Tampilkan postingan dengan label Horison. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Horison. Tampilkan semua postingan

Minggu, 27 Juli 2008

Gadok Sahabatku Yang Malang

Cerpen: Kurniawan Junaedhie

Gadok! Mata saya tertuju pada lelaki kerempeng yang segera berdiri melihat saya keluar dari kamar direksi. Tetapi dengan gesit Subarti, resepsionis tempat kami bekerja, lebih dulu menyilakan seorang tamu yang lain masuk. Sehingga Gadok yang juga ingin menemui direksi, terpaksa menggigit bibirnya. Merasa tidak enak, saya bimbing dia duduk.

Gadok adalah sahabatku yang malang. Dia masuk ke perusahaan percetakan kami sejak tiga tahun yang lalu sebagai operator pada mesin-mesin cetak kami yang baru. Sebetulnya, sebelum dia bekerja di perusahaan kami, dia sudah bekerja di perusahaan percetakan lain. Tetapi karena direksi menginginkan pegawai baru siap pakai, tak ada pilihan kecuali merekrut tenaga-tenaga seperti Gadok. Untuk itu Gadok diiming-imingi gaji lebih besar dibanding gaji sebelumnya. Tentu saja Gadok menerima. Dan begitu Gadok menyatakan persetujuannya bergabung dengan kami, Gadok dikirim mengikuti training yang diselenggarakan oleh pabrik mesin cetak otomatis. Setelah lulus, barulah dia bekerja sebagai operator sampai saat ini.

Kerjanya sendiri sebetulnya tidak terlalu berat. Dia cuma tinggal memencet tombol, memasukkan program, lalu mengawasi. Mesin itu akan bekerja dengan sendirinya sampai Gadok menyuruhnya berhenti. Tapi praktis waktunya habis disita dalam ruang pengab dan ribut dengan suara mesin cetak itu. Toh Gadok tidak pernah mengeluh. Justru karena merasa kasihan itulah, saya sering mengajaknya supaya dia mengaso dulu, dan kutraktir minum kopi di warung seberang percetakan. Di situ, saya baru mengetahui bahwa Gadok merasa iri melihat teman-temannya yang cuma menjadi pembantunya dan sekadar tukang jilid saja , bisa lebih punya waktu senggang buat ngobyek di luaran. Gaji mereka memang lebih sedikit dibanding gaji yang diterimanya, tetapi pendapatan dari luar itu cukup untuk menutupi kekurangannya. Gadok sangat iri.

Tetapi sebelum saya sempat menghiburnya , Gadok sudah lebih dulu menghibur diri dengan mengatakan bahwa menjadi pemimpin memang dituntut kesadaran yang tinggi. Biarlah gajinya lebih kecil dan waktu luangnya sedikit, tetapi dia memiliki sesuatu yang tak bisa mereka miliki, yaitu tanggung jawabnya sebagai operator mesin-mesin cetak. Di lain kesempatan, ia juga mengaku, tak mau ngobyek, karena dia ingin memberi contoh yang baik pada pembantu-pembantunya.

Tapi toh Gadok sampai ke batas kesabarannya. Suatu hari dia menghadap kasir, minta ditinjau kembali gajinya. Oleh kasir dia dianjurkan menghadap langsung ke direksi. Direksi tak mau menjumpainya. Hanya melalui kasir, permintaan Gadok ditolak. Mengutip keterangan direksi, kasir mengatakan bahwa apa yang telah dibayarkan kepada Gadok sudah sesuai dengan tenaga yang dikeluarkan oleh Gadok. “Mesin cetak itu otomatis. Anda tidak bekerja apa pun, kecuali duduk mengawasi,” katanya.

Kadangkala hati saya ikut mendidih mengetahui sikap perusahaan yang tidak mau tahu itu. Masalahnya saya tahu, siapa Gadok. Rumahnya masih kontrak dengan tiga orang anak, bebannya jelas bukan main berat. Si sulung tahun ini akan tamat SMA, semua itu tentu membutuhkan biaya besar. Sehingga saya tak bisa mengerti, kenapa direksi tidak mengetahui sisi ini, dan kenapa Gadok juga terlalu sabar selama ini. Kalau merasa tidak mencukupi mestinya dia secara gentleman mundur saja. Tapi Gadok segera memotong bahwa mencari pekerjaan sekarang ini sangat sulit. Gadok tak mau memulai dari nol lagi.

“Coba Bung bayangkan,” katanya. “Kalau dulu saya tidak pindah kemari, tentu masa kerja saya sudah sepuluh tahun.”

“Kau bisa memulai lagi dari nol,” kata saya. “Jika kau memang mau ber-juang, jangan kepalang tanggung. Mulailah, jangan tanya kapan?”

Gadok menekur. Saya segera sadar bahwa saya menganggap persoalan itu terlalu sepele. Tentu saja Gadok tidak akan mau menuruti kata-kata yang tampak benar itu. Gadok sudah punya beban berat. Anak-anak. Keluarga! Ibarat pohon dia sudah berakar. Pohon itu hanya punya dua kemungkinan: Roboh diterpa badai, sampai akar-akarnya tercabut; atau pohon itu ditebang orang dengan akar-akarnya masih utuh. Dua-duanya sungguh pilihan yang sulit. Pilihan yang mustahil untuk dijalani dengan sembarangan.

Gambaran Gadok, sahabat saya yang penuh dedikasi dan loyal, segera musnah digantikan gambaran Gadok sahabat saya yang suka mbolos kantor. Setiap kali membolos, esoknya dia masuk dengan tampang tak berdosa. Beberapa kali pula Gadok dipanggil personalia karena dia membolos tanpa memberikan keterangan yang meyakinkan. Tapi sekeluar dari ruang personalia wajahnya biasa-biasa saja. Tak menyiratkan kecemasan atau apa. Padahal dugaan kami semua, setidak-tidaknya dia jengkel karena didamprat habis-habisan; atau paling tidak ia cemas karena mendapat ancaman akan dikeluarkan dari pekerjaannya. Gadok malah cengengesan ketika saya temui.

“Tidak dimarahi atau diancam akan dipecat?”

“Tidak, Bung,” jawabnya terkekeh-kekeh.

“Jadi kalau begitu kau akan mengulangi lagi?”

Dia mengangguk dengan optimis. “Pendeknya sampai saya dipanggil sendiri oleh direksi. Bung tahu, kan, pegawai kroco semacam saya ini, sungguh sulit untuk menemui direksi. Direksi selalu sibuk dengan tamu-tamunya yang maha penting. Saya baru bisa bertemu jika saya dipanggil. Tapi Bung juga lebih tahu kan, dipanggil untuk dinaikkan gaji juga mustahil. Maka saya pikir, inilah caranya supaya saya dipanggil. Saya akan mengutarakan semua persoalan saya, kepadanya!”

Dan esoknya kembali Gadok tidak mau kerja lagi. Besoknya dia masuk. Lusanya mangkir. Dan sejauh itu dia cuma mondar-mandir ke ruang personalia saja. Direksi tidak kunjung memanggilnya.

“Biar saja. Dia memang begini,” kata Subarti kepada saya sambil menyilangkan telunjuknya di dahinya. “Gila apa? Mana mau sih, direksi panggil Gadok?”

Saya jadi sangat iba. Saya merasa tindakan Gadok sungguh tolol. Mestinya dia melakukan sesuatu tindakan yang sedikit taktis. Misalnya membentuk organisasi buruh di percetakan ini, atau melaporkan halnya kepada federasi buruh. Saya yakin, Gadok juga punya pikiran semacam itu. Tapi kenapa dia tidak melakukannya? Saya menduga karena Gadok ingin melakukan sesuatu yang serba praktis. Tapi jelas protes yang sekarang dilakukannya tidak efektif. Personalia lama-lama bisa jengkel dan memecatnya tanpa harus meminta pertimbangan direksi. Dan itu berarti tujuan protes Gadok menemui kegagalan.

Kalau dia dipecat, tiga anak dan rumah yang habis kontrak merupakan tanggungan yang sesungguhnya tidak bisa dispekulasi begitu saja. Saya sangat kesal dengan tindakan Gadok yang konyol. Dan kesal sekali, kenapa saya bukan orang yang kaya supaya saya bisa member dana teratur buat Gadok? Supaya Gadok bisa tenang bekerja, supaya perusahaan percetakan ini menghasilkan banyak laba, yang berarti juga menaikkan tingkat hidup karyawan-karyawan lain? Akhirnya tindakan Gadok sampai pada puncaknya. Gadok tidak muncul di ruang kerjanya selama enam hari tanpa pemberitahuan sama sekali. Ini nekat, namanya. Apa Gadok tidak takut dipecat? Jangkrik! Ini jelas tindakan yang konyol. Gadok kekanak-kanakan.

Sepulang dari kantor, saya menyempatkan diri mampir ke rumahnya. Saya bertemu istrinya. Gadok tak di rumah. Saya ceritakan hal itu. Istrinya terkejut karena menurutnya setiap hari Gadok berangkat dan pulang ke rumah sepert biasa. Tapi dari istrinya saya mengetahui duduk soalnya.

Juki, anak Gadok yang sulung dan baru tamat SMA diterima di Akademi Komputer. Gadok harus membayar uang pangkal sebesar Rp. 400.000,- Ini suatu jumlah yang tentu tidak mudah dipenuhi oleh Gadok. Saya menjadi sangat trenyuh, manakala ingat, Gadok pernah mengangan-angankan anaknya itu akan menjadi orang yang hebat, yang bisa mengangkat keluarganya dari lembah kemiskinan. Tapi saya segera agak tenang, manakala istrinya juga mengabarkan bahwa Juki sekarang bekerja sebagai salesman pada perusahaan swasta. Jika Juki bisa menjual buku yang banyak kata saya padanya, imbalan yang diperolehnya pasti besar.

“Ya, mudah-mudahan bukunya laris,” kata istri Gadok. Saya menangguk, ikut merasakan kesedihan yang dialami oleh keluarga sahabat saya yang malang itu.

Esoknya Gadok tidak masuk kerja lagi. Tapi sekali ini saya ditelepon oleh Gadok. Tumben-tumbenan, Gadok main telepon, gumam saya. Ternyata dia ada di kantor polisi. Juki ditangkap polisi karena dituduh mengedarkan morfin.

“Sumpah mati, ini fitnah, Bung!” kata Gadok dengan nada emosional. “Juki tidak tahu, apa morfin itu; bagaimana dia bisa mengedarkannya? Dia anak saya yang paling rajin sembahyang. Ini fitnah, Bung!”

Begitu emosionalnya membela anaknya, Gadok sampai lupa pada maksudnya, yaitu mengabarkan bahwa ia tidak bisa masuk kerja hari itu. Meski begitu, saya sampaikan kabar buruk itu pada personalia kantor kami. Jangan sampai Gadok dipecat tidak semena-mena. Tapi rupanya terlambat. Pada waktu itu saya mendengar dari Subarti, direksi sangat gusar mendengar berita Gadok sudah tidak masuk kerja selama enam hari.

“Gadok sudah sering membolos. Kartu presensinya kosong sama sekali. Kalaupun masuk, dia sering terlambat atau kalau pulang, lebih dini dari waktu yang ditetapkan kantor,” kata Subarti.
Saya merasa berkewajiban menolong Gadok. Saya temui direksi saya. Saya katakan, bahwa soal Gadok adalah soal kemanusiaan. Tidak bisa diputuskan hanya melihat kartu presensi dan lain sebagainya. Serta merta, direksi membeberkan utang-utang Gadok sebesar Rp. 75.000,-. Saya kontan mengambil dompet. “Semua saya lunasi,” kata saya meletakkan uang di meja.

Boss saya tidak bergeming.

“Anda sungguh solider,” puji boss saya dengan sinis. “Sesungguhnya, Gadok harus membayar utangnya sendiri. Tapi dia tidak mau. Dia tidak menunjukkan itikadnya. Pokoknya, Gadok harus keluar. Kita bisa cari orang seperti dia, sebanyak satu lusin.”

Saya bilang, Gadok berutang karena terpaksa. Demikian juga kalau ia tidak masuk, karena Gadok memang perlu untuk melakukannya, yaitu untuk mencari utangan dari pihak lain. Itu sebagai konsekuensi karena perusahaan tidak mau memberikan utang lagi.

“Itu memang benar. Tapi cobalah Anda pikir: Apa sih, yang kurang dari kita? Dia punya gaji cukup besar dibanding pembantu-pembantunya. Dia kerja cukup santai, tapi kenapa getol ngutang? Saya tidak habis pikir, kenapa dia tidak mau melunasi utangnya dengan membiarkan kasir memotong gajinya? Nah, Anda bayangkan sekarang: Dua bulan dia ngutang, dan sampai kini belum beres juga. Ini kan mengganggu administrasi kita? Saya jengkel memang. Saya memang yang menginstruksikan kasir, supaya tidak lagi mengeluarkan bon buat Gadok. Setidak-tidaknya harus melalui saya dulu. Kalau Gadok berani nekat, akan saya gampar dia.”

Direksi menatap saya dengan garang.

“Apa sih kekurangan perusahaan? Kita sudah melengkapi semua kebutuhannya. Gaji cukup, tetapi kenapa ngutang? Dia tidak bisa pegang duit, apa? Buat apa, uangnya? Kenapa tidak ditabung? Itu yang akan saya katakan kepadanya. Kalau Gadok bisa pegang uang, dan bisa menabung, pasti dia tidak perlu berutang seperti ini; atau ngobyek sehingga meninggalkan kewajibannya. Pokoknya, saya tidak bisa mentolerirnya.”

Saya minta boss tidak emosional. Saya katakan, Gadok itu memang butuh uang: untuk menyekolahkan anaknya; untuk kontrak rumahnya yang akan habis dan tentang anaknya yang ditahan polisi karena dituduh mengedarkan ganja. Saya yakinkan, bahwa Gadok tak mungkin menghambur-hamburkan uang. Dia memang mempunyai gaji yang besar, kalau dibandingkan dengan para pembantunya di percetakan. Tapi itu tidak cukup besar untuk menutup kebutuhan hidup keluarganya. Itu sebabnya Gadok tidak menabung. Jadi, bagaimana Gadok bisa menabung kalau uang yang untuk ditabung, tidak ada?

Direksi marah mendengar kata saya yang terakhir itu. Saya diminta keluar. Pada waktu saya keluar itulah, saya melihat Gadok.

***

Sekarang kami duduk berduaan di sudut ruang tamu.

“Saya akan menemui boss, Bung!” katanya, sebelum saya menanyakan kabar berita tentang Juki dan lain sebagainya.

Dan pada saat itu pula mata saya terhenyak pada pisau dapur yang terselip di pinggangnya. Barangkali cuma saya yang melihatnya. Subarti, tidak. Orang lain pun tidak.

Saya menangkap firasat yang tidak sedap. Tapi di segi lain saya merasa, inilah cara yang lebih jitu. Gadok melakukan protes yang jitu dan efektif. Tapi entah kenapa, saya merasa jengkel.

“Mau apa kau ini, ha?” tanya saya, sambil menunjuk ke pisau dapur yang menyembul di bajunya.

“Saya akan bunuh dia!”

“Gadok!” kataku. “Jangan kau lakukan itu. Itu akan menambah kemelut bagi keluargamu.”

Dia tidak peduli dengan kata-kata saya. Sebaliknya tubuh saya disingkirkannya dan dia menyeruak masuk ke kamar boss.

Saya sergap dia. Dan sambil begitu saya memanggil petugas keamanan yang ada di ruangan itu, untuk meringkus Gadok. Dalam sekejap Gadok sudah diringkus. Pisau dapur itu saya rebut. Subarti melihat kejadian itu dengan takut. Pada saat itu juga direktur keluar dari kamarnya, karena mendengar suara gaduh.

Saya melihat Gadok yang tak berdaya.***

Ciputat, 1984

(Dimuat di Majalah Horison, No. 10, Th XIX, Oktober 1984 dengan judul: Gadok, Sahabatku Yang Malang)