Selasa, 01 Desember 2009

Perempuan Beraroma Melati

Cerpen: Kurniawan Junaedhie

“Bapak akan membaui aroma bunga melati. Perempuan itu muncul pada sekitar jam 2 pagi dengan aroma bunga melati yang menusuk,” kata Hatta, teman di samping saya berbisik. Teman itu melanjutkan: “Perempuan itu muncul ketika suasana sudah senyap tak lama setelah satpam memukul kentongan dua kali. Parasnya cantik. Gaunnya panjang berwarna putih. Dia masuk dari kaca riben itu,” katanya.

Saya menatap kaca riben tempat wanita itu katanya bakal masuk. Kuduk saya meremang. Saat itu sekitar jam 10 malam lewat. Televisi dan lampu neon sudah dimatikan petugas. Cahaya hanya muncul samar-samar dari lampu teras yang menerobos masuk kaca riben jendela. Bau keringat basi bercampur bau obat menguar seluruh ruangan. Ruangan yang tadi siang berupa kantor, merangkap apotek dan poliklinik rumahsakit yang luasnya 5 x 6 meter itu penuh dengan orang yang mirip pengungsi. Saya kira ada puluhan. Mereka adalah keluarga pasien yang terpaksa menginap dan berbaring di sini, kerena mereka tinggal di luar kota, sementara mereka harus menunggui keluarganya dirawat seperti saya. Pihak manajemen rumahsakit melarang keluarga, ikut menginap di dalam kamar rawat. Hanya satu orang yang diizinkan, lainnya tidak boleh. Begitu aturannya. Ini malam pertama saya tidur di barak itu, sedang bagi Hatta merupakan malam ke-24.

Saya lihat orang-orang yang tidur di barak ini sungguh amburadul. Ada yang tidur menghadap utara, dan selatan, sementara lainnya menghadap ke timur dan ke barat. Ada juga yang hanya asal-asalan meletakkan kepala, pokoknya asal bisa terlentang dan bisa merebahkan badan.

Ah, kalau tahu bakal begini, mungkin saya juga tidak mau ikut mengantar anak berobat ke sini. Sesungguhnya, sebelum ke sini, Juwita anak saya sudah dirawat di rumahsakit kota saya. Awalnya merasa kepala pusing dan mual. Diduga tipus. Setelah bed rest di rumahsakit selama dua minggu, penyakit itu dinyatakan sembuh oleh dokter. Tapi, Juwita tetap merasa sakit kepala. Bahkan, sekarang sesak napas. Bagian jantungnya terasa penuh. Dokter mengusut riwayat penyakitnya. Ketahuan. anak saya lahir dengan kelainan jantung. Dokter yang curiga penyebab jantung terasa penuh adalah akibat kelainan jantung sejak kecil itu lalu merujuk Juwita ke rumahsakit ini. Saya menemani istri mengantar Juwita karena anak-anak lain tidak bisa meninggalkan kuliahnya. Begitu ceritanya.

Duk. Kepala saya tertendang kaki orang di atas saya.

“Tapi Bapak tidak usah takut. Perempuan itu tidak ngapa-ngapain, kok. Dia hanya akan menampakkan pada orang-orang yang keluarganya bakal meninggal,” suara Hatta berbisik di telinga.

“Semacam tanda?” tanya saya bergetar.

“Begitulah yang saya dengar dari para penghuni yang pulang.”

Tengkuk saya meremang lagi. Kalau ada selimut, saya mungkin akan menutupi wajah saya dengan selimut. Tapi tidak ada. Bahkan alas tidur pun saya tidak ada sementara teman-teman lain menggunakan tikar dan koran untuk alas tidur. Punggung saya sakit.

Duk. Kepala saya tertendang lagi. Sialan. Kali ini oleh kaki orang yang tidur di atas sebelah kiri saya. Di bawah, kaki saya juga berkali-kali tanpa sengaja menendang kepala seorang ibu. Untung ibu itu tidak marah. Dia hanya mengelus kelapanya. Mungkin maklum. Sementara di kiri kanan saya berjubelan orang tidur. Saya lihat ada kepala anak kecil yang nyelip di sela-sela paha seorang lelaki gendut yang sedang asyik mengorok. Suara dengkur bersahut-sahutan. Seperti sebuah orchestra suara kodok dan suara gergaji. Saya tak tahan. Sungguh seperti barak pengungsi yang saya selalu saya lihat di televisi. Padahal menurut Hatta, jumlah penghuni malam ini sudah berkurang banyak. Tadi siang, tercatat ada tiga penghuni yang pulang.

“Senang ya kalau bisa pulang?” kata saya.

“Asal Bpak tahu, mereka pulang karena dua kemungkinan: kerabat yang dirawat meninggal, atau kerabat yang dirawat sembuh,” katanya getir.

Saya tertegun.

“Begitulah romantika hidup, setiap hari ada yang datang dan ada yang pergi,” kata Hatta pahit. “Mereka yang pulang itulah yang malam harinya melihat perempuan itu,” kata Hatta, lagi-lagi menyebut-nyebut perempuan itu yang membuat bulu kuduk saya terus meremang.

Sayup-sayup terdengar bunyi lift-lift yang anjlog di gedung sebelah.

Saya menarik napas. Betapa pun saya sudah harus merasa beruntung bisa tidur di sini. Hatta-lah yang tadi siang menganjurkan agar saya tidur di ruang kantor merangkap apotek dan poliklinik yang kalau malam jadi barak itu. Seperti dikatakannya, ia terpaksa ada di situ karena anaknya yang berumur lima tahun mengalami koma setelah proses pembedahan. Dia tidak bisa pulang karena setiap hari dia harus menengok anaknya di ruang ICU. Sama seperti saya, waktu pertama datang ke rumahsakit, istrinya juga ikut. Tapi setelah 10 hari tidak ada perkembangan, istrinya pulang karena masih harus mengurus ketiga anaknya yang sehat di rumah. “Kalau bukan dokter saja, mungkin sudah saya labrak mereka. Saya selalu tidak berdaya dan lembek di depan mereka. Kita dipaksa menganggap mereka sebagai juru selamat.”

Dari tempias sorot lampu teras, saya lihat mata Hatta melihat langit-langit. Sementara itu, saya membayangkan, aroma bunga melati yang menusuk, perempuan berparas cantik, gaun panjang warna putih dan pukul 2 dinihari saat satpam membunyikan kentongan dua kali. Hm. Menyesal juga kenapa harus ikut tidur di barak. Ah, kalau bukan karena sayang anak…

“Mudah-mudahan malam ini kita berdua tidak perlu melihat perempuan itu,” katanya sambil masih menatap langit-langit yang remang-remang.

“Ya.” Saya menguap. Terdengar dia juga menguap.

“Bapak tidur saja. Saya juga sudah ngantuk.”

Rupanya saking lelahnya saya langsung tertidur pulas. Saya baru terbangun ketika mendengar teriakan petugas. “Ayo bangun, bangun, hari sudah siang. Kantor mau dirapikan. Sebentar lagi karyawan datang. Ayo.”

Para penghuni barak itu pun rame-rame bangun. Suara geresek kertas koran, sarung, dan tikar yang dikemasi terasa hiruk pikuk. Lalu, setelah itu, seperti ritual saja, semua beramai-ramai memburu kamar mandi dan WC umum yang tersedia di sejumlah blok rumahsakit agar kebagian. Hatta menggandeng tangan saya agar mengikut dia.

“Ayo cepat,. Cepat. Kalau tidak cepat tidak dapat,” katanya. Saya sempat melihat seorang ibu menarik-narik tangan anaknya yang sibuk menyeret-nyeret tikarnya.

Karena ikut Hatta, saya menemukan kamar mandi yang bebas dari antrean jauh dari situ, yaitu dekat kamar mati.

Sesudah badan segar, dan sarapan bubur ayam di pinggir jalan depan rumahsakit, kami berpisah. Hatta menuju ICU melihat kondisi anaknya, saya sendiri menengok Juwita di kamar inap. Ketika saya lewat, orang-orang yang tadi antre di kamar mandi dekat barak sudah lenyap. Tak ada lagi wajah-wajah yang tadi saya lihat tidur di barak. “Kalau tidak sedang menunggui di kamar inap atau di ICU, mereka memanfaatkan waktu ke Dufan atau melancong ke Pasar Tanah Abang membeli tekstil. Mumpung di Jakarta,” kata pemilik warung dekat halaman parkir tempat saya ngopi untuk merintang waktu. Barak pun sudah lenyap, menjelma menjadi ruang kantor yang bersih, wangi dan ber-AC.

***

Seperti kemarin, setelah Isya, malam itu satu demi satu orang mulai berduyun-duyun masuk menyesaki ruang kantor yang sudah kembali jadi barak.

“Tadi siang tiga penghuni pulang lagi, “ kata Hatta sambil membaca koran. “Mudah-mudahan tidak ada di antara kita berdua yang nanti malam melihat sosok wanita bergaun putih yang beraroma melati itu.”

Hatta melipat koran dan merebahkan badan.

Bulu kuduk saya berdiri.

Tak lama kemudian, seperti kemarin, persis pukul 9, AC dimatikan petugas. Sejam kemudian, pesawat televisi giliran dimatikan. Selanjutnya, lampu neon dimatikan. Ruang seketika menjadi gelap. Semua kegiatan berhenti. Tinggal lampu teras. Suasana yang tadi riuh mendadak senyap. Penghuni mulai merebahkan diri di lantai siap memicingkan mata. Suasana pengap. Seiring dengan itu bau keringat basi bercampur obat pun mulai menguar lagi. Tiba-tiba terdengar ada bunyi SMS. Karena bunyinya sama, hampir semua yang mendengar meraba handphonenya. Tapi belum sempat melihat handphone, seorang bapak bersama anak lelakinya, yang tidur persis di bawah pesawat televisi, sontak berdiri. Keduanya keluar. Agaknya ada panggilan penting. Benar saja. Tak lama kemudian bapak itu muncul lagi tapi kali hanya untuk mengambil ransel. Matanya lebam. “Istri saya meninggal,” katanya lirih mohon pamit.

Terdengar gemuruh orang mengucap Innalillahi….

“Berarti, sudah lima orang pulang hari ini,” kata Hatta. “Di sini, kita sedang menunggu giliran, dengan hanya dua kemungkinan,” lanjutnya.

Saya memiringkan kepala, menghindari tubrukan dari kepala teman sebelah kiri sekaligus menghindari Hatta yang saya lihat tengah melamun.

“Sejak siang tadi saya juga terima SMS dari istri,” terdengar lirih suara Hatta dari kegelapan.

“Istri sakit. Anak-anak juga sakit. Uang sekolah belum dibayarkan. Bank dan rentenir menagih. Saya diminta pulang. Tak tahan dia menghadapi debt collector. Padahal sudah dua mobil dan sebidang tanah kami melayang untuk kesembuhan putrid saya.” Suaranya parau. “Asal Bapak tahu, ini malam ke-25 saya ada di sini. Saya sudah tidak betah. Tak berkesudahan. Tak tahu sampai kapan.”

Saya berbalik menoleh. Saya lihat ada air menggenang di matanya.

“Hidup jalan terus. Kalau semua tumbang, bagaimana? Masih ada tiga anak yang harus kami hidupi,” katanya menarawang dalam gelap. “Mudah-mudahan malam ini tidak ada yang melihat perempuan itu,” katanya.

Saya menguap. Terdengar dia juga menguap.

“Mas tidur saja. Saya juga sudah ngantuk.”

Seperti kemarin, saya baru terbangun oleh teriakan petugas. “Ayo bangun, bangun, hari sudah siang. Kantor mau dirapikan. Sebentar lagi karyawan datang. Ayo.” Kami pun rame-rame bangun. Suara geresek kertas koran, sarung, dan tikar yang dilipat, terasa hiruk pikuk. Lalu, setelah itu, ritual pagi dimulai, semua beramai-ramai memburu kamar mandi dan WC umum.

Di depan kamar mandi dekat kamar mati itu dia menatap saya.

“Saya telah melihat perempuan itu. Saya membaui aroma bunga melati yang menusuk,” katanya lunglai. ***

Serpong November 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar