Sabtu, 09 Oktober 2010

Rahasia Keluarga

Cerpen: Kurniawan Junaedhie

Tidak habis pikir, ayah mertua yang sudah berumur 80 tahun ingin menikah lagi. Hare gene? Kabar itu saya peroleh dari istri. Istri memperoleh info itu dari adik iparnya, istri adik lelakinya. Adik ipar mendapat berita itu dari perawat yang merawat ayah. Saya minta istri menginterogasi perawat yang sengaja kami gaji untuk mengurus ayah.

“Dari mana kamu tahu?” tanya istri saya pada perawat itu.

“Tuan besar yang bilang sendiri.”

“Mungkin bercanda saja.”

“Enggak, kok Bu. Beliau serius. Saya hapal, mana yang becanda mana yang serius.”

“Kok bisa?”

“Ya bisa saja, Bu.”

“Bukan. Maksudku, kenapa dia bilang sama kamu, tidak pada saya.”

“Enggak tahu Bu.”

“Awas kalau kamu bohong. Hidup sudah susah. Jangan mengada-ada.”

***

Saya pernah membaca buku karangan Gabriel Garcia Marques yang menggambarkan bagaimana sepasang suami istri di hari tuanya menghadapi berbagai macam masalah gejala ketuaan. Akibat prostat, sang suami tidak bisa mengemudikan alat kencingnya tepat ke dalam pot sehingga nyiprat ke mana-mana menimbulkan bau pesing. Dan itu menyebabkan keluhan sang istri setiap hari. Sang istri lalu mengajari suami untuk kencing duduk seperti yang biasa dilakukan kaum perempuan.

Saya tidak menyamakan ayah dengan tokoh suami dalam cerita Marques. Tapi kisah itu bisa dijadikan perbandingan. Ayah mertua sudah lama menduda sejak ibu mertua meninggal hampir 25 tahun lalu. Waktu itu, usianya 55 tahun. Sebuah usia emas, kata kebanyakan pujangga. Kata-kata itu tampaknya memang tidak berlebihan. Pada saat itu semangat ayah masih berkobar-kobar. Setelah pensiun setahun berikutnya, ia langsung menerima pekerjaan sebagai komisaris di beberapa PT, meskipun kerjanya hanya duduk dan memimpin rapat. Kadang-kadang cita-citanya juga masih seperti cita-cita anak muda. Misalnya saja, ia masih kepingin membangun pabrik peniti, membuka ranch untuk peternakan kuda, keliling dunia dan sebagainya.

Ketika itu sudah banyak handai taulan yang menyarankan pada kami sebagai anak menantunya agar mendesak ayah segera menikah lagi. Biar ada yang merawat dan membantunya mengingat dua anaknya sudah berkeluarga. Tapi saran yang jenius itu tak kesampaian. Semua tidak berani maju mengatakan sendiri pada ayah. Ayah sendiri sejauh itu, tak menunjukkan minat untuk menikah lagi. Dan yang pasti dalam usia seperti itu, dia terus sibuk dan bergerak terus.

Gara-gara itu, dia selalu menjadi ikon dalam keluarga kami. Kalau kami --saya sebagai menantu, dan adik istri saya yang lelaki-- kelihatan letoy sedikit saja, nama ayah disebut sebagai suri tauladan.

He is my hero.”

“Masak kalah sama Ayah?”

“Bravo Ayah!”

“Viva Ayah!”

Tidak ada yang mengalahkan ayah. Saya sudah harus mengurangi gula. Adik lelaki istri yang lebih muda, sudah kena kolesterol. Makannya dijaga, tidak boleh sembarangan makan yang mengandung lemak. Sementara ayah, hebat, bebas pantang.

Tapi tentu saja ayah, seperti orang lain, juga harus menyerah pada faktor usia. Setelah sempat lima tahun mengemudikan beberapa perusahaan sebagai komisaris, ayah mulai merasa lebih baik lebih banyak di rumah. Awalnya saya mengira, ayah akan segera mengalami post power syndrome, ternyata dugaan saya keliru. Dia tetap gembira, terus sibuk dan bergerak terus. Dua minggu sekali, dia bikin arisan bersama teman-temannya di kafe-kafe favoritnya. Minum kopi. Minum wine. Dan bersama teman-temannya itu ayah juga masih sempat ikut tur ke Cina, Israel, dan Afrika. Sebagai anak-menantunya, kami bukannya tidak pernah membujuk agar rumah besarnya dijual saja dan uangnya dimasukkan sebagai deposito, lalu ayah ikut salah seorang di antara kami. Tinggal di rumah sambil momong cucu, siapa tahu tidak hanya bisa memperpanjang umur tapi juga membuat hidupnya lebih berkualitas. Tapi lagi-lagi ayah menolak.

“Sudahlah, kalian tidak usah cerewet. Ayah tahu apa yang harus ayah lakukan.”

Nah, sekarang terbetik berita ayah mertua berniat menikah lagi. Jelas ini bukan main-main, kalau kata-kata sang perawat benar. Hanya, hare gene?

Benar saja, berita ayah mertua yang berumur 80 tahun mau menikah lagi itu menyebar. Waktu belanja kebutuhan rumahtangga bulanan di supermarket, saya dan istri ketemu tetangga yang menanyakan kabar itu. Gile.

“Darimana Bapak tahu mertua saya mau nikah lagi?” tanya saya sedikit malu.

“Saya dengar dari istri saya.”

Istri saya melabrak istri tetangga.

“Darimana Ibu tahu Ayah saya mau nikah lagi?”

“Dari perawat.”

Tengkuk saya berdiri mendengar cerita istri.

“Kurang ajar. Siapa sih nama perawat itu?” kata saya.

“Namanya Ningsih.”

“Oke, kamu tanya Ningsih.”

Istri terus mengusut. Perawat Ningsih diinterogasi lagi.

“Kamu jangan kayak ember dong. Masak berita seperti itu sampai ke telinga orang lain?” kata istri saya marah-marah di telepon.

“Saya tidak bohong. Masak orang seperti saya berani bohong?”

“Saya kan juga sudah bilang sama Ibu tapi Ibu tidak percaya.”

“Nyatanya?”

“Nyatanya pigimana, Bu? Nyatanya Tuan Besar bilang sama saya, dia mau menikah lagi.”

“Saya sebagai anaknya saja enggak tahu, kok kamu sok tau.”

“Sumpah. Kalau Ibu tidak percaya, silakan tanya sendiri pada Tuan Besar.”

“Pokoknya saya tidak mau kalau kamu jadi ember.”

Saya langsung menyarankan pada istri supaya sebaiknya dia menanyakan langsung pada ayah. Jangan percaya pada mulut orang. Tapi istri tidak mau. Dia malah ganti menyarankan ke adik iparnya. Eh adik iparnya juga tidak mau. Kikuk katanya, karena dia hanya seorang menantu. Dengan alasan itu maka sekarang dia ganti mem-forward perintah saya ke perawatnya lagi.

“Dodol,” kata saya marah. “Kalau kalian tidak berani, saya yang maju bertanya. Ini soal serius. Kita perlu bertanya, biar segalanya jelas, Kalau memang iya, maka kita tinggal pikirkan bagaimana caranya. Kalau tidak juga jadi jelas. Supaya tidak menjadi bahan fitnah. Emang siapa ayah? Jenderal bukan, pejabat bukan.”

Suatu kali saya ketiban tugas harus menjemput dia di bandara karena Pak Ujang, kepala rumah tangga sekaligus sopir pribadinya sakit. Merasa dalam satu mobil, dan kebetulan bertemu muka, maka saya tidak mau melewatkan kesempatan untuk bertanya, apakah dia tidak kerepotan mengurus rumah, mengingat banyak tugas dan pekerjaannya?

“Ah, enggak apa-apa. Di setiap kantor, ayah kan punya satu sekretaris. Mereka selalu yang urus. Sudah cukuplah.”

“Tapi bagaimana kalau ada genteng bocor, bayar rekening listrik atau mengurus makan?”

“Kan ada Pak Ujang.”

“Mudah-mudahan sih tidak, tapi bagaimana kalau suatu hari Ayah sakit, siapa yang merawat?”

“Kan ada perawat.”

“Saya dengar dari Uni, bahwa…”

“Sudahlah, kalian tidak usah cerewet. Ayah tahu apa yang harus ayah lakukan.”

Saya diam membisu. Lidah saya seperti digunting.

Sampai di rumah, dengan wajah ditekuk saya melapor pada istri hasil pembicaraan yang menemui jalan buntu itu. Istri terpingkal-pingkal. “Mau aksi bau terasi,” katanya. Tapi lagi-lagi seperti kemarin-kemarin, saya tetap merasa perlu agar istri sebaiknya menanyakan langsung pada ayahnya. Jangan mudah percaya pada gosip, apalagi dari mulut perawat. Tapi istri –juga seperti kemarin-kemarin-- tidak mau. Dia malah ganti menyarankan ke adik iparnya. Eh adik iparnya juga –seperti kemarin-kemarin-- tidak mau. Kikuk katanya, karena dia hanya seorang menantu. Dengan alasan itu maka sekarang dia ganti mem-forward perintah saya ke perawat-nya lagi.

“Asem,” kata saya marah. “Kalau kalian tidak berani, bagaimana dong. Ini soal serius. Bukan main-main. Kita perlu bertanya, biar segalanya jelas, Kalau memang iya, maka kita tinggal pikirkan bagaimana caranya. Kalau tidak juga jadi jelas. Supaya tidak menjadi bahan fitnah.” Tapi itulah soalnya: saya sendiri tidak berani bertanya sendiri.

Akhirnya kami sepakat untuk tidak membicarakan hal itu lagi. Kami hanya sepakat menjaga agar berita itu –kalau pun benar—tidak menyebar ke mana-mana. Kami juga hanya sepakat untuk diam-diam mengawasi perilaku ayah. Tapi tak lama kemudian, kami ditelepon ayah. Dia memberitahu bahwa dia akan segera menikah.

Dia juga memberitahu bahwa calon istrinya adalah seorang janda, berusia 37 tahun, bukan Ningsih.

Setahun kemudian, lahirlah adik kami.

Ketika adik kami berusia dua tahun, ayah mertua meninggal dunia. Lahir, jodoh dan mati bukan milik manusia. Ningsih bukan ember.***

Gading Serpong, 2010

(Dimuat di Majalah Femina No. 39, 9 Oktober 2010)
.
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar