Senin, 16 November 2009

Tergantung Pada Ibu

Cerita pendek: Kurniawan Junaedhie

Seperti tahu bahwa hari-hari berikutnya aku akan disibukkan banyak urusan, ibu menghembuskan nafas penghabisan pas ketika aku selesai makan malam di kantin rumahsakit. Padahal aku merasa baru saja meninggalkannya. Selama ini dengan setia aku menunggu ibu di ruang ICU dan tak sempat makan. Dokter tak mengizinkan aku meninggalkannya. Bahkan adik-adikku tak mengizinkan. Kalau menghilang sebentar saja dari lorong ruang tunggu, mereka akan segera berteriak mencari dan memanggilku. Makanan dipasok. Minuman dipasok. Sebotol aqua. Tentu saja tidak kenyang dan tidak memuaskan.

Seperti tahu bahwa hari-hari berikutnya aku akan disibukkan banyak urusan, ibu menghembuskan nafas penghabisan pas ketika aku selesai makan malam di kantin rumahsakit. Menyadari bahwa ibu sudah tiada, sambil berlari ke ruang ICU, yang kurasakan hanyalah bahwa hatiku galau. Hidupku tiba-tiba kosong. Batinku nglangut. Meski aku tengah menyeruak lalulalang para pejalan di lorong yang ramai dengan orang, rasanya yang kudengar hanya suara degup jantung dan langkah kakiku saja. Aku mencoba mengusap air mata. Tapi tak ada airmata di situ. Aku memang tidak menangis sama sekali. Pun ketika aku harus mendatangani surat-surat dan melunasi beaya perawatan, agar jenazah ibu bisa kami ambil.

***

Sebetulnya aku sudah menangkap isyarat bahwa ibu tak lama lagi akan pergi. Persis sehari sebelum masuk ruang ICU itu, kondisi ibu sempat membaik. Ibu tiba-tiba mau makan. Juga makannya lahap sekali ketika kusuapi. Dia juga ngobrol santai dengan aku sambil nonton televisi yang ada di depan tempat tidurnya.

Sambil nonton dan kusuapi itu, dia bertanya, apakah aku jadi ke Negeri Belanda bersama Pak Jakob Oetama menghadiri kongres majalah dunia, aku hanya menggeleng tidak menjawab. Kupikir, dari diamku Ibu sudah tahu alasanku. Ibu juga bertanya bagaimana kabar anakku, kujawab, baik-baik saja. Lalu ibu mengatakan agar istriku di rumah saja karena harus menyusui, dan tak perlu ikut di rumahsakit. Ya, memang sudah lama ibu merindukan punya cucu dari aku. Aku baru dikaruniai anak sebulan lalu. “Aku kangen menimang anakmu. Ah, kalau aku tidak sempat menyelimuti anakmu, aku janji akan menyelimuti anakmu dari sana,” kata ibu sambil menunjuk langit-langit. Aku menghentikan suapan. Sendok yang kupegang untuk menyuapi terpaku di bibir ibu. Ibu memang mencoba melucu. Tapi aku merasa menangkap firasat.

Aku segera menghapus pikiranku dengan menanyakan bagaimana keadaannya, ibu menjawab, baik. Lalu ibu tertawa, dan bercerita bahwa semalam ia bermimpi nenek mendatanginya, dan mengajaknya pergi, tapi ibu menolak. Meski ibu bercerita sambil tertawa, aku merinding. Nenek sudah meninggal waktu aku berumur belasan tahun. Aku merasa mendapat firasat. Tapi karena aku tak mau tampak sedih di depan ibu, aku belai-belai rambut ibu sambil diam-diam menyusut airmataku dengan tisyu. Aku menangis.

Dan seiring langit menjadi gelap, benar saja, kondisi ibu tiba-tiba melemah secara drastis. Mata ibu sayu. Bibir ibu kelu. Ibu seperti ingin berbicara tapi tidak keluar, ibu seperti sedang berbicara tapi tak terdengar. “Ibu,” teriakku kelu, tapi dia diam saja. Aku lalu berteriak memanggil perawat. Perawat datang memeriksa lalu menghubungi dokter. Setelah itu, ibu dibawa brankar ke ruang ICU secara tergopoh. Dan ternyata sejak itu ibu tak pernah kembali ke kamar itu lagi. Ke rumahsakit itu. Bahkan tinggal di rumah kami lagi.

Di halaman rumah sakit, ketika hendak mengantar jenazah ibu ke rumah persemayaman, aku melihat langit yang gelap dan kelam. Tak ada awan tak ada burung. Pohon-pohon tidak bergoyang. Bahkan batang, ranting dan daun juga tak bergoyang. Apakah mereka ikut bersedih? Atau malah bersenang karena arwah ibu pulang ke rumah asalnya?

Aku sejenak tertegun di halaman parkir. Aku merasa bahwa dari balik awan-awan yang tak kelihatan karena gelap itu, arwah ibu pasti sedang memandangku dengan dikawal banyak malaikat berbaju putih. Jadi ke sanakah arwah ibu akan pergi? Ke sebuah tempat yang tak ada di peta? Hatiku terasa pepat. Aku merasa paru-paruku tinggal separo. Terasa sekarang langit begitu luas tak bertepi. Malangnya aku. Sekarang aku sudah tidak bisa tidur bersama ibu. Aku tidak bisa memandang mata Ibu, juga tidak bisa lagi menggaruk-garuk rambutnya untuk mencabut ubannya.

Tentu saja aku sangat kehilangan ibu. Sebagai anak laki-laki satunya di antara tiga bersaudara, aku merasa paling disayang ibu. Sampai aku duduk di sekolah lanjutan atas, ibu tak pernah membiarkanku pergi sendiri. Meski aku tak pernah meminta, ibu selalu menemaniku, mulai dari potong rambut, membeli sepatu sampai membeli baju dan celanaku. Padahal aku sudah bilang pada ibu, tak usahlah ibu menemaniku ke mana-mana. Aku sudah besar. Malu diolok teman-teman. Tapi ibu tak perduli. Dia sangat sayang padaku.

Karena itu selulus sekolah lanjutan atas, atas insiatipku sendiri, aku pergi ke Jakarta untuk melanjutkan kuliah. Maksudku, agar aku terbebas dari pengawasan ibu. Dengan demikian aku akan tumbuh jadi lelaku mandiri. Aku kuliah atas beaya sendiri dengan mengarang. Tentu saja, kurang. Sehingga aku menjadi kurus karena jarang makan. Uang yang kuperoleh dari karangan lebih kuutamakan untuk membayar kuliah agar aku diperkenankan ikut ujian. Meskipun begitu, terhadap surat-surat ibu yang terus berdatangan menanyakan kabarku, aku selalu menjawab, bahwa aku baik-baik saja tak kurang suatu apa.

Tahu-tahu pada suatu hari, aku terkejut bukan kepalang. Sepulang kuliah, aku mendapatkan ibu sudah berada di rumah kosku. Setelah tertegun sejenak melihatku, dia langsung menghambur dan menangis di dadaku. Dari situ, ibu baru tahu selama ini aku telah berbohong padanya dengan mengatakan aku tidak kurang suatu apa. Ibu tentu saja menangis karena alih-alih ingin membuat kejutan dengan mengunjungiku di rumah kos tanpa memberi kabar, tetapi malah mendapat kejutan tak terduga dariku.

“Kau benar-benar tak terurus. Badanmu kurus, rambutmu tak terurus,” kata ibu menyusupkan jari-jemarinya ke rambutku yang gondrong.

Kukatakan padanya, bahwa aku sudah dewasa, biarkan aku mengurus diri dengan caraku sendiri. Tapi ibu tak menggubris. Seperti ibu-ibu lain di dunia ini, ibu rupanya tetap menganggapku sebagai anak ingusan yang belum cukup berpengalaman mengarungi hidup.

Ada satu sifat ibu yang kurasa menurun padaku. Kalau sudah mau, kejarlah sampai dapat. Sifatnya keras seperti sebongkah batu. Sifat ini jauh berbeda dengan sifat ayah. Ayah lemah lembut, ibu tegas. Ayah guru, ibu bekas muridnya. Ibu datang dari keluarga kaya, ayah datang dari keluarga miskin. Menakjubkan bahwa dua sifat yang berbeda itu bisa bersatu dalam sebuah perkawinan, sampai memiliki tiga anak. Bukankah kata penyair: ‘anak tanda kita pernah bercinta’? Apakah ibu cocok dengan ayah? Memang ibu tak pernah mengatakan secara harafiah. Tapi dari caranya mengkritisi perilaku ayah, aku bisa mengambil kesimpulan seperti itu. Dengan kata lain, ibu menderita. Misalnya, ketika ayah kemudian tidak menjadi guru dan mencoba berdagang tapi gagal terus, ibu mengatakan, ayah memang tidak memiliki bakat untuk berdagang. Sebaliknya, menurut ibu, kalau pun ayah balik jadi guru, dia akan ketinggalan zaman dan tidak laku. “Ayahmu tidak punya sertifikat jadi guru. Ayahmu jadi guru karena pada zaman itu, tidak ada guru.”

Tapi aku tahu sesungguhnya ibu sangat mencintai dan respek pada ayah. Ibu selalu menyiapkan piring dan sendok makan istimewa untuk ayah. Kami, anak-anak dilarang menggunakan piring dan sendok itu. “Itu piring ayahmu,” begitu kata ibu kalau ada di antara kami mencoba memakainya. Tempat duduk ayah pun, selalu dipilihkan yang istimewa. Kami, anak-anak juga dilarang duduk di kursi itu. Kalau kami mencoba duduk di kursi itu, ibu segera menjewer kami. “Itu tempat duduk ayah. Kamu di sana,” kata ibu.

Belakangan aku tahu begitulah cara Ibu menghargai ayah. Ibu rupanya ingin kami selalu menempatkan ayah sebagai pemimpin keluarga. Kalau ayah sudah memutuskan sesuatu, ibu mengikut tanpa mau berdebat. Pendeknya, ayah selalu di depan. Dan itu dilakukan tanpa kata-kata yang verbal. Akibatnya, kami jadi segan pada ayah. Terhadap ibu, sebaliknya kami malah cenderung cuek, seenaknya. Bisa omong apa saja. Bisa membantah. Bisa berdebat. Aku kasihan pada ibu, karena beberapa tahun setelah itu, lelaki yang dia bela itu kemudian pergi entah kemana. Tapi sejauh itu, ibu juga tak pernah mencela ayah. Tak pernah.

Pada suatu hari, sepulang sekolah aku mendapati ibu menangis. Aku bertanya kenapa menangis, dan ibu tak menjawab. Aku baru diberitahu kemudian oleh Ning, adikku yang bungsu. Menurut Ning, ayah selingkuh. Jangan ngaco, aku setengah berteriak. Darimana kamu tahu? Darimana ibu tahu? Dan apakah Ayah benar-benar selingkuh? Jangan-jangan itu hanya gossip yang sengaja dihembuskan agar rumahtangga kami berantakan. Tidak masuk akal, ayah bisa selingkuh. Dia bukan orang kaya. Kami tidak termasuk keluarga kaya. Apa kehebatan ayah?

“Kalau abang tidak percaya, tanyalah sendiri pada ibu.”

Sampai ibu meninggal, aku tidak pernah berniat menanyakan hal itu pada ibu. Yang kutahu, ayah tidak pernah pulang ke rumah. Aku juga tidak pernah menanyakan pada ibu. Yang kutahu, ibu menderita. Dan aku diam saja. Aku dan ibu tahu sama tahu. Bagiku kehadiran ayah tidak penting. Aku tergantung pada ibu. Dan ketika ibu masuk rumahsakit, ketidakhadiran ayah juga sama sekali bukan hal ganjil bagiku. Tapi kedua adikku bertanya: kenapa abang tidak memberi tahu ayah? Pertanyaan itu sempat membuat aku menggigit bibir dan mengepalkan tinju. Bagiku, dia memang tidak ada gunanya untuk kita. Sudah lama kita hidup tanpa ayah. Dia pecundang, pikirku.

***

Aku tidak tidur semalaman menunggui jenazah ibu. Aku sengaja tidur di bawah petinya. Aku berharap dengan itu aku akan bertemu dengan arwah ibu. Aku mengatakan bahwa aku sangat kehilangan dan sebagainya. Tapi aku malah bermimpi yang tidak ada hubungannya dengan ibu. Mimpi pesiar ke Hong Kong. Mimpi bersetubuh dengan seseorang wanita tanpa kepala. Mimpi mendapat adik baru. Mimpi ditabrak mobil. Mimpi ketemu seekor naga. Mimpi pacaran di Puncak dengan seorang perempuan tak kukenal. Mencium istri orang. Mimpi kecemplung jurang. Ah, tak ada hubungannya sama sekali dengan ibu.

Besoknya aku mengiringkan jenazah ibu ke tempat pemakaman. Di pemakaman, tepat tengah hari ketika jenazah ibu siap dimasukkan ke liang lahat, tiba-tiba aku merasa melihat langit siang membelah menjadi dua. Kulihat ibu di sana, di antara awan-awan itu sedang tersenyum dan melambaikan tangan seakan memberi ucapan perpisahan. Ibu, aku berteriak. Dan tahu-tahu, katanya, aku pingsan. Ketika siuman, aku melihat sosok lelaki berdiri di depanku. Dia menatapku. Aku bangun, dan kujotos dia. Dia terjerembab, lalu kubekap dia, dan kami bergulingan sampai akhirnya kami terguling ke dalam liang lahat ibu.***


Bandung, 24 September 2009

(Dimuat dalam buku OPERA SABUN COLEK)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar