Jumat, 12 Februari 2010

Mawar Merah Valentine


Cerita Pendek: Kurniawan Junaedhie (khusus ditulis untuk Majalah Story)

Syela tak pernah bisa melupakan bagaimana kakak perempuannya, Ayi, menyerobot cowok pujaannya: Leo. Padahal Ayi sudah memiliki Jemi yang kini melanjutkan SMA-nya di Paris.

“Ih, bisa-bisanya. Pokoknya dia sungguh berbisa. Jahat,” kata Syela kepada tantenya, seorang wanita yang paling memahaminya.

“Siapa? Kenapa?”

“Ayi,” jawabnya. “Dan dia sekarang selingkuh dengan Leo sementara pacarnya Jemi menuntut ilmu.

Huh…!” dia mengempiskan hidungnya menjadi jelek. “Dikiranya aku naksir Leo? No way. Dia cowok yang menjemukan, tahu? Lucunya, Ayi melebih-lebihkannya. Dasar lebay. Katanya, dia jago matematika-lah, pintar main games-lah. Emang aku tertarik? Aku memang tahu Leo keren. Tapi aku nggak pernah merasa tertarik karena dia paling suka mengejekku sebagai barang antik!”

Tantenya lebih suka tutup mulut kalau keponakan yang satu ini ngomel. Sebab, dia tahu apa yang diucapkan itu tidak benar. Dibanding Ayi, Syela lebih cantik. Kulitnya putih bersih. Hampir tanpa noda. Hanya, --hm-- satu kakinya saja yang pincang, menyebabkan nilai itu berselisih sedikit. Sejak balita, Ela kena polio. Tapi tentu saja tantenya tak mau mengomentari hal itu.

“Ah, tante nggak mau dengar kamu bilang begitu lagi. Namanya kamu pesimistis. Ceritakan saja murid-muridmu.”

Sejak dua bulan lalu Syela memang memberi les main organ gratisan di sebuah sekolah untuk anak-anak dengan mental terbelakang atas saran guru sekolahnya. “Supaya tidak kesepian,” dalihnya. Lagipula kelakuan anak-anak mental retarded yang suka konyol-konyol itu, sedikit-banyak bisa menghiburnya.

“Yah, menyenangkan,” katanya ketus lalu menarik kakinya dan meninggalkan tantenya dengan wajah marah. Dia paling tidak suka, jika orang menganggap dia hanya tahu mengenai ‘pekerjaan’ yang ditekuninya dan lainnya tidak. Seolah-olah gadis yang kakinya tidak tumbuh sempurna, tidak berhak mengetahui hal-hal yang lain.

***

Sore itu Leo datang, dan seperti biasa memang bukan untuk dia.

“La, kami mau jalan-jalan. Titip apa?” kata Leo menyalakan sepeda motor bebeknya.

“Kamu nggak usah ikut ya. Sebaiknya selesaikan pekerjaan aplikasimu. Atau nonton televisi. Film seri Spongebob- nya lucu-lucu,” kata Ayi sambil mengangkat kakinya duduk di belakang Leo. “Eh, kamu titip apa? Lipstikmu masih? Oya, kubelikan nanti Kacang Bali ya? Atau mau beli DVD saja?”

Ayi memandang wajah adiknya.

Syela tidak menjawab. Dia hanya mendengus dan melirik kakaknya. Ketika sepeda motor itu berlalu, untuk sejurus lamanya dia tiba-tiba merasa cemburu. Dia begitu kesal pada kakinya yang tidak sempurna. Diseretnya kakinya yang pincang itu ke kamar.

Tapi sesungguhnya perasaannya tidak benar. Sesekali toh Leo datang ke rumah, khusus untuk dia. Leo meluangkan waktu untuk berbicara dengannya. Tampaknya sih bukan sekadar basa-basi atau terpaksa. Juga, tampaknya bukan karena permintaan Ayi. Masa Ayi yang jelas ingin merampok Leo, membiarkan Leo kencan dengan dia? Tapi sialnya. Leo mengajak ngobrol hal-hal yang remeh-remeh. Lagi-lagi, mengenai clay, kruistik, origami, seni melipat ala Jepang (yang baru dibacanya dari sebuah majalah, tentunya), atau tentang profesi barunya: guru organ amatir di sekolah luar biasa.

Syela pernah marah.

“Aku bosan, kamu selalu bertanya hal yang itu-itu terus. Emang kemampuanku hanya itu?” tukasnya.

“Habis, apa topik kesukaanmu?” tanya Leo. Dia tak menyangka akan ditanya seperti itu.

Syela tidak menjawab sepotong kata pun. Dia sedang menahan agar airmatanya tidak tumpah. Dia memang tidak mempunyai dunia lain, kecuali yang itu-itu juga. Kakinya yang pincang penyebabnya. Seisi dunia pun tahu akan hal itu.

Mendengar ribut-ribut, Ayi yang sedang sibuk menyedu pop ice keluar tergesa-gesa.

“Apa sih yang kalian persoalkan? Selalu saja ribut-ribut,” tegurnya. Ayi melihat Syela yang menangis. “Astaga Leo, dia menangis!”

Leo mengangkat bahu dan menjulurkan lidah dengan putus asa. Dia merasa tidak bersalah.

“Aku hanya bertanya tentang pekerjaannya..........,” jawabnya seperti prajurit kalah perang.


“Coba cari topik lain.”

“Aku sudah mencoba membuatnya bergairah dengan pekerjaannya,” Leo membela diri, setengah uring-uringan. “Ayolah kita nonton. Aku benar-benar salah tingkah setiap kali bertemu dengan barang antik itu. Adikmu sungguh-sungguh sensitif!”

Tapi Leo tidak jera.

Diulanginya lagi pertemuan, diulanginya lagi pertengkaran.

“Habis bagaimana?” Dia selalu berkata begitu. “Setiap kali aku ke rumahmu, aku tentu harus menemuinya. Kamu sih, kalau aku sedang ngobrol sama dia terus menghilang. Mestinya kamu ada di sini, jadi kalau ada apa-apa bisa jadi penengah. Ngapain sih?”

“Cobalah kamu pahami dia. Jangan ulang pertanyaan yang itu-itu juga. Kamu harus melihat dia dari sudut lain, dong,” protes Ayi.

“Sudah. Aku tadi membicarakan mengenai film. Kukatakan, 2012 itu film bagus. Dia harus menontonnya kalau diputar ulang di Blitz Megaplex. Lalu kuceritakan pula, bahwa di Gramedia, terbit buku cerita karangan Stephenie Meyer yang baru. Dia bilang, pasti terjemahan. Ya tentu saja. Eh…….dia…..dia…..,”

Leo geleng-geleng kepala untuk kesekian kali.

“Aku sungguh tak mengerti. Barang antik itu benar-benar……”

Suatu hari, belajar dari pengalaman, Leo tak mau berbicara banyak ketika bertemu dengan Syela. Ia lebih banyak mendengar seperti murid TK yang patuh kepada ibu guru. Dibiarkannya Syela asyik bercerita sendiri tentang murid-murid mental retarded-nya yang konyol-konyol, sementara Leo hanya mengangguk-angguk dan berdehem-dehem saja.
Tapi tiba-tiba Syela berdiri dengan sengit. Novel yang sedang dibacanya, dicampakkan dengan kasar di meja.

“Aku ini membosankan, sehingga kamu tidak mau mendengar ceritaku.”

Leo terpana. “Oh my god, aku salah lagi,” gumamnya dengan sedih. Padahal maksudnya…

Di depan Ayi, panjang lebar Leo menerangkan duduk perkaranya, bahwa dia merasa tidak bersalah sepotong pun. Bahwa dia tidak menyakiti gadis sensitif itu barang sedikit.

“Siapa sih yang pertama kali menjuluki barang antik? Aku memang perlu hati-hati menyentuhnya. Dia sangat sensi. Padahal sudah kuturuti semua nasehatmu agar aku berhati-hati berbicara dengan dia. Tapi nyatanya tetap runyam juga,” kata Leo dengan wajah pecundang.

Tentu saja Ayi menganggap hal ini tidak boleh berlarut-larut. Dia harus mengatakan kepada adiknya bahwa tindakannya itu konyol.

“Aku harus mengatakan sesuatu padamu. Tapi dari mana ya harus kumulai?” tanya Ayi pada suatu hari. Saat itu hujan bulan Februari terasa dingin.

Syela hanya menoleh sekilas, meski pengen tahu juga.

“Ehm….. Syela,” kata Ayi akhirnya. “Kamu kan tahu, sudah setahun lamanya Leo sering berkunjung kemari. Apakah kamu tahu bahwa………”

“Aku tahu, Jemi studi di Paris, dan dia sama sekali tidak tahu hubunganmu dengan Leo,” potong Syela dengan sedih. “Apa kamu sudah mengatakan pada mama kamu akan memutus Jemi untuk mendapatkan Leo?”

“Eh, kenapa kamu berpikir ke sana? Jangan ngaco. Nggak ada hubungannya sama sekali. Aku hanya ingin mengatakan bahwa Leo mencintaimu.”

Syela terpana. Jantungnya berdegup. Dia tatap wajah kakaknya. Bagaimana mungkin? Mana bisa? Buktinya Leo selalu jalan-jalan bersama Ayi. Tentu saja, dia selalu mengajak Ayi, karena kedua kakinya sempurna. Sebaliknya dia tak pernah mengajaknya entah jalan-jalan di mal, atau cari buku di Gramedia, karena satu kakinya pincang.

“Oh, Ayi, kenapa kamu tega menyakiti hatiku?” seru Syela, hampir pasti akan menangis.

“Terserah. Aku hanya mengatakan kebenaran,” kata Ayi dengan serius.

“Kamu keji!” sekali ini nadanya berteriak.

“Ada apa ini?” Ayi terjengah.

“Kamu pasti mengolok-olokku. Seorang gadis dengan kaki yang pincang memang pantas menjadi bahan olok-olok,” air matanya keluar dengan deras.

Ayi memegang bahunya. Diamat-amatinya paras adiknya, dan diusapnya airmata yang singgah di pipi dengan punggung tangannya.

“Dengar ya, Leo mencintai kamu, La,” bisik Ayi.

Syela mengangkat kepala. Dia rasa-rasanya tidak sedang bermimpi.

“La, kamu jangan salah paham dulu. Aku nggak ada apa-apa dengan dia. Hubunganku dengan Leo, justru dalam rangka menggaet hatimu,” kata Ayi lagi. Dia membelai-belai rambut adiknya. “Apakah kamu menolaknya?”

Syela diam.

“Kukira kalian pasangan yang cocok. Kamu seorang gadis yang cerdas, punya wawasan. Sedang Leo juga pemuda yang cerdas dan sama seperti kamu, senang pada hal-hal baru. Kalaupun ada yang mengecewakan hatinya adalah karena kamu terlalu perasa. Berapa kali kamu bertengkar dengan dia?”

Syela tidak mengerti harus menjawab apa.

“Bagaimana aku harus mempercayai kata-katamu, dia kan seorang playboy?”

Ayi ingin tertawa, tapi sekali ini ditahannya.

“Itulah yang ingin kukatakan padamu. Bahwa Leo kini lain dengan Leo yang kita kenal dulu. Dia sudah menyadari bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna. Memang, dua, tiga kali dia berpacaran. Tapi putus. Leo mengatakan, pacar-pacarnya itu sama sekali tidak menggaet hatinya. Fisik mereka saja yang sempurna, tapi hati mereka pincang. Dan dia melihat kamu lebih dari itu. Boleh jadi, kakimu pincang, tetapi hatimu kan tidak. Dia sudah melihatnya sendiri selama setahun ini.”
Ayi manghela napas.

“Yah, kekuranganmu hanya satu: kamu sensi. Sensitif. Benar-benar seperti barang antik, yang fragile dan mudah pecah. Padahal Leo, setamat SMA ini, akan melanjutkan ke kedokteran. Dia berminat jadi orthopedist. Tahu orthopedist? Dokter ahli tulang. Dia ingin menyembuhkan kamu. Cita-citanya sudah kuat.”

Ayi meregangkan pelukannya. Ditatapnya wajah adiknya dengan lembut.

“Salah besar, kalau kamu menduga aku ada apa-apa dengan Leo, La. Jemi sedang sekolah di Paris. Apa kamu sangka kakakmu punya bakat selingkuh? Leo itu milikmu, kalau kamu mau!”

Syela melepaskan pelukan kakaknya. Dia berjalan tertatih-tatih, menuju sofa. Dipandanginya wajahnya dari kaca.

Dia lalu menunduk. Diamat-amatinya kakinya yang pincang.

Tiba-tiba pintu diketuk, dan belum juga pintu dibukakan, seseorang nyelonong masuk ke ruangan. Astaga, Leo. Dia datang membawa selusin mawar merah jambu di tangan kanannya dan coklat dalam kemasan bentuk jantung hati di tangan kirinya. Ia menyerahkan semuanya ke tangan Syela yang tiba-tiba merasa jadi bego.

Syela bengong. Dia menerima saja bunga dan kotak coklat itu.

Di antara rangkaian bunga dan kotak coklat itu terselip sehelai kartu: "If you'll be my valentine, I'll provide the dinner and wine!"

“Bagaimana mungkin aku mengukur cintaku dengan sepotong kakimu yang pincang?” tanya Leo sambil menatap Syela.*** (Happy Valentine untuk Ayi Ela & her gang di SMP Penabur GS).


(CERITA UTAMA MAJALAH REMAJA STORY EDISI NO. 7, BEREDAR 25 JANUARI 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar