, beli tabloid A dan B atau beli buku-buku masak. Tidak perlu lagi pasang alarm untuk mengingatkan acara-acara televisi yang akan mereka tonton.

Ibarat baju, hidupku sekarang menjadi ringkas, dan sporty, gumam Andre sambil terkekeh. Ibarat rumah atau kebun, hidupku juga menjadi sangat minimalis. Kegiatanku sekarang hanya ke kantor, bekerja, dan pulang ke rumah, tidur. Yups, termasuk tidur sendiri di kasur yang lebar. Bergulingan. He, tak ada siapa-siapa yang bisa aku peluk atau memelukku. Aneh benar ya?

Jangankan orang lain, Andre sendiri tidak percaya pada kabar bahwa mereka bisa bercerai. Malam itu istrinya pulang kantor membawa secarik kertas, bertuliskan: Kamu dilahirkan bersama, dan bersama-sama kamu akan hidup selanjutnya… Tetapi biarlah ada ruang dalam kebersamaanmu. Dan biarlah angin surga menari di antara kalian. Tidak sari-sarinya, pikir Andre. Jadi dia bertanya,

“Apa maksudmu? Aku tahu ini kata-kata seorang pujangga,” kata Andre.

“Aku jenuh.”

“Jenuh kenapa?”

Helga menjelaskan panjang lebar tentang kehidupan perkawinan mereka. Intinya, dia bilang perkawinan mereka seperti robot. Membosankan. No future. Memuakkan.

“Emang kamu tidak merasakan?” tanyanya.

Tak ada jawaban.

Keesokan paginya, mereka juga tidak melanjutkan karena lupa.

Malamnya, selagi Andre membaca buku, dia mendengar istrinya mengeluh panjang pendek. Karena merasa terganggu, Andre menoleh. Istrinya menjawab, dia gelisah. Andre tetap cuek. Semua orang sehat selalu gelisah, pikirnya, karena dia juga sering mengalami. Tapi kali ini Helga tetap mengeluh panjang pendek. Bahkan suara keluhan itu seperti sengaja dikeras-keraskan supaya Andre mendengar.

“Jangan-jangan kamu punya PIL,” kata Andre menebak.

“Ah, ngawur,” bantah Helga. Sekilas terbayang wajah seorang lelaki di kantornya. Perjaka. Brondong. Tapi segera ditepisnya. Memang tak ada hubungan apa-apa. “Jangan-jangan kamu sendiri yang punya WIL.”

“Hus. Jangan ngaco,” jawab Andre cepat. Sambil berkata begitu sebetulnya Andre juga sempat membayangkan wajah seorang perempuan, sekretaris di kantornya, seorang wanita single parent. Tapi dia segera mengusirnya. Memang bukan itu, alasannya.

“Kita sebaiknya bercerai,” kata Helga.

Andre melihat mimik istrinya.

“Kamu serius?”

“Serius”

“Terserah, kalau itu baik untuk kita.”

“Betulkah tak ada pertengkaran sehingga kalian memutuskan untuk bercerai?” tanya paman jauh Helga.

“Sama sekali tidak,” kata Helga.

“Mungkin karena kalian tidak punya anak,” kata tantenya. “Jangan-jangan kamu yang mandul.”
“Kami sudah ke dokter kandungan. Bukan aku.”

“Jadi suamimu?”

“Dia juga sudah. Bukan juga. Mungkin kami belum diizinkan Tuhan saja.”

“Sudah kamu pikirkan? Apakah kamu tidak saling mencintai? Jangan-jangan kamu merasa dia bukan tipe pria idealmu?”

Oh, mengapa orang jadi ikut campur urusan kami? Helga hampir menangis.

Mungkin orang tidak percaya: mereka saling mencintai. Bagi Andre, Helga adalah istri yang baik. Dia wanita karir, yang setiap hari bangun pagi lebih dulu untuk menyiapkan handuk, sabun mandi, odol, sikat gigi dan segelas kopi untuk Andre sebelum dia pergi ke kantornya. Kalau malamnya habis begadang di kantor karena deadline, Andre dibiarkan bangun kesiangan. Lalu dari kantor, biasanya, Helga menelepon bertanya, seperti belum lama ini ketika dia harus mengantar tamu asing berbelanja ke duty free shop.

“Kubelikan Wine ya? Sudah habis kan? Cuma 14 dollar. Murah.” Dia tahu kesukaan suaminya, Wine Australia. Dia tahu, Andre setop minum Wine sejak harganya menjadi Rp. 400rb. Dan pulangnya, dia tidak hanya membawakan Wine dengan brand kesukaan suaminya, tapi juga spaghetti, kacang kelinci, kacang bali, indomi dan lain sebagainya. Sebagian besar kesukaan Andre. Dia tahu kalau Andre bekerja dia suka ngemil. Dan kalau ngemil , Ande bisa lupa diri. Satu toples kacang bawang bisa habis dalam semalaman. Bagaimana dia tidak baik? Andre juga boleh pulang kantor kapan saja asal memberitahunya lebih dulu. Kalau tidak, jangan coba-coba. Helga bisa membuat telepon Andre berdering-dering sampai Andre menerimanya tak perduli apakah dia berada di ruang meeting atau di toilet. Dia juga bisa kirim SMS sampai belasan bahkan puluhan kali, bila Andre tidak langsung menjawab. “Harap kamu tahu, aku selalu kepikiran bila kamu pergi.” Dia juga sangat percaya bahwa Andre bukan lelaki pencelamit, yaitu laki-laki yang suka menyeleweng diam-diam dengan perempuan lain. Andre memang pria setia.

Umur Andre 26 ketika berkenalan dengan Helga, yang saat itu ‘baru’ berumur 24 tahun. Mereka bertemu di Hard Rock Cafe di Kuta, Bali. Perkenalan mereka kayak sinetron saja. Diawali tabrakan di resto itu. Lalu minuman dalam gelas yang dibawanya tumpah, dan membasahi baju Andre. Tadinya Andre ingin marah. Tapi entahlah. Bukannya marah, malah mereka bertukar nomor telepon. Persis kan? Nah sepulang dari sana, di Jakarta, mereka melanjutkan perkenalan. Setelah menjalani masa pacaran yang sangat singkat tiga bulan, mereka pun memutuskan untuk menikah. Pernikahan dilangsungkan sederhana, tanpa resepsi, kecuali sekadar selamatan di antara keluarga terdekat.

“Seorang yang sendirian tak ada apa-apanya. Dua orang yang saling memiliki membuat sebuah dunia,” tulis Helga setelah pernikahan di buku hariannya. Dan beberapa tahun kemudian dia memindahkan kata-kata itu ke blognya.

Dan selama pernikahan, karir mereka melejit dengan pesat. Dari sekedar sekretaris biasa Helga dipromosikan menjadi assistant general manager, dengan tambahan gaji ala kadarnya, meski sebetulnya pekerjaannya sama. Andre sendiri naik pangkat. Dari reporter, menjadi koordinator reporter dan sekarang redaktur. Dengan naik pangkat, jam kerjanya bisa lebih bebas, dan gajinya meningkat. Teman-temannya menyebut mereka pasangan DINK. Double Income No Kids.

Kehidupan suami istri itu juga secara lahir batin tidak ada masalah apa-apa. Termasuk dalam hubungan seks. Bahkan karena hanya tinggal berdua dalam satu rumah, atau karena merasa tidak ada kegiatan lain, mereka mengaku bisa melakukannya 2-3 kali dalam sehari. Bahkan bisa lebih. Seperti malam itu, saat nonton televisi bersama, mungkin karena iseng, kemudian mereka bercumbu di depan pesawat televisi. Paginya, hidup berjalan seperti biasa.

Esoknya dari kantor, Helga menulis di inbox Facebook Andre.

“Siapa yang akan jadi penggugatnya? Kamu?”

Lama tidak mendapat tanggapan, istrinya lalu mengirim SMS ke Andre:

“Baca inbox di fesbuk!”

“Sabar. Aku masih di jalan. Macet tau.”

Tak lama kemudian muncul jawaban dari Andre: “Terserahlah. Kamu juga boleh.”

Helga sedang menelepon kliennya, ketika melirik, ada balasan dari suaminya. Sambil tetap berbicara di telepon dia mengetik di keyboard.

“Kamu saja.”

Lama tak ada jawaban.

“Lalu mengenai alasan perceraian bagaimana?” tanya Andre pada istrinya.

Sambil tetap mengempit gagang telepon di leher, jari-jari Helga mengetik di keyboard:

“Terserah. Coba cari ide.”

“Sering cekcok, atau tidak bisa rukun saja?”

Sambil terus bicara, jari-jari Helga mengetik keyboard: “Klise. Pasti ditolak. Apalagi tidak ada saksi. Saksi dibutuhkan untuk menguatkan hal itu,”

“Jadi apa ya?”

“Karena kita tidak punya anak.”

“Ah, jangan. Pasti ditolak juga. Hakim pasti akan menyarankan kita untuk mengdopsi anak. ”

Suami istri itu berkerut dahi memikirkannya. Malamnya keduanya tidak bisa tidur. Andre sudah coba memejamkan mata tapi tidak bisa tidur juga. Lalu dilihatnya istrinya di sebelahnya. Tampaknya juga belum bisa tidur, karena kalau sudah tidur pasti akan terdengar dengkurnya.

“Sebetulnya, kamu masih mecintai aku tidak?” tanya Andre memecah kesunyian.

Istrinya membuka mata, membalik ke arahnya.

“Masih. Kamu?

“Masih”

Dari kegelapan, ia menatap mata istrinya. Ia mencangkungkan tangannya, memeluk. Lalu mereka bergulingan. Bermesraan, seperti biasa. Malam larut. Sesudah itu Andre bangun. Keluar kamar, merokok. Istrinya menyusul.

“Besok aku bolos kantor saja. Nggak bisa tidur”

“Ya, saya juga.”

Lusanya baru mereka ngantor. Seperti biasa, sebelum berangkat istrinya menyediakan roti lapis selai untuk dibawa sarapan di mobil. Setelah mengantar istrinya di Jalan Sudirman, baru ia meluncur ke kantornya di Kuningan. Seperti biasa.

Pada pukul 12,00, saat lunch, rupanya mereka merasakan kegelisahan yang sama. Istrinya membuka Facebook, dan menulis di inbox: “Aku masih bingung.”

Tiga detik kemudian, Andre yang selalu membuka Facebook-nya menjawab:

“Jadi batal saja?”

Muncul balasan dari sana: “Kenapa batal?”

Andre mengetik keyboard: “Kukira kamu menyesal.”

“Ah, tidak.”

Perceraian dilangsungkan di pengadilan negeri setempat. Karena sama-sama bekerja dan merasa tidak punya waktu untuk mengurus perceraian, maka mereka menyewa pengacara masing-masing. Tentang siapa pengacara dirundingkan bersama dan biaya juga di-tanggung renteng berdua. Karena sampai detik-detik terakhir tidak ditemukan alasan yang tepat untuk bercerai, para pengacara pun kemudian membuat skenario agar putusan cerai segera didapat dari hakim. Salah satunya, Andre dan Helga cukup datang saja pada hari pertama sidang, selanjutnya tidak perlu datang. Baru pada sidang di mana hakim akan mengambil putusan final, mereka menghadiri persidangan. Itu pun mereka datang langsung dari kantor masing-masing.

Sesuai skenario, putusan pun jatuh.

“Ayo kita foto,” kata Helga, ketika mereka hendak berpisah di halaman pengadilan.

Andre yang sudah siap masuk mobil hendak kembali ke kantor, menoleh: “Eh iya, sampai lupa. Penting, untuk kenang-kenangan,” katanya.

Helga mengeluarkan kamera digital dan menyerahkan kepada pengacaranya, dan minta mengambil foto. Klik.

“Awas, jangan pasang di Facebook,” kata Helga.

Sejak itu Andre dan Helga mulai menjalani hari-harinya sendiri. Semua serba sendiri. Mulai dari bangun pagi sendiri, membuat kopi, dan seterusnya. Keduanya merasa hari-harinya begitu nyaman. Hening tetapi damai.

“Kami biasa saja, tidak pernah merasa ada yang hilang,” kata Andre dan Helga pada teman-teman yang ikut prihatin.

Pulang dari kantor, Ande dan Helga mampir di sebuah convenient store dekat rumah. Diborongnya beberapa kardus mi instant, sayur mayur beserta, bumbu dapur siap olah. Dengan demikian, jika malam-malam harus bekerja lembur dan kelaparan, dengan mudah ia menyalakan kompor gas, dan memasaknya sendiri. Mereka juga memborong secukupnya teh celup, dan kopi instant, sehingga ia tidak kerepotan saat bangun pagi. Jadi, apa susahnya?

Sesampai di rumah, Andre duduk di meja makan, melepas dasi dan melempar sepatunya. Helga juga duduk di sofa, melempar tas dan menyepak sepatunya. Andre lalu bergegas masuk kamar mandi. Helga ikut masuk kamar mandi. Mereka mencopot pakaiannya, menyalakan shower, dan kemudian berendam di bathtub sambil bersiul-siul.

Kamar mandi itu dipisahkan sekitar 10 kilometer jauhnya. Andre di sebuah apartemen di Senayan dan Helga di apartemen di kawasan Kelapa Gading. Hidup ternyata tak perlu didramatisir.***

Bandung- Serpong, 3 Januari 2010

(Dimuat di Majalah FEMINA No. 6/ XXXVIII 13 - 19 Februari 2010 dengan judul JODOH)
-
-

5 komentar:

  1. Wah seandainya aja ada yang bisa nyantai gitu hahaha..

    BalasHapus
  2. ya, sekadar angan2. eh, aku pinjem nama suamimu, femi. hehehe....

    BalasHapus
  3. aku aja baru bia nyantai 3 tahun setelah bercerai, hahaha!

    BalasHapus
  4. saya langsung nyantai. hahahah...

    BalasHapus