Senin, 16 November 2009

Opera Sabun Colek

Cerita Pendek: Kurniawan Junaedhie


Seorang wanita muda menjadi korban mutilasi di Ragunan. Potongan tubuh korban ditemukan hanya 5 meter dari Jalan Raya Kebagusan, Jakarta Selatan. Potongan tubuh pertama yang berisi potongan tangan dan kaki terbungkus travel bag hitam ditemukan di samping SDN Ragunan 14 Pagi. Sementara itu, lokasi kedua, di kebun yang ada di seberang lokasi pertama ditemukan potongan kepala dan badan. Tidak ditemukan identitas apa pun di lokasi penemuan potongan tubuh kecuali celana jeans biru dan kaus merah. Menilik cara pembunuhan dan cara memotong mayat, si pembunuh bukan orang sembarangan. Kalau tidak memiliki IQ yang sangat tinggi, jelas dia adalah orang yang cerdik seperti kancil. Dan yang mengejutkan, berdasarkan hasil visum et repertum, korban diketahui tengah berbadan dua. Lalu yang membuat saya sempat tidak bisa tidur, korbannya adalah JK.

Juni Kurniawan, begitu nama panjangnya, adalah artis muda berbakat, yang banyak membintangi beberapa sinetron terkenal. Tahun lalu saja ia baru menggondol Panasonic Award berkat permainannya yang gemilang dalam sebuah sinetron. Lalu ia juga diketahui memenangi beberapa penghargaan artis yang disponsori para wartawan infotainment.

Tentu saja, berita itu sontak menjadi headline surat kabar dan tabloid di ibukota. Bahkan semua acara infotainment di televisi menayangkan kasus itu, sembari mengulang-ulang cuplikan adegan di mana JK berperan. Berhari-hari pula orang-orang membicarakan kasus pembunuhan yang tragis dan nekad itu. Semua orang rasanya menganggap pembunuhnya pengidap sakit jiwa, sadis, seorang psikopat, dan yang layak dihukum mati. Siapa pembunuh keji berdarah dingin itu? Siapa psikopat itu?

Dari bukti-bukti yang dianggap cukup (tapi sembrono), makdikipe , ternyata sayalah tersangkanya.

"Di mana Anda berkenalan dengan wanita itu? Di mana Anda pada saat itu? Sejauh mana hubungan Anda dengan korban? Bagaimana sesungguhnya kisah perselingkuhan itu terjadi? Di mana Anda berada saat itu?"

Polisi berpangkat kroco itu kembali mencereng menatap saya dari balik layar desktop dengan posisi siap mengetik jawaban saya. Sama sekali tidak ada ramah-ramahnya. Bahkan, untuk merokok pun saya dibentak.

Harus saya akui bahwa saya memang kenal dekat dengan JK. Orangnya supel, dan terus terang agak genit. Rambutnya panjang, hitam dan lebat. Tingginya sekitar 180 cm. Kulitnya putih. Wajahnya oval. Hidungnya bangir dan bibirnya sensual. Di kedua bagian itulah, kata sementara orang (menurut saya banyak orang), dia memasang susuk, sehingga membuat pria maupun wanita terkesima padanya. Tapi banyak juga yang bilang dia sedikit narsis terbukti dia juga suka memamerkan betisnya. Kakinya yang jenjang, apalagi kalau sudah mengenakan sepatu highheel dan rok yang cekak memang merupakan salah satu daya tariknya. Pendeknya, dengan satu kata: dia mempesona. Hanya orang gelo saja yang bilang dia tidak sensual.

Dia saya kenal dari teman saya. Dan kemudian saya juga sempat memperkenalkannya kepada teman-teman saya lainnya. Salah satunya pengusaha muda, bernama H yang sudah memiliki seorang istri dan tiga anak yang sudah dewasa. Dengar-dengar kemudian H memacari JK.

"Jadi statusmu apa?" tanya saya ketika itu.

"Ya, begitu itu," jawabnya.

"Begitu itu, apa?" saya masih belum ngeh.

"Anak angkatnya."

Dahi saya berlipat, tidak habis mengerti. Belakangan saya tahu makna semantik dari kata anak angkat itu. Kira-kira, ya, semacam simpananlah.

Sejak itu saya tidak berhubungan lagi dengan JK. Saya sibuk dengan bisnis saya, dia mungkin juga sibuk dengan keartisannya. Sekali tempo saat saya ada di ruang tunggu bandara, saya , masih suka melihat dia ada di tayangan infotainment. Selebihnya hubungan saya dengan dia paling banter sms-an. Itu pun bisa dihitung dengan jari. Misalnya, waktu dia dibelikan BlackBerry oleh H, dikirimi bunga, dan semacamnya.

Karena pada dasarnya saya bukan lelaki hidung belang, saya tidak perduli. Saya kembali memposisikan diri sebagai pengagumnya. Lalu setahun lalu saya dengar kabar mereka menikah di bawah tangan. Dan saya tidak diundang. Emang siapa dia? EGP.

Gedubrak. Polisi itu memukul meja menyentak lamunan saya. Polisi itu untuk kesekian kalinya menyodorkan sejumlah pertanyaan dongo.

Ketika mayat JK ditemukan, sesungguhnya saya tengah berada di Singapore untuk menghadiri sebuah seminar. Pagi itu saya berangkat dengan Garuda dan langsung dijemput taksi hotel diantar ke Parkroyal on Kitchener Road Hotel Singapore tempat saya menginap selama 3 malam. Malam itu juga saya makan di East Coast Seafood Center, bersama relasi bisnis saya. Dalam kesibukan seperti itu, jangankan anak istri, JK sudah pasti tidak pernah saya pikirkan. Emang siapa dia? Cuma malam itu (atau hari kedua atau hari terakhir di Singapura), saya bermimpi JK. Ada-ada saja. Dalam mimpi itu dia merayu saya, menggoda saya. Tapi karena dia bukan apa-apa saya, lagipula dia sudah jadi istri siri teman saya, mimpi itu tidak terlalu saya pikirkan. Cuma saya berpikir, ada apa gerangan? Kok aneh bener?

Baru tahu jawabnya sekarang. Selama hampir 24 jam saya dicecar oleh berbagai pertanyaan tolol, dengan enteng polisi menyimpulkan sudah ditemukan bukti cukup, bahwa motif saya menghabisi JK adalah untuk menutupi-nutupi perbuatan saya menghamili artis tersebut. Masya Allah. Sedih, haru, dan perasaan geli bercampur jadi satu. Perut saya sakit. Maag saya kumat. Dalam kondisi seperti itu asam lambung saya otomatis meningkat. Rasanya perut dikocok, dan saya mual luar biasa.

Beberapa kolega menasihati saya agar tabah. Beberapa sahabat perempuan menghubungi istri saya Rohani agar tidak mempercayai fitnah tersebut. Musuh-musuh saya bersorak karena mengira reputasi sudah hancur luluh lantak.

Rohani memeluk saya. "Ayah akan segera bebas, insya Allah. Karena ayah tidak bersalah," katanya optimistis.

"Apa ayah tidak bilang bahwa ayah sudah divasektomi sejak 10 tahun lalu?" tanya Hendro, anak saya yang jadi pengacara di Palu. Sebagai pengacara muda, ia rupanya sangat bersemangat mengikuti kasus yang dianggapnya famous murder case ini.

"Mungkin polisi itu bego, tidak tahu arti vasektomi," sambung Rohani cekikikan.

Vasektomi memang salah satu yang lain dari alibi saya bahwa saya tidak punya motif untuk menghabisi JK. Dasar bego. Apa mungkin seorang lelaki yang divasektomi bisa menghamili perempuan? Pengacara saya meminta dokter yang dulu mengoperasi saya dihadirkan sebagai saksi ahli. Dokter itu hadir, dan secara normatif menjelaskan apa arti vasektomi. Tapi meski bukti dan alibi sangat kuat, nyatanya di pengadilan posisi saya tetap semakin tersudut. Semua keterangan saksi yang dihadirkan jaksa penuntut ternyata memberatkan saya. Semua menuding saya sebagai pelakunya. Yang tidak bisa saya pahami adalah H pun ikut menuding saya sebagai pembunuh sadis. Sia-sia saya mengatakan bahwa dia adalah suami siri JK, sedikitnya orang terdekat dengan JK dan sebagainya dan sebagainya.

Persidangan saya mirip sebuah hajat besar. Halaman kantor pengadilan selalu dipenuhi oleh aksi-aksi demo. Spanduk-spanduk yang dicetak begitu rapi, di atas bahan vinyl dari hasil digital printing dibentangkan dan hampir semua berisi makian: "Hukum Mati Pembunuh", atau "No Way untuk Psikopat". Di antara spanduk-spanduk yang marah itu, ada pula poster-poster dan foto-foto JK dalam pose lumayan genit. Entah siapa yang kurang kerjaan, tega-teganya mengumpulkan para preman itu, membayarinya, dan, entah apa motifnya.

Dan seperti sudah diramalkan, jaksa -atas nama hukum dan keadilan-, menuntut saya dengan vonis 20 tahun penjara. Dan beberapa hari kemudian, -lagi-lagi atas nama hukum dan keadilan-saya diputus hukuman lebih berat lagi berupa hukuman mati.

Pengacara saya dan Rohani langsung naik banding. Teman-teman Hendro yang kebanyakan anggota LSM ikut memberi dukungan moril pada saya. Dengan bodoh mereka usul agar saya membawa kasus itu ke Komisi Hak Asasi Manusia, bahkan menyurat ke PBB. Saya Cuma manggut-manggut sekadar menyenangkan hati.

***

Tahu-tahu pada suatu pagi, tidur saya terusik oleh gemerincing bunyi kunci dan geresek pintu yang dibuka. Mata saya yang masih kriyep-kriyep melihat seorang polisi membuka pintu sel. Tanpa banyak kata, saya digelandang keluar dengan kepala masih kliyengan dan badan saya lungkrah bukan kepalang. Rupanya saya dibawa ke kantor. Di sana sudah menunggu kepala polisi yang dengan segera menyodorkan secarik surat, supaya saya tandatangani.

"Surat apa ini?"

Polisi itu tertawa, sebelum akhirnya mengatakan bahwa hari itu saya dibebaskan. Heran campur senang saya menatap wajah polisi itu. Giginya mrongos, maju. Bibirnya tebal hitam. Dia mengangguk, sambil meminta supaya saya segera meneken surat itu. Surat itu saya teken cepat-cepat. Saya ikut tertawa. Tidak ada alasan untuk tidak tertawa, pikir saya. Juga tidak alasan bagi saya untuk dihukum, apalagi dihukum mati.

Tanpa upacara pembebasan sedikit pun, selanjutnya saya digelandang ke dalam mobil. Mobil melejit cepat ke leuar halaman kantor polisi. Hari masih pagi. Sekitar pukul 10.00. Saya belum mandi. Belum makan apa pun. Tapi udara segar sudah cukup mengenyangkan hati dan jiwa saya yang sudah hampir empat bulan disekap di dalam sel.

Sudah saya bayangkan, bagaimana kagetnya Rohani melihat saya nanti tiba di rumah. Sudah saya bayangkan juga Hendro akan segera terbang dari Palu ke Jakarta untuk menyalami saya. Keluarga dan handaitaulan akan berkumpul merayakan kebebasan saya.

Mobil tiba-tiba berhenti di tepi sawah.

"Saya kebelet," kata sopir, yang juga polisi tiba-tiba memecahkan lamunan saya. Dia menoleh ke arah saya. "Pak, kalau mau kencing, silakan." Tak saya lihat dia mengerdipkan mata kepada kedua polisi yang mengapit saya di jok belakang. Tapi dua polisi yang mengawal saya di belakang itu, langsung menyorong badan saya agar segera turun.

Saya pun turun dari mobil. Lalu berjalan ke pematang. Maksudnya, untuk kencing di tempat tersembunyi. Tiba-tiba, dor, dor, dor! Hanya dengan tiga kali tiga tembakan mengenai punggung, dengan mudah saya tersungkur dan terpelanting di pematang. Setengah melayang, badan saya tumbang. Untuk beberapa detik, saya mencoba menggeliat, sekadar untuk memprotes, kenapa saya yang tidak punya salah apa-apa tiba-tiba ditembak. Bukankah katanya saya sudah dinyatakan bebas tanpa syarat? Atau kalaupun saya diberi waktu barang sebentar, saya paling juga hanya ingin titip salam untuk Rohani dan Hendro. Tapi tulang-tulang rasanya sudah terlalu lemah. Paru-paru saya sudah berhenti bekerja. Otak saya blank. Saya merasa komputer dalam diri saya mendadak turn off. Selesai.

Serentak dengan itu, seorang polisi bergegas mendekati saya. Dia mendekatkan kupingnya di mulut saya. Dia rupanya sedang mencoba mendengar dengkur napas saya. Polisi yang lain menarik tangan saya. Dia memeriksa denyut nadi saya. Setelah itu mereka saling bertatapan. Jiwa saya terbang dari pematang itu. Saya melihat polisi itu sedang gugup mengangkat tubuh saya yang lembek.

Esoknya, koran memberitakan saya tewas ditembak karena berusaha melarikan diri ketika mobil berhenti di pematang. Belakangan saya dengar kasus saya ditutup. Hanya Rohani dan Hendro yang menangis.***

Serpong, Mei 2009

Kamus:
1 Makdikipe = Umpatan dalam bahasa Betawi.
2 Kroco = pegawai rendahan
3 Mencereng = Menatap dengan tajam
4 Lungkrah= Lemas tak berdaya

(Dimuat Suara Pembaruan, 28 JUNI 2009 dengan judul Opera Sabun)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar