Tampilkan postingan dengan label Story. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Story. Tampilkan semua postingan

Minggu, 11 September 2011

CINTA PERLU WAKTU

CINTA PERLU WAKTU
Kurniawan Junaedhie

Menyebalkan, keluh Layla. Dengan kesal ia masuk ke dalam kamar kosnya. Di mobil jemputan, seperti biasa, ia mengintip Facebook dari Blackberrynya. Hm, untuk kesekian kalinya ia mendapat kiriman puisi dari Octa di Fesbuknya. Sesungguhnya anak itu memang punya bakat jadi penyair. Tampangnya saja yang serem, tapi sesungguhnya hatinya mellow. Jelas, puisinya tidak sebagus Chairil Anwar, tapi tidak jeleklah. Layla juga menyukainya. Romantis. Kocak. Atau romantik dan kocak campur jadi satu.

Yang membuatnya agak tidak enak, hanya satu: puisi Octa selalu muncul di Facebook dan memberi kesan pada dunia, itu ditujukan pada dirinya Akibatnya, hubungan Layla dan Octa jadi tersiar luas seolah-olah di antara mereka terjadi hubungan asmara. Buktinya, tahu-tahu si Dude, anak tante kos yang biasanya bertindak sopan, dan beradab tiba-tiba berubah menjadi kepo. Kalau Octa datang, dia bilang, “Tuh, cowok lu datang.” (Hehe, tidak sopan sama sekali, pake elu, pula). Setelah itu, beberapa kali Si Dude kepo itu juga selalu lapor bila Octa menulis puisi atau status, seolah-olah hanya dia yang membaca fesbuk. “Dia semakin termehek-mehek tuh!”

Dan yang bikin kesal, si Dude itu hari itu bilang secara nyinyir.

“Duh, luar biasa ya? Baru saja berpisah beberapa menit, dia sudah menulis kata-kata puitis. Metafor-metafornya asyik,” katanya seperti kritikus sastra. Bulu roma Layla langsung berdiri. Darah naik di kepala. Kalau bukan Dude, yang anak tante kos saja, hm, sudah gue keplak tuh anak, sungut Layla sambil melempar sepatu di kolong.

Tapi, bener juga sih. Octa sendiri memang edan, pikirnya sambil melepas kaos kaki seragam sekolah. Kalau Octa tidak menulis menulis puisi di FB secara bertubi-tubi saja mungkin Si Dude tak perlu berubah dari beradab menjadi kepo. Dan si Dude tetap akan jadi anak manis.

“Plissss, Octa, bukankah kamu bisa kirim puisi-puisimu melalui Direct Message?” katanya kemarin waktu berpapasan di kantin sekolah.

Dasar Octa. Anak pengusaha batubara itu hanya mendengus, pertanda ia tak sudi diperintah Layla. Tapi itu memang haknya. Octa toh bukan apa-apanya. Benar, Octa pernah nembak Layla, tapi Layla sudah mengatakan baik-baik bahwa bukannya dia tidak suka pada Octa tapi karena ia masih suka berteman dengan semua orang.

Meski agak kecewa, Octa harus menerima kenyataan.

“Kukira, memang sebaiknya begitu. Just a friend,” katanya mencoba bersikap ksatria.

Sebagai sekadar teman, dia toh sesungguhnya tetap punya hak privelige yakni bisa mengajak Layla ke mana saja. Paling tidak, Octa adalah salah satu teman cowoknya yang paling dikenal orangtuanya, sehingga dipercaya nonton konser bareng, atau menjemput Layla kalau ada teman ulangtahun.

Tapi entah kenapa, belakangan kelakuan Octa mulai kelewatan. Dia suka menulis puisi di wall-nya dengan ucapan-ucapan yang berlebihan. Boleh jadi itu ekspresi pribadinya. Octa yang berhati mellow dan berbakat jadi penyair itu mungkin saja sedang pamer kehebatannya menulis puisi padanya. Tapi, celakanya, makin ke sini, seluruh dunia rasanya tahu, bahwa isi puisinya tak lebih tak kurang memang ungkapan perasaannya terhadap Layla.

Pernah, ia berniat memblokir akun FB Octa itu. Dengan cara itu Layla berharap kesan bahwa mereka ada hubungan menjadi hilang. Tapi tiba-tiba saja, niat yang hebat itu surut. Bagaimana kalau Octa cowok yang penuh perhatian itu marah? Bagaimana kalau hubungan mereka putus begitu saja dengan kesan tidak terpuji? Bagaimana kalau tiba-tiba anak itu ngambek tidak mau menjemput atau mengantar pulang dengan mobilnya? Bagaimana kalau Octa menuduhnya sebagai cewek sombong, angkuh, sok, dan lain-lain padahal ia paling alergi disebut cewek begituan? Tidak pusing kalau hanya itu. Tapi kalau Octa yang memang ngebet itu lalu broken heart, dan kemudian bunuh diri, nyemplung ke sumur tua dekat sekolah atau nabrak busway, bagaimana? Itu ejekan Betsyiela, adik Layla yang baru duduk di kelas dua SMP. Tapi yang paling sulit dibantah adalah provokasi Adinda Rana, kakak perempuannya, yang seolah-olah memberi support atas tembak-tembakan Octa di Fesbuk itu.

“Sekedar menjaga perasaan eh tali silaturakhmi, apa salahnya?” kata Adinda.

Untung saja, Jeremy, pacarnya tinggal di Paris, dan tak suka main Fesbuk, hanya main twitter. Coba kalau Jeremy sampai tau? Duh.

Toh suatu kali niatan untuk memblokir akun Fesbuk Octa tak terbendung. Dengan mengucap Salam Maria tiga kali, ia nekad mengklik tombol blokir. Itu artinya, dia tidak akan bisa melihat apa saja yang dilakukan oleh Octa dan sebaliknya Octa juga tidak bisa melihat apa yang dilakukan Layla. “Sudah tidak ada gunanya. Dia mau jungkir balik, kek, aku sudah gak perduli. Kita putus hubungan,” kata Layla dalam hati.

Sekitar lima menit setelah itu, telepon genggamnya berdering-dering.

“Gila. Kamu blokir aku ya? Apa salahku? Apa dosaku? Gila banget kamu. Tega-teganya,” kata Octa seperti lipan kepanasan.

“No way!” kata Layla mematikan telepon genggamnya.

Telepon bordering-dering lagi.

“Kalau kamu tetap blokir, aku tak sudi bertemu kamu,” ancamnya.

“Gak takut.” Handphone dibanting.

Telepon berdering-dering lagi. Layla menyambar handuk, dan cuci muka di kamar mandi. Keluar dari kamar mandi, Si Dude mengetuk pintu kamar. Layla sudah siap menggampar.
“Sabar. Cowokmu datang tuh. Kayaknya marah besar,” kata si Dude mengangkat kedua tangannya, lalu berlalu.

Octa duduk di ruang tamu dengan sikap jagoan kalah perang.

“Apa maumu?” tanya Layla.

“Aku minta ampun,” katanya terbantun-bantun.

Hm. Layla menatap matanya. Kasian juga, pikirnya. Sesungguhnya ia makhluk tak berdosa, hanya ia tak tahu apa yang diperbuatnya, pikirnya.

“Mana laptopmu?”

Octa berlari ke mobilnya, dan sejurus kemudian menenteng laptopnya.

“Oke, Octa, aku sudah batalkan pemblokiran akunmu. Kuharap, kamu penuhi janjimu untuk tidak menulis di statusku secara kampungan,” kata Layla.

Sejak itu Layla meneruskan hubungan pertemanan. Tentu saja dengan perasaan ngeri, hati-hati dan tidak lebay. Pendeknya ia tidak mau kalimat-kalimatnya disalah-tafsirkan seenaknya oleh Octa. Karena itu, demi hubungan baik, paling banter Layla hanya menceritakan kesibukan di sekolah, atau si Irene yang liburan ke Bali, atau tentang resto baru. Dan Layla sama sekali menghindari pembicaraan yang bersahut-sahutan. Pokoknya Layla tidak ingin cowok itu terbuai dalam mimpi hanya karena telah menanfsir secara keliru atas komentar-komentarnya.
Entah karena memang tak tahu diri atau apa, dua hari kemudian, penyakit Octa kambuh. Ia menulis status ugal-ugalan lagi di wall Layla.

Layla langsung mengangkat handphone. Tapi belum saja ia membuka mulut, dari seberang sana, Octa sudah menyela.

“Kamu tidak suka ya?” tanyanya.

“Baiklah, kalau kamu tidak suka, akan segera kudelete,” jawab Octa dari sana marah.

“Octa…,” Layla mendengus. Ia sangat heran, mengapa cowok diciptakan Tuhan menjadi mahluk yang licik dan penuh tipu muslihat?

Esoknya, Layla memutuskan untuk menemui Octa.

“Aku ingin tahu apa maumu,”tanyanya.

Anak itu menggaruk-garuk kepalanya.

“Aku tidak mengerti pertanyaanmu,” jawabnya membuat Layla jengkel.

Layla mengulang pertanyaannya.

“Di antara kita tidak ada apa-apa kan?”

Octa menatap matanya,

Layla mengulang lagi ucapannya.

“Memang tidak ada apa-apa. Just a friend,” Octa bergumam.

“Yups. Benar. Karena itu kuminta…,” kata Layla.

“Kamu meminta apa?”

“Aku belum selesai mengatakannya.”

“Oh ya?”

“Karena itu kuminta kamu tidak terlalu sering mengirimkan puisi-puisimu untukku.”

“Jadi kamu tidak suka?”

“Aduh, Octa, sudah pernah kubilang berkali-kali: I like it. Puisimu bagus. Yang tidak kusuka adalah…”

Octa berdiri, dan berlalu.

Que sera sera. Ia memang sudah memutuskan untuk bersikap cuek bebek. Ia sudah memutuskan bahwa cowok itu memang gila. Senewen. Sinting dan lain sebagainya. Bahwa cowok itu memang tak tahu adat, tak tahu diri, dan lain sebagainya. Ia juga memutuskan, ia tidak akan melakukan apa pun! Dengan demikian semua akan tahu, bahwa hubungannya dengan anak pengusaha batu bara yang tak tahu adat itu hanya sementara. Hanya sekedar pengisi waktu. Bukan sebagai piala tempatnya berkeluh kesah, atau mengutarakan impian-impiannya yang selangit atau mengutarakan gagasan-gagasannya yang kadang-kadang dan selalu utopia. Kalau pun itu dianggap pernah ada, itu bukan piala, tapi tong sampah atau asbak rokok! Hanya itu. Biar cowok itu tahu bahwa dia sangat serius atas ucapannya. Biar dia patah hati saja, kalau Betsyiela adiknya benar. Atau nyemplung ke sumur sekolah dan mampus!

Malamnya Layla tidak bisa tidur. Dia merasa bersalah karena telah mengatakan hal yang tak sepantasnya. Meski demikian ia yakin bahwa tindakannya benar. Octa memang harus diberi pelajaran. Sebab kalau tidak, perilakunya itu lama-lama akan mencemarkan nama baiknya.
Hanya tampaknya tujuannya untuk menemukan kebaikan tidak tepat ke sasaran. Buktinya, esoknya, di sekolah, tumben-tumbenan, cowok berhati mellow itu tak kelihatan batang hidungnya. Boro-boro menemuinya seperti biasa. Kejutan berikutnya: hari itu tak ada puisi-puisi Octa yang menghiasi wall Fesbuknya. Dan hari itu juga, ia tidak mengirim pesan singkat sepatah kata pun.

Hm, hari yang aneh, gumam Layla di kamarnya, sambil merebahkan badannya menatap langit-langit. Keringat dingin mengucur tak disengaja. Ia merasa tidak nafsu makan. Ah, andaikan Jeremy ada di sini, gumamnya, sambil melihat foto Jeremy di mejanya. Kalau mau jujur, hubungan dengan Jeremmy sudah berakhir sebetulnya. Sejak dia ke Paris, Layla memang sudah mengambil putusan: hubungan mereka sudah tak memiliki hari depan. Jeremmy juga tampaknya bisa memahami. Hanya, sialnya, dia over protetictive. Masih suka mengatur-atur bila Layla dinilai punya hubungan khusus dengan seseorang. Padahal, apa sih urusannya?

“Hidupku adalah hidupku, hidupmu adalah hidupmu,” kata Layla. Hm. Jadi buat apa andai Jeremmy ada di sini, sekarang, melihat hubungan aneh di antara Layla dan Octa? Nothing!

Dia melirik handphonenya. Layar tetap kosong Tak ada pesan singkat dari siapa pun. Juga dari Octa. Esoknya ia mendapat berita mengejutkan.

“Aku dengar kabar tak mengenakkan, penyairmu masuk rumahsakit. Benar?” tanya Dude Kepo ketika ia keluar makan malam.

“Jangan sotoy. Tahu darimana?”

“Tau saja. Dia kan celeb di fesbuk. Aku baca status orang. Dia sakit tipus,” jawab Dude dengan gaya sok kepo. “Kayaknya serius.”

Astaga. Peluh bercucuran. Layla menatap mata Dude.

“Antar aku ke rumahsakit.”

***

Tampang Octa pucat seperti kertas tisyu. Badannya terbaring lemah takberdaya. Dia kaget melihat Layla membezuknya.

“Ya Tuhan, ternyata kamu daytang, Kupikir…..” kata Octa.

“Psttt, “ Layla memberi isyarat agar Octa tetap dalam posisinya, berbaring.

“Octa,” kata Layla berbisik. “Aku minta maaf. Aku tahu kamu sakit karena aku.”

“Ah ini bukan salahmu,” kata Octa cepat dengan menahan pilu. “Aku saja yang salah karena terlalu menentingkan perasaanku sendiri.” Ia diam sejurus. “Tapi aku janji akan menghapuskan semua perasaanku pada kamu.”

Layla menatap mata Octa.

“Tidak. Itu tidak benar, Octa,” jawab Layla. “Asal kamu tau ya, sebenarya aku sayang sama kamu. Hanya aku perlu waktu.”

“Jadi ….?”

“Ya, love takes time.” Layla tersenyum.

Mata Octa tampak berbinar.

“Ya, aku tahu.”

“Tapi selama menunggu itu, maukah kamu mengajari aku menulis puisi?”

“Tentu saja,” Octa cepat-cepat mengangguk. “Dan mudah-mudahan kamu juga kamu mau bersabar.”

Rasanya Layla ingin memeluk rembulan.***

Sukabumi, 27 Juni 2011

dimuat di majalah story 25 juli 2011

Jumat, 12 Februari 2010

Cinta Azalika

Cerita Pendek: Kurniawan Junaedhie (Khusus ditulis untuk majalah Story)

Waktu Ayi duduk di depan laptopnya di Coffee Bean, Sumarecon Mal Serpong, ia mendengar namanya dipanggil seseorang. Suara itu bukan suara yang asing. Suara itu pernah akrab di telinganya di suatu waktu. Maka ia cepat menoleh ke arah datangnya suara. Karena hari masih siang, kafe itu itu lengang, Ayi segera saja menemukan sosok yang berdiri tegak sekitar sepuluh meter dari tempatnya berdiri, di depan counter. Ia menebarkan senyum.

“Jemi?” ia berteriak setelah sedetik tertegun. Hatinya berdebar. Ia menatap lama laki-laki 20 tahun bertubuh krempeng, jangkung dan berambut jabrik kayak tokoh komik Jepang yang sudah dikenalnya seperti dalam mimpi. Laki-laki itu mengenakan t-shirt yang dihiasi kotak-kotak besar. Dia memang bukan orang yang asing.

“Sudah kuduga, akan ketemu. Rumahmu masih di situ kan, di belakang mal ini?” tanya cowok bernama Jemi itu seraya meletakkan dua gelas ice chocolate late di meja. Dia mencium pipi Ayi lalu duduk.

“Mimpi apa aku bisa bertemu dengan penyanyi terkenal?” jawab Ayi sambil mencoba mengendalikan debar jantungnya.

“Jangan begitu,” kata Jemi duduk.

“Emang begitu. Semua orang tahu kamu ngetop sekarang.”

“Eh, kamu tambah cantik,” kata Jemi mengalihkan perhatian.

“Hm, jadi dulu kurang cantik ya?”

Jemi tertawa. “Masih seperti dalam angan-anganku,” katanya.

“Eh ngapain ke sini? Ada janji dengan fans?” tanya Ayi mulai tenang. “Bukankah rumahmu jauh dari sini dan sekolahmu di Paris?”

“Jangan sinis begitu. Kamu tidak berubah.”

“Kamu juga tidak berubah: tetap sensi. Sensitif.”

“Tadinya aku mau mampir ke rumahmu. ”

“Oya? Hebat amat?” Ayi meneguk minumannya.

“Tapi rupanya Tuhan mengatur supaya kita ketemu di sini,” dia mendehem. “Wah aku senang bisa ketemu kamu di sini. Nggak nyangka sama sekali. Suer.” kata Jemi mengangkat dua jarinya. “Bagaimana kabar adikmu Ela? Wah dia lucu. Konyol. Aku sering main fesbukan sama dia, lo.”

“Jadi…. Astaga. Jadi kamu tahu aku akan ke sini karena dia?” Ayi mulai curiga.

“Hahaha.” Jemi tertawa. “Semalam aku dan dia chatting-chattingan.”

“Dasar.” Pantas. Ela minta dijemput. Dengan alasan takut pulang sendirian, maka dimintanya kakaknya datang lebih awal dan duduk menunggu di Coffee Bean. Habis itu , katanya dia akan ke Gramedia karena ada diskon 70 %. Tidak taunya….

“Kenapa kamu nggak pernah mau membalas email dan fesbukku sih?” tanya Jemi mengagetkan lamunannya.

“Aku kan nggak penting buatmu. Kamu sudah jadi artis top.”

Ayi menunduk, mengaduk-aduk chocolate di gelasnya.

“Kenapa sih kamu nggak mau jawab pesan-pesanku di inbox?” Dia mengulang pertanyaan.

“Sudah kujawab tadi kan? Aku sudah nggak penting buat kamu. Dan aku juga betul-betul sibuk. Pulang sekolah jam tiga. Habis itu ikut aneka kursus. Pulang sudah capek, masih harus buat pe-er. Nggak sempat buka fesbuk, nggak sempat buka internet. Nggak menarik. Ceritakan saja, apa pengalaman-pengalamanmu di Paris dan jadi artis terkenal. Itu lebih menarik.”

Ayi menatap mata belo Jemi.

***

Ayi mengenalnya tiga tahun yang lalu ketika mereka ditakdirkan harus duduk sebangku di kelas tiga SMP. Awalnya Ayi tidak terlalu suka cowok itu. Gayanya tengil. Cenderung over confidence. Mungkin karena --kata teman-temannya,-- dia anak band. Meski tidak tampak, Jemi anak orang kaya. Saban hari dia diantar dan dijemput dengan mobil BMW. Padahal yang lain, paling diantar Inova, Avansa, CRV, Honda Jazz, APV atau Grand Livina. Dari gayanya, uh, sudah keliatan. Karena tidak bisa diam, Ayi menyebutnya, autis.

Karena itu ketika hari pertama dia resmi duduk di kelas tiga, dia mengadu pada ibunya. “Kayaknya tahun ini bakal jadi mimpi buruk, Ma,” katanya. “Teman sebangkuku anak autis.”

“Waktu kelas dua kamu duduk dengan si Aal, kamu juga sempat bilang dia anak cupu. Nyatanya kamu juga sahabatan,” kata ibunya.

“Lihat saja nanti.”

Tak disangka, suatu hari guru Bahasa Indonesia menugaskan anak-anak sekelas membuat puisi dalam rangka hari Valentine. Mampus. Ayi paling tidak suka puisi. Bacaan apa itu? pikirnya. Mending baca komik atau novel, sudah jelas ada melow-melownya atau adegan-adegan serunya.

“Mau kubuatin puisi untukmu?” tiba-tiba terdengar suara dari arah samping. Jemi.

Ayi menoleh dengan gemas, karena ia merasa isi hatinya bisa terbaca dengan jelas. Lagi pula, anak autis dan anak band begitu, mana bisa jadi pujangga? Tanpa sadar, Ayi tertawa sinis.

“Serius. Aku serius dengan tawaranku. Tapi itu pun kalau kamu mau. Aku pantang memaksa, bukan tipeku,” kata Jemi dengan wajah seperti bayi.

Sejurus lamanya Ayi mencoba menaksir: apa arti tawarannya itu. Apakah dia sedang menyombongkan diri? Atau memang mau membantu dengan tulus ikhlas? Dan apakah benar dia memang pandai menulis puisi?

Tapi Ayi langsung memotong:
“Aku juga bisa bikin puisi. Gampang. Apa susahnya membuat puisi.”

Jemi tertawa. “Ya sudah, coba saja.”

Pulang ke rumah, Ayi membuka internet, dan mencari di Google dengan kata kunci: puisi. Yang ditemukan bermacam-macam. Ada puisi Chairil Anwar, Amir Hamzah, Rendra, Sutardji Chalzoum Bahri…. Dia merasa nama-nama itu aneh. Dia lebih kenal nama-nama Rihanna, Chris Brown, Afgan….. Ia juga mencoba menulis beberapa kata dan kalimat, digunting, dimasukkan toples, dikocok dan dikeluarkan, lalu disusun untuk kemudian dituliskannya. Tapi hasilnya, sama sekali tidak mirip sebuah puisi.

“Ayi nyerah, Mah,” katanya masuk ke kamar mengadu kepada mamanya, dengan hati separuh menangis.

“Aku nggak bisa nulis puisi. Nggak ada keturunan pujangga.”

“Nulis puisi saja tidak bisa, bagaimana mau bikin caramel?”

Ayi melotot ke arah mamanya yang sedang membuat puding caramel.

Tiba-tiba ada SMS masuk.

“Bgm dg twaranku? From: Jemi.”

Hi. Kok dia seperti intel saja ya. Dia bisa membaca isi hatiku, dan tahu apa yang sedang kupikirkan, gumamnya.

“Twaran apa?” Ayi dengan cepat mengetik di keypad, pura-pura tidak tau.

“Puisi.”

“Kalau kamu jago, bikinin saja.”

“Yups. Beres. Kirim alamat emailmu.” Beberapa detik saja muncul jawaban dari si anak autis itu.

Karena memang sudah putus asa, Ayi menulis alamat emailnya,…..

Lima menit kemudian, muncul balasan: “Cek email”.

Ayi lari ke luar kamar, membuka laptopnya, dan mencek email. Astaga. Anak autis itu memang telah mengirim 4 buah puisi untuknya. “Cpt amat. Nyontek darimana? Jgn2 plagiat” jawab Ayi lewat email.

Beberapa detik, muncul jawaban di handphone:

100% guaranteed. Pake saja atas nama kamu. CU. “

Dengan puisi itu, tentu saja urusan dengan guru bahasa Indonesia berakhir dengan aman dan damai. Ayi mampu menyerahkan puisi cinta sebagaimana yang ditugaskan.
“Thank you, ya,” kata Ayi di halaman sekolah.

Nope. No problem. Aku hanya ingin berkenalan denganmu.”

Berkenalan? Ayi melotot ke arah anak autis itu.

“Bukankah kita sudah kenalan? Kamu lucu ya? Kamu namanya Jemi, kan? Dan kamu juga sudah tahu namaku, kan?”

“Belum. Namamu di sekolah Azalika, tapi panggilanmu di rumah Ayi. Hihihi.”

Sejak itu, mereka bersahabat. Kemana-mana pergi berdua. Ke mal. Ke Pacific Place meski cuma untuk beli sarung handhphone. Ke Taman Anggrek Mall, meski cuma untuk beli kado buat ulangtahun Ela adiknya. Nonton film. Baca buku gratis di Gramedia. Ayi juga diajak berkunjung ke studio musik kebanggaan di rumahnya. Nonton Jemi latihan band, rekaman vocal di studio dan lain-lain.

Ketika pertama kali datang ke studio musik Jemi, ia sempat kaget ketika di dinding studio terpampang wajah dirinya dalam sebuah lukisan besar.

“Aku yang melukisnya.” kata Jemi tanpa ditanya, “kamu marah?”

“Surprising.” Ayi cepat menggeleng. “Anak band, pinter melukis,” gumam Ayi sambil mengamat-amati dari dekat. Tapi ia sungguh heran, darimana Jemi mendapat contoh untuk lukisan itu?

“Kamu kan tidak pernah memiliki fotoku?” tanya Ayi.

“Itu hasil khayalanku.” Jemi mengambil Coca Cola dari kulkas dan membukanya.

Tiba-tiba sesuatu melintas di kepala Ayi. Sesuatu yang ganjil dan tidak semestinya. Didekatinya Jemi.

“Jem, apa maksudmu dengan semua ini?” tanyanya ingin tahu.

“Kukira kamu tahu jawabnya.” sahut Jemi agak gemetar. Ia menenggak Coca Colanya begitu saja.

“Apa?” tanya Ayi tidak sabar.

“Aku mencintaimu.”

Ayi terperanjat lalu terpingkal-pingkal.

“Lucu.”

“Apa?” Jemi berhenti menenggak minumannya, nyaris tercekat.

“Hihihi…. Ada-ada saja. Kita baru SMP, tau?”

Jemi tersenyum tipis, padahal seharusnya ia terkejut.

“Iya, nggak tau,” desisnya pada diri sendiri.

Ayi menatap mata Jemi.

“Lupakan soal tadi. Forget it.”

Ayi melihat mata Jemi yang polos.

“Oh tidak. Kamu sangat baik Jem. Kamu pintar. Dulu aku memang merasa kamu…..,” kata Ayi. Lalu ia merasa betapa pipinya jadi hangat karena air mata.

Jemi pura-pura tidak melihat.

“Ayo habiskan.”

***

“Nightmare berlalu,” tulis Ela, di wall fesbuk, nyindir. Mama yang jago bikin puding caramel mulai cemas. Dia takut Ayi falling in love. dan kalau ditinggal Jemi, akan patah hati. Mamah rupanya sudah pengalaman, bagaimana rasanya orang patah hati. “Ayi, ingat kata Mamah ya: Jemi hanya salah seorang. Kamu harus melihat yang lain. Dan kamu masih kelas 3, SMP. Perjalananmu masih jauh.

Hm. Jemi hanya salah seorang.

“Kamu tahu kenapa aku dulu bisa cepat mengirim puisi untukmu?” tanya Jemi pada suatu hari ketika diajak nonton Jemi latihan band.

Ayi menggeleng kayak anak bloon.

“Sejak kelas dua aku sudah naksir kamu. Dan aku menulis puisi itu untuk kamu.”

“Apa sih keistimewaanku?”

“Ingin tahu? Aku mencintaimu.” jawab Jemi.

“Sudah dua kali kudengar,” kata Ayi cuek.

“Asal kamu tahu, ya, banyak lagu-lagu ciptaanku lahir karena kamu,” kata Jemi.

“O ya? Kalau begitu kudoakan, mudahan-mudahan lagu-lagumu jadi hits,” sahut Ayi, juga dengan ringan.

“Jangan sinis.”

“Sensi amat seh.”
****

Hanya setahun sebangku di kelas tiga, mereka harus mengikuti ujian akhir tahun.

“Kamu mau masuk mana?” tanya Ayi iseng-iseng ketika jalan-jalan sehabis nonton film.

“Inilah yang ingin kukatakan sejak lama,” katanya termangu.

“He, dramatis amat?” tanya Ayi.

“Aku mungkin harus berpisah dengan kamu.”

Ayi terkesiap. Memang dramatis rupanya. Kalau melihat tampang Jemi rasanya juga dia tidak main-main.

“Kamu akan pindah ke SMA yang lebih top kan? Kita tidak satu sekolah lagi, begitu kan maksudmu?”

“Enggak hanya itu. Aku akan melanjutkan ke Paris. Bokap menyuruh aku sekalian belajar musik di sana.”

Ayi tercenung. Dipandanginya mata belo Jemi. Tapi pulang sekolah, tiba-tiba ia merasa bĂȘte. Malas untuk les Mandarin, atau Bahasa Inggris. Guru les private organnya yang biasa datang ke rumah, diminta supaya tidak datang. Makan pun tidak enak. Ada sesuatu yang tidak beres di hatinya.

Ela adiknya yang tahu gelagat menyindir di wall fesbuknya: “Patah hati ni ye…”

“Ada apa dengan Jemi?” tanya Mamah menyelidik seperti biasa.

“Gak ada apa-apa.”

Malamnya ketika Ayi tidur, Mamah diam-diam membuka HP Ayi. Hm, tidak ada yang mencurigakan. Tapi ketika menunggui Ayi sarapan, esok paginya Mamah ber’sabda’:
“Pokoknya Ayi harus ingat kata Mamah: Jemi hanyalah salah seorang. Jalan kamu masih panjang. Kamu masih SMP….”

***

Beberapa hari menjelang keberangkatan Jemi ke Paris, Ayi menerima SMS dari Jemi. Jemi ingin ketemu.

“Lusa aku terbang ke Paris. Ketemuan dulu yuk.”

Ayi tiba-tiba merasa sedih.

“G perlu,” jawab Ayi.

“Bsk aku brgkt. Dan aku merasa bahagia pernah mengenalmu.” jawab Jemi. Ayi tak menjawab, hanya menyeka air matanya.

“Pliz, jwb. Kamu g berharap kita akan ktmu lagi ya?”

“I don’t know,” jawab Ayi, “Kita kan bisa fesbuk-fesbukan atau email.”

Ketika Jemi melaporkan bahwa lukisan Ayi akan diangkut ke Paris,
Ayi menjawab: ”Kalo kama suka, bawa saja.”

Ayi tidak mengantar Jemi ke airport. Ia sempat kepingin ikut mengantar. Mamah setuju. Tapi Ela adiknya langsung ngeledek. Niatnya jadi urung.

Pada dari keberangkatan Jemi ke Paris, ia hanya kirim SMS: “Take care yourself “

“Cuma itu?”

“Gw gak bisa bikin puisi.”

Lalu dari sana Jemi menjawab: Muuaah. Tapi di rumahnya Ayi bisa membayangkan bahwa Jemi sedang mengarungi langit, menerjang gugusan awan, menuju ke kota impiannya di mana ia akan belajar musik, dan melanjutkan sekolahnya. Dan dia merasa ada sebelah hatinya yang ikut terbang bersama Jemi.

Selang beberapa hari kemudian email Jemi datang. Dia sudah tiba di Paris. Ayi tidak berminat membalasnya. “Jemi hanya salah seorang …..” pikirnya. Ia sendiri memang sangat sibuk dengan sekolah barunya sebuah SMU swasta.

Sempat ia membuat fesbuk. Hanya dua jam setelah itu, seseorang minta ditambahkan sebagai teman. Namanya, Jemi Lukmantauw. Ia konfirmasi. Tapi ia memang tak pernah menulis apa pun. Sementara itu email-email Jemi terus tetap berdatangan. Dan Ayi tak membalasnya sekalipun. “Jemi hanya salah seorang.” Ia ingat kata Mamahnya. ”Dan aku baru kelas satu SMA,” pikirnya waktu itu.

Dan selama setahun itu memang banyak yang telah terjadi. Jemi dikabarkan telah merekam sebuah album. Ia dikenal sebagai artis Indonesia yang sukses di negeri orang. Ia tak hanya menyanyikan, tapi juga mencipta lagunya sendiri dalam bahasa Inggris. Ayi tahu dari Ela, adiknya yang suka fesbuk-fesbukan dengan Jemi.

“Kak Jemi sudah jadi artis top,” kata Ela.

“Sebodo. EGP,” jawab Ayi. Ia ingat kata mamahnya, “Jemi hanya salah seorang. Dan aku baru baru kelas dua SMA.” Dan beberapa tahun kemudian ketika kelas tiga, ia sudah punya teman baru: Beben. Jago matematika. Yang kata Mamanya pun, hanya seorang Beben…. “Karena aku baru lulus SMA. Dan perjalananku masih panjang…..”

***

Kini Jemi yang ‘hanya seorang’ itu datang lagi, tanpa terduga. Dan mereka bertemu di sebuah mal. Tuhan yang merencanakan melalui Ela.

“Bagaimana dengan Bebenmu?” tiba-tiba Jemi memecah lamunan Ayi.

“He, jangan sok tau.”

“Aku tahu dari Ela. Dan karena ingin tahu siapa dia, maka aku add namanya di fesbukku. Jadi aku tahu profilnya. Hebat ya? Jago matematika, sudah dikirim ke Jepang.”

“Kami sudah berpisah secara baik-baik. Kamu senang ya?”

“Haha,….. sekarang kok kamu yang sensi?”

Ayi tersenyum tipis, “Bagaimana denganmu?”

“Aku masih mencintai kamu.”

“Jangan sotoy. Aku nggak mau dengar,” sergah Ayi kesal dan menutup kedua telinganya.

“Jadi kamu tolak cintaku?”

Ayi kesal. Dia mendelik dan mengangkat kepala.

“Please, sekarang cerita tentang kamu saja. Aku mau dengar ceritamu tentang single hitsmu yang terbaru, tentang tour showmu, tentang gadis-gadis pemujamu.”

Karena Jemi cuek saja, Ayi sejurus menghentikan kalimatnya. Dipandanginnya Jemi.
“Kok diam?”

Jemi cuma tersenyum-senyum.

Ayi langsung menutup laptopnya. Dan berdiri.

“Kalau begitu, aku mau jemput adikku,” katanya sambil melirik arlojinya, dan mencoba bergegas meninggalkan cowok bernama Jemi itu.

Jemi langsung meraih tangannya.

“Eh, kamu tidak kangen?”

Ayi masih berdiri, dan melihat tangannya yang dipegang Jemi.

“Apa-apaan neh? Nggak takut penggemarmu cemburu?”

Jemi lekas melepaskannya.

“Apa kamu tidak kangen?” Diulangi lagi kata-kata itu.

Ayi duduk dengan kesal. Dia menatap mata belo Jemi. Rambut yang acak-acakan. Tapi yang terbayang: kalimat-kalimat dalam puisi-puisinya, Jemi latihan band, Jemi membetot bass gitar dan Jemi sedang menyanyi. Juga lukisan di studio dan email-emailnya yang sebenarnya dibaca tapi tak pernah dijawabnya. Hm. Dia tidak mungkin membodohi dirinya sendiri. Dia menghela napas.

“Oke Jem, asal kamu tahu, ya, aku juga tidak pernah menyesal berkenalan denganmu. Kalau selama ini aku memang menghindar, itu karena aku takut kehilangan kamu. Aku takut patah hati.” Sambil berkata begitu, tiba-tiba Ayi ingin menangis. “Aku masih menyimpan puisimu.”

“Aku malah menyimpan hatimu,” sambung Jemi berbisik. Dia memegang tangan Ayi. “Kita akan jadi sahabat yang baik, yang mesra dan yang saling mencintai.”

Ayi menunduk. Lalu diteguknya ice chocolate late-nya.***

Gading Serpong, 21 Juni 2009

(DIMUAT SEBAGAI CERITA UTAMA MAJALAH REMAJA STORY EDISI PERDANA 25 JUNI 2009)

Mawar Merah Valentine


Cerita Pendek: Kurniawan Junaedhie (khusus ditulis untuk Majalah Story)

Syela tak pernah bisa melupakan bagaimana kakak perempuannya, Ayi, menyerobot cowok pujaannya: Leo. Padahal Ayi sudah memiliki Jemi yang kini melanjutkan SMA-nya di Paris.

“Ih, bisa-bisanya. Pokoknya dia sungguh berbisa. Jahat,” kata Syela kepada tantenya, seorang wanita yang paling memahaminya.

“Siapa? Kenapa?”

“Ayi,” jawabnya. “Dan dia sekarang selingkuh dengan Leo sementara pacarnya Jemi menuntut ilmu.

Huh…!” dia mengempiskan hidungnya menjadi jelek. “Dikiranya aku naksir Leo? No way. Dia cowok yang menjemukan, tahu? Lucunya, Ayi melebih-lebihkannya. Dasar lebay. Katanya, dia jago matematika-lah, pintar main games-lah. Emang aku tertarik? Aku memang tahu Leo keren. Tapi aku nggak pernah merasa tertarik karena dia paling suka mengejekku sebagai barang antik!”

Tantenya lebih suka tutup mulut kalau keponakan yang satu ini ngomel. Sebab, dia tahu apa yang diucapkan itu tidak benar. Dibanding Ayi, Syela lebih cantik. Kulitnya putih bersih. Hampir tanpa noda. Hanya, --hm-- satu kakinya saja yang pincang, menyebabkan nilai itu berselisih sedikit. Sejak balita, Ela kena polio. Tapi tentu saja tantenya tak mau mengomentari hal itu.

“Ah, tante nggak mau dengar kamu bilang begitu lagi. Namanya kamu pesimistis. Ceritakan saja murid-muridmu.”

Sejak dua bulan lalu Syela memang memberi les main organ gratisan di sebuah sekolah untuk anak-anak dengan mental terbelakang atas saran guru sekolahnya. “Supaya tidak kesepian,” dalihnya. Lagipula kelakuan anak-anak mental retarded yang suka konyol-konyol itu, sedikit-banyak bisa menghiburnya.

“Yah, menyenangkan,” katanya ketus lalu menarik kakinya dan meninggalkan tantenya dengan wajah marah. Dia paling tidak suka, jika orang menganggap dia hanya tahu mengenai ‘pekerjaan’ yang ditekuninya dan lainnya tidak. Seolah-olah gadis yang kakinya tidak tumbuh sempurna, tidak berhak mengetahui hal-hal yang lain.

***

Sore itu Leo datang, dan seperti biasa memang bukan untuk dia.

“La, kami mau jalan-jalan. Titip apa?” kata Leo menyalakan sepeda motor bebeknya.

“Kamu nggak usah ikut ya. Sebaiknya selesaikan pekerjaan aplikasimu. Atau nonton televisi. Film seri Spongebob- nya lucu-lucu,” kata Ayi sambil mengangkat kakinya duduk di belakang Leo. “Eh, kamu titip apa? Lipstikmu masih? Oya, kubelikan nanti Kacang Bali ya? Atau mau beli DVD saja?”

Ayi memandang wajah adiknya.

Syela tidak menjawab. Dia hanya mendengus dan melirik kakaknya. Ketika sepeda motor itu berlalu, untuk sejurus lamanya dia tiba-tiba merasa cemburu. Dia begitu kesal pada kakinya yang tidak sempurna. Diseretnya kakinya yang pincang itu ke kamar.

Tapi sesungguhnya perasaannya tidak benar. Sesekali toh Leo datang ke rumah, khusus untuk dia. Leo meluangkan waktu untuk berbicara dengannya. Tampaknya sih bukan sekadar basa-basi atau terpaksa. Juga, tampaknya bukan karena permintaan Ayi. Masa Ayi yang jelas ingin merampok Leo, membiarkan Leo kencan dengan dia? Tapi sialnya. Leo mengajak ngobrol hal-hal yang remeh-remeh. Lagi-lagi, mengenai clay, kruistik, origami, seni melipat ala Jepang (yang baru dibacanya dari sebuah majalah, tentunya), atau tentang profesi barunya: guru organ amatir di sekolah luar biasa.

Syela pernah marah.

“Aku bosan, kamu selalu bertanya hal yang itu-itu terus. Emang kemampuanku hanya itu?” tukasnya.

“Habis, apa topik kesukaanmu?” tanya Leo. Dia tak menyangka akan ditanya seperti itu.

Syela tidak menjawab sepotong kata pun. Dia sedang menahan agar airmatanya tidak tumpah. Dia memang tidak mempunyai dunia lain, kecuali yang itu-itu juga. Kakinya yang pincang penyebabnya. Seisi dunia pun tahu akan hal itu.

Mendengar ribut-ribut, Ayi yang sedang sibuk menyedu pop ice keluar tergesa-gesa.

“Apa sih yang kalian persoalkan? Selalu saja ribut-ribut,” tegurnya. Ayi melihat Syela yang menangis. “Astaga Leo, dia menangis!”

Leo mengangkat bahu dan menjulurkan lidah dengan putus asa. Dia merasa tidak bersalah.

“Aku hanya bertanya tentang pekerjaannya..........,” jawabnya seperti prajurit kalah perang.


“Coba cari topik lain.”

“Aku sudah mencoba membuatnya bergairah dengan pekerjaannya,” Leo membela diri, setengah uring-uringan. “Ayolah kita nonton. Aku benar-benar salah tingkah setiap kali bertemu dengan barang antik itu. Adikmu sungguh-sungguh sensitif!”

Tapi Leo tidak jera.

Diulanginya lagi pertemuan, diulanginya lagi pertengkaran.

“Habis bagaimana?” Dia selalu berkata begitu. “Setiap kali aku ke rumahmu, aku tentu harus menemuinya. Kamu sih, kalau aku sedang ngobrol sama dia terus menghilang. Mestinya kamu ada di sini, jadi kalau ada apa-apa bisa jadi penengah. Ngapain sih?”

“Cobalah kamu pahami dia. Jangan ulang pertanyaan yang itu-itu juga. Kamu harus melihat dia dari sudut lain, dong,” protes Ayi.

“Sudah. Aku tadi membicarakan mengenai film. Kukatakan, 2012 itu film bagus. Dia harus menontonnya kalau diputar ulang di Blitz Megaplex. Lalu kuceritakan pula, bahwa di Gramedia, terbit buku cerita karangan Stephenie Meyer yang baru. Dia bilang, pasti terjemahan. Ya tentu saja. Eh…….dia…..dia…..,”

Leo geleng-geleng kepala untuk kesekian kali.

“Aku sungguh tak mengerti. Barang antik itu benar-benar……”

Suatu hari, belajar dari pengalaman, Leo tak mau berbicara banyak ketika bertemu dengan Syela. Ia lebih banyak mendengar seperti murid TK yang patuh kepada ibu guru. Dibiarkannya Syela asyik bercerita sendiri tentang murid-murid mental retarded-nya yang konyol-konyol, sementara Leo hanya mengangguk-angguk dan berdehem-dehem saja.
Tapi tiba-tiba Syela berdiri dengan sengit. Novel yang sedang dibacanya, dicampakkan dengan kasar di meja.

“Aku ini membosankan, sehingga kamu tidak mau mendengar ceritaku.”

Leo terpana. “Oh my god, aku salah lagi,” gumamnya dengan sedih. Padahal maksudnya…

Di depan Ayi, panjang lebar Leo menerangkan duduk perkaranya, bahwa dia merasa tidak bersalah sepotong pun. Bahwa dia tidak menyakiti gadis sensitif itu barang sedikit.

“Siapa sih yang pertama kali menjuluki barang antik? Aku memang perlu hati-hati menyentuhnya. Dia sangat sensi. Padahal sudah kuturuti semua nasehatmu agar aku berhati-hati berbicara dengan dia. Tapi nyatanya tetap runyam juga,” kata Leo dengan wajah pecundang.

Tentu saja Ayi menganggap hal ini tidak boleh berlarut-larut. Dia harus mengatakan kepada adiknya bahwa tindakannya itu konyol.

“Aku harus mengatakan sesuatu padamu. Tapi dari mana ya harus kumulai?” tanya Ayi pada suatu hari. Saat itu hujan bulan Februari terasa dingin.

Syela hanya menoleh sekilas, meski pengen tahu juga.

“Ehm….. Syela,” kata Ayi akhirnya. “Kamu kan tahu, sudah setahun lamanya Leo sering berkunjung kemari. Apakah kamu tahu bahwa………”

“Aku tahu, Jemi studi di Paris, dan dia sama sekali tidak tahu hubunganmu dengan Leo,” potong Syela dengan sedih. “Apa kamu sudah mengatakan pada mama kamu akan memutus Jemi untuk mendapatkan Leo?”

“Eh, kenapa kamu berpikir ke sana? Jangan ngaco. Nggak ada hubungannya sama sekali. Aku hanya ingin mengatakan bahwa Leo mencintaimu.”

Syela terpana. Jantungnya berdegup. Dia tatap wajah kakaknya. Bagaimana mungkin? Mana bisa? Buktinya Leo selalu jalan-jalan bersama Ayi. Tentu saja, dia selalu mengajak Ayi, karena kedua kakinya sempurna. Sebaliknya dia tak pernah mengajaknya entah jalan-jalan di mal, atau cari buku di Gramedia, karena satu kakinya pincang.

“Oh, Ayi, kenapa kamu tega menyakiti hatiku?” seru Syela, hampir pasti akan menangis.

“Terserah. Aku hanya mengatakan kebenaran,” kata Ayi dengan serius.

“Kamu keji!” sekali ini nadanya berteriak.

“Ada apa ini?” Ayi terjengah.

“Kamu pasti mengolok-olokku. Seorang gadis dengan kaki yang pincang memang pantas menjadi bahan olok-olok,” air matanya keluar dengan deras.

Ayi memegang bahunya. Diamat-amatinya paras adiknya, dan diusapnya airmata yang singgah di pipi dengan punggung tangannya.

“Dengar ya, Leo mencintai kamu, La,” bisik Ayi.

Syela mengangkat kepala. Dia rasa-rasanya tidak sedang bermimpi.

“La, kamu jangan salah paham dulu. Aku nggak ada apa-apa dengan dia. Hubunganku dengan Leo, justru dalam rangka menggaet hatimu,” kata Ayi lagi. Dia membelai-belai rambut adiknya. “Apakah kamu menolaknya?”

Syela diam.

“Kukira kalian pasangan yang cocok. Kamu seorang gadis yang cerdas, punya wawasan. Sedang Leo juga pemuda yang cerdas dan sama seperti kamu, senang pada hal-hal baru. Kalaupun ada yang mengecewakan hatinya adalah karena kamu terlalu perasa. Berapa kali kamu bertengkar dengan dia?”

Syela tidak mengerti harus menjawab apa.

“Bagaimana aku harus mempercayai kata-katamu, dia kan seorang playboy?”

Ayi ingin tertawa, tapi sekali ini ditahannya.

“Itulah yang ingin kukatakan padamu. Bahwa Leo kini lain dengan Leo yang kita kenal dulu. Dia sudah menyadari bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna. Memang, dua, tiga kali dia berpacaran. Tapi putus. Leo mengatakan, pacar-pacarnya itu sama sekali tidak menggaet hatinya. Fisik mereka saja yang sempurna, tapi hati mereka pincang. Dan dia melihat kamu lebih dari itu. Boleh jadi, kakimu pincang, tetapi hatimu kan tidak. Dia sudah melihatnya sendiri selama setahun ini.”
Ayi manghela napas.

“Yah, kekuranganmu hanya satu: kamu sensi. Sensitif. Benar-benar seperti barang antik, yang fragile dan mudah pecah. Padahal Leo, setamat SMA ini, akan melanjutkan ke kedokteran. Dia berminat jadi orthopedist. Tahu orthopedist? Dokter ahli tulang. Dia ingin menyembuhkan kamu. Cita-citanya sudah kuat.”

Ayi meregangkan pelukannya. Ditatapnya wajah adiknya dengan lembut.

“Salah besar, kalau kamu menduga aku ada apa-apa dengan Leo, La. Jemi sedang sekolah di Paris. Apa kamu sangka kakakmu punya bakat selingkuh? Leo itu milikmu, kalau kamu mau!”

Syela melepaskan pelukan kakaknya. Dia berjalan tertatih-tatih, menuju sofa. Dipandanginya wajahnya dari kaca.

Dia lalu menunduk. Diamat-amatinya kakinya yang pincang.

Tiba-tiba pintu diketuk, dan belum juga pintu dibukakan, seseorang nyelonong masuk ke ruangan. Astaga, Leo. Dia datang membawa selusin mawar merah jambu di tangan kanannya dan coklat dalam kemasan bentuk jantung hati di tangan kirinya. Ia menyerahkan semuanya ke tangan Syela yang tiba-tiba merasa jadi bego.

Syela bengong. Dia menerima saja bunga dan kotak coklat itu.

Di antara rangkaian bunga dan kotak coklat itu terselip sehelai kartu: "If you'll be my valentine, I'll provide the dinner and wine!"

“Bagaimana mungkin aku mengukur cintaku dengan sepotong kakimu yang pincang?” tanya Leo sambil menatap Syela.*** (Happy Valentine untuk Ayi Ela & her gang di SMP Penabur GS).


(CERITA UTAMA MAJALAH REMAJA STORY EDISI NO. 7, BEREDAR 25 JANUARI 2010)