Tampilkan postingan dengan label Suara Pembaruan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Suara Pembaruan. Tampilkan semua postingan

Senin, 16 November 2009

Opera Sabun Colek

Cerita Pendek: Kurniawan Junaedhie


Seorang wanita muda menjadi korban mutilasi di Ragunan. Potongan tubuh korban ditemukan hanya 5 meter dari Jalan Raya Kebagusan, Jakarta Selatan. Potongan tubuh pertama yang berisi potongan tangan dan kaki terbungkus travel bag hitam ditemukan di samping SDN Ragunan 14 Pagi. Sementara itu, lokasi kedua, di kebun yang ada di seberang lokasi pertama ditemukan potongan kepala dan badan. Tidak ditemukan identitas apa pun di lokasi penemuan potongan tubuh kecuali celana jeans biru dan kaus merah. Menilik cara pembunuhan dan cara memotong mayat, si pembunuh bukan orang sembarangan. Kalau tidak memiliki IQ yang sangat tinggi, jelas dia adalah orang yang cerdik seperti kancil. Dan yang mengejutkan, berdasarkan hasil visum et repertum, korban diketahui tengah berbadan dua. Lalu yang membuat saya sempat tidak bisa tidur, korbannya adalah JK.

Juni Kurniawan, begitu nama panjangnya, adalah artis muda berbakat, yang banyak membintangi beberapa sinetron terkenal. Tahun lalu saja ia baru menggondol Panasonic Award berkat permainannya yang gemilang dalam sebuah sinetron. Lalu ia juga diketahui memenangi beberapa penghargaan artis yang disponsori para wartawan infotainment.

Tentu saja, berita itu sontak menjadi headline surat kabar dan tabloid di ibukota. Bahkan semua acara infotainment di televisi menayangkan kasus itu, sembari mengulang-ulang cuplikan adegan di mana JK berperan. Berhari-hari pula orang-orang membicarakan kasus pembunuhan yang tragis dan nekad itu. Semua orang rasanya menganggap pembunuhnya pengidap sakit jiwa, sadis, seorang psikopat, dan yang layak dihukum mati. Siapa pembunuh keji berdarah dingin itu? Siapa psikopat itu?

Dari bukti-bukti yang dianggap cukup (tapi sembrono), makdikipe , ternyata sayalah tersangkanya.

"Di mana Anda berkenalan dengan wanita itu? Di mana Anda pada saat itu? Sejauh mana hubungan Anda dengan korban? Bagaimana sesungguhnya kisah perselingkuhan itu terjadi? Di mana Anda berada saat itu?"

Polisi berpangkat kroco itu kembali mencereng menatap saya dari balik layar desktop dengan posisi siap mengetik jawaban saya. Sama sekali tidak ada ramah-ramahnya. Bahkan, untuk merokok pun saya dibentak.

Harus saya akui bahwa saya memang kenal dekat dengan JK. Orangnya supel, dan terus terang agak genit. Rambutnya panjang, hitam dan lebat. Tingginya sekitar 180 cm. Kulitnya putih. Wajahnya oval. Hidungnya bangir dan bibirnya sensual. Di kedua bagian itulah, kata sementara orang (menurut saya banyak orang), dia memasang susuk, sehingga membuat pria maupun wanita terkesima padanya. Tapi banyak juga yang bilang dia sedikit narsis terbukti dia juga suka memamerkan betisnya. Kakinya yang jenjang, apalagi kalau sudah mengenakan sepatu highheel dan rok yang cekak memang merupakan salah satu daya tariknya. Pendeknya, dengan satu kata: dia mempesona. Hanya orang gelo saja yang bilang dia tidak sensual.

Dia saya kenal dari teman saya. Dan kemudian saya juga sempat memperkenalkannya kepada teman-teman saya lainnya. Salah satunya pengusaha muda, bernama H yang sudah memiliki seorang istri dan tiga anak yang sudah dewasa. Dengar-dengar kemudian H memacari JK.

"Jadi statusmu apa?" tanya saya ketika itu.

"Ya, begitu itu," jawabnya.

"Begitu itu, apa?" saya masih belum ngeh.

"Anak angkatnya."

Dahi saya berlipat, tidak habis mengerti. Belakangan saya tahu makna semantik dari kata anak angkat itu. Kira-kira, ya, semacam simpananlah.

Sejak itu saya tidak berhubungan lagi dengan JK. Saya sibuk dengan bisnis saya, dia mungkin juga sibuk dengan keartisannya. Sekali tempo saat saya ada di ruang tunggu bandara, saya , masih suka melihat dia ada di tayangan infotainment. Selebihnya hubungan saya dengan dia paling banter sms-an. Itu pun bisa dihitung dengan jari. Misalnya, waktu dia dibelikan BlackBerry oleh H, dikirimi bunga, dan semacamnya.

Karena pada dasarnya saya bukan lelaki hidung belang, saya tidak perduli. Saya kembali memposisikan diri sebagai pengagumnya. Lalu setahun lalu saya dengar kabar mereka menikah di bawah tangan. Dan saya tidak diundang. Emang siapa dia? EGP.

Gedubrak. Polisi itu memukul meja menyentak lamunan saya. Polisi itu untuk kesekian kalinya menyodorkan sejumlah pertanyaan dongo.

Ketika mayat JK ditemukan, sesungguhnya saya tengah berada di Singapore untuk menghadiri sebuah seminar. Pagi itu saya berangkat dengan Garuda dan langsung dijemput taksi hotel diantar ke Parkroyal on Kitchener Road Hotel Singapore tempat saya menginap selama 3 malam. Malam itu juga saya makan di East Coast Seafood Center, bersama relasi bisnis saya. Dalam kesibukan seperti itu, jangankan anak istri, JK sudah pasti tidak pernah saya pikirkan. Emang siapa dia? Cuma malam itu (atau hari kedua atau hari terakhir di Singapura), saya bermimpi JK. Ada-ada saja. Dalam mimpi itu dia merayu saya, menggoda saya. Tapi karena dia bukan apa-apa saya, lagipula dia sudah jadi istri siri teman saya, mimpi itu tidak terlalu saya pikirkan. Cuma saya berpikir, ada apa gerangan? Kok aneh bener?

Baru tahu jawabnya sekarang. Selama hampir 24 jam saya dicecar oleh berbagai pertanyaan tolol, dengan enteng polisi menyimpulkan sudah ditemukan bukti cukup, bahwa motif saya menghabisi JK adalah untuk menutupi-nutupi perbuatan saya menghamili artis tersebut. Masya Allah. Sedih, haru, dan perasaan geli bercampur jadi satu. Perut saya sakit. Maag saya kumat. Dalam kondisi seperti itu asam lambung saya otomatis meningkat. Rasanya perut dikocok, dan saya mual luar biasa.

Beberapa kolega menasihati saya agar tabah. Beberapa sahabat perempuan menghubungi istri saya Rohani agar tidak mempercayai fitnah tersebut. Musuh-musuh saya bersorak karena mengira reputasi sudah hancur luluh lantak.

Rohani memeluk saya. "Ayah akan segera bebas, insya Allah. Karena ayah tidak bersalah," katanya optimistis.

"Apa ayah tidak bilang bahwa ayah sudah divasektomi sejak 10 tahun lalu?" tanya Hendro, anak saya yang jadi pengacara di Palu. Sebagai pengacara muda, ia rupanya sangat bersemangat mengikuti kasus yang dianggapnya famous murder case ini.

"Mungkin polisi itu bego, tidak tahu arti vasektomi," sambung Rohani cekikikan.

Vasektomi memang salah satu yang lain dari alibi saya bahwa saya tidak punya motif untuk menghabisi JK. Dasar bego. Apa mungkin seorang lelaki yang divasektomi bisa menghamili perempuan? Pengacara saya meminta dokter yang dulu mengoperasi saya dihadirkan sebagai saksi ahli. Dokter itu hadir, dan secara normatif menjelaskan apa arti vasektomi. Tapi meski bukti dan alibi sangat kuat, nyatanya di pengadilan posisi saya tetap semakin tersudut. Semua keterangan saksi yang dihadirkan jaksa penuntut ternyata memberatkan saya. Semua menuding saya sebagai pelakunya. Yang tidak bisa saya pahami adalah H pun ikut menuding saya sebagai pembunuh sadis. Sia-sia saya mengatakan bahwa dia adalah suami siri JK, sedikitnya orang terdekat dengan JK dan sebagainya dan sebagainya.

Persidangan saya mirip sebuah hajat besar. Halaman kantor pengadilan selalu dipenuhi oleh aksi-aksi demo. Spanduk-spanduk yang dicetak begitu rapi, di atas bahan vinyl dari hasil digital printing dibentangkan dan hampir semua berisi makian: "Hukum Mati Pembunuh", atau "No Way untuk Psikopat". Di antara spanduk-spanduk yang marah itu, ada pula poster-poster dan foto-foto JK dalam pose lumayan genit. Entah siapa yang kurang kerjaan, tega-teganya mengumpulkan para preman itu, membayarinya, dan, entah apa motifnya.

Dan seperti sudah diramalkan, jaksa -atas nama hukum dan keadilan-, menuntut saya dengan vonis 20 tahun penjara. Dan beberapa hari kemudian, -lagi-lagi atas nama hukum dan keadilan-saya diputus hukuman lebih berat lagi berupa hukuman mati.

Pengacara saya dan Rohani langsung naik banding. Teman-teman Hendro yang kebanyakan anggota LSM ikut memberi dukungan moril pada saya. Dengan bodoh mereka usul agar saya membawa kasus itu ke Komisi Hak Asasi Manusia, bahkan menyurat ke PBB. Saya Cuma manggut-manggut sekadar menyenangkan hati.

***

Tahu-tahu pada suatu pagi, tidur saya terusik oleh gemerincing bunyi kunci dan geresek pintu yang dibuka. Mata saya yang masih kriyep-kriyep melihat seorang polisi membuka pintu sel. Tanpa banyak kata, saya digelandang keluar dengan kepala masih kliyengan dan badan saya lungkrah bukan kepalang. Rupanya saya dibawa ke kantor. Di sana sudah menunggu kepala polisi yang dengan segera menyodorkan secarik surat, supaya saya tandatangani.

"Surat apa ini?"

Polisi itu tertawa, sebelum akhirnya mengatakan bahwa hari itu saya dibebaskan. Heran campur senang saya menatap wajah polisi itu. Giginya mrongos, maju. Bibirnya tebal hitam. Dia mengangguk, sambil meminta supaya saya segera meneken surat itu. Surat itu saya teken cepat-cepat. Saya ikut tertawa. Tidak ada alasan untuk tidak tertawa, pikir saya. Juga tidak alasan bagi saya untuk dihukum, apalagi dihukum mati.

Tanpa upacara pembebasan sedikit pun, selanjutnya saya digelandang ke dalam mobil. Mobil melejit cepat ke leuar halaman kantor polisi. Hari masih pagi. Sekitar pukul 10.00. Saya belum mandi. Belum makan apa pun. Tapi udara segar sudah cukup mengenyangkan hati dan jiwa saya yang sudah hampir empat bulan disekap di dalam sel.

Sudah saya bayangkan, bagaimana kagetnya Rohani melihat saya nanti tiba di rumah. Sudah saya bayangkan juga Hendro akan segera terbang dari Palu ke Jakarta untuk menyalami saya. Keluarga dan handaitaulan akan berkumpul merayakan kebebasan saya.

Mobil tiba-tiba berhenti di tepi sawah.

"Saya kebelet," kata sopir, yang juga polisi tiba-tiba memecahkan lamunan saya. Dia menoleh ke arah saya. "Pak, kalau mau kencing, silakan." Tak saya lihat dia mengerdipkan mata kepada kedua polisi yang mengapit saya di jok belakang. Tapi dua polisi yang mengawal saya di belakang itu, langsung menyorong badan saya agar segera turun.

Saya pun turun dari mobil. Lalu berjalan ke pematang. Maksudnya, untuk kencing di tempat tersembunyi. Tiba-tiba, dor, dor, dor! Hanya dengan tiga kali tiga tembakan mengenai punggung, dengan mudah saya tersungkur dan terpelanting di pematang. Setengah melayang, badan saya tumbang. Untuk beberapa detik, saya mencoba menggeliat, sekadar untuk memprotes, kenapa saya yang tidak punya salah apa-apa tiba-tiba ditembak. Bukankah katanya saya sudah dinyatakan bebas tanpa syarat? Atau kalaupun saya diberi waktu barang sebentar, saya paling juga hanya ingin titip salam untuk Rohani dan Hendro. Tapi tulang-tulang rasanya sudah terlalu lemah. Paru-paru saya sudah berhenti bekerja. Otak saya blank. Saya merasa komputer dalam diri saya mendadak turn off. Selesai.

Serentak dengan itu, seorang polisi bergegas mendekati saya. Dia mendekatkan kupingnya di mulut saya. Dia rupanya sedang mencoba mendengar dengkur napas saya. Polisi yang lain menarik tangan saya. Dia memeriksa denyut nadi saya. Setelah itu mereka saling bertatapan. Jiwa saya terbang dari pematang itu. Saya melihat polisi itu sedang gugup mengangkat tubuh saya yang lembek.

Esoknya, koran memberitakan saya tewas ditembak karena berusaha melarikan diri ketika mobil berhenti di pematang. Belakangan saya dengar kasus saya ditutup. Hanya Rohani dan Hendro yang menangis.***

Serpong, Mei 2009

Kamus:
1 Makdikipe = Umpatan dalam bahasa Betawi.
2 Kroco = pegawai rendahan
3 Mencereng = Menatap dengan tajam
4 Lungkrah= Lemas tak berdaya

(Dimuat Suara Pembaruan, 28 JUNI 2009 dengan judul Opera Sabun)

Sabtu, 04 Oktober 2008

Opera Asmara

Cerpen: Kurniawan Junaedhie


KETIKA mobil itu lewat, serentak Joko melompat ke tengah jalan. Seperti lagak bajingan dalam film melayu, ia langsung menyetopnya dengan melambai-lambaikan jaketnya. Terdengar seperti bunyi tikus tergencet, ketika rem mobil Honda Jazz Matic warna hitam yang masih mulus itu diinjak mendadak.

Joko nyengir ke arah saya, dan saya nyengir ke arahnya sebelum kami rame-rame menghampiri supirnya. Berdua kami mendekat ke arah jendela yang pintunya tetap tak dibuka.

“ Zus, boleh kami nebeng? “ tanya Joko ramah sambil menotok kaca. Dan seiring dengan itu tangan kami mencoba membuka paksa pintu yang ternyata tak dikunci. Berserabutan kami pun naik. Saya mengambil tempat duduk di jok depan, sedang Joko anak buah saya, duduk di jok belakang.

Sopirnya, seorang wanita berparas ayu, terlihat gugup dan ketakutan. Disemprot air freshner yang lembut, dalam keremangan malam, saya minta agar ia mengantar kami ke Jalan Diponegoro.

“ Tepatnya ke ICCU Rumah Sakit Cipto, Zus “ perintah saya agak gemetar. Mobil mulus itu menggronjal karena gas diinjak keras dan kasar.

“ Bersyukur Tuhan mengirim Zus pada saat yang tepat, “ kata Joko menyambung. “ Sedari tadi kami menunggu taksi, tapi tak satupun lewat. Padahal penyakit teman ayah saya ini dalam keadaan akut. Sungguh, kami tak mungkin melupakan budi baik Zus. Hanya Zuslah yang bisa menolongnya. “

Saya melirik kaca spion. Oleh terpaan lampu mobil dari arah depan, saya lihat Joko menyeringai. Terus terang ini memang gagasan Joko yang muncul saat kami minum-minum di bar Teduh-teduh Riang, bar dan diskotek khusus untuk anak-anak muda elit di Kemang.

Melalui sms mendadak seseorang minta dihubungi. Joko pun mengontak. Saya kaget setengah mati,karena Joko mengabarkan, Zus itu akan lewat di Jalan Panglima Polim beberapa jam lagi, dan saat itu juga kami harus bertindak. Kami sendiri yang bertindak, itulah yang tidak pernah saya pikirkan.

Dari bar, saya ngebut pulang sebentar. Pistol Babe yang seperti biasa digeletakkan sembarangan, saya masukkan di balik jaket. Lalu dengan bajay, saya balik lagi ke bar. Rupanya Joko sudah siap dengan sebilah pisau. Menumpang taksi, kami berhenti persis di depan tukang rokok di dekat pintu kereta api di dekat Stasiun Palmerah, disitulah akhirnya kami mencegat. Mobil si Zus ngebut ke arah Semanggi.

Dan tanpa bertele-tele mobil sudah berlari di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman. Jantung saya bergemuruh sungguh. Saat itulah terbayang wajah Ibu berduaan dengan Babe.

Sesungguhnya tak habis pikir, kenapa Ibu tetap setia kepada Babe? Karena Ibu sabar? Atau Ibu sabar karena sesungguhnya Ibu tidak tahu apa-apa tentang kelakuan Babe di luar rumah? Atau sebetulnya tahu, tapi pura-pura tidak tahu? Atau tahu, tapi malah tahu sama tahu? Atau sesungguhnya, hati Ibu dian-diam hancur di dalam? Dengan kata lain, apakah Ibu sesungguhnya tak berdaya?

Waktu pertama kali saya mendengar gossip ini, terus terang hati saya terbakar.

Yoseph, wartawan kriminal senior di sebuah majalah berita, nyaris saya gampar karena mencoba-coba menyangkut pautkan nama Babe dengan seorang peragawati tenar. Celakanya, Joko suatu kali memergoki sendiri Babe bergandengan tangan dengan seorang wanita muda yang memang dikenali sebagai peragawati tenar ibukota di lobi Hotel The Sultan.

Menurut taksiran Joko, wanita peragawati itu berumur 35 tahunan. Wajahnya cantik, dan memiliki rambut panjang terurai. Tingginya kira-kira 165 centimeter.

Mendengar itu, kontan wajah saya terbakar. Saya cengkeram kerah baju Joko dan saya angkat tinggi-tinggi badannya.

“ Kalo ngomong, jangan ngaco, Jok, “ ancam saya.

“ Demi Allah, Bob. “

“ Yang lu maksudkan, kan peragawati Dietje yang tewas terbunuh beberapa puluh tahun lalu? “ tanya saya kheki.

“ Sabar, Bob, sabar.” pinta Joko.

“ Jangan ngawur lu, Jok,”

“ Tapi kenyataannya begitu, Bob. “

Saya gampar rahang Joko.

Hanya Tuhan yang tahu, beberapa hari tambahan perihal hubungan Babe dengan peragawati tenar itu. Juga sebuah foto, bukan pasfoto peragawati, kekasih gelap Babe itu.

Mula-mula secara surprise, Joko mendapatkan nama seorang notaries di bilangan Jakarta Kota, berikut nomor telepon. Saya angkat telepon menanyakan, apakah Babe dan nama peragawati itu menjadi klien di sana? Sial. Mereka tak mau menjawab lewat telepon, karena itu, saya kirim Joko ke kantor notaris itu. Sepulang dari sana, Joko malah mendapat info baru. Yakni, nama sebuah PT yang menjadi agen tunggal sebuah merek kosmetik bertaraf internasional, berikut nama sebuah salon di kawasan Jakarta Barat. Tidak sulit bagi Joko, karena agen tunggal itu pasti tidak banyak. Tapi yang mengejutkan, info barupun menyusul masuk : Sebuah rumah mentereng, lengkap dengan antene parabola di kawasan Cinere, Jakarta Selatan. Meski mengalami kerepotan mencari satu rumah diantara sekian ratus rumah berentene parabola di kawasan elite itu, Joko toh berhasil menemukannya.

“ Gue lihat ada foto Babe dengan wanita itu, dipajang di ruang tamu,” lapor Joko membuat darah saya mendidih. “ Tapi nggak ada Babe, sudah gue cek ke Satpam dan RT. “

Mobil yang melonjak, menyadarkan saya lagi betapa darah saya makin mendidih. Saya mulai merogoh beceng di balik jaket. Ketika tangan saya menyentuh benda itu, saya menyeringai karena dingin. Rasanya dingin. Saya gelagapan. Wajah Ibu lenyap dari bayangan. Gantinya muncul wajah Titien, adik saya. Dia tahun mau masuk semester terakhir. Cita-citanya. Ingin melanjutkan S2. Belum mau nikah, tapi pacaran boleh, katanya . Selanjutnya, frame dalam otak saya, ganti menampilkan wajah Babe dengan senyum dan tatapan matanya yang khas: mata mencereng. Hm….wajah yang tak asing lagi.

Tanpa terasa dingin itu menyusup ke dalam ulu hati akibat tangan menempel di pelatuk beceng itu. Akibatnya, dingin itu berubah menjadi panas.

Joko menyeringai lagi, kali ini, kayak zombie.

Plaza Indonesia sudah dilewati. Mobil makin ngebut tak terkendali. Hampir mencapai Jembatan Dukuh Atas, saya tak mampu berpikir jernih lagi. Frame dalam otak saya tiba-tiba menampilkan adegan Babe tengah menggandeng peragawati itu memasuki sebuah motel. Selanjutnya, saya melihat jernih, Babe bergumul dengan peragawati itu di bathtup yang sudah didiram dengan foam bath, dilanjutkan di ranjang setelah sebelumnya berkumur dengan obat kumur yang merupakan fasilitas motel itu. Sialan.

Hati saya berdebar-debar, Dug…..dug…..dug….. persis suara musil pembukaan dalam film The Deer Hunter.

Demi Tuhan, saya sudah tidak mampu berpikir jernih lagi. Dengan gugup saya nyalakan korek api. Saat itulah, Joko merangsek. Si Zus dipeluk dari belakang, dengan belati Joko menempel di leher. Mobil oleng sebentar. Tapi satu tangan Joko sudah dengan gesit meraih kemudi. Takut si Zus berteriak, dari samping saya tempelkan beceng Babe. Kata saya dingin, seperti malam. “ Zus, sebaiknya Anda tenang. Kalau tidak, dor.” Tapi wanita itu rupanya mengira saya hanya menggertak. Terbukti ia makin menggeronjal-geronjal dalam pelukan Joko yang mulai kewalahan. Tak mau berlama-lama membiarkan Joko bergulat dengan resiko mobil berpapasan atau disalip patroli polisi, saya tarik saja pelatuk beceng Babe. Dua peluru berserabutan menembus di leher, dan satu di pelipis. Spektakuler!

Kepala si Zus terkulai. Darah muncrat dari kening dan leher membasahi blusnya.Berkelojotan sebentar, tubuh sintal itupun, terkapar di jok.

Saat itulah, saya sudah mengambil alih kemudi. Dan seperti skenario yang kami rancang, sesampai di pinggir Taman Ria Monas, mobil saya parkir dalam keadaan hidup. Lantas kami kabur, setelah sebelumnya memasukkan dulu kaset Hold Me Tight-nya Wind dan menyetelnya keras-keras:

“ Believe me one fine morning, I’ll be gone, nobody in the world will find me . “

Esok paginya, lewat telepon, Joko mengabarkan, bahwa berita tewasnya si Zus memenuhi halaman satu semua surat kabar Ibukota.

Saya kaget tapi pura-pura cuek saja. Tentu saja kaget, bahwa pada akhirnya kami bisa membuat sesuatu pekerjaan yang besar. Sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Sehingga yang sekarang saya akan lakukan hanya ingin melihat reaksi Babe. Apa follow up Babe? Adakah perubahan pada mimik Babe yang angkuh itu?

Atau, apakah Babe masih mampu mempertahankan aktingnya yang seolah-olah, dunia ini sehat-sehat saja?

Saya menunggu dengan cemas ketika Babe melangkah gagah menuju ke meja makan untuk sarapan pagi. Tak bisa saya pungkiri, sesungguhnya saya juga mencintai Babe.

Satu-satunya kenangan saya bersama Babe yang paling menyenangkan adalah ketika saya berumur 10 tahun. Kami masih tinggal di rumah kontrakan sederhana. Hampir setiap hari rasanya, saya dan Titien dekat dengan Babe. Hampir setiap hari, rasanya, kami bertiga duduk, di teras rumah yang temboknya sudah menguning karena jerajak lumut yang menempel, di bawah lambaian rimbun daun pohon angsana. Saat itu juga, sering-sering Ibu muncul, melemparkan senyum iri. Babe seperti biasa, tetap angkuh, agak canggung dengan tatapannya yang khas: mata mencereng. Haha……. Celana Babe pun model Baggy, cuma bahannya drill murahan. Maklum, waktu itu Babe masih keroco.

Teringat jelas, begitu pas-pasannya gaji Babe, Ibu lalu membuka warung di depan rumah, persis di teras itu. Gembira hati saya dan Titien, Ibu membuka warung karena dengan demikian kami lalu bisa mencuri permen-permen Ibu dari stopless. Dan kalau Ibu memergoki dan mengudak-udak kami, Babe datang bagai dewa penolong. Babe mengeluarkan Dukati-nya, dan membawa kami berdua keliling kota. Rasa-rasanya, saat itu hanya Babe lelaki paling budiman di dunia ini yang pernah saya kenal.

Babe mengambil tempat duduk kesayangannya di depan lonceng besar. Di sampingnya, Ibu sudah sejak tadi duduk menunggu, sedang asyik mengoles roti. Persis di seberang Babe duduk Titien, yang sedang asyik mengunyah-ngunyah rotinya. Masih dengan tenang, saya lihat, Babe meraih serbet dan menggelar di pangkuannya. Saat itulah, saya lihat mata Babe mencereng ke arah tumpukan koran di sampingnya. Dan tak lama kemudian, berdenting suara nyaring karena pisau dan garpu dibanting di atas piring. Ibu yang duduk di samping Babe , kaget. Babe tak jadi sarapan!

Ia meraih selembar koran dan lalu menghempaskannya tak lama kemudian. Bergegas-gegas ia mencomot tas echolacnya, dan berteriak memanggil sopir. Baru ketika mobil BMW 518-I siap di pintu, Babe menoleh ke arah Ibu berpamitan. Ibu mengangguk cepat, seakan bego. Lalu mata Ibu mengawasi judul berita koran itu. “Peragawati TK terbunuh misterius.” Titien, seperti biasa ingin tahu.

Kami sekeluarga panik. Apalagi malam itu ternyata Babe tidak pulang. Padahal di kantor tidak ada rapat. Sampai menjelang subuh, Babe masih juga belum pulang. Di antara kami, Ibu paling panik. Babe punya maag. Bagaimana ia makan? Apakah di rumah makan, Babe yang terkenal gengsian itu tidak malu memesan bubur ayam? Apakah Babe ingat , ia selalu harus menelan sejumlah pil agar kadar gulanya tidak meningkat? Tidak sari-sarinya Babe tidak menelpon Ibu mengabarkan ia tidak bisa pulang? Itulah pikiran yang merusuhkan pikiran Ibu.

Sopir Babe diinterogasi bolak-balik. Ibu menginterogasi sore hari, saya menginterogasi tengah malam, dan Titien menginterogasi menjelang subuh. Tapi jawaban pak Amat tetap kekeuh: Ia tidak tahu nasib Babe. Sebab seperti biasa, begitu diturunkan di pintu kantor, Babe menyuruh pak Amat kembali untuk mengantar Ibu belanja ke supermarket atau mengantar Titien kuliah. Selanjutnya kemana Babe pergi, ia tidak tahu.

Subuh,---- seiring kumandang adzan subuh ---, saya dikejutkan lengkingan Titien dari kamar Ibu. Hanya mengenakan celana kolor, saya melompat panik untuk melongok. Ibu ternyata tengah terbaring tak sadarkan diri. Kaki Ibu tengah diusap-usap minyak gosok oleh Titien yang terus menggerung-gerung menangis.

Demi Tuhan, sungguh, saya tiba-tiba merasa kesal bukan main.

Perut saya mendadak seperti diaduk-aduk. Saya merasa mual sangat.

Ibu ini ada-ada saja. Pakai semaput segala. Sesungguhnya tak habis pikir, kenapa Ibu tetap setia pada Babe? Karena Ibu sabar? Atau justru Ibu sabar karena sesungguhnya Ibu tidak tahu apa-apa tentang kelakuan Babe di luar rumah? Atau sebetulnya tahu, tapi pura-pura tidak tahu? Atau tahu, tapi masalah tahu sama tahu? Atau sesungguhnya, hati Ibu diam-diamhancur di dalam? Dengan kata lain, apakah Ibu sesungguhnya tidak berdaya?

Dinding kamar Ibu bergetar hebat ketika saya jotos bertubi-tubi.

Saya kesal bukan main. Titien berteriak-teriak (nangis lagi) menahan tangan saya yang sudah seperti kesurupan.

Joko saya telepon.

“Jemput gua, Jok, lantas antar gua ke Teduh Teduh Riang.” Suara saya serak seperti malam. Saat itulah saya seperti melihat Babe berangkulan mesra dengan peragawati yang saya bunuh itu.

(Nama, karakter dan tempat kejadian adalah fiktif semata)


Serpong 2008.

DIMUAT DI SUARA PEMBARUAN 3 MEI 2009
http://202.46.159.139/indeks/News/2009/05/03/index.html