Sabtu, 04 Oktober 2008

Opera Asmara

Cerpen: Kurniawan Junaedhie


KETIKA mobil itu lewat, serentak Joko melompat ke tengah jalan. Seperti lagak bajingan dalam film melayu, ia langsung menyetopnya dengan melambai-lambaikan jaketnya. Terdengar seperti bunyi tikus tergencet, ketika rem mobil Honda Jazz Matic warna hitam yang masih mulus itu diinjak mendadak.

Joko nyengir ke arah saya, dan saya nyengir ke arahnya sebelum kami rame-rame menghampiri supirnya. Berdua kami mendekat ke arah jendela yang pintunya tetap tak dibuka.

“ Zus, boleh kami nebeng? “ tanya Joko ramah sambil menotok kaca. Dan seiring dengan itu tangan kami mencoba membuka paksa pintu yang ternyata tak dikunci. Berserabutan kami pun naik. Saya mengambil tempat duduk di jok depan, sedang Joko anak buah saya, duduk di jok belakang.

Sopirnya, seorang wanita berparas ayu, terlihat gugup dan ketakutan. Disemprot air freshner yang lembut, dalam keremangan malam, saya minta agar ia mengantar kami ke Jalan Diponegoro.

“ Tepatnya ke ICCU Rumah Sakit Cipto, Zus “ perintah saya agak gemetar. Mobil mulus itu menggronjal karena gas diinjak keras dan kasar.

“ Bersyukur Tuhan mengirim Zus pada saat yang tepat, “ kata Joko menyambung. “ Sedari tadi kami menunggu taksi, tapi tak satupun lewat. Padahal penyakit teman ayah saya ini dalam keadaan akut. Sungguh, kami tak mungkin melupakan budi baik Zus. Hanya Zuslah yang bisa menolongnya. “

Saya melirik kaca spion. Oleh terpaan lampu mobil dari arah depan, saya lihat Joko menyeringai. Terus terang ini memang gagasan Joko yang muncul saat kami minum-minum di bar Teduh-teduh Riang, bar dan diskotek khusus untuk anak-anak muda elit di Kemang.

Melalui sms mendadak seseorang minta dihubungi. Joko pun mengontak. Saya kaget setengah mati,karena Joko mengabarkan, Zus itu akan lewat di Jalan Panglima Polim beberapa jam lagi, dan saat itu juga kami harus bertindak. Kami sendiri yang bertindak, itulah yang tidak pernah saya pikirkan.

Dari bar, saya ngebut pulang sebentar. Pistol Babe yang seperti biasa digeletakkan sembarangan, saya masukkan di balik jaket. Lalu dengan bajay, saya balik lagi ke bar. Rupanya Joko sudah siap dengan sebilah pisau. Menumpang taksi, kami berhenti persis di depan tukang rokok di dekat pintu kereta api di dekat Stasiun Palmerah, disitulah akhirnya kami mencegat. Mobil si Zus ngebut ke arah Semanggi.

Dan tanpa bertele-tele mobil sudah berlari di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman. Jantung saya bergemuruh sungguh. Saat itulah terbayang wajah Ibu berduaan dengan Babe.

Sesungguhnya tak habis pikir, kenapa Ibu tetap setia kepada Babe? Karena Ibu sabar? Atau Ibu sabar karena sesungguhnya Ibu tidak tahu apa-apa tentang kelakuan Babe di luar rumah? Atau sebetulnya tahu, tapi pura-pura tidak tahu? Atau tahu, tapi malah tahu sama tahu? Atau sesungguhnya, hati Ibu dian-diam hancur di dalam? Dengan kata lain, apakah Ibu sesungguhnya tak berdaya?

Waktu pertama kali saya mendengar gossip ini, terus terang hati saya terbakar.

Yoseph, wartawan kriminal senior di sebuah majalah berita, nyaris saya gampar karena mencoba-coba menyangkut pautkan nama Babe dengan seorang peragawati tenar. Celakanya, Joko suatu kali memergoki sendiri Babe bergandengan tangan dengan seorang wanita muda yang memang dikenali sebagai peragawati tenar ibukota di lobi Hotel The Sultan.

Menurut taksiran Joko, wanita peragawati itu berumur 35 tahunan. Wajahnya cantik, dan memiliki rambut panjang terurai. Tingginya kira-kira 165 centimeter.

Mendengar itu, kontan wajah saya terbakar. Saya cengkeram kerah baju Joko dan saya angkat tinggi-tinggi badannya.

“ Kalo ngomong, jangan ngaco, Jok, “ ancam saya.

“ Demi Allah, Bob. “

“ Yang lu maksudkan, kan peragawati Dietje yang tewas terbunuh beberapa puluh tahun lalu? “ tanya saya kheki.

“ Sabar, Bob, sabar.” pinta Joko.

“ Jangan ngawur lu, Jok,”

“ Tapi kenyataannya begitu, Bob. “

Saya gampar rahang Joko.

Hanya Tuhan yang tahu, beberapa hari tambahan perihal hubungan Babe dengan peragawati tenar itu. Juga sebuah foto, bukan pasfoto peragawati, kekasih gelap Babe itu.

Mula-mula secara surprise, Joko mendapatkan nama seorang notaries di bilangan Jakarta Kota, berikut nomor telepon. Saya angkat telepon menanyakan, apakah Babe dan nama peragawati itu menjadi klien di sana? Sial. Mereka tak mau menjawab lewat telepon, karena itu, saya kirim Joko ke kantor notaris itu. Sepulang dari sana, Joko malah mendapat info baru. Yakni, nama sebuah PT yang menjadi agen tunggal sebuah merek kosmetik bertaraf internasional, berikut nama sebuah salon di kawasan Jakarta Barat. Tidak sulit bagi Joko, karena agen tunggal itu pasti tidak banyak. Tapi yang mengejutkan, info barupun menyusul masuk : Sebuah rumah mentereng, lengkap dengan antene parabola di kawasan Cinere, Jakarta Selatan. Meski mengalami kerepotan mencari satu rumah diantara sekian ratus rumah berentene parabola di kawasan elite itu, Joko toh berhasil menemukannya.

“ Gue lihat ada foto Babe dengan wanita itu, dipajang di ruang tamu,” lapor Joko membuat darah saya mendidih. “ Tapi nggak ada Babe, sudah gue cek ke Satpam dan RT. “

Mobil yang melonjak, menyadarkan saya lagi betapa darah saya makin mendidih. Saya mulai merogoh beceng di balik jaket. Ketika tangan saya menyentuh benda itu, saya menyeringai karena dingin. Rasanya dingin. Saya gelagapan. Wajah Ibu lenyap dari bayangan. Gantinya muncul wajah Titien, adik saya. Dia tahun mau masuk semester terakhir. Cita-citanya. Ingin melanjutkan S2. Belum mau nikah, tapi pacaran boleh, katanya . Selanjutnya, frame dalam otak saya, ganti menampilkan wajah Babe dengan senyum dan tatapan matanya yang khas: mata mencereng. Hm….wajah yang tak asing lagi.

Tanpa terasa dingin itu menyusup ke dalam ulu hati akibat tangan menempel di pelatuk beceng itu. Akibatnya, dingin itu berubah menjadi panas.

Joko menyeringai lagi, kali ini, kayak zombie.

Plaza Indonesia sudah dilewati. Mobil makin ngebut tak terkendali. Hampir mencapai Jembatan Dukuh Atas, saya tak mampu berpikir jernih lagi. Frame dalam otak saya tiba-tiba menampilkan adegan Babe tengah menggandeng peragawati itu memasuki sebuah motel. Selanjutnya, saya melihat jernih, Babe bergumul dengan peragawati itu di bathtup yang sudah didiram dengan foam bath, dilanjutkan di ranjang setelah sebelumnya berkumur dengan obat kumur yang merupakan fasilitas motel itu. Sialan.

Hati saya berdebar-debar, Dug…..dug…..dug….. persis suara musil pembukaan dalam film The Deer Hunter.

Demi Tuhan, saya sudah tidak mampu berpikir jernih lagi. Dengan gugup saya nyalakan korek api. Saat itulah, Joko merangsek. Si Zus dipeluk dari belakang, dengan belati Joko menempel di leher. Mobil oleng sebentar. Tapi satu tangan Joko sudah dengan gesit meraih kemudi. Takut si Zus berteriak, dari samping saya tempelkan beceng Babe. Kata saya dingin, seperti malam. “ Zus, sebaiknya Anda tenang. Kalau tidak, dor.” Tapi wanita itu rupanya mengira saya hanya menggertak. Terbukti ia makin menggeronjal-geronjal dalam pelukan Joko yang mulai kewalahan. Tak mau berlama-lama membiarkan Joko bergulat dengan resiko mobil berpapasan atau disalip patroli polisi, saya tarik saja pelatuk beceng Babe. Dua peluru berserabutan menembus di leher, dan satu di pelipis. Spektakuler!

Kepala si Zus terkulai. Darah muncrat dari kening dan leher membasahi blusnya.Berkelojotan sebentar, tubuh sintal itupun, terkapar di jok.

Saat itulah, saya sudah mengambil alih kemudi. Dan seperti skenario yang kami rancang, sesampai di pinggir Taman Ria Monas, mobil saya parkir dalam keadaan hidup. Lantas kami kabur, setelah sebelumnya memasukkan dulu kaset Hold Me Tight-nya Wind dan menyetelnya keras-keras:

“ Believe me one fine morning, I’ll be gone, nobody in the world will find me . “

Esok paginya, lewat telepon, Joko mengabarkan, bahwa berita tewasnya si Zus memenuhi halaman satu semua surat kabar Ibukota.

Saya kaget tapi pura-pura cuek saja. Tentu saja kaget, bahwa pada akhirnya kami bisa membuat sesuatu pekerjaan yang besar. Sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Sehingga yang sekarang saya akan lakukan hanya ingin melihat reaksi Babe. Apa follow up Babe? Adakah perubahan pada mimik Babe yang angkuh itu?

Atau, apakah Babe masih mampu mempertahankan aktingnya yang seolah-olah, dunia ini sehat-sehat saja?

Saya menunggu dengan cemas ketika Babe melangkah gagah menuju ke meja makan untuk sarapan pagi. Tak bisa saya pungkiri, sesungguhnya saya juga mencintai Babe.

Satu-satunya kenangan saya bersama Babe yang paling menyenangkan adalah ketika saya berumur 10 tahun. Kami masih tinggal di rumah kontrakan sederhana. Hampir setiap hari rasanya, saya dan Titien dekat dengan Babe. Hampir setiap hari, rasanya, kami bertiga duduk, di teras rumah yang temboknya sudah menguning karena jerajak lumut yang menempel, di bawah lambaian rimbun daun pohon angsana. Saat itu juga, sering-sering Ibu muncul, melemparkan senyum iri. Babe seperti biasa, tetap angkuh, agak canggung dengan tatapannya yang khas: mata mencereng. Haha……. Celana Babe pun model Baggy, cuma bahannya drill murahan. Maklum, waktu itu Babe masih keroco.

Teringat jelas, begitu pas-pasannya gaji Babe, Ibu lalu membuka warung di depan rumah, persis di teras itu. Gembira hati saya dan Titien, Ibu membuka warung karena dengan demikian kami lalu bisa mencuri permen-permen Ibu dari stopless. Dan kalau Ibu memergoki dan mengudak-udak kami, Babe datang bagai dewa penolong. Babe mengeluarkan Dukati-nya, dan membawa kami berdua keliling kota. Rasa-rasanya, saat itu hanya Babe lelaki paling budiman di dunia ini yang pernah saya kenal.

Babe mengambil tempat duduk kesayangannya di depan lonceng besar. Di sampingnya, Ibu sudah sejak tadi duduk menunggu, sedang asyik mengoles roti. Persis di seberang Babe duduk Titien, yang sedang asyik mengunyah-ngunyah rotinya. Masih dengan tenang, saya lihat, Babe meraih serbet dan menggelar di pangkuannya. Saat itulah, saya lihat mata Babe mencereng ke arah tumpukan koran di sampingnya. Dan tak lama kemudian, berdenting suara nyaring karena pisau dan garpu dibanting di atas piring. Ibu yang duduk di samping Babe , kaget. Babe tak jadi sarapan!

Ia meraih selembar koran dan lalu menghempaskannya tak lama kemudian. Bergegas-gegas ia mencomot tas echolacnya, dan berteriak memanggil sopir. Baru ketika mobil BMW 518-I siap di pintu, Babe menoleh ke arah Ibu berpamitan. Ibu mengangguk cepat, seakan bego. Lalu mata Ibu mengawasi judul berita koran itu. “Peragawati TK terbunuh misterius.” Titien, seperti biasa ingin tahu.

Kami sekeluarga panik. Apalagi malam itu ternyata Babe tidak pulang. Padahal di kantor tidak ada rapat. Sampai menjelang subuh, Babe masih juga belum pulang. Di antara kami, Ibu paling panik. Babe punya maag. Bagaimana ia makan? Apakah di rumah makan, Babe yang terkenal gengsian itu tidak malu memesan bubur ayam? Apakah Babe ingat , ia selalu harus menelan sejumlah pil agar kadar gulanya tidak meningkat? Tidak sari-sarinya Babe tidak menelpon Ibu mengabarkan ia tidak bisa pulang? Itulah pikiran yang merusuhkan pikiran Ibu.

Sopir Babe diinterogasi bolak-balik. Ibu menginterogasi sore hari, saya menginterogasi tengah malam, dan Titien menginterogasi menjelang subuh. Tapi jawaban pak Amat tetap kekeuh: Ia tidak tahu nasib Babe. Sebab seperti biasa, begitu diturunkan di pintu kantor, Babe menyuruh pak Amat kembali untuk mengantar Ibu belanja ke supermarket atau mengantar Titien kuliah. Selanjutnya kemana Babe pergi, ia tidak tahu.

Subuh,---- seiring kumandang adzan subuh ---, saya dikejutkan lengkingan Titien dari kamar Ibu. Hanya mengenakan celana kolor, saya melompat panik untuk melongok. Ibu ternyata tengah terbaring tak sadarkan diri. Kaki Ibu tengah diusap-usap minyak gosok oleh Titien yang terus menggerung-gerung menangis.

Demi Tuhan, sungguh, saya tiba-tiba merasa kesal bukan main.

Perut saya mendadak seperti diaduk-aduk. Saya merasa mual sangat.

Ibu ini ada-ada saja. Pakai semaput segala. Sesungguhnya tak habis pikir, kenapa Ibu tetap setia pada Babe? Karena Ibu sabar? Atau justru Ibu sabar karena sesungguhnya Ibu tidak tahu apa-apa tentang kelakuan Babe di luar rumah? Atau sebetulnya tahu, tapi pura-pura tidak tahu? Atau tahu, tapi masalah tahu sama tahu? Atau sesungguhnya, hati Ibu diam-diamhancur di dalam? Dengan kata lain, apakah Ibu sesungguhnya tidak berdaya?

Dinding kamar Ibu bergetar hebat ketika saya jotos bertubi-tubi.

Saya kesal bukan main. Titien berteriak-teriak (nangis lagi) menahan tangan saya yang sudah seperti kesurupan.

Joko saya telepon.

“Jemput gua, Jok, lantas antar gua ke Teduh Teduh Riang.” Suara saya serak seperti malam. Saat itulah saya seperti melihat Babe berangkulan mesra dengan peragawati yang saya bunuh itu.

(Nama, karakter dan tempat kejadian adalah fiktif semata)


Serpong 2008.

DIMUAT DI SUARA PEMBARUAN 3 MEI 2009
http://202.46.159.139/indeks/News/2009/05/03/index.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar