Jumat, 12 Februari 2010

Cinta Azalika

Cerita Pendek: Kurniawan Junaedhie (Khusus ditulis untuk majalah Story)

Waktu Ayi duduk di depan laptopnya di Coffee Bean, Sumarecon Mal Serpong, ia mendengar namanya dipanggil seseorang. Suara itu bukan suara yang asing. Suara itu pernah akrab di telinganya di suatu waktu. Maka ia cepat menoleh ke arah datangnya suara. Karena hari masih siang, kafe itu itu lengang, Ayi segera saja menemukan sosok yang berdiri tegak sekitar sepuluh meter dari tempatnya berdiri, di depan counter. Ia menebarkan senyum.

“Jemi?” ia berteriak setelah sedetik tertegun. Hatinya berdebar. Ia menatap lama laki-laki 20 tahun bertubuh krempeng, jangkung dan berambut jabrik kayak tokoh komik Jepang yang sudah dikenalnya seperti dalam mimpi. Laki-laki itu mengenakan t-shirt yang dihiasi kotak-kotak besar. Dia memang bukan orang yang asing.

“Sudah kuduga, akan ketemu. Rumahmu masih di situ kan, di belakang mal ini?” tanya cowok bernama Jemi itu seraya meletakkan dua gelas ice chocolate late di meja. Dia mencium pipi Ayi lalu duduk.

“Mimpi apa aku bisa bertemu dengan penyanyi terkenal?” jawab Ayi sambil mencoba mengendalikan debar jantungnya.

“Jangan begitu,” kata Jemi duduk.

“Emang begitu. Semua orang tahu kamu ngetop sekarang.”

“Eh, kamu tambah cantik,” kata Jemi mengalihkan perhatian.

“Hm, jadi dulu kurang cantik ya?”

Jemi tertawa. “Masih seperti dalam angan-anganku,” katanya.

“Eh ngapain ke sini? Ada janji dengan fans?” tanya Ayi mulai tenang. “Bukankah rumahmu jauh dari sini dan sekolahmu di Paris?”

“Jangan sinis begitu. Kamu tidak berubah.”

“Kamu juga tidak berubah: tetap sensi. Sensitif.”

“Tadinya aku mau mampir ke rumahmu. ”

“Oya? Hebat amat?” Ayi meneguk minumannya.

“Tapi rupanya Tuhan mengatur supaya kita ketemu di sini,” dia mendehem. “Wah aku senang bisa ketemu kamu di sini. Nggak nyangka sama sekali. Suer.” kata Jemi mengangkat dua jarinya. “Bagaimana kabar adikmu Ela? Wah dia lucu. Konyol. Aku sering main fesbukan sama dia, lo.”

“Jadi…. Astaga. Jadi kamu tahu aku akan ke sini karena dia?” Ayi mulai curiga.

“Hahaha.” Jemi tertawa. “Semalam aku dan dia chatting-chattingan.”

“Dasar.” Pantas. Ela minta dijemput. Dengan alasan takut pulang sendirian, maka dimintanya kakaknya datang lebih awal dan duduk menunggu di Coffee Bean. Habis itu , katanya dia akan ke Gramedia karena ada diskon 70 %. Tidak taunya….

“Kenapa kamu nggak pernah mau membalas email dan fesbukku sih?” tanya Jemi mengagetkan lamunannya.

“Aku kan nggak penting buatmu. Kamu sudah jadi artis top.”

Ayi menunduk, mengaduk-aduk chocolate di gelasnya.

“Kenapa sih kamu nggak mau jawab pesan-pesanku di inbox?” Dia mengulang pertanyaan.

“Sudah kujawab tadi kan? Aku sudah nggak penting buat kamu. Dan aku juga betul-betul sibuk. Pulang sekolah jam tiga. Habis itu ikut aneka kursus. Pulang sudah capek, masih harus buat pe-er. Nggak sempat buka fesbuk, nggak sempat buka internet. Nggak menarik. Ceritakan saja, apa pengalaman-pengalamanmu di Paris dan jadi artis terkenal. Itu lebih menarik.”

Ayi menatap mata belo Jemi.

***

Ayi mengenalnya tiga tahun yang lalu ketika mereka ditakdirkan harus duduk sebangku di kelas tiga SMP. Awalnya Ayi tidak terlalu suka cowok itu. Gayanya tengil. Cenderung over confidence. Mungkin karena --kata teman-temannya,-- dia anak band. Meski tidak tampak, Jemi anak orang kaya. Saban hari dia diantar dan dijemput dengan mobil BMW. Padahal yang lain, paling diantar Inova, Avansa, CRV, Honda Jazz, APV atau Grand Livina. Dari gayanya, uh, sudah keliatan. Karena tidak bisa diam, Ayi menyebutnya, autis.

Karena itu ketika hari pertama dia resmi duduk di kelas tiga, dia mengadu pada ibunya. “Kayaknya tahun ini bakal jadi mimpi buruk, Ma,” katanya. “Teman sebangkuku anak autis.”

“Waktu kelas dua kamu duduk dengan si Aal, kamu juga sempat bilang dia anak cupu. Nyatanya kamu juga sahabatan,” kata ibunya.

“Lihat saja nanti.”

Tak disangka, suatu hari guru Bahasa Indonesia menugaskan anak-anak sekelas membuat puisi dalam rangka hari Valentine. Mampus. Ayi paling tidak suka puisi. Bacaan apa itu? pikirnya. Mending baca komik atau novel, sudah jelas ada melow-melownya atau adegan-adegan serunya.

“Mau kubuatin puisi untukmu?” tiba-tiba terdengar suara dari arah samping. Jemi.

Ayi menoleh dengan gemas, karena ia merasa isi hatinya bisa terbaca dengan jelas. Lagi pula, anak autis dan anak band begitu, mana bisa jadi pujangga? Tanpa sadar, Ayi tertawa sinis.

“Serius. Aku serius dengan tawaranku. Tapi itu pun kalau kamu mau. Aku pantang memaksa, bukan tipeku,” kata Jemi dengan wajah seperti bayi.

Sejurus lamanya Ayi mencoba menaksir: apa arti tawarannya itu. Apakah dia sedang menyombongkan diri? Atau memang mau membantu dengan tulus ikhlas? Dan apakah benar dia memang pandai menulis puisi?

Tapi Ayi langsung memotong:
“Aku juga bisa bikin puisi. Gampang. Apa susahnya membuat puisi.”

Jemi tertawa. “Ya sudah, coba saja.”

Pulang ke rumah, Ayi membuka internet, dan mencari di Google dengan kata kunci: puisi. Yang ditemukan bermacam-macam. Ada puisi Chairil Anwar, Amir Hamzah, Rendra, Sutardji Chalzoum Bahri…. Dia merasa nama-nama itu aneh. Dia lebih kenal nama-nama Rihanna, Chris Brown, Afgan….. Ia juga mencoba menulis beberapa kata dan kalimat, digunting, dimasukkan toples, dikocok dan dikeluarkan, lalu disusun untuk kemudian dituliskannya. Tapi hasilnya, sama sekali tidak mirip sebuah puisi.

“Ayi nyerah, Mah,” katanya masuk ke kamar mengadu kepada mamanya, dengan hati separuh menangis.

“Aku nggak bisa nulis puisi. Nggak ada keturunan pujangga.”

“Nulis puisi saja tidak bisa, bagaimana mau bikin caramel?”

Ayi melotot ke arah mamanya yang sedang membuat puding caramel.

Tiba-tiba ada SMS masuk.

“Bgm dg twaranku? From: Jemi.”

Hi. Kok dia seperti intel saja ya. Dia bisa membaca isi hatiku, dan tahu apa yang sedang kupikirkan, gumamnya.

“Twaran apa?” Ayi dengan cepat mengetik di keypad, pura-pura tidak tau.

“Puisi.”

“Kalau kamu jago, bikinin saja.”

“Yups. Beres. Kirim alamat emailmu.” Beberapa detik saja muncul jawaban dari si anak autis itu.

Karena memang sudah putus asa, Ayi menulis alamat emailnya,…..

Lima menit kemudian, muncul balasan: “Cek email”.

Ayi lari ke luar kamar, membuka laptopnya, dan mencek email. Astaga. Anak autis itu memang telah mengirim 4 buah puisi untuknya. “Cpt amat. Nyontek darimana? Jgn2 plagiat” jawab Ayi lewat email.

Beberapa detik, muncul jawaban di handphone:

100% guaranteed. Pake saja atas nama kamu. CU. “

Dengan puisi itu, tentu saja urusan dengan guru bahasa Indonesia berakhir dengan aman dan damai. Ayi mampu menyerahkan puisi cinta sebagaimana yang ditugaskan.
“Thank you, ya,” kata Ayi di halaman sekolah.

Nope. No problem. Aku hanya ingin berkenalan denganmu.”

Berkenalan? Ayi melotot ke arah anak autis itu.

“Bukankah kita sudah kenalan? Kamu lucu ya? Kamu namanya Jemi, kan? Dan kamu juga sudah tahu namaku, kan?”

“Belum. Namamu di sekolah Azalika, tapi panggilanmu di rumah Ayi. Hihihi.”

Sejak itu, mereka bersahabat. Kemana-mana pergi berdua. Ke mal. Ke Pacific Place meski cuma untuk beli sarung handhphone. Ke Taman Anggrek Mall, meski cuma untuk beli kado buat ulangtahun Ela adiknya. Nonton film. Baca buku gratis di Gramedia. Ayi juga diajak berkunjung ke studio musik kebanggaan di rumahnya. Nonton Jemi latihan band, rekaman vocal di studio dan lain-lain.

Ketika pertama kali datang ke studio musik Jemi, ia sempat kaget ketika di dinding studio terpampang wajah dirinya dalam sebuah lukisan besar.

“Aku yang melukisnya.” kata Jemi tanpa ditanya, “kamu marah?”

“Surprising.” Ayi cepat menggeleng. “Anak band, pinter melukis,” gumam Ayi sambil mengamat-amati dari dekat. Tapi ia sungguh heran, darimana Jemi mendapat contoh untuk lukisan itu?

“Kamu kan tidak pernah memiliki fotoku?” tanya Ayi.

“Itu hasil khayalanku.” Jemi mengambil Coca Cola dari kulkas dan membukanya.

Tiba-tiba sesuatu melintas di kepala Ayi. Sesuatu yang ganjil dan tidak semestinya. Didekatinya Jemi.

“Jem, apa maksudmu dengan semua ini?” tanyanya ingin tahu.

“Kukira kamu tahu jawabnya.” sahut Jemi agak gemetar. Ia menenggak Coca Colanya begitu saja.

“Apa?” tanya Ayi tidak sabar.

“Aku mencintaimu.”

Ayi terperanjat lalu terpingkal-pingkal.

“Lucu.”

“Apa?” Jemi berhenti menenggak minumannya, nyaris tercekat.

“Hihihi…. Ada-ada saja. Kita baru SMP, tau?”

Jemi tersenyum tipis, padahal seharusnya ia terkejut.

“Iya, nggak tau,” desisnya pada diri sendiri.

Ayi menatap mata Jemi.

“Lupakan soal tadi. Forget it.”

Ayi melihat mata Jemi yang polos.

“Oh tidak. Kamu sangat baik Jem. Kamu pintar. Dulu aku memang merasa kamu…..,” kata Ayi. Lalu ia merasa betapa pipinya jadi hangat karena air mata.

Jemi pura-pura tidak melihat.

“Ayo habiskan.”

***

“Nightmare berlalu,” tulis Ela, di wall fesbuk, nyindir. Mama yang jago bikin puding caramel mulai cemas. Dia takut Ayi falling in love. dan kalau ditinggal Jemi, akan patah hati. Mamah rupanya sudah pengalaman, bagaimana rasanya orang patah hati. “Ayi, ingat kata Mamah ya: Jemi hanya salah seorang. Kamu harus melihat yang lain. Dan kamu masih kelas 3, SMP. Perjalananmu masih jauh.

Hm. Jemi hanya salah seorang.

“Kamu tahu kenapa aku dulu bisa cepat mengirim puisi untukmu?” tanya Jemi pada suatu hari ketika diajak nonton Jemi latihan band.

Ayi menggeleng kayak anak bloon.

“Sejak kelas dua aku sudah naksir kamu. Dan aku menulis puisi itu untuk kamu.”

“Apa sih keistimewaanku?”

“Ingin tahu? Aku mencintaimu.” jawab Jemi.

“Sudah dua kali kudengar,” kata Ayi cuek.

“Asal kamu tahu, ya, banyak lagu-lagu ciptaanku lahir karena kamu,” kata Jemi.

“O ya? Kalau begitu kudoakan, mudahan-mudahan lagu-lagumu jadi hits,” sahut Ayi, juga dengan ringan.

“Jangan sinis.”

“Sensi amat seh.”
****

Hanya setahun sebangku di kelas tiga, mereka harus mengikuti ujian akhir tahun.

“Kamu mau masuk mana?” tanya Ayi iseng-iseng ketika jalan-jalan sehabis nonton film.

“Inilah yang ingin kukatakan sejak lama,” katanya termangu.

“He, dramatis amat?” tanya Ayi.

“Aku mungkin harus berpisah dengan kamu.”

Ayi terkesiap. Memang dramatis rupanya. Kalau melihat tampang Jemi rasanya juga dia tidak main-main.

“Kamu akan pindah ke SMA yang lebih top kan? Kita tidak satu sekolah lagi, begitu kan maksudmu?”

“Enggak hanya itu. Aku akan melanjutkan ke Paris. Bokap menyuruh aku sekalian belajar musik di sana.”

Ayi tercenung. Dipandanginya mata belo Jemi. Tapi pulang sekolah, tiba-tiba ia merasa bĂȘte. Malas untuk les Mandarin, atau Bahasa Inggris. Guru les private organnya yang biasa datang ke rumah, diminta supaya tidak datang. Makan pun tidak enak. Ada sesuatu yang tidak beres di hatinya.

Ela adiknya yang tahu gelagat menyindir di wall fesbuknya: “Patah hati ni ye…”

“Ada apa dengan Jemi?” tanya Mamah menyelidik seperti biasa.

“Gak ada apa-apa.”

Malamnya ketika Ayi tidur, Mamah diam-diam membuka HP Ayi. Hm, tidak ada yang mencurigakan. Tapi ketika menunggui Ayi sarapan, esok paginya Mamah ber’sabda’:
“Pokoknya Ayi harus ingat kata Mamah: Jemi hanyalah salah seorang. Jalan kamu masih panjang. Kamu masih SMP….”

***

Beberapa hari menjelang keberangkatan Jemi ke Paris, Ayi menerima SMS dari Jemi. Jemi ingin ketemu.

“Lusa aku terbang ke Paris. Ketemuan dulu yuk.”

Ayi tiba-tiba merasa sedih.

“G perlu,” jawab Ayi.

“Bsk aku brgkt. Dan aku merasa bahagia pernah mengenalmu.” jawab Jemi. Ayi tak menjawab, hanya menyeka air matanya.

“Pliz, jwb. Kamu g berharap kita akan ktmu lagi ya?”

“I don’t know,” jawab Ayi, “Kita kan bisa fesbuk-fesbukan atau email.”

Ketika Jemi melaporkan bahwa lukisan Ayi akan diangkut ke Paris,
Ayi menjawab: ”Kalo kama suka, bawa saja.”

Ayi tidak mengantar Jemi ke airport. Ia sempat kepingin ikut mengantar. Mamah setuju. Tapi Ela adiknya langsung ngeledek. Niatnya jadi urung.

Pada dari keberangkatan Jemi ke Paris, ia hanya kirim SMS: “Take care yourself “

“Cuma itu?”

“Gw gak bisa bikin puisi.”

Lalu dari sana Jemi menjawab: Muuaah. Tapi di rumahnya Ayi bisa membayangkan bahwa Jemi sedang mengarungi langit, menerjang gugusan awan, menuju ke kota impiannya di mana ia akan belajar musik, dan melanjutkan sekolahnya. Dan dia merasa ada sebelah hatinya yang ikut terbang bersama Jemi.

Selang beberapa hari kemudian email Jemi datang. Dia sudah tiba di Paris. Ayi tidak berminat membalasnya. “Jemi hanya salah seorang …..” pikirnya. Ia sendiri memang sangat sibuk dengan sekolah barunya sebuah SMU swasta.

Sempat ia membuat fesbuk. Hanya dua jam setelah itu, seseorang minta ditambahkan sebagai teman. Namanya, Jemi Lukmantauw. Ia konfirmasi. Tapi ia memang tak pernah menulis apa pun. Sementara itu email-email Jemi terus tetap berdatangan. Dan Ayi tak membalasnya sekalipun. “Jemi hanya salah seorang.” Ia ingat kata Mamahnya. ”Dan aku baru kelas satu SMA,” pikirnya waktu itu.

Dan selama setahun itu memang banyak yang telah terjadi. Jemi dikabarkan telah merekam sebuah album. Ia dikenal sebagai artis Indonesia yang sukses di negeri orang. Ia tak hanya menyanyikan, tapi juga mencipta lagunya sendiri dalam bahasa Inggris. Ayi tahu dari Ela, adiknya yang suka fesbuk-fesbukan dengan Jemi.

“Kak Jemi sudah jadi artis top,” kata Ela.

“Sebodo. EGP,” jawab Ayi. Ia ingat kata mamahnya, “Jemi hanya salah seorang. Dan aku baru baru kelas dua SMA.” Dan beberapa tahun kemudian ketika kelas tiga, ia sudah punya teman baru: Beben. Jago matematika. Yang kata Mamanya pun, hanya seorang Beben…. “Karena aku baru lulus SMA. Dan perjalananku masih panjang…..”

***

Kini Jemi yang ‘hanya seorang’ itu datang lagi, tanpa terduga. Dan mereka bertemu di sebuah mal. Tuhan yang merencanakan melalui Ela.

“Bagaimana dengan Bebenmu?” tiba-tiba Jemi memecah lamunan Ayi.

“He, jangan sok tau.”

“Aku tahu dari Ela. Dan karena ingin tahu siapa dia, maka aku add namanya di fesbukku. Jadi aku tahu profilnya. Hebat ya? Jago matematika, sudah dikirim ke Jepang.”

“Kami sudah berpisah secara baik-baik. Kamu senang ya?”

“Haha,….. sekarang kok kamu yang sensi?”

Ayi tersenyum tipis, “Bagaimana denganmu?”

“Aku masih mencintai kamu.”

“Jangan sotoy. Aku nggak mau dengar,” sergah Ayi kesal dan menutup kedua telinganya.

“Jadi kamu tolak cintaku?”

Ayi kesal. Dia mendelik dan mengangkat kepala.

“Please, sekarang cerita tentang kamu saja. Aku mau dengar ceritamu tentang single hitsmu yang terbaru, tentang tour showmu, tentang gadis-gadis pemujamu.”

Karena Jemi cuek saja, Ayi sejurus menghentikan kalimatnya. Dipandanginnya Jemi.
“Kok diam?”

Jemi cuma tersenyum-senyum.

Ayi langsung menutup laptopnya. Dan berdiri.

“Kalau begitu, aku mau jemput adikku,” katanya sambil melirik arlojinya, dan mencoba bergegas meninggalkan cowok bernama Jemi itu.

Jemi langsung meraih tangannya.

“Eh, kamu tidak kangen?”

Ayi masih berdiri, dan melihat tangannya yang dipegang Jemi.

“Apa-apaan neh? Nggak takut penggemarmu cemburu?”

Jemi lekas melepaskannya.

“Apa kamu tidak kangen?” Diulangi lagi kata-kata itu.

Ayi duduk dengan kesal. Dia menatap mata belo Jemi. Rambut yang acak-acakan. Tapi yang terbayang: kalimat-kalimat dalam puisi-puisinya, Jemi latihan band, Jemi membetot bass gitar dan Jemi sedang menyanyi. Juga lukisan di studio dan email-emailnya yang sebenarnya dibaca tapi tak pernah dijawabnya. Hm. Dia tidak mungkin membodohi dirinya sendiri. Dia menghela napas.

“Oke Jem, asal kamu tahu, ya, aku juga tidak pernah menyesal berkenalan denganmu. Kalau selama ini aku memang menghindar, itu karena aku takut kehilangan kamu. Aku takut patah hati.” Sambil berkata begitu, tiba-tiba Ayi ingin menangis. “Aku masih menyimpan puisimu.”

“Aku malah menyimpan hatimu,” sambung Jemi berbisik. Dia memegang tangan Ayi. “Kita akan jadi sahabat yang baik, yang mesra dan yang saling mencintai.”

Ayi menunduk. Lalu diteguknya ice chocolate late-nya.***

Gading Serpong, 21 Juni 2009

(DIMUAT SEBAGAI CERITA UTAMA MAJALAH REMAJA STORY EDISI PERDANA 25 JUNI 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar