Minggu, 11 September 2011

SANG PENGELANA

SANG PENGELANA
Cerpen: Kurniawan Junaedhie

Tak ada yang terus
bisa berlangsung. Tak ada kepastian yang bertahan
Kita telah kehilangan kepercayan kepada keabadian
Semua hanya sementara: cinta kita, kesetiaan kita.
Kita hidup di tengah kesementaraan segala.

Saya menjatuhkan talak tiga pada istri. Istri pasrah, tenang dan tidak mengajukan banding. Dia malah menyalami saya sembari mengucapkan, Alhamdulillah. Dari kantor pengadilan, saya mengantar istri ke rumah orangtuanya. Saya menyalami ayah dan ibunya, minta maaf sekaligus pamitan. Di pintu, ketika saya mau pulang, perempuan yang sekarang jadi bekas istri saya itu berlari menyusul, sekadar untuk mencium tangan saya. Dia minta maaf jika ada kesalahan. Saya jawab, sebaliknya saya juga minta maaf. Dia menangis. Tapi hati saya tenang. Kami bercerai, tanpa beban. Lebih dari itu, Tuhan Maha Besar, kami tidak dikaruniai anak sehingga perceraian tidak membawa beban. Saya pun teringat sajak Sapardi Djoko Damono: anak tanda kita pernah bercinta. Dan, kami ternyata tidak pernah sungguh-sungguh bercinta.

Sekarang saya berada di dalam mobil. Saya akan pergi sejauh-jauh mobil saya menggelindingkan rodanya. Wah saya benar-benar menikmati kemerdekaan hidup tanpa keterikatan. Tak ada lagi seorang perempuan yang saya panggil istri yang saya harus pamiti jika saya pergi. Saya juga tidak perlu diganggu dering telepon atau bunyi nada panggil SMS di perjalanan, yang hanya mengajukan pertanyaan: kamu sudah sampai di mana, sedang apa, atau bagaimana.

“Apakah kamu tidak percaya padaku dengan sibuk bertanya-tanya?” tanya saya sangat marah suatu kali.

Istri tidak menyahut, tapi masuk ke kamar ibu saya dan menangis. Ibu keluar kamar menjelaskan, begitulah cara perempuan memberi perhatian pada suaminya. Tapi bagi saya, perempuan memang aneh. Bukankah sudah sangat jelas, bahwa perhatian yang diberikannya itu tidak sepatutnya sehingga saya merasa terganggu?

Saya masuk tol. Karena jalan tol sepi, saya geber gas sekenanya. Mobil melaju kencang dalam kecepatan 100 kilometer per jam. Keasyikan pelan-pelan mulai merasuki jiwa ragaku. Sambil menginjak gas, saya melihat angka di speedometer merangkak naik. 110, 120 dan 140 kilometer. Satu demi satu mobil, truk, truk gandeng, bis, dan sepeda motor saya lampaui. Duh saya benar-benar menikmati kemerdekaan hidup tanpa keterikatan. Saya sekarang hanya membayangkan, akan menghadapi hari-hari yang akan datang tanpa pertengkaran dan hidup damai tanpa seorang perempuan yang saya sebut istri dalam sebuah rumah. Ini bukan perkara gampang. Yang saya punya dari 10 tahun perkawinan, hanyalah kenangan. Kenangan adalah satu-satunya anugerah dari Tuhan yang tidak bisa direnggut meskipun oleh maut, begitu kata Kahlil Gibran. Tapi saya masih bisa berbuat apa saja terhadap kenangan: melupakannya sama sekali, atau mengingatnya berulang-ulang. Dan itu soal gampang.

Sambil menginjak gas, saya melihat angka di speedometer terus merangkak naik. 110, 120, 140 dan 160 kilometer. Gas saya geber. Mobil mulai oleng tertiup angin. Saya mencoba kuasai keadaan. Dalam keadaan itu, saya masih berpikir waras. Saya pegang kemudi erat-erat. Dugaan saya, mobil yang oleng itu, terjadi karena angin kencang menerpa keempat ban mobil saya. Seperti orang yang berjalan dengan kaki yang terpiyuh-piyuh oleh angin, otomatis jalannya pun pincang. Begitu pula dengan mobil saya.

“Kamu akan mati konyol,” tiba-tiba ada suara. Saya kaget. Mata saya terbeliak.

“Mati?”

Saya melirik kaca spion. Tak ada siapa-siapa di samping atau di jok belakang. Di kaca belakang, hanya tampak beberapa truk yang terseok-seok saya salip. Saya kurangi gas, dan mencoba mengamati suara itu lebih dekat. Suara itu mendesing.
“Saya boleh mati, tapi tidak sekarang,” teriakku. “Umurku baru 50 tahun. Selama ini aku sehat walafiat. Hasil check up terakhir menunjukkan aku baik-baik saja. Tidak ada satu pun penyakit mendekam dalam tubuh saya. Tidak ada alasan bagi Yang Maha Kuasa mencabut nyawaku.”

Aku melirik spion. Kubuka kaca jendela.

“Aku mau menikmati hidup!” teriakku kencang-kencang pada angin yang bersirobok masuk ke kabin mobil.

Mobil makin oleng. Mungkin saja, penyebabnya, angin yang terkejut oleh teriakanku kemudian menambah oleng mobilku. Tapi bisa jadi juga karena pikiran saya yang mulai limbung. Saya melihat angka di speedometer terus merangkak naik. 110, 120, 140, 160 dan 200 kilometer. Betapa pun saya tak boleh kalah dengan keadaan ini, kata saya. Ini baru di darat. Bagaimana kalau saya jadi pilot, yang mengendarai kendaraan di langit? Bagaimana kalau di laut? Di tengah samudera maha luas tak bertepi? Apakah saya harus menyerah dengan keadaan? Benar, di mobil ini saya seorang diri, tak perlu menyelamatkan jiwa-jiwa lain, tapi paling tidak, saya juga harus mampu menyelamatkan diri sendiri, begitu pikir saya.

Mobil mulai berjalan sempoyongan seperti orang mabuk. Karena saya tidak mau berhenti di pinggir jalan, saya arahkan moncong mobil masuk ke rest area. Di rest area, aku masuk ke WC. Buang air kecil. Seorang pengemis menadahkan tangan. Aku rogoh kantong dan setelah memberinya limaratus perak aku cepat berlalu. Aku masuk ke Mac Donald. Aku pilih duduk di pojok, tempat paling sepi, yang tak bertanda dilarang merokok. Orang zaman sekarang rupanya lebih suka duduk di tempat yang berpendingin dan bebas asap rokok. Aku keluarkan I-pad. Aku mencari game. Iseng. Aku ambil rokok. Pelayan menghampiri. Aku pesan Capucino. Tak ada game yang menarik. Semua bosan. Aku mencoba buka Facebook. Ah bosan juga. Banyak orang memposting sampah, yang tidak perlu saya komentari sama sekali. Saya buka Twitter. Saya isi status iseng, mengutip kata preambule konstitusi negara: “Kemerdekaan adalah hak segala bangsa…..” Capucino datang. Sekelompok orang yang duduk di tempat berpendingin terdengar bersorak-sorak. Sebagian lain bertepuk tangan menonton siaran ulangan pertandingan tinju di televisi. Tampak Mike Tyson menjotos muka lawannya, sampai bonyok. Di sudut lain, sejumlah pengunjung sedang menonton infotainment yang memberitakan perancang busana terkenal ibukota yang diam-diam sudah menikah dengan bekas seorang menteri tapi diduga hanya ingin menguras hartanya.

Aku mengambil rokok. Ketika rokok kupasang di mulut, tiba-tiba ada geretan menyala persis di ujung rokokku. Seorang menyulurkan geretan itu. Aku berhenti. Menoleh ke arah pemilik geretan. Seorang lelaki tua duduk di samping saya.

“Apa yang kamu cari?” kata orang tua itu.

Aku terbatuk. Apa urusannya dia bertanya itu kepadaku? Dan, he, suara itu, sangat mirip dengan suara yang bertanya di antara kelebatan angin ketika aku menginjak gas di jalan tol? Saya tatap mata orangtua itu. “Siapa kamu?” tanya saya.

Asap rokok melayang, ditiup angin. Tapi mulut terasa garing. Orangtua itu menatapku lalu tiba-tiba sosoknya mengabut seperti asap, dan berpusing-pusing dalam asap rokokku. Kulihat, tempat duduk di sebelahku kosong. Sayup-sayup masih kudengar kata-kata itu.

“Kamu akan mati konyol.”

Wah, mati konyol seorang diri di dunia?

Aku teriak panggil pelayan, minta disediakan asbak. Begitu asbak datang, rokok kumatikan di situ. Aku tiba-tiba bergidik. Aku melihat tubuhku terkapar di jalanan. Orang-orang merubung. Beberapa yang sok pinter, mencoba mencari dompetku untuk mencari kartu identitasku. Mereka segera menemukan alamatku dan melapor ke polisi. Polisi lalu menghubungi alamat itu. Ternyata alamatku palsu.

“Mohon maaf, kami tidak mengenal bapak ini,” kata pak RT. “Coba cari SIM atau STNK mobilnya,” kata yang lain. “Hubungi alamat yang tertera di situ.”

Polisi langsung menghubungi alamat itu.

“Aduh, kami tidak mengenal orang ini.”

“Kalau begitu, kuburkan saja di makam umum untuk orang yang tak dikenal,” kata yang lain.

Begitulah, hari itu juga saya dimakamkan di TPU khusus untuk orang yang tak dikenal. Mobil saya diderek ke kantor polisi. SIM, STNK dan kunci mobil disita. Tapi mobil saya dibiarkan di parkir di halaman. Beberapa orang kulihat mencoba untuk membeli mobil itu, karena diduga harganya pasti murah. Tapi polisi tidak ada yang bisa memutuskan. Menjual mobil bekas tak bertuan tak menarik. Risikonya lebih tinggi, dibanding memperoleh uang dengan bermain mata. Akhirnya mobil itu tetap berada di halaman parkir, diguyur hujan. Dan berkarat.

Beberapa hari kemudian, seorang perempuan bercadar datang ke kantor polisi. Ia mengaku sebagai bekas istri saya dan menunjukkan bukti surat cerai. Kapolsek bingung. Mau diapakan surat cerai itu? Untuk apa?

“Saya hanya mau memastikan, benarkah mobil itu miliknya dan apakah juga benar dia yang telah dimakamkan di pemakaman umum itu…,” kata perempuan itu.

Karena terlalu banyak peristiwa terjadi, Kapolsek sudah tak ingat. Tapi saya masih ingat. Dari kantor pengadilan, saya mengantar dia ke rumah orangtuanya. Saya menyalami ayah dan ibunya, minta maaf sekaligus pamitan. Di pintu, ketika saya mau pulang, dia berlari menyusul saya, sekadar untuk mencium tangan saya. Dia minta maaf jika ada kesalahan. Saya jawab, sebaliknya saya juga minta maaf. Dia menangis.

Sekarang saya menangis, di alam baka. Menikmati kemerdekaan.***

Serpong, 1 April 2011


Kurniawan Junaedhie, tinggal di Serpong, Tangerang,. Banten. Menulis di media massa. Buku puisinya, al: Perempuan Dalam Secangkir Kopi (2010), 100 Haiku Untuk Sri Ratu (2010) dan Sepasang Bibir di dalam Cangkir (2011). Buku kumpulan cerpennya: Tukang Bunga & Burung Gagak (2010, bersama Kurnia Effendi, Ana Mustamin dan Agnes Majestika).

dimuat di jurnal nasional minggu 11 september 2011

.

.