Tampilkan postingan dengan label Jurnal Nasional. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jurnal Nasional. Tampilkan semua postingan

Minggu, 11 September 2011

SANG PENGELANA

SANG PENGELANA
Cerpen: Kurniawan Junaedhie

Tak ada yang terus
bisa berlangsung. Tak ada kepastian yang bertahan
Kita telah kehilangan kepercayan kepada keabadian
Semua hanya sementara: cinta kita, kesetiaan kita.
Kita hidup di tengah kesementaraan segala.

Saya menjatuhkan talak tiga pada istri. Istri pasrah, tenang dan tidak mengajukan banding. Dia malah menyalami saya sembari mengucapkan, Alhamdulillah. Dari kantor pengadilan, saya mengantar istri ke rumah orangtuanya. Saya menyalami ayah dan ibunya, minta maaf sekaligus pamitan. Di pintu, ketika saya mau pulang, perempuan yang sekarang jadi bekas istri saya itu berlari menyusul, sekadar untuk mencium tangan saya. Dia minta maaf jika ada kesalahan. Saya jawab, sebaliknya saya juga minta maaf. Dia menangis. Tapi hati saya tenang. Kami bercerai, tanpa beban. Lebih dari itu, Tuhan Maha Besar, kami tidak dikaruniai anak sehingga perceraian tidak membawa beban. Saya pun teringat sajak Sapardi Djoko Damono: anak tanda kita pernah bercinta. Dan, kami ternyata tidak pernah sungguh-sungguh bercinta.

Sekarang saya berada di dalam mobil. Saya akan pergi sejauh-jauh mobil saya menggelindingkan rodanya. Wah saya benar-benar menikmati kemerdekaan hidup tanpa keterikatan. Tak ada lagi seorang perempuan yang saya panggil istri yang saya harus pamiti jika saya pergi. Saya juga tidak perlu diganggu dering telepon atau bunyi nada panggil SMS di perjalanan, yang hanya mengajukan pertanyaan: kamu sudah sampai di mana, sedang apa, atau bagaimana.

“Apakah kamu tidak percaya padaku dengan sibuk bertanya-tanya?” tanya saya sangat marah suatu kali.

Istri tidak menyahut, tapi masuk ke kamar ibu saya dan menangis. Ibu keluar kamar menjelaskan, begitulah cara perempuan memberi perhatian pada suaminya. Tapi bagi saya, perempuan memang aneh. Bukankah sudah sangat jelas, bahwa perhatian yang diberikannya itu tidak sepatutnya sehingga saya merasa terganggu?

Saya masuk tol. Karena jalan tol sepi, saya geber gas sekenanya. Mobil melaju kencang dalam kecepatan 100 kilometer per jam. Keasyikan pelan-pelan mulai merasuki jiwa ragaku. Sambil menginjak gas, saya melihat angka di speedometer merangkak naik. 110, 120 dan 140 kilometer. Satu demi satu mobil, truk, truk gandeng, bis, dan sepeda motor saya lampaui. Duh saya benar-benar menikmati kemerdekaan hidup tanpa keterikatan. Saya sekarang hanya membayangkan, akan menghadapi hari-hari yang akan datang tanpa pertengkaran dan hidup damai tanpa seorang perempuan yang saya sebut istri dalam sebuah rumah. Ini bukan perkara gampang. Yang saya punya dari 10 tahun perkawinan, hanyalah kenangan. Kenangan adalah satu-satunya anugerah dari Tuhan yang tidak bisa direnggut meskipun oleh maut, begitu kata Kahlil Gibran. Tapi saya masih bisa berbuat apa saja terhadap kenangan: melupakannya sama sekali, atau mengingatnya berulang-ulang. Dan itu soal gampang.

Sambil menginjak gas, saya melihat angka di speedometer terus merangkak naik. 110, 120, 140 dan 160 kilometer. Gas saya geber. Mobil mulai oleng tertiup angin. Saya mencoba kuasai keadaan. Dalam keadaan itu, saya masih berpikir waras. Saya pegang kemudi erat-erat. Dugaan saya, mobil yang oleng itu, terjadi karena angin kencang menerpa keempat ban mobil saya. Seperti orang yang berjalan dengan kaki yang terpiyuh-piyuh oleh angin, otomatis jalannya pun pincang. Begitu pula dengan mobil saya.

“Kamu akan mati konyol,” tiba-tiba ada suara. Saya kaget. Mata saya terbeliak.

“Mati?”

Saya melirik kaca spion. Tak ada siapa-siapa di samping atau di jok belakang. Di kaca belakang, hanya tampak beberapa truk yang terseok-seok saya salip. Saya kurangi gas, dan mencoba mengamati suara itu lebih dekat. Suara itu mendesing.
“Saya boleh mati, tapi tidak sekarang,” teriakku. “Umurku baru 50 tahun. Selama ini aku sehat walafiat. Hasil check up terakhir menunjukkan aku baik-baik saja. Tidak ada satu pun penyakit mendekam dalam tubuh saya. Tidak ada alasan bagi Yang Maha Kuasa mencabut nyawaku.”

Aku melirik spion. Kubuka kaca jendela.

“Aku mau menikmati hidup!” teriakku kencang-kencang pada angin yang bersirobok masuk ke kabin mobil.

Mobil makin oleng. Mungkin saja, penyebabnya, angin yang terkejut oleh teriakanku kemudian menambah oleng mobilku. Tapi bisa jadi juga karena pikiran saya yang mulai limbung. Saya melihat angka di speedometer terus merangkak naik. 110, 120, 140, 160 dan 200 kilometer. Betapa pun saya tak boleh kalah dengan keadaan ini, kata saya. Ini baru di darat. Bagaimana kalau saya jadi pilot, yang mengendarai kendaraan di langit? Bagaimana kalau di laut? Di tengah samudera maha luas tak bertepi? Apakah saya harus menyerah dengan keadaan? Benar, di mobil ini saya seorang diri, tak perlu menyelamatkan jiwa-jiwa lain, tapi paling tidak, saya juga harus mampu menyelamatkan diri sendiri, begitu pikir saya.

Mobil mulai berjalan sempoyongan seperti orang mabuk. Karena saya tidak mau berhenti di pinggir jalan, saya arahkan moncong mobil masuk ke rest area. Di rest area, aku masuk ke WC. Buang air kecil. Seorang pengemis menadahkan tangan. Aku rogoh kantong dan setelah memberinya limaratus perak aku cepat berlalu. Aku masuk ke Mac Donald. Aku pilih duduk di pojok, tempat paling sepi, yang tak bertanda dilarang merokok. Orang zaman sekarang rupanya lebih suka duduk di tempat yang berpendingin dan bebas asap rokok. Aku keluarkan I-pad. Aku mencari game. Iseng. Aku ambil rokok. Pelayan menghampiri. Aku pesan Capucino. Tak ada game yang menarik. Semua bosan. Aku mencoba buka Facebook. Ah bosan juga. Banyak orang memposting sampah, yang tidak perlu saya komentari sama sekali. Saya buka Twitter. Saya isi status iseng, mengutip kata preambule konstitusi negara: “Kemerdekaan adalah hak segala bangsa…..” Capucino datang. Sekelompok orang yang duduk di tempat berpendingin terdengar bersorak-sorak. Sebagian lain bertepuk tangan menonton siaran ulangan pertandingan tinju di televisi. Tampak Mike Tyson menjotos muka lawannya, sampai bonyok. Di sudut lain, sejumlah pengunjung sedang menonton infotainment yang memberitakan perancang busana terkenal ibukota yang diam-diam sudah menikah dengan bekas seorang menteri tapi diduga hanya ingin menguras hartanya.

Aku mengambil rokok. Ketika rokok kupasang di mulut, tiba-tiba ada geretan menyala persis di ujung rokokku. Seorang menyulurkan geretan itu. Aku berhenti. Menoleh ke arah pemilik geretan. Seorang lelaki tua duduk di samping saya.

“Apa yang kamu cari?” kata orang tua itu.

Aku terbatuk. Apa urusannya dia bertanya itu kepadaku? Dan, he, suara itu, sangat mirip dengan suara yang bertanya di antara kelebatan angin ketika aku menginjak gas di jalan tol? Saya tatap mata orangtua itu. “Siapa kamu?” tanya saya.

Asap rokok melayang, ditiup angin. Tapi mulut terasa garing. Orangtua itu menatapku lalu tiba-tiba sosoknya mengabut seperti asap, dan berpusing-pusing dalam asap rokokku. Kulihat, tempat duduk di sebelahku kosong. Sayup-sayup masih kudengar kata-kata itu.

“Kamu akan mati konyol.”

Wah, mati konyol seorang diri di dunia?

Aku teriak panggil pelayan, minta disediakan asbak. Begitu asbak datang, rokok kumatikan di situ. Aku tiba-tiba bergidik. Aku melihat tubuhku terkapar di jalanan. Orang-orang merubung. Beberapa yang sok pinter, mencoba mencari dompetku untuk mencari kartu identitasku. Mereka segera menemukan alamatku dan melapor ke polisi. Polisi lalu menghubungi alamat itu. Ternyata alamatku palsu.

“Mohon maaf, kami tidak mengenal bapak ini,” kata pak RT. “Coba cari SIM atau STNK mobilnya,” kata yang lain. “Hubungi alamat yang tertera di situ.”

Polisi langsung menghubungi alamat itu.

“Aduh, kami tidak mengenal orang ini.”

“Kalau begitu, kuburkan saja di makam umum untuk orang yang tak dikenal,” kata yang lain.

Begitulah, hari itu juga saya dimakamkan di TPU khusus untuk orang yang tak dikenal. Mobil saya diderek ke kantor polisi. SIM, STNK dan kunci mobil disita. Tapi mobil saya dibiarkan di parkir di halaman. Beberapa orang kulihat mencoba untuk membeli mobil itu, karena diduga harganya pasti murah. Tapi polisi tidak ada yang bisa memutuskan. Menjual mobil bekas tak bertuan tak menarik. Risikonya lebih tinggi, dibanding memperoleh uang dengan bermain mata. Akhirnya mobil itu tetap berada di halaman parkir, diguyur hujan. Dan berkarat.

Beberapa hari kemudian, seorang perempuan bercadar datang ke kantor polisi. Ia mengaku sebagai bekas istri saya dan menunjukkan bukti surat cerai. Kapolsek bingung. Mau diapakan surat cerai itu? Untuk apa?

“Saya hanya mau memastikan, benarkah mobil itu miliknya dan apakah juga benar dia yang telah dimakamkan di pemakaman umum itu…,” kata perempuan itu.

Karena terlalu banyak peristiwa terjadi, Kapolsek sudah tak ingat. Tapi saya masih ingat. Dari kantor pengadilan, saya mengantar dia ke rumah orangtuanya. Saya menyalami ayah dan ibunya, minta maaf sekaligus pamitan. Di pintu, ketika saya mau pulang, dia berlari menyusul saya, sekadar untuk mencium tangan saya. Dia minta maaf jika ada kesalahan. Saya jawab, sebaliknya saya juga minta maaf. Dia menangis.

Sekarang saya menangis, di alam baka. Menikmati kemerdekaan.***

Serpong, 1 April 2011


Kurniawan Junaedhie, tinggal di Serpong, Tangerang,. Banten. Menulis di media massa. Buku puisinya, al: Perempuan Dalam Secangkir Kopi (2010), 100 Haiku Untuk Sri Ratu (2010) dan Sepasang Bibir di dalam Cangkir (2011). Buku kumpulan cerpennya: Tukang Bunga & Burung Gagak (2010, bersama Kurnia Effendi, Ana Mustamin dan Agnes Majestika).

dimuat di jurnal nasional minggu 11 september 2011

.

.

Minggu, 07 November 2010

Pengarang Yang Disandera Tokoh Cerpennya

Cerpen: Kurniawan Junaedhie


Ruangan itu dingin temaram. Baunya aneh, mengesankan bahwa rumah itu sudah lama tidak berpenghuni. Hanya ada terang dari tungku pembakaran yang merah menyala berkobar-kobar. Mengingat suhu yang dingin, ditambah ada tungku pembakaran, aku sempat berpikir, apakah aku sedang berada di sebuah rumah di sebuah negeri semacam Amsterdam, Oostende, Paris, Stuttgart, Brussels, atau Manhattan, New York? Nama-nama kota yang sesungguhnya hanya kutahu dari sajak-sajak para penyair Indonesia. Anehnya, aku juga merasa seperti berada dalam sebuah tempat di mana tinggal makhluk-makhluk aneh seperti yang digambarkan Lewis Carrol dalam Alice in Wonderland.

Begitulah. Dalam cerita ini, dikisahkan aku telah dibawa ke rumah itu oleh tokoh perempuan dalam salah satu cerpenku. Padahal beberapa menit lalu, aku masih asyik bekerja di ruang kerjaku. Tiba-tiba perempuan itu muncul, mengerdipkan mata, dan --seperti dihipnotis,-- aku patuh saja pada perintahnya untuk membuka garasi, menyalakan mobil, menjalankannya, menutup pintu garasi, dan meninggalkan rumah. Padahal aku yakin, saat itu aku sedang tidak bermimpi sambil berjalan atau noctabulism . Karena kalau aku mengalami somnambulism , seharusnya ada yang melihatku, dan mencegahku. Nyatanya tidak. Jadi ini sebuah cerita yang sungguh mustahil, absurd dan tidak masuk akal sama sekali seperti cerita-cerita rekaan Kafka.

Di dalam ruangan itu juga ada lampu gantung yang bergoyang-goyang. Hanya sinarnya lemah, kalah oleh benderang tungku perapian. Sehingga sempat pula aku membayangkan bahwa tempat ini semacam Kastil Neuschwanstein, yang letaknya di bukit dekat Hohenschwangau di selatan Bavaria, Jerman. Atau paling tidak aku merasa sedang berada di sebuah rumah bergaya gotik (kalau istilah ini benar). Ini juga mengherankan. Aku tidak pernah membuat cerita dengan setting seperti ini.

Sebagai pengarang, aku dikenal tidak pandai melukiskan rumah-rumah yang sophisticated, karena aku bukan dari kalangan itu. Jadi itulah nasibku. Akibat ketidakbecusanku menulis cerita-cerita glamor (seperti novel pop, novel metro pop), sains fiksi dan sejenisnya, maka aku hanya bisa menulis cerita tentang cinta yang abstrak dan tentang perempuan, dua hal yang siapa pun bisa melakukannya, apalagi karena semua itu dengan setting kemiskinan, sesuai kemampuanku.

Aku jelas bukan pengarang sekaliber Budi Darma yang bisa menulis Orang-Orang Blomingtoon, atau Umar Kayam yang menulis Seribu Kunang-Kunang di Manhattan, atau Sitor Situmorangyang menulis Paris La Nuit. Aku bukan jenis pengarang yang bisa menulis tentang salju, musim gugur, atau karpet Parsi seperti Goenawan Mohamad. Aku sendiri sebetulnya tak yakin benar, apakah kalau berada di luar negeri maka ilham akan bermunculan dan kata-kata berhamburan seperti salju? Aku tidak berani mengira-ira. Yang jelas, aku hanya bisa memeras-meras daya khayalku agar bisa menuliskan kebohongan menjadi kebenaran. Hanya itu tugasku, dan inilah hasilnya.

****

Bunyi sepatu yang dipakai perempuan itu menyadarkanku bahwa saat itu aku tidak sendirian. Dibantu tempias cahaya dari perapian dan lampu gantung, samar-samar aku menangkap sosoknya. Perempuan itu hadir persis seperti tokoh yang kugambarkan dalam salah satu cerpenku: tinggi semampai, cantik, tubuhnya padat, dadanya membusung, berambut panjang dan umurnya 37 tahun. Mirip Ken Dedes.

Karena dia diam, dan aku tak sabar menunggu, maka akulah yang memulai percakapan.
“Apa yang akan kamu katakan sehingga membawaku ke tempat ini?” tanyaku.

Aku menunggu jawabannya. Tapi perempuan itu tidak juga menjawab. Jadi aku meneruskan,
“Kalau ini menyangkut ceritaku yang membawa-bawa dirimu, katakan saja terus terang, biar aku mengerti. Percayalah, itu sekadar bualanku. Bualan itu pun tidak bermaksud untuk menjelek-jelekan kamu. Saat itu aku sedang suntuk di depan komputer, lalu karena tidak menemu kata untuk menulis sajak, maka aku coba mereka-reka cerita. Itulah awalnya,” sambungku.

Lagi-lagi, perempuan itu tak bergeming, diam seperti patung. Itu membuatku dalam posisi yang sangat inferior. Aku hanya melihat dia menggeser posisinya sehingga sekarang berdiri di depan perapian. Oleh cahaya dari perapian, tubuh perempuan yang dibalut gaun panjang transparan itu tentu saja menghasilkan sebuah siluet yang sangat indah. Mungkin seperti lukisan S Sudjojono, atau Hardi. Pada saat ini aku sesungguhnya sedang menyesali, kenapa sebagai pengarang aku tidak mau belajar di luar masalah-masalah kepengarangan, seperti, membuat film dokumenter, geografi, teknologi, astronomi……? Mengapa hari-hari senggangku hanya kuhabiskan untuk nongkrong-nongkrong di kafe, sekadar membahas daun gugur, kepak burung, ricik air? Mestinya waktu yang banyak itu juga bisa kugunakan untuk bisa belajar berdebat, atau atau membaca buku-buku agar khasanah sastraku bertambah luas.

Amboi. Perempuan itu sekarang beranjak. Ia duduk di kursi bar. Kakinya mengangkang. Aku lihat betis dan pahanya yang seperti lilin. Benar kan? Aku merasa sebagai Ken Arok yang sedang terpana melihat betis Ken Dedes. Perempuan itu tetap menatapku sekaligus membuatku kikuk. Aku ingat peristiwa di hotel itu. Dia membugil di depanku, menyodorkan payudaranya yang sintal. Saat itu aku sedang mengambil air minum, tiba-tiba dia meraih pundakku, menjatuhkan tubuhku ke ranjang, dan melucutinya. Untuk sejurus lamanya dia bergerak-gerak di atas tubuhku: pelan, kemudian cepat, selanjutnya cepat sekali. Hm. Kalau orang hanya melihat mimiknya yang tidak berdosa, mana mungkin orang percaya pada kenyataan itu? Pasti dikiranya aku yang membual. Dasar pengarang.

Perempuan itu tetap tak bergeming. Dia masih duduk dengan posisi seperti tadi: mengangkang. Aku lihat paha dan betisnya yang seperti lilin. Aku sungguh-sungguh merasa seperti Ken Arok melihat betis Ken Dedes.

Kudengar suara hujan dan halilintar menyambar-nyambar. Di tengah kegelapan, di antara cahaya api yang muncul berkobar dari tungku perapian, kulihat juga ada cahaya mengerjap yang ditimbulkan oleh cahaya kilat. Tahulah aku bahwa saat itu hujan turun dengan lebat di luar rumah. Bahkan rumah itu pun seperti terpengaruh, terbukti lampu gantungnya ikut bergoyang. Saat itu juga aku merasa limbung, seperti lampu yang dipermainkan angin.

“Cobalah berempati sedikit, seandainya kamu berada di pihakku. Bukankah cukup fair, kalau aku hanya mengambil sedikit saja dari realitas, mungkin 10 sampai 25 persen; selebihnya hanya bualanku belaka. Bukankah itu fair?” kataku menjelaskan. “Lagi pula kamu toh tahu, aku bukan pengarang yang dengan gampang membuat fakta menjadi fiksi. Tugasku hanyalah membuat sebuah bualan menjadi sebuah kenyataan tanpa harus membuat pembaca merasa dibohongi, risi, dihina intelektualitasnya, dibodohi, atau direndahkan. Lihat. Masih banyak pengarang yang mengambil hampir seluruh bagian dan peristiwa dari dirinya sendiri, dan malah mengubahnya seolah-olah menjadi fiksi. Mereka menjadi tokoh dalam fiksinya. Kenapa kamu timpakan kesalahan, hanya padaku? Ini sungguh tidak adil,” aku ingin memekik.

Sekelebat aku ingat kata-kataku dalam cerpen itu:

Dia duduk seenaknya di samping saya menyetir. Dia menyilangkan kaki bahkan, mengangkat kakinya di dashboard seperti orang slebor sehingga roknya tersingkap. Dengan sendirinya, diterpa lampu-lampu jalanan, dengan sangat jelas saya bisa melihat celana dalamnya. Saya pikir, dia mabuk, kebanyakan alkohol. Tapi saya pura-pura tidak tahu. Perempuan memang sering tak terduga.

“Oh, kalau itu masalahnya, sesungguhnya karena aku hanya ingin melukiskan kepada pembaca betapa sensualnya dirimu. Tidak lebih tidak kurang. Aku merasa punya hak untuk mengatakan bahwa kamu memang melakukan hal itu,” kataku terbata. “Dan cobalah kamu ingat-ingat lagi. Tak sedikitpun aku menceritakan adegan yang lebih dari itu. Apalagi dalam kisah itu aku melukiskan diriku sebagai seorang pria budiman. Apakah aku salah?”

Aku menekuk pandangan.

Perempuan dalam cerpen itu sekarang turun dari kursi barnya. Sekilas tampak belah dadanya. Bersamaan dengan adanya kilat yang disusul halilintar, lagi-lagi muncul running text yang menampilkan bagian kalimat dalam cerpenku itu:

Begitu pelayan pembawa air minum meninggalkan kami, dia sudah memeluk saya. Saya agak kaget. Terkesiap. Dia menciumi saya. Mencopoti pakaian saya sambil juga mencopoti gaunnya sehingga kami berpelukan dalam keadaan telanjang.

“ Jadi kamu mau menyanggahnya?”

Aku lihat reaksinya. Wajahnya dingin, seperti patung lilin. Dia sekarang melangkah memutariku. Aku ikut memutar pandangan mengikuti gerakannya. Terdengar tik-tok sepatunya yang berhak tinggi di antara renyai hujan.

“Atau kamu malah ingin menolak semua fakta itu dengan mengatakan bahwa tulisanku mencemarkan nama baikmu?” Aku menangis. Terus terang, aku menangis mengingat peristiwa di hotel itu. Alangkah sialnya, kenapa pada hari itu aku harus menemui perempuan itu. Padahal dia datang diantar oleh suaminya yang hanya menurunkannya di teras hotel untuk selanjutnya menggeblas pergi. Saat itu juga aku sempat bertanya, kenapa suaminya tidak ikut turun supaya kita bisa berkenalan? Tapi perempuan itu hanya tersenyum, dan mengatakan dia akan langsung pulang, karena harus menjaga anak-anak mereka yang sedang belajar di rumah. Saat itu bahkan dia menampakkan wajah gembira, dan mengatakan bahwa keadaan itu lebih baik karena kita bisa bebas. ‘Bebas untuk apa?’ Saat itu aku sudah ingin berteriak. Tapi, itulah salahku, aku malah ikut saja ajakannya untuk ke kamar hotel itu.

Aku sekarang menangis.

“Aku ingin minta maaf pada suamimu,” teriakku pada perempuan itu.

Suasana hening itu tiba-tiba pecah oleh suara tokek di balik lemari. Aku lihat perempuan itu masuk ke dalam gelap. Hanya kulihat punggungnya yang mulus sekelebatan karena pantulan api pembakaran dari tungku pembakaran. Lampu gantung tetap terayun dengan sinar lampu yang lemah. Tubuhku mendadak jadi dingin dan lapar. Aku merasa dalam sebuah ketidakpastian. Linglung tak berdaya. Bersamaan dengan itu, aku juga mulai putus asa.***

BSD/ Serpong, 2010

Catatan:

[1] Noctambulism: Berjalan dalam tidur tergolong gangguan dalam kelompok parasomnia. Penderita biasanya terjaga saat tidur atau masih terjaga namun berada dalam kondisi seperti tidur (sleeping state).

[2] Somnambulism: Gangguan yang membuat orang berjalan dalam keadaan tidur.


Kurniawan Junaedhie, tinggal di pinggiran Jakarta. Menulis puisi dan cerpen di media massa. Buku cerpennya: “Tukang Bunga & Burung Gagak” (2010). Menerbitkan buku kumpulan Puisi “Perempuan dalam Secangkir Kopi” (2010), dan ikut dalam antologi 15 penyair Indonesia “Senandoeng Radja Ketjl” (2010).

Dimuat di Jurnal Nasional 7 November 2010

http://www.jurnalnasional.com/show/newspaper?rubrik=Puisi&berita=148221&pagecomment=1

Senin, 29 Maret 2010

Perempuan Pemuja Kata

Cerpen: Kurniawan Junaedhie

Kamu mungkin akan melupakan orang yang tertawa denganmu, tetapi tidak mungkin melupakan orang yang pernah menangis denganmu (Kahlil Gibran)

Sungguh menakjubkan. Perempuan itu tidak hanya cantik, tetapi juga pandai menyusun kata. Dan kata itu oleh dia, --menurut hemat saya-- ditekuk-tekuknya, lalu dibentuknya menjadi kalimat, dan kalimat-kalimat itu kemudian ditata dan dipatut-patutkannya dalam sebuah rangkaian puisi atau prosa. Maka besar dugaan saya, ia telah menuliskan banyak kata selama hidupnya. Tapi kemudian dia menyanggah.

Perempuan itu menurut pengakuannya sendiri berusia 37 tahun. Ia adalah ibu dari dua anak yang berusia 17 tahun dan 12 tahun. Ketika si bungsu lahir, sekitar umur 3 bulan, suaminya kabur dengan perempuan lain. Sejak itu ia tidak pernah bersua lagi dengan suaminya, kecuali ketika mengurus surat perceraiannya. Itu pun tak sempat bertemu, karena si suami kemudian menyerahkan urusan perceraiannya kepada pengacaranya. Selanjutnya, ia kawin lagi dengan suaminya yang sekarang.

Dengan cara bodoh saja, saya bisa menaksir bahwa ia menikah sedikitnya pada saat berusia 20 tahun. Itu pun dengan catatan, begitu menikah, dia hamil dan langsung melahirkan si sulung tadi. Dan sejak 12 tahun lalu, kalau keterangan yang diberikan benar dan sahih, maka sejak saat itu pula ia tidak pernah tidur bersama lelaki lainnya, kecuali suami sialan itu. Hanya ada keterangan tambahan: saat dia berjilbab dan berusia 20 tahun dia diperkosa.

Kalau saya mengatakan tubuhnya langsing, jangan kaget. Tapi memang, ketika saya kemudian mengetahui lebih jauh, sungguh menakjubkan bahwa ternyata perutnya tetap pipih. Tak ubahnya perut seorang gadis. Sepengetahuan saya, itu bukan perut ibu dari dua orang anak yang biasanya sudah berlipat-lipat, membentuk undak-undakan. Dan ketika saya pun kemudian menyentuh tubuhnya, --subhanallah-- semakin takjublah saya, bahwa payudaranya ternyata masih sintal. Kedua gunung kembar itu berdiri gagah: tegak dan tidak loyo. Sekali lagi, aneh. Ini jelas bukan gambaran lumrah untuk payudaya seorang ibu dari dua anak yang biasanya sudah menggelambir.

Tapi begitulah kira-kira urutannya, bagaimana saya bisa mengenal perempuan berperut pipih yang pintar bermain kata itu. Apakah karena ia jarang disentuh lelaki bahkan suaminya? Kenapa ia suka merangkai kata? Kenapa ia tetap cantik? Semua itu menjadi pertanyaan saya, setelah beberapa kali pertemuan.

Ia menelepon saya pada suatu Sabtu. Karena saya sedang bersama keluarga, telepon tidak saya angkat. Saya kirim SMS, agar ia kirim pesan singkat saja. Beberapa detik kemudian, ia mengirim pesan, bahwa ia ingin bertemu saya.

Saya segera meluncur dan bertemu di sebuah kafe, di bilangan Sabang. Kafe itu bernama Kopi Thiam Oey, katanya, milik Bondan Winarno. Siapa Bondan, tak penting benar. Saya hanya ingin mengatakan bahwa, saya bertemu di sana di suatu hari Sabtu, di mana kafe itu biasanya penuh sesak dengan tetamu.

Penerangan lampu di kafe itu remang-remang. Enak untuk main mata dan bisa untuk saling menjawil tanpa diketahui orang.

“Kenapa kamu mau berkenalan dengan saya?” itulah pertanyaan yang sering saya ulang-ulang setiap bertemu. “Saya hanya lelaki berumur. Kalau kamu mau, kenapa kamu tidak memilih saja lelaki lain, yang jauh lebih muda?”

Perempuan itu tersenyum dan menyandarkan kepalanya di pundak saya.

Hubungan kami sebetulnya baru berlangsung 3 bulan. Tapi kami merasa sudah akrab satu sama lain. Mungkin karena hampir setiap menit, kami berkirim pesan pendek. Atau kalau kebetulan kami sedang membuka internet, kami berkirim pesan lewat inbox atau chatting. Pekerjaan itu bisa memakan waktu dari pagi sampai subuh dinihari. Nah, ini dia.

Pada mulanya adalah, kata.

Ia menulis begini di dinding Facebook-nya:

Kamu mungkin akan melupakan orang yang tertawa denganmu, tetapi tidak mungkin melupakan orang yang pernah menangis denganmu (Kahlil Gibran)

Bagi saya, kalimat ini agak aneh. Kahlil Gibran bagi saya kedengarannya sudah kuno. Kenapa perempuan itu menyukai Gibran? Adakah kelebihannya?

“Dari mana kamu tahu?” tanya saya.

“Saya membaca 'The Prophet' dalam versi aslinya,” jawabnya.

Untung saya tidak sedang berhadapan muka. Kalau tidak, dia tahu perubahan wajah saya, karena saya cuma membaca hasil terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh Bahrum Rangkuti pada tahun 1949.

Beberapa hari kemudian, dia menulis lagi begini:

Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. (SGA)

Saya merasa tidak asing dengan kalimat itu. Siapa SGA? Saya juga tidak merasa asing dengan akronim ini. Langsung aku menanyakan, pemilik kalimat itu, di bawahnya. “Aku pemuja Seno Gumira Adjidarma,” tulisnya kemudian. “Aku bahkan kenal istrinya. Ike namanya.” Dia melanjutkan.

Saya bertanya, bukankah kamu pemilik dan pemuja banyak kata, kenapa kamu mengutip tulisan itu?

“Bagi saya kata-kata cuma benda yang bisa ditekuk-tekuk, atas kemauan saya. Sayalah majikan atas kata-kata itu. Saya tidak pasrah pada kemauan kata-kata. Kata-kata yang dibiarkan memang akan liar seperti anjing hutan. Kata-kata yang dibiarkan juga akan seperti serpihan batu, yang tidak kuat bobotnya. Kata-kata harus diarahkan agar sesuai tujuan kita,” tulisnya mengejutkan.

“Jadi apa arti puisi-puisimu selama ini?”

“Tangkaplah dari apa yang kumau. Jangan kamu mau terpedaya kata-kata di dalamnya.”

Saya bukan sastrawan, bukan pujangga. Tapi dari situ saya tahu bahwa dia tidak hanya bercitarasa tinggi, tetapi juga asyik. Saya senang berkenalan dengan perempuan seperti ini. Jarang-jarang ada perempuan seperti ini. Kami keterusan bermain kata. Sampai akhirnya perempuan itu minta ketemuan di sebuah Mal. Saya sempat merasa aneh.

“Bagaimana suamimu?” tanya saya.

“Saya punya suami tapi itu tidak penting benar.”

Aku melongo. Perempuan itu malah balik bertanya, “Apa yang salah?”

Saya agak terpojok.

“Tentu tidak apa-apa,” saya cepat mengelak dan mengalihkan perhatian. “Saya belum pernah ke Mal itu.”

“Kita ketemu di JCO saja. Dari luar, sudah tampak mereknya. Siapa datang duluan, duduk saja di situ.”

“Oke.”

Seorang lelaki setengah umur seperti saya jelas tidak nyaman berduaan di tempat umum dengan seorang perempuan. Meski saya bukan selebritis, bukan tidak mungkin ada saja kenalan di mal itu yang melihat kami. Karena itu saya mengajak dia mencari tempat yang lebih afdol. Tanpa dinyana dia menawari masuk karaoke. Yang surprise, perempuan yang kata-katanya romantis itu, tak segan-segan menyanyi dengan riang. Dan sekali tempo, menyerahkan mike agar saya juga ikut menyanyi. Aku mulai berpikir bahwa perempuan ini sesungguhnya kesepian. Dia pada dasarnya membutuhkan teman, untuk berbagi perasaan dan bertukar pikiran. Dan saya dianggapnya orang yang tepat untuk itu. Dan meski tempatnya remang-remang, kami tidak melakukan apa-apa, kecuali bercakap-cakap, atau berbisik-bisik. Seingat saya dia sempat menyandar di pundak saya. Tapi kemudian, dia minta maaf, merasa tidak pada tempatnya. Kami minum bir, ngobrol ringan, menyanyi, Begitulah, kami berada di karaoke itu sampai karaoke itu tutup.

Karena hari sudah malam, saya menawarkan diri untuk mengantarnya ke rumah. Nah di dalam mobil, saya mulai melihat dia agak genit. Dia duduk seenaknya di samping saya menyetir. Dia menyilangkan kaki bahkan, mengangkat kakinya di dashboard seperti orang slebor sehingga roknya tersingkap. Dengan sendirinya, diterpa lampu-lampu jalanan, dengan sangat jelas saya bisa melihat celana dalamnya. Saya pikir, dia mabuk, kebanyakan alkohol. Tapi saya pura-pura tidak tahu. Perempuan memang sering tak terduga.

Tepat di depan rumahnya saya turunkan dia. Dia agak lama berkutat sebelum turun, padahal central lock sudah saya buka. Dalam kegelapan di dalam mobil itu, saya merasa, dia terus memandangi saya.

“Ada apa?” saya bertanya mendadak ke arahnya.

“Aku senang berkenalan denganmu,” jawabnya. Senyumnya lucu. Tidak nakal.

Karena tidak turun-turun juga, saya pikir, dia mungkin ingin kami berciuman dulu seperti dalam film-film. Saya mengangsurkan wajah. Saya pegang tangannya. Tapi dia langsung membuka pintu. Melompat keluar. Saya dibuat terkesima. Padahal saya ingin mengucapkan salam untuk suaminya.

Minggu berikutnya saya janji ketemuan lagi. Bukan di JCO, tapi di toko buku masih di Mal itu. Karena saya pria berumur yang tak ingin dilihat orang sedang kencan dengan perempuan lain, saya ajak dia keluar dari Mal. Kali ini tanpa ragu saya ajak dia ke motel. Kalau pun dia menolak, atau tersinggung saya sudah siap jawabannya. Tapi perempuan itu tidak menolak.

Begitu pelayan pembawa air minum meninggalkan kami, dia sudah memeluk saya. Saya agak kaget. Terkesiap. Dia menciumi saya. Mencopoti pakaian saya sambil juga mencopoti gaunnya sehingga kami berpelukan dalam keadaan telanjang. Dia melakukan apa saja yang selama ini tidak pernah saya bayangkan.

Sehabis itu, bahkan selama di mobil waktu saya antar pulang, kami tidak bercakap sepatah kata pun. Kata-kata tiba-tiba menjadi tidak berarti. Di depan rumah, saya turunkan dia. Juga tanpa ciuman seperti dalam film. Saya membayangkan, suaminya sedang mengintai dari balik pintu.
Besok paginya, begitu bangun tidur saya membuka Facebook. Saya tidak menemukan pesan atau kalimat-kalimatnya. Di kantor, saya buka lagi. Masih tidak saya temukan apa-apa di Facebook. Kemana dia? Apa dia menyesal telah bertemu saya face to face? Saya punya nomor handphone-nya. Tapi kalau benar dia telah menyesal berjumpa saya, buat apa saya menghubunginya?

Malamnya saya tidur gelisah. Saya seperti membaca baliho besar iklan rokok yang betuliskan, Gak Ada Loe, Gak Rame. Saya ingat suara perempuan itu. Saya ingat waktu dia pegang microphone di tempat karaoke. Saya ingat aroma rambutnya ketika dia secara tak sengaja menyandarkan kepalanya di pundak saya. Saya ingat kakinya mengangkang di dashboard itu. Saya ingat celana dalam itu. Saya ingat bagaimana dia seperti ular membelit saya, dan menggigit saya. Pokoknya saya gelisah. Saya membuka laptop. Lampu layar laptop benderang dalam kegelapan kamar. Cahaya di layar itu menimpa wajah istri saya sedang tidur terlelap. Tapi kata-kata perempuan itu tidak ada di layar. Layar seperti kehilangan kata-kata bersama hilangnya perempuan itu. Saya kemudian membayangkan bahwa suaminya sesungguhnya tahu semua perbuatan istrinya, tapi tak mampu berkata-kata. ***

Gading Serpong, Sept/ Nov. 2009



Dimuat Jurnal Nasional 28 Maret 2010
http://www.jurnalnasional.com/show/newspaper?rubrik=Cerpen&berita=117567&pagecomment=1

Secuplik komentar sejawat yang terekam melalui inbox (cerpen ini tidak disiarkan di FB:

Hardiansyah Kurdi 28 Maret jam 16:35
wah sudah dilahap sampai tuntas. bagus sekali, Pak. ini... sepertinya lebih bagus dari TBBG. rileks sekali feelnya. Mantabs. Tersanjung telah diberi kesempatan baca ini. Btw, kalo kirim cerpen ke Jurnas, via email mana ya, Pak? Pengen kirim2. Makasih banyak.

Kurnia Effendi 28 Maret jam 17:54
Wah mantap. Hanya KJ yang bisa membetot pembaca sejak awal hingga akhir, terseret arus, lalu terperangah. Panaaaas! Panaaas! ayo siap-siap buku baru

Iksaka Banu 28 Maret jam 20:09
Super mantap. Sdh cukup lama gak baca cerpen dgn gaya ungkap seperti ini. Mengalir. Pas. Tdk berbunga-bunga (padahal baru saja launching tukang bunga ya mas?)

Foeza Hutabarat 28 Maret jam 20:13
Facebook, ular betina dan singa jantan...haha...siapa yang kalah, tak soal...yg soal, boleh juga tuh HR buat ngajak kumur merasakan sensasi kopitam Oey...soal lagi, tokoh aku itu sudah di atas angin, karena suami perempuan itu tak bisa berkata-kata, hahaaa...

Ardi Nugroho 29 Maret jam 9:12
membaca cerpen Mas KJ serasa berekreasi ke ancol dan masuk ke dufan.. rileks dengan letupan yang nyaman mendul mendul..rasa yang sama pernah saya alami saat membaca OLENKA yang saya jadikan master piece dalam rasa baca saya.. -----sempat juga tersetrum mak nyus.. disini:

"Dia duduk seenaknya di samping saya menyetir. Dia menyilangkan kaki bahkan, mengangkat kakinya di dashboard seperti orang slebor sehingga roknya tersingkap. Dengan sendirinya, diterpa lampu-lampu jalanan, dengan sangat jelas saya bisa melihat celana dalamnya. Saya pikir, dia mabuk, kebanyakan alkohol. Tapi saya pura-pura tidak tahu. Perempuan memang sering tak terduga."

sungguh, aku terpana dengan cara Mas KJ memperlakukan imajinasi...

Senin, 16 November 2009

Sepatu Elvis

Cerpen: Kurniawan Junaedhie


Meski sudah beberapa kali ditawari membeli sepatu baru, Farhan tetap ogah dan bersikukuh bahwa dia tidak memerlukannya. Padahal, menurut istrinya, sepatu yang selama ini dia pakai, sudah tidak up to date lagi. Kulitnya saja sudah berkerut-kerut, seperti kulit nenek-nenek. Warna hitamnya pun sudah bulukan. Bahkan cenderung sudah berjamur. Tapi karena rajin dirawat dan disemir, kerut-kerut itu nyaris tidak tampak dan warnanya tetap kinclong. Saking setia pada sepatu itu, warga di kompleks perumahan di mana Farhan tinggal sangat familiar dengan sepatunya. Bahkan beberapa anak muda tetangga suka meledek bahwa saking kinclongnya, sepatunya bisa untuk bercermin. Mereka menjuluki sepatu Farhan sebagai Sepatu Elvis, sepatu yang dulu konon sering dipakai mendiang Elvis Presley. Haknya tinggi, dan ujungnya lancip.

Tapi baru-baru ini, sikap Farhan berubah drastis. Dia merasa bosan dengan sepatu Elvisnya. Dia ingin membeli, memiliki dan memakai sepatu baru. Alasannya, musim hujan akan segera tiba. Dia takut bila sepatu lama itu menginjak tanah, solnya copot tertinggal di tanah becek mengingat usianya yang sudah tua. Sudah banyak kejadian seperti itu yang dilihatnya, dan itu pasti akan membuat pemiliknya malu luar biasa. Untungnya sekarang membeli sepatu tidak harus di Pasar Baru. Di mana pun tersedia. Maka Farhan pun dengan cepat mendapat penggantinya.

Persoalannya, bagaimana nasib sepatu yang lama? Dia merasa sayang jika sepatu Elvis itu dibuang begitu saja. Dia tidak mau jika sepatu itu sampai ke tangan para pemulung karena para pemulung akan tega mencacah-cacahnya untuk bahan daur ulang.

“Lagipula, sudah banyak kenangan tersimpan dalam sepatu itu,” kata Farhan pada istri dan anak-anaknya. “Dia yang menemani kita ke mana pun kita pergi selama ini. Bahkan dia menemani kita ketika kita kawin dulu. Masak kau tak ingat? Butut-butut begitu, dia juga yang menemani langkahku sejak merintis karier sampai sekarang.”

Karena itu sepatu lama disepakati untuk disimpan saja sebagai kenang-kenangan. Apalagi istri Farhan pandai mendokumentasikan benda-benda bersejarah seperti itu. Mulai dari tiket pesawat, pulpen, batu batere, tas kresek sampai nota-nota pembelian sudah berhasil disimpannya. Barang-barang itu kini berdesak-desakan di kamarnya, sebagian di kamar anaknya dan sebagian di ruang tamu.

Dasar Farhan, meski sudah memiliki sepatu baru, ia masih saja suka kepingin melirik sepatu Elvis-nya. Mungkin, karena, seperti katanya kepada siapa pun, ia melihat sejarah hidupnya di sana. Bahkan karena itu, suatu hari, suami istri itu nyaris bertengkar hebat.

“Mana sepatu lamaku?” tanya Farhan.

“Ada di tumpukan,” jawab istrinya

“Tumpukan yang mana? Begitu banyak tumpulan di rumah ini. Yang mana?”

“Heran, sudah punya sepatu baru masih juga mencari sepatu lama,” gerutu istrinya.

“Sudahlah. Jangan cerewet. Tolong cari sepatuku. Hayo…”

“Kalau mencari barang jangan pake mulut dong,” kata istrinya kesal. Istrinya mulai mencari dan mengubek-ubek seluruh sudut rumah. Tapi karena banyak tumpukan benda-benda bersejarah di rumahnya, sepatu itu belum juga ketemu. Farhan sudah mulai tidak sabar. Rupanya dia sudah ngebet dan kangen melihat sepatu lamanya.

“Ayo cari, pokoknya cari sampai ketemu,” katanya meledak-ledak.

Istrinya stres dibuatnya. Terpaksa ia mengerahkan seluruh anggota rumah –termasuk si Mbak-- untuk mencarinya.

Penyisiran dilakukan di semua sudut rumah. Semua lemari digeledah Semua kardus yang dicurigai dibongkar. Meja kursi disingkirkan. Alhamdulillah, sepatu lama itu akhirnya ketemu juga. Di sebuah sudut yang tak terduga. Dekat WC.

“Keterlaluan. Sepatu bersejarah kok ditaruh sembarangan,” ujar Farhan mengumpat-umpat.

Karena kapok mengalami kejadian serupa, istrinya sekarang sengaja menaruh sepatu Elvis Farhan di ruang keluarga. Dengan demikian, bila Farhan kangen, sepatu itu dengan mudah ditemukannya. Tapi pada suatu hari, muncul kegemparan baru. Anak-anak Farhan yang biasanya nonton televisi di ruang itu, merasa terganggu oleh bau-bau yang tidak sedap.

“Baunya seperti terasi,” kata anak sulungnya.

“Terasi yang sudah busuk,” sambung anak keduanya.

“Jangan-jangan ada bangkai tikus.”

Akibat bau tak sedap itu darah tinggi Farhan ikut kumat. Dia meminta istrinya segera mengusut sumber bau-bauan itu.

“Ini tidak sehat. Setiap hari kita menghisap udara di ruang ini. Bisa-bisa kita kena radang paru,” katanya setengah berteriak.

“Heran ya, saya kok tidak membaui apa-apa,” kata istrinya sambil mendengus-dengus.

“Tentu saja, kamu kan setiap hari di rumah. Jadi hidungmu sudah terbiasa,” jawab Farhan.

Tapi meski sudah dicari, sumber bau rupanya tak mudah ditemukan. Maka seisi rumah pun uring-uringan. Anak-anak mulai tidak betah di rumah. Pulang sekolah mereka tidak langsung pulang ke rumah tetapi melancong dulu ke mal. Alasannya, tidak tahan dengan bau menyegat di ruang tamu. Untung, sumber bau segera ditemukan. Ia berada dalam sebuah kardus yang isinya tak lain tak bukan adalah sepatu lama Farhan.

“Heran, Ayah tidak hapal pada bau sepatunya sendiri,” gerutu anak-anaknya.

“Iya ya, bisa-bisanya aku tidak hapal bau sepatu sendiri,” komentar Farhan tersipu-sipu.

“Tentu saja, Ayahmu setiap hari memakainya. Jadi hidungnya sudah kebal,” istrinya menyindir.

Karena dianggap bau sepatu itu sudah mengusik keharmonisan rumahtangga, dan Farhan masih juga bersikukuh tidak akan membuangnya, kali ini disepakati sepatu Elvis diletakkan di ruang tamu saja. Paling tidak jauh dari ruang pertemuan keluarga.

“Bagaimana kalau tamu-tamu terusik oleh baunya?” tanya istrinya.

“Gampang. Nanti saya tarok di atas lemari pajang biar baunya tidak perlu mengusik orang yang berada di bawahnya,” kata si Mbak yang punya usul. Dan si Mbak juga meyakinkan bahwa selama itu dia akan rajin menyemprot air freshner. Benar saja. Bau sepatu mulai bisa diredam. Para tamu, terbukti tak ada yang sampai menutup hidung kecuali jika tamu itu berlama-lama.

Farhan senang. Dia masih bisa menjumpai sepatunya dengan mudah, meski Cuma memandang kardusnya saja dari bawah. Sedang istri dan si Mbak senang, karena mereka tidak perlu lagi direpotkan oleh hal-hal yang tidak perlu.

Tapi pada suatu hari terjadi sesuatu yang mengejutkan. Gara-gara seekor kucing yang memburu tikus, kardus sepatu Elvis tersenggol, terjatuh, dan –alamak-- menimpa seorang tamu yang ada di bawahnya. Farhan dan istri kaget bukan main. Karena merasa bersalah, Farhan dan istri terbungkuk-bungkuk minta maaf pada sang tamu. Farhan yang merasa malu, marah besar pada istri. Istri menimpakan kesalahan pada si Mbak yang menaruh kardus sepatu di atas lemari. Si Mbak tak mau disalahkan begitu saja. Dia menyalahkan kucing yang seenaknya melompat ke atas lemari pajangan.

Diam-diam istri dan si Mbak mulai tidak senang dengan sepatu itu. Juga anak-anak. Sepatu itu sudah terlalu menyusahkan mereka. Maka mereka mulai berkomplot, bagaimana caranya mengenyahkan sepatu itu tanpa harus diketahui Farhan.

“Kardusnya tetap kita pasang, tapi sepatunya kita buang,” usul anak-anaknya. Si Mbak ditugaskan membuang sepatu butut itu.

“Terserah buang ke mana. Ke laut kek atau ke sumur, sebodo. Pokoknya jangan ada di rumah ini. Bikin sial,” kata anak-anak itu meluap emosinya.

“Beres,” kata si Mbak.

Sejak itu, keluarga itu mulai menikmati kedamaiannya kembali. Masing-masing anggota keluarga bekerja kembali sesuai fitrahnya. Setiap hari Farhan berangkat dan pulang kantor seperti biasa. Istri Farhan mengurus rumahtangga. Anak-anak kuliah. Si Mbak bekerja di dapur. Hari-hari berjalan dengan nyaman. Sekarang tak ada lagi yang perlu mengendus-endus bau yang tak sedap. Tak ada lagi perasaan saling mencurigai, dan orang yang berbicara meledak-ledak di rumah. Farhan sendiri mulai merasakan kebahagian tersendiri. Bau tak sedap sudah tak ada lagi. Kardus sepatu juga masih di tempatnya. Kalau lagi kangen ia masih bisa mengerling kardus sepatu Elvis-nya.

Namun kedamaian itu rupanya tak berlangsung lama. Keluarga itu masih harus menerima ujian. Di suatu pagi, terjadi peristiwa yang mungkin tak akan bisa mereka lupakan seumur hidup. Keluarga itu belum menyadari apa-apa, ketika Si Mbak berteriak dengan panik pada suatu pagi.

“Banjir..banjir…!”

Si Mbak menggedor pintu majikannya. Betapa kaget Farhan, ketika dia bangun dan hendak mencari sendalnya, lantai kamarnya sudah digenangi air. Ia pun melompat dan bersijingkat keluar. Tahulah sekarang, air sudah menggenangi seluruh rumahnya hampir setinggi 5 centi. Rupanya banjir melanda di kompleks perumahannya akibat hujan turun semalaman. Bukan hanya rumah, tetapi air hujan itu juga menggenangi sebuah mushala, lapangan voli, dan sebuah taman kanak-kanak yang berada di kompleks. Dan yang bikin para ibu kesal, toko-toko penjual air mineral, gas elpiji dan beras juga tutup. Pemiliknya sibuk menyelamatkan harta bendanya dari amukan air. Akibatnya para bapak tidak bisa berangkat kerja, dan anak-anak bolos sekolah.

Seperti tetangga lain, tanpa pikir panjang Farhan menyuruh istri, anak dan si Mbak untuk menyelamatkan buku, majalah, koran, timbangan badan, dan aneka kardus ke atas meja atau lemari agar tidak basah atau terhanyut oleh genangan air.

Untunglah, musibah itu tak berlangsung lama. Sekitar jam 8, genangan air itu mulai menyusut. Jam 10, praktis genangan air sudah lenyap, berganti lumpur yang berserakan di seluruh kompleks.

Tapi sekitar pukul 11, mendadak ia mendengar suara gaduh di halaman rumah.

Ada segerombolan orang terdiri dari kaum bapak, kaum ibu dan pemuda yang mencoba menerobos masuk ke rumah Farhan tapi mereka sedang dihalang-halangi oleh Satpam kompleks.

Mereka menuding-nuding Farhan yang muncul di pintu, dengan penuh amarah.

“Apa salah saya?” tanya Farhan dengan bloon.

Salah seorang yang marah itu melempar sesuatu ke kaca rumah,

“Ini salahmu,” kata pemuda itu.

Kaca jendela nako hancur berkeping-keping.

Di antara kepingan itu, ternyata terdapat sepatunya yang sebelah kiri.

“Kenapa dengan sepatu saya?” tanya Farhan belum memahami keadaan sambil tergugu melihat sepatu Elvisnya dilempar orang dalam keadaan bonyok.

“Jangan belagak pilon !” teriak mereka.

Lagi-lagi, salah seorang di antara kerumunan yang marah itu melempar sesuatu ke arah jendela yang lain. “Gara-gara sepatu Elvis butut milik Bapak itulah, got jadi macet dan menimbulkan banjir.”

Kaca jendela utama pun pecah terbelah lalu berkeping-keping.

Dan di antara kepingan kaca itu, terdapat sepatunya yang sebelah kanan. Lengkap sudah penderitaan Farhan.***

Serpong, 7 September 2009


(Dimuat di Jurnas 18 Oktober 2009
http://jurnalnasional.com/?med=Koran%20Harian&sec=Cerpen&rbrk=&id=106670&postdate=2009-10-18&detail=Cerpen)