Kamis, 04 Februari 2010

Dipisah Dua Benua

Cerita pendek: Kurniawan Junaedhie


Hamid Hamaluddin –biasa dipanggil HH-- meradang, ketika tahu naskahnya dikembalikan redaksi suratkabar. Kalau sekadar cinta ditolak, mah, biasa. Tapi soal ini? Lihat saja. Mukanya merah padam. Giginya gemeletuk. Darahnya mendidih. Terdengar suaranya menggeram-geram seperti singa yang mencabik-cabik mangsanya. Naskah yang dikembalikan redaksi itu disobek-sobeknya, lalu dicampakkan ke lantai, dan diinjak-injak. Itulah kenanganku terhadap HH.

Sebetulnya tak jelek-jelek amat reputasi HH. Pertemuan kami terakhir adalah saat kami berdua membaca puisi di Teater Arena TIM, atas undangan Dewan Kesenian Jakarta beberapa belas tahun lalu. Beberapa bulan setelah itu, kudengar dia menikah dengan seorang wanita bule. Dan sejak itu, kudengar dia ikut istrinya pindah ke Australia. Sesekali kubaca sajak-sajaknya dimuat di majalah terkemuka, dan di beberapa suratkabar di Jakarta. Tapi selebihnya, kawanku HH ini seperti hilang digulung ombak. Namanya tak lagi terdengar. Tak banyak pengarang masa kini yang kenal namanya, kecuali teman-teman seangkatannya seperti aku.

Tidak kusangka, ketika aku jalan-jalan di sebuah mal di Jakarta, aku bertemu dia. Tadinya aku pangling. Kukira Syafrial Airifin, penyair asal Minang yang biasa nongkrong di TIM. Tapi dari caranya tertawa, seri wajahnya tak mungkin kulupakan. Bedanya, dia makin bersih, gemuk, dan rambutnya semakin putih. Dan waktu kutanya apa pekerjaannya kini, ---alamak,--- rupanya dia sekarang menjadi anggota parlemen. Pantas.

Setelah bertukar nomor handphone, kami berpisah. Beberapa hari kemudian, ketika dia membaca karanganku di sebuah media, dia menelponku. Kami janjian bertemu. Awalnya aku minta ketemu di TIM saja. Tapi di luar dugaan, dia tidak mau.

“Jangan bawa aku bernostalgia,” katanya sengit.

“Benar kau sudah tak kangen pada atmosfir TIM?” tanyaku setelah menumpang mobilnya.

“Kita cari suasana lain sajalah,” katanya.

HH memilih singgah di Plaza Semanggi, dan masuk ke sebuah kafe. Dia pesan Blueberry Juice dan aku dengan sigap pesan kopi hitam panas. Karena kami sama-sama belum makan siang, dia pesan Tomodachi Beef Steak dan aku (setelah melihat-lihat daftar menu dengan susah payah) memilih: sop buntut saja.

Sambil makan, kami bercerita tentang macam-macam hal termasuk, nasib kepengarangannya. Aku bertanya, kenapa karya-karyanya sekarang tak pernah kubaca lagi di media massa, dan apakah dia masih berkarya mengingat puisi-puisinya seingatku sangat bagus dan dipuji banyak kalangan.

Dia tertawa. Giginya yang tongos mencuat.

“Aku bukan orang yang bisa menjilat. Aku tak pandai bergaul. Bahkan berbasa-basi saja tidak mampu. Aku tidak masuk dalam kelompok apa pun. Aku pengarang yang tidak punya komunitas. Jadi aku tak pernah bermimpi, karya-karyaku akan diterbitkan media massa, karena aku bukan bagian dari mereka, termasuk para penguasa penerbitan media massa itu.”

“Bukankah namamu sudah dikenal oleh mereka?” tanyaku takut-takut sambil menuang gula ke kopi tubruk yang di kafe itu dibilang sebagai hot black coffee.

“Terkenal buat siapa? Apa kau pikir mereka suka membaca? Apakah mereka pernah membaca sejarah sastra? Mereka sama sekali tak tahu siapa aku dan karya-karyaku.” Dia tertawa. “Di kalangan penyair saja, mereka saling melupakan. Terhadap penyair Slamet Sukirnanto yang dulu gentayangan di TIM saja lupa, apalagi terhadap Amir Hamzah, dan Chairil Anwar, dan apalah pula aku ini?” sembur HH, sambil meludahkan ampas kopi di pisin.

“Jangan sudzon, kawan. Belum tentu mereka seperti itu. Cobalah kau kirim lagi.”

“Pokoknya aku sudah tak mau menulis. Titik,” katanya.

“Apa saja yang telah kau pelajari selama kau menghilang?” tanyaku ingin tahu.

Dia langsung menghentikan makan steak-nya. Dengan kasar dia mencampakkan pisau dan garpunya, serta menyorongkan piring yang masih bersisa separuh ke tengah meja. Nafsu makan HH seolah-olah hilang. Dia menyalakan rokok. Asap rokok yang ditimbulkan akibat sedotan rokok HH serta merta membuat kafe itu berkepul-kepul sekaligus berbau nikotin. Dia menatapku dengan tajam.

“Aku sudah berhenti dari dunia kepengarangan, Bung, tepatnya sejak dunia penerbitan kita dipenuhi kolusi dan nepotisme,” kata dia dengan nada masgul.

“Adakah yang salah dalam dunia kepengarangan kita?” tanyaku.

Matanya melotot.

“Kau tahu kenapa Buku Kumpulan Cerpen Si Polan diterbitkan oleh Departemen Kehutanan? Kenapa Puisi-puisi Si Pailul bisa tampil di Suara Kinerja? Kenapa cerpen-cerpen Si Polan bisa dimuat di koran Rompas? Dan kenapa Goenawan Suwigno mau menulis kata pengantar di buku kumpulan cerpen Badu Hasan?”

Aku menggeleng.

“Ah naïf amat kau ini. Ya, tentu saja, karena mereka sudah saling berkenalan. Ada yang berkenalan karena satu gang dalam sebuah organisasi, ada yang karena sering bertemu dalam acara-acara sastra, ada yang sering bersurat-suratan dan macam-macam. Sedang aku dan para penulis pemula itu siapa yang kenal? Para pembuat keputusan itu tak tahu namaku. Kami tak pernah ngobrol dengan mereka. Aku tak pernah suka membuka Internet, menjawab email dan menulis di Facebook.”

“Bukankan mereka punya nama-nama besar karena karangan mereka memang hebat?”

“Apa yang kau maksud sebagai nama besar?” tanyanya sinis. “Kau pikir nama mereka jadi besar hanya karena nama itu sering dimuat di media massa? Maaf, bagiku kata besar di sini tidak merujuk pada kebesaran karya. Aku lebih senang menyebutnya sebagai nama yang populer. Semacam selebritis di media massa. Jadi, sesungguhnya siapa pun bisa saja jadi populer selama mereka memiliki peluang yang sama. Karena mungkin saja tulisan kami lebih bagus, lebih mendalam, lebih intelek, lebih serius, daripada tulisan-tulisan mereka tapi tidak mereka muat.”

Aku ternganga. Tak percaya aku melihat HH berkata seperti itu. Padahal rasanya belum lama, dia menjadi militant seniman di TIM. Ya beberapa puluh tahun lalu, kami memang seperti berumah di TIM. Bahkan rasanya segala sudut di pekarangan TIM itu tahu betul seluk beluk kami, siapa kami. HH, misalnya, setiap hari berdeklamasi di halaman belakang gedung IKJ (waktu itu LKPJ) untuk, katanya, mengasah perasaan dan menghaluskan budi bahasanya. Setiap hari kami juga nongkrong di warung-warung di pinggir Jalan Kalipasir. Kagum melihat Sutardji Calzoum Bahri. Dan saat itu HH pengen benar mengalahkan dia. Karena menurut pendapatnya pada waktu itu, semakin eksentrik kita maka semakin orang kagum pada kita. HH sepengetahuanku waktu itu juga kagum pada orang-orang yang suka mendebat dalam acara diskusi seperti Kamsudi Merdeka. Karena menurut hemat dia, orang yang pandai mendebat, akan dihargai orang.

“Bung,” kata dia lagi. “Begitu banyak jenis pengarang di tanah air. Sedikit-dikitnya ada lima jenis.”

“Oya?” tanyaku bodoh.

Dia membuka telapak tangan kanannya dan mengeluarkan ibu jarinya seperti mengabsen.

“Yang pertama adalah jenis pengarang populer. Cirinya, karya mereka hampir tiap minggu dimuat di media massa, dan secara periodik menerbitkan buku baru. Sayangnya, popularitas mereka tidak sebanding dengan kualitasnya. Karena karya mereka ternyata tidak pernah membuat dunia bergeming, dan bumi tidak gonjang-ganjing. Lihat saja, dunia tetap normal seperti sediakala. Jelas saja karena ditulis dengan semangat kejar tayang, maka mereka menulis secara ngawur, tergesa-gesa, terkantuk-kantuk, tanpa permenungan sehingga karyanya tidak memiliki kedalaman. Kelihatan saja pintar, produktif dan kreatif, padahal tidak ada isinya sama sekali. Karena itu kalau bertemu pengarang jenis ini sapaan yang paling pas adalah: mana karya terbarumu? Seperti kita bertemu penjual koran. Hahahaha.”
Aku berdecak-decak kagum mendengar ucapannya.

Dia sekarang mengeluarkan jari telunjuknya.

“Golongan kedua adalah pengarang yang senangnya berpikir sampai jidatnya berkilap. Kerja mereka cuma berdebat melulu. Di mana-mana dia senang mengajak kita berdiskusi. Lelah kita meladeninya bicara. Hebatnya, pengarang jenis ini biasanya tak punya karya. Mungkin saja ada. Satu dua. Tapi jelas tak layak diiingat. Jadi kita layak curiga, jangan-jangan kemahirannya berdebat itu hanya untuk menutupi ketidak -mampuannya menghasilkan karya bermutu.”

Aku melongo. Sekarang dia mengeluarkan telunjuk tengahnya.

“Yang ketiga adalah jenis pengarang karena memiliki banyak buku. Padahal kita tak tahu riwayat kepegarangannya dan tak pernah kedengaran menulis di media massa. Tapi karena mereka punya duit, maka mereka menerbitkan sendiri karya-karya mereka dalam bentuk buku. Mereka adalah pengarang oportunistik, yang pintar menjilat, menyogok redaktur, atau mengupah juri-juri lomba agar karyanya dimuat atau dimenangkan dan kalau perlu dinobatkan sebagai sastrawan besar. Tentu saja jangan harapkan apa-apa dari pengarang jenis ini. Hahaha…” HH tertawa.

“Sekarang yang keempat,” dia mengeluarkan jari manisnya sehingga sekarang empat jarinya terbuka. “Mereka adalah jenis pengarang yang bisanya hanya menulis. Dia tak senang berdiskusi. Selalu menghindar untuk berdiskusi. Banyak hal menjadi penyebabnya. Bisa jadi dia memang tidak cerdas, pikirannya dangkal karena mereka tak suka membaca buku. Bisa jadi juga karena mereka ditakdirkan memiliki bakat alam."

Aku termenung.

“Dan sekarang pengarang jenis kelima yang tumbuh subur di sekitar kita adalah kelompok pengarang yang tidak pernah melakukan apa-apa. Mereka tak punya karya, tapi berpikir pun tidak. Tak ada hasil karyanya. Tak pernah ada buah pikirannya yang mewarnai khasanah sastra kita. Menariknya, sastrawan jenis ini selalu tampil di mana-mana, hadir dalam acara apa pun muncul dalam event mana pun. Dan, aduhai, kalau menilik penampilannya, memang mereka benar-benar mirip pengarang. Gondrong. Acak-acakan. Sok tahu. Pede. Hahaha…. “

Aku merasa ciut. Aku mencoba menyeruput kopiku. Terasa hambar. HH menyalakan rokok untuk ke sekian kalinya. Aku memanggil penjaga kafe untuk mengganti asbak yang sudah penuh dengan asbak baru yang licin.

“Nah kuharap sekarang kau sudah tahu jawabnya, kenapa aku tak lagi mengarang,” katanya terbahak.

Kepalaku pening. Leherku kelu dengan obrolan yang ngalor ngidul itu. Aku sudah merasa mau semaput karena caffein dari kopi tubruk itu mulai bekerja ditambah aroma nikotin yang mengharubiru. Cewek petugas café mendekatiku, berbisik, apakah aku mau menambah kopi lagi? Aku menggeleng. Aku berdiri minta pulang. Tawaran HH untuk mengantar ke halte atau terminal kutolak, dengan alasan aku masih ada acara lain.

Sejak itu, aku tak lagi bertemu dengan HH. Aku hanya melihat penampilannya di layar televisi. Rasanya aku juga mulai tidak ingin bertemu dia lagi. Bagiku dia sudah bukan lagi seorang sahabat yang enak diajak bicara tentang daun, angin atau gemericik suara air. Sebaliknya mungkin saja aku juga bukan sahabat yang layak dia ingat, sehingga hilang pulalah namaku dalam ingatannya. Kami masing-masing dipisah dua benua. Tapi mimik HH yang marah waktu naskahnya ditolak redaksi tetap kuingat. Itulah kenanganku terhadap HH. Tidak mungkin kulupa.*** (Cerita untuk Ahita Teguh Susilo & Julius Yusijaya)


Cibinong, Bogor, 21 Nov. 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar