Tampilkan postingan dengan label Opera Sabun Colek. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opera Sabun Colek. Tampilkan semua postingan

Senin, 16 November 2009

Tergantung Pada Ibu

Cerita pendek: Kurniawan Junaedhie

Seperti tahu bahwa hari-hari berikutnya aku akan disibukkan banyak urusan, ibu menghembuskan nafas penghabisan pas ketika aku selesai makan malam di kantin rumahsakit. Padahal aku merasa baru saja meninggalkannya. Selama ini dengan setia aku menunggu ibu di ruang ICU dan tak sempat makan. Dokter tak mengizinkan aku meninggalkannya. Bahkan adik-adikku tak mengizinkan. Kalau menghilang sebentar saja dari lorong ruang tunggu, mereka akan segera berteriak mencari dan memanggilku. Makanan dipasok. Minuman dipasok. Sebotol aqua. Tentu saja tidak kenyang dan tidak memuaskan.

Seperti tahu bahwa hari-hari berikutnya aku akan disibukkan banyak urusan, ibu menghembuskan nafas penghabisan pas ketika aku selesai makan malam di kantin rumahsakit. Menyadari bahwa ibu sudah tiada, sambil berlari ke ruang ICU, yang kurasakan hanyalah bahwa hatiku galau. Hidupku tiba-tiba kosong. Batinku nglangut. Meski aku tengah menyeruak lalulalang para pejalan di lorong yang ramai dengan orang, rasanya yang kudengar hanya suara degup jantung dan langkah kakiku saja. Aku mencoba mengusap air mata. Tapi tak ada airmata di situ. Aku memang tidak menangis sama sekali. Pun ketika aku harus mendatangani surat-surat dan melunasi beaya perawatan, agar jenazah ibu bisa kami ambil.

***

Sebetulnya aku sudah menangkap isyarat bahwa ibu tak lama lagi akan pergi. Persis sehari sebelum masuk ruang ICU itu, kondisi ibu sempat membaik. Ibu tiba-tiba mau makan. Juga makannya lahap sekali ketika kusuapi. Dia juga ngobrol santai dengan aku sambil nonton televisi yang ada di depan tempat tidurnya.

Sambil nonton dan kusuapi itu, dia bertanya, apakah aku jadi ke Negeri Belanda bersama Pak Jakob Oetama menghadiri kongres majalah dunia, aku hanya menggeleng tidak menjawab. Kupikir, dari diamku Ibu sudah tahu alasanku. Ibu juga bertanya bagaimana kabar anakku, kujawab, baik-baik saja. Lalu ibu mengatakan agar istriku di rumah saja karena harus menyusui, dan tak perlu ikut di rumahsakit. Ya, memang sudah lama ibu merindukan punya cucu dari aku. Aku baru dikaruniai anak sebulan lalu. “Aku kangen menimang anakmu. Ah, kalau aku tidak sempat menyelimuti anakmu, aku janji akan menyelimuti anakmu dari sana,” kata ibu sambil menunjuk langit-langit. Aku menghentikan suapan. Sendok yang kupegang untuk menyuapi terpaku di bibir ibu. Ibu memang mencoba melucu. Tapi aku merasa menangkap firasat.

Aku segera menghapus pikiranku dengan menanyakan bagaimana keadaannya, ibu menjawab, baik. Lalu ibu tertawa, dan bercerita bahwa semalam ia bermimpi nenek mendatanginya, dan mengajaknya pergi, tapi ibu menolak. Meski ibu bercerita sambil tertawa, aku merinding. Nenek sudah meninggal waktu aku berumur belasan tahun. Aku merasa mendapat firasat. Tapi karena aku tak mau tampak sedih di depan ibu, aku belai-belai rambut ibu sambil diam-diam menyusut airmataku dengan tisyu. Aku menangis.

Dan seiring langit menjadi gelap, benar saja, kondisi ibu tiba-tiba melemah secara drastis. Mata ibu sayu. Bibir ibu kelu. Ibu seperti ingin berbicara tapi tidak keluar, ibu seperti sedang berbicara tapi tak terdengar. “Ibu,” teriakku kelu, tapi dia diam saja. Aku lalu berteriak memanggil perawat. Perawat datang memeriksa lalu menghubungi dokter. Setelah itu, ibu dibawa brankar ke ruang ICU secara tergopoh. Dan ternyata sejak itu ibu tak pernah kembali ke kamar itu lagi. Ke rumahsakit itu. Bahkan tinggal di rumah kami lagi.

Di halaman rumah sakit, ketika hendak mengantar jenazah ibu ke rumah persemayaman, aku melihat langit yang gelap dan kelam. Tak ada awan tak ada burung. Pohon-pohon tidak bergoyang. Bahkan batang, ranting dan daun juga tak bergoyang. Apakah mereka ikut bersedih? Atau malah bersenang karena arwah ibu pulang ke rumah asalnya?

Aku sejenak tertegun di halaman parkir. Aku merasa bahwa dari balik awan-awan yang tak kelihatan karena gelap itu, arwah ibu pasti sedang memandangku dengan dikawal banyak malaikat berbaju putih. Jadi ke sanakah arwah ibu akan pergi? Ke sebuah tempat yang tak ada di peta? Hatiku terasa pepat. Aku merasa paru-paruku tinggal separo. Terasa sekarang langit begitu luas tak bertepi. Malangnya aku. Sekarang aku sudah tidak bisa tidur bersama ibu. Aku tidak bisa memandang mata Ibu, juga tidak bisa lagi menggaruk-garuk rambutnya untuk mencabut ubannya.

Tentu saja aku sangat kehilangan ibu. Sebagai anak laki-laki satunya di antara tiga bersaudara, aku merasa paling disayang ibu. Sampai aku duduk di sekolah lanjutan atas, ibu tak pernah membiarkanku pergi sendiri. Meski aku tak pernah meminta, ibu selalu menemaniku, mulai dari potong rambut, membeli sepatu sampai membeli baju dan celanaku. Padahal aku sudah bilang pada ibu, tak usahlah ibu menemaniku ke mana-mana. Aku sudah besar. Malu diolok teman-teman. Tapi ibu tak perduli. Dia sangat sayang padaku.

Karena itu selulus sekolah lanjutan atas, atas insiatipku sendiri, aku pergi ke Jakarta untuk melanjutkan kuliah. Maksudku, agar aku terbebas dari pengawasan ibu. Dengan demikian aku akan tumbuh jadi lelaku mandiri. Aku kuliah atas beaya sendiri dengan mengarang. Tentu saja, kurang. Sehingga aku menjadi kurus karena jarang makan. Uang yang kuperoleh dari karangan lebih kuutamakan untuk membayar kuliah agar aku diperkenankan ikut ujian. Meskipun begitu, terhadap surat-surat ibu yang terus berdatangan menanyakan kabarku, aku selalu menjawab, bahwa aku baik-baik saja tak kurang suatu apa.

Tahu-tahu pada suatu hari, aku terkejut bukan kepalang. Sepulang kuliah, aku mendapatkan ibu sudah berada di rumah kosku. Setelah tertegun sejenak melihatku, dia langsung menghambur dan menangis di dadaku. Dari situ, ibu baru tahu selama ini aku telah berbohong padanya dengan mengatakan aku tidak kurang suatu apa. Ibu tentu saja menangis karena alih-alih ingin membuat kejutan dengan mengunjungiku di rumah kos tanpa memberi kabar, tetapi malah mendapat kejutan tak terduga dariku.

“Kau benar-benar tak terurus. Badanmu kurus, rambutmu tak terurus,” kata ibu menyusupkan jari-jemarinya ke rambutku yang gondrong.

Kukatakan padanya, bahwa aku sudah dewasa, biarkan aku mengurus diri dengan caraku sendiri. Tapi ibu tak menggubris. Seperti ibu-ibu lain di dunia ini, ibu rupanya tetap menganggapku sebagai anak ingusan yang belum cukup berpengalaman mengarungi hidup.

Ada satu sifat ibu yang kurasa menurun padaku. Kalau sudah mau, kejarlah sampai dapat. Sifatnya keras seperti sebongkah batu. Sifat ini jauh berbeda dengan sifat ayah. Ayah lemah lembut, ibu tegas. Ayah guru, ibu bekas muridnya. Ibu datang dari keluarga kaya, ayah datang dari keluarga miskin. Menakjubkan bahwa dua sifat yang berbeda itu bisa bersatu dalam sebuah perkawinan, sampai memiliki tiga anak. Bukankah kata penyair: ‘anak tanda kita pernah bercinta’? Apakah ibu cocok dengan ayah? Memang ibu tak pernah mengatakan secara harafiah. Tapi dari caranya mengkritisi perilaku ayah, aku bisa mengambil kesimpulan seperti itu. Dengan kata lain, ibu menderita. Misalnya, ketika ayah kemudian tidak menjadi guru dan mencoba berdagang tapi gagal terus, ibu mengatakan, ayah memang tidak memiliki bakat untuk berdagang. Sebaliknya, menurut ibu, kalau pun ayah balik jadi guru, dia akan ketinggalan zaman dan tidak laku. “Ayahmu tidak punya sertifikat jadi guru. Ayahmu jadi guru karena pada zaman itu, tidak ada guru.”

Tapi aku tahu sesungguhnya ibu sangat mencintai dan respek pada ayah. Ibu selalu menyiapkan piring dan sendok makan istimewa untuk ayah. Kami, anak-anak dilarang menggunakan piring dan sendok itu. “Itu piring ayahmu,” begitu kata ibu kalau ada di antara kami mencoba memakainya. Tempat duduk ayah pun, selalu dipilihkan yang istimewa. Kami, anak-anak juga dilarang duduk di kursi itu. Kalau kami mencoba duduk di kursi itu, ibu segera menjewer kami. “Itu tempat duduk ayah. Kamu di sana,” kata ibu.

Belakangan aku tahu begitulah cara Ibu menghargai ayah. Ibu rupanya ingin kami selalu menempatkan ayah sebagai pemimpin keluarga. Kalau ayah sudah memutuskan sesuatu, ibu mengikut tanpa mau berdebat. Pendeknya, ayah selalu di depan. Dan itu dilakukan tanpa kata-kata yang verbal. Akibatnya, kami jadi segan pada ayah. Terhadap ibu, sebaliknya kami malah cenderung cuek, seenaknya. Bisa omong apa saja. Bisa membantah. Bisa berdebat. Aku kasihan pada ibu, karena beberapa tahun setelah itu, lelaki yang dia bela itu kemudian pergi entah kemana. Tapi sejauh itu, ibu juga tak pernah mencela ayah. Tak pernah.

Pada suatu hari, sepulang sekolah aku mendapati ibu menangis. Aku bertanya kenapa menangis, dan ibu tak menjawab. Aku baru diberitahu kemudian oleh Ning, adikku yang bungsu. Menurut Ning, ayah selingkuh. Jangan ngaco, aku setengah berteriak. Darimana kamu tahu? Darimana ibu tahu? Dan apakah Ayah benar-benar selingkuh? Jangan-jangan itu hanya gossip yang sengaja dihembuskan agar rumahtangga kami berantakan. Tidak masuk akal, ayah bisa selingkuh. Dia bukan orang kaya. Kami tidak termasuk keluarga kaya. Apa kehebatan ayah?

“Kalau abang tidak percaya, tanyalah sendiri pada ibu.”

Sampai ibu meninggal, aku tidak pernah berniat menanyakan hal itu pada ibu. Yang kutahu, ayah tidak pernah pulang ke rumah. Aku juga tidak pernah menanyakan pada ibu. Yang kutahu, ibu menderita. Dan aku diam saja. Aku dan ibu tahu sama tahu. Bagiku kehadiran ayah tidak penting. Aku tergantung pada ibu. Dan ketika ibu masuk rumahsakit, ketidakhadiran ayah juga sama sekali bukan hal ganjil bagiku. Tapi kedua adikku bertanya: kenapa abang tidak memberi tahu ayah? Pertanyaan itu sempat membuat aku menggigit bibir dan mengepalkan tinju. Bagiku, dia memang tidak ada gunanya untuk kita. Sudah lama kita hidup tanpa ayah. Dia pecundang, pikirku.

***

Aku tidak tidur semalaman menunggui jenazah ibu. Aku sengaja tidur di bawah petinya. Aku berharap dengan itu aku akan bertemu dengan arwah ibu. Aku mengatakan bahwa aku sangat kehilangan dan sebagainya. Tapi aku malah bermimpi yang tidak ada hubungannya dengan ibu. Mimpi pesiar ke Hong Kong. Mimpi bersetubuh dengan seseorang wanita tanpa kepala. Mimpi mendapat adik baru. Mimpi ditabrak mobil. Mimpi ketemu seekor naga. Mimpi pacaran di Puncak dengan seorang perempuan tak kukenal. Mencium istri orang. Mimpi kecemplung jurang. Ah, tak ada hubungannya sama sekali dengan ibu.

Besoknya aku mengiringkan jenazah ibu ke tempat pemakaman. Di pemakaman, tepat tengah hari ketika jenazah ibu siap dimasukkan ke liang lahat, tiba-tiba aku merasa melihat langit siang membelah menjadi dua. Kulihat ibu di sana, di antara awan-awan itu sedang tersenyum dan melambaikan tangan seakan memberi ucapan perpisahan. Ibu, aku berteriak. Dan tahu-tahu, katanya, aku pingsan. Ketika siuman, aku melihat sosok lelaki berdiri di depanku. Dia menatapku. Aku bangun, dan kujotos dia. Dia terjerembab, lalu kubekap dia, dan kami bergulingan sampai akhirnya kami terguling ke dalam liang lahat ibu.***


Bandung, 24 September 2009

(Dimuat dalam buku OPERA SABUN COLEK)

Opera Sabun Colek

Cerita Pendek: Kurniawan Junaedhie


Seorang wanita muda menjadi korban mutilasi di Ragunan. Potongan tubuh korban ditemukan hanya 5 meter dari Jalan Raya Kebagusan, Jakarta Selatan. Potongan tubuh pertama yang berisi potongan tangan dan kaki terbungkus travel bag hitam ditemukan di samping SDN Ragunan 14 Pagi. Sementara itu, lokasi kedua, di kebun yang ada di seberang lokasi pertama ditemukan potongan kepala dan badan. Tidak ditemukan identitas apa pun di lokasi penemuan potongan tubuh kecuali celana jeans biru dan kaus merah. Menilik cara pembunuhan dan cara memotong mayat, si pembunuh bukan orang sembarangan. Kalau tidak memiliki IQ yang sangat tinggi, jelas dia adalah orang yang cerdik seperti kancil. Dan yang mengejutkan, berdasarkan hasil visum et repertum, korban diketahui tengah berbadan dua. Lalu yang membuat saya sempat tidak bisa tidur, korbannya adalah JK.

Juni Kurniawan, begitu nama panjangnya, adalah artis muda berbakat, yang banyak membintangi beberapa sinetron terkenal. Tahun lalu saja ia baru menggondol Panasonic Award berkat permainannya yang gemilang dalam sebuah sinetron. Lalu ia juga diketahui memenangi beberapa penghargaan artis yang disponsori para wartawan infotainment.

Tentu saja, berita itu sontak menjadi headline surat kabar dan tabloid di ibukota. Bahkan semua acara infotainment di televisi menayangkan kasus itu, sembari mengulang-ulang cuplikan adegan di mana JK berperan. Berhari-hari pula orang-orang membicarakan kasus pembunuhan yang tragis dan nekad itu. Semua orang rasanya menganggap pembunuhnya pengidap sakit jiwa, sadis, seorang psikopat, dan yang layak dihukum mati. Siapa pembunuh keji berdarah dingin itu? Siapa psikopat itu?

Dari bukti-bukti yang dianggap cukup (tapi sembrono), makdikipe , ternyata sayalah tersangkanya.

"Di mana Anda berkenalan dengan wanita itu? Di mana Anda pada saat itu? Sejauh mana hubungan Anda dengan korban? Bagaimana sesungguhnya kisah perselingkuhan itu terjadi? Di mana Anda berada saat itu?"

Polisi berpangkat kroco itu kembali mencereng menatap saya dari balik layar desktop dengan posisi siap mengetik jawaban saya. Sama sekali tidak ada ramah-ramahnya. Bahkan, untuk merokok pun saya dibentak.

Harus saya akui bahwa saya memang kenal dekat dengan JK. Orangnya supel, dan terus terang agak genit. Rambutnya panjang, hitam dan lebat. Tingginya sekitar 180 cm. Kulitnya putih. Wajahnya oval. Hidungnya bangir dan bibirnya sensual. Di kedua bagian itulah, kata sementara orang (menurut saya banyak orang), dia memasang susuk, sehingga membuat pria maupun wanita terkesima padanya. Tapi banyak juga yang bilang dia sedikit narsis terbukti dia juga suka memamerkan betisnya. Kakinya yang jenjang, apalagi kalau sudah mengenakan sepatu highheel dan rok yang cekak memang merupakan salah satu daya tariknya. Pendeknya, dengan satu kata: dia mempesona. Hanya orang gelo saja yang bilang dia tidak sensual.

Dia saya kenal dari teman saya. Dan kemudian saya juga sempat memperkenalkannya kepada teman-teman saya lainnya. Salah satunya pengusaha muda, bernama H yang sudah memiliki seorang istri dan tiga anak yang sudah dewasa. Dengar-dengar kemudian H memacari JK.

"Jadi statusmu apa?" tanya saya ketika itu.

"Ya, begitu itu," jawabnya.

"Begitu itu, apa?" saya masih belum ngeh.

"Anak angkatnya."

Dahi saya berlipat, tidak habis mengerti. Belakangan saya tahu makna semantik dari kata anak angkat itu. Kira-kira, ya, semacam simpananlah.

Sejak itu saya tidak berhubungan lagi dengan JK. Saya sibuk dengan bisnis saya, dia mungkin juga sibuk dengan keartisannya. Sekali tempo saat saya ada di ruang tunggu bandara, saya , masih suka melihat dia ada di tayangan infotainment. Selebihnya hubungan saya dengan dia paling banter sms-an. Itu pun bisa dihitung dengan jari. Misalnya, waktu dia dibelikan BlackBerry oleh H, dikirimi bunga, dan semacamnya.

Karena pada dasarnya saya bukan lelaki hidung belang, saya tidak perduli. Saya kembali memposisikan diri sebagai pengagumnya. Lalu setahun lalu saya dengar kabar mereka menikah di bawah tangan. Dan saya tidak diundang. Emang siapa dia? EGP.

Gedubrak. Polisi itu memukul meja menyentak lamunan saya. Polisi itu untuk kesekian kalinya menyodorkan sejumlah pertanyaan dongo.

Ketika mayat JK ditemukan, sesungguhnya saya tengah berada di Singapore untuk menghadiri sebuah seminar. Pagi itu saya berangkat dengan Garuda dan langsung dijemput taksi hotel diantar ke Parkroyal on Kitchener Road Hotel Singapore tempat saya menginap selama 3 malam. Malam itu juga saya makan di East Coast Seafood Center, bersama relasi bisnis saya. Dalam kesibukan seperti itu, jangankan anak istri, JK sudah pasti tidak pernah saya pikirkan. Emang siapa dia? Cuma malam itu (atau hari kedua atau hari terakhir di Singapura), saya bermimpi JK. Ada-ada saja. Dalam mimpi itu dia merayu saya, menggoda saya. Tapi karena dia bukan apa-apa saya, lagipula dia sudah jadi istri siri teman saya, mimpi itu tidak terlalu saya pikirkan. Cuma saya berpikir, ada apa gerangan? Kok aneh bener?

Baru tahu jawabnya sekarang. Selama hampir 24 jam saya dicecar oleh berbagai pertanyaan tolol, dengan enteng polisi menyimpulkan sudah ditemukan bukti cukup, bahwa motif saya menghabisi JK adalah untuk menutupi-nutupi perbuatan saya menghamili artis tersebut. Masya Allah. Sedih, haru, dan perasaan geli bercampur jadi satu. Perut saya sakit. Maag saya kumat. Dalam kondisi seperti itu asam lambung saya otomatis meningkat. Rasanya perut dikocok, dan saya mual luar biasa.

Beberapa kolega menasihati saya agar tabah. Beberapa sahabat perempuan menghubungi istri saya Rohani agar tidak mempercayai fitnah tersebut. Musuh-musuh saya bersorak karena mengira reputasi sudah hancur luluh lantak.

Rohani memeluk saya. "Ayah akan segera bebas, insya Allah. Karena ayah tidak bersalah," katanya optimistis.

"Apa ayah tidak bilang bahwa ayah sudah divasektomi sejak 10 tahun lalu?" tanya Hendro, anak saya yang jadi pengacara di Palu. Sebagai pengacara muda, ia rupanya sangat bersemangat mengikuti kasus yang dianggapnya famous murder case ini.

"Mungkin polisi itu bego, tidak tahu arti vasektomi," sambung Rohani cekikikan.

Vasektomi memang salah satu yang lain dari alibi saya bahwa saya tidak punya motif untuk menghabisi JK. Dasar bego. Apa mungkin seorang lelaki yang divasektomi bisa menghamili perempuan? Pengacara saya meminta dokter yang dulu mengoperasi saya dihadirkan sebagai saksi ahli. Dokter itu hadir, dan secara normatif menjelaskan apa arti vasektomi. Tapi meski bukti dan alibi sangat kuat, nyatanya di pengadilan posisi saya tetap semakin tersudut. Semua keterangan saksi yang dihadirkan jaksa penuntut ternyata memberatkan saya. Semua menuding saya sebagai pelakunya. Yang tidak bisa saya pahami adalah H pun ikut menuding saya sebagai pembunuh sadis. Sia-sia saya mengatakan bahwa dia adalah suami siri JK, sedikitnya orang terdekat dengan JK dan sebagainya dan sebagainya.

Persidangan saya mirip sebuah hajat besar. Halaman kantor pengadilan selalu dipenuhi oleh aksi-aksi demo. Spanduk-spanduk yang dicetak begitu rapi, di atas bahan vinyl dari hasil digital printing dibentangkan dan hampir semua berisi makian: "Hukum Mati Pembunuh", atau "No Way untuk Psikopat". Di antara spanduk-spanduk yang marah itu, ada pula poster-poster dan foto-foto JK dalam pose lumayan genit. Entah siapa yang kurang kerjaan, tega-teganya mengumpulkan para preman itu, membayarinya, dan, entah apa motifnya.

Dan seperti sudah diramalkan, jaksa -atas nama hukum dan keadilan-, menuntut saya dengan vonis 20 tahun penjara. Dan beberapa hari kemudian, -lagi-lagi atas nama hukum dan keadilan-saya diputus hukuman lebih berat lagi berupa hukuman mati.

Pengacara saya dan Rohani langsung naik banding. Teman-teman Hendro yang kebanyakan anggota LSM ikut memberi dukungan moril pada saya. Dengan bodoh mereka usul agar saya membawa kasus itu ke Komisi Hak Asasi Manusia, bahkan menyurat ke PBB. Saya Cuma manggut-manggut sekadar menyenangkan hati.

***

Tahu-tahu pada suatu pagi, tidur saya terusik oleh gemerincing bunyi kunci dan geresek pintu yang dibuka. Mata saya yang masih kriyep-kriyep melihat seorang polisi membuka pintu sel. Tanpa banyak kata, saya digelandang keluar dengan kepala masih kliyengan dan badan saya lungkrah bukan kepalang. Rupanya saya dibawa ke kantor. Di sana sudah menunggu kepala polisi yang dengan segera menyodorkan secarik surat, supaya saya tandatangani.

"Surat apa ini?"

Polisi itu tertawa, sebelum akhirnya mengatakan bahwa hari itu saya dibebaskan. Heran campur senang saya menatap wajah polisi itu. Giginya mrongos, maju. Bibirnya tebal hitam. Dia mengangguk, sambil meminta supaya saya segera meneken surat itu. Surat itu saya teken cepat-cepat. Saya ikut tertawa. Tidak ada alasan untuk tidak tertawa, pikir saya. Juga tidak alasan bagi saya untuk dihukum, apalagi dihukum mati.

Tanpa upacara pembebasan sedikit pun, selanjutnya saya digelandang ke dalam mobil. Mobil melejit cepat ke leuar halaman kantor polisi. Hari masih pagi. Sekitar pukul 10.00. Saya belum mandi. Belum makan apa pun. Tapi udara segar sudah cukup mengenyangkan hati dan jiwa saya yang sudah hampir empat bulan disekap di dalam sel.

Sudah saya bayangkan, bagaimana kagetnya Rohani melihat saya nanti tiba di rumah. Sudah saya bayangkan juga Hendro akan segera terbang dari Palu ke Jakarta untuk menyalami saya. Keluarga dan handaitaulan akan berkumpul merayakan kebebasan saya.

Mobil tiba-tiba berhenti di tepi sawah.

"Saya kebelet," kata sopir, yang juga polisi tiba-tiba memecahkan lamunan saya. Dia menoleh ke arah saya. "Pak, kalau mau kencing, silakan." Tak saya lihat dia mengerdipkan mata kepada kedua polisi yang mengapit saya di jok belakang. Tapi dua polisi yang mengawal saya di belakang itu, langsung menyorong badan saya agar segera turun.

Saya pun turun dari mobil. Lalu berjalan ke pematang. Maksudnya, untuk kencing di tempat tersembunyi. Tiba-tiba, dor, dor, dor! Hanya dengan tiga kali tiga tembakan mengenai punggung, dengan mudah saya tersungkur dan terpelanting di pematang. Setengah melayang, badan saya tumbang. Untuk beberapa detik, saya mencoba menggeliat, sekadar untuk memprotes, kenapa saya yang tidak punya salah apa-apa tiba-tiba ditembak. Bukankah katanya saya sudah dinyatakan bebas tanpa syarat? Atau kalaupun saya diberi waktu barang sebentar, saya paling juga hanya ingin titip salam untuk Rohani dan Hendro. Tapi tulang-tulang rasanya sudah terlalu lemah. Paru-paru saya sudah berhenti bekerja. Otak saya blank. Saya merasa komputer dalam diri saya mendadak turn off. Selesai.

Serentak dengan itu, seorang polisi bergegas mendekati saya. Dia mendekatkan kupingnya di mulut saya. Dia rupanya sedang mencoba mendengar dengkur napas saya. Polisi yang lain menarik tangan saya. Dia memeriksa denyut nadi saya. Setelah itu mereka saling bertatapan. Jiwa saya terbang dari pematang itu. Saya melihat polisi itu sedang gugup mengangkat tubuh saya yang lembek.

Esoknya, koran memberitakan saya tewas ditembak karena berusaha melarikan diri ketika mobil berhenti di pematang. Belakangan saya dengar kasus saya ditutup. Hanya Rohani dan Hendro yang menangis.***

Serpong, Mei 2009

Kamus:
1 Makdikipe = Umpatan dalam bahasa Betawi.
2 Kroco = pegawai rendahan
3 Mencereng = Menatap dengan tajam
4 Lungkrah= Lemas tak berdaya

(Dimuat Suara Pembaruan, 28 JUNI 2009 dengan judul Opera Sabun)

Sabtu, 04 Oktober 2008

Opera Asmara

Cerpen: Kurniawan Junaedhie


KETIKA mobil itu lewat, serentak Joko melompat ke tengah jalan. Seperti lagak bajingan dalam film melayu, ia langsung menyetopnya dengan melambai-lambaikan jaketnya. Terdengar seperti bunyi tikus tergencet, ketika rem mobil Honda Jazz Matic warna hitam yang masih mulus itu diinjak mendadak.

Joko nyengir ke arah saya, dan saya nyengir ke arahnya sebelum kami rame-rame menghampiri supirnya. Berdua kami mendekat ke arah jendela yang pintunya tetap tak dibuka.

“ Zus, boleh kami nebeng? “ tanya Joko ramah sambil menotok kaca. Dan seiring dengan itu tangan kami mencoba membuka paksa pintu yang ternyata tak dikunci. Berserabutan kami pun naik. Saya mengambil tempat duduk di jok depan, sedang Joko anak buah saya, duduk di jok belakang.

Sopirnya, seorang wanita berparas ayu, terlihat gugup dan ketakutan. Disemprot air freshner yang lembut, dalam keremangan malam, saya minta agar ia mengantar kami ke Jalan Diponegoro.

“ Tepatnya ke ICCU Rumah Sakit Cipto, Zus “ perintah saya agak gemetar. Mobil mulus itu menggronjal karena gas diinjak keras dan kasar.

“ Bersyukur Tuhan mengirim Zus pada saat yang tepat, “ kata Joko menyambung. “ Sedari tadi kami menunggu taksi, tapi tak satupun lewat. Padahal penyakit teman ayah saya ini dalam keadaan akut. Sungguh, kami tak mungkin melupakan budi baik Zus. Hanya Zuslah yang bisa menolongnya. “

Saya melirik kaca spion. Oleh terpaan lampu mobil dari arah depan, saya lihat Joko menyeringai. Terus terang ini memang gagasan Joko yang muncul saat kami minum-minum di bar Teduh-teduh Riang, bar dan diskotek khusus untuk anak-anak muda elit di Kemang.

Melalui sms mendadak seseorang minta dihubungi. Joko pun mengontak. Saya kaget setengah mati,karena Joko mengabarkan, Zus itu akan lewat di Jalan Panglima Polim beberapa jam lagi, dan saat itu juga kami harus bertindak. Kami sendiri yang bertindak, itulah yang tidak pernah saya pikirkan.

Dari bar, saya ngebut pulang sebentar. Pistol Babe yang seperti biasa digeletakkan sembarangan, saya masukkan di balik jaket. Lalu dengan bajay, saya balik lagi ke bar. Rupanya Joko sudah siap dengan sebilah pisau. Menumpang taksi, kami berhenti persis di depan tukang rokok di dekat pintu kereta api di dekat Stasiun Palmerah, disitulah akhirnya kami mencegat. Mobil si Zus ngebut ke arah Semanggi.

Dan tanpa bertele-tele mobil sudah berlari di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman. Jantung saya bergemuruh sungguh. Saat itulah terbayang wajah Ibu berduaan dengan Babe.

Sesungguhnya tak habis pikir, kenapa Ibu tetap setia kepada Babe? Karena Ibu sabar? Atau Ibu sabar karena sesungguhnya Ibu tidak tahu apa-apa tentang kelakuan Babe di luar rumah? Atau sebetulnya tahu, tapi pura-pura tidak tahu? Atau tahu, tapi malah tahu sama tahu? Atau sesungguhnya, hati Ibu dian-diam hancur di dalam? Dengan kata lain, apakah Ibu sesungguhnya tak berdaya?

Waktu pertama kali saya mendengar gossip ini, terus terang hati saya terbakar.

Yoseph, wartawan kriminal senior di sebuah majalah berita, nyaris saya gampar karena mencoba-coba menyangkut pautkan nama Babe dengan seorang peragawati tenar. Celakanya, Joko suatu kali memergoki sendiri Babe bergandengan tangan dengan seorang wanita muda yang memang dikenali sebagai peragawati tenar ibukota di lobi Hotel The Sultan.

Menurut taksiran Joko, wanita peragawati itu berumur 35 tahunan. Wajahnya cantik, dan memiliki rambut panjang terurai. Tingginya kira-kira 165 centimeter.

Mendengar itu, kontan wajah saya terbakar. Saya cengkeram kerah baju Joko dan saya angkat tinggi-tinggi badannya.

“ Kalo ngomong, jangan ngaco, Jok, “ ancam saya.

“ Demi Allah, Bob. “

“ Yang lu maksudkan, kan peragawati Dietje yang tewas terbunuh beberapa puluh tahun lalu? “ tanya saya kheki.

“ Sabar, Bob, sabar.” pinta Joko.

“ Jangan ngawur lu, Jok,”

“ Tapi kenyataannya begitu, Bob. “

Saya gampar rahang Joko.

Hanya Tuhan yang tahu, beberapa hari tambahan perihal hubungan Babe dengan peragawati tenar itu. Juga sebuah foto, bukan pasfoto peragawati, kekasih gelap Babe itu.

Mula-mula secara surprise, Joko mendapatkan nama seorang notaries di bilangan Jakarta Kota, berikut nomor telepon. Saya angkat telepon menanyakan, apakah Babe dan nama peragawati itu menjadi klien di sana? Sial. Mereka tak mau menjawab lewat telepon, karena itu, saya kirim Joko ke kantor notaris itu. Sepulang dari sana, Joko malah mendapat info baru. Yakni, nama sebuah PT yang menjadi agen tunggal sebuah merek kosmetik bertaraf internasional, berikut nama sebuah salon di kawasan Jakarta Barat. Tidak sulit bagi Joko, karena agen tunggal itu pasti tidak banyak. Tapi yang mengejutkan, info barupun menyusul masuk : Sebuah rumah mentereng, lengkap dengan antene parabola di kawasan Cinere, Jakarta Selatan. Meski mengalami kerepotan mencari satu rumah diantara sekian ratus rumah berentene parabola di kawasan elite itu, Joko toh berhasil menemukannya.

“ Gue lihat ada foto Babe dengan wanita itu, dipajang di ruang tamu,” lapor Joko membuat darah saya mendidih. “ Tapi nggak ada Babe, sudah gue cek ke Satpam dan RT. “

Mobil yang melonjak, menyadarkan saya lagi betapa darah saya makin mendidih. Saya mulai merogoh beceng di balik jaket. Ketika tangan saya menyentuh benda itu, saya menyeringai karena dingin. Rasanya dingin. Saya gelagapan. Wajah Ibu lenyap dari bayangan. Gantinya muncul wajah Titien, adik saya. Dia tahun mau masuk semester terakhir. Cita-citanya. Ingin melanjutkan S2. Belum mau nikah, tapi pacaran boleh, katanya . Selanjutnya, frame dalam otak saya, ganti menampilkan wajah Babe dengan senyum dan tatapan matanya yang khas: mata mencereng. Hm….wajah yang tak asing lagi.

Tanpa terasa dingin itu menyusup ke dalam ulu hati akibat tangan menempel di pelatuk beceng itu. Akibatnya, dingin itu berubah menjadi panas.

Joko menyeringai lagi, kali ini, kayak zombie.

Plaza Indonesia sudah dilewati. Mobil makin ngebut tak terkendali. Hampir mencapai Jembatan Dukuh Atas, saya tak mampu berpikir jernih lagi. Frame dalam otak saya tiba-tiba menampilkan adegan Babe tengah menggandeng peragawati itu memasuki sebuah motel. Selanjutnya, saya melihat jernih, Babe bergumul dengan peragawati itu di bathtup yang sudah didiram dengan foam bath, dilanjutkan di ranjang setelah sebelumnya berkumur dengan obat kumur yang merupakan fasilitas motel itu. Sialan.

Hati saya berdebar-debar, Dug…..dug…..dug….. persis suara musil pembukaan dalam film The Deer Hunter.

Demi Tuhan, saya sudah tidak mampu berpikir jernih lagi. Dengan gugup saya nyalakan korek api. Saat itulah, Joko merangsek. Si Zus dipeluk dari belakang, dengan belati Joko menempel di leher. Mobil oleng sebentar. Tapi satu tangan Joko sudah dengan gesit meraih kemudi. Takut si Zus berteriak, dari samping saya tempelkan beceng Babe. Kata saya dingin, seperti malam. “ Zus, sebaiknya Anda tenang. Kalau tidak, dor.” Tapi wanita itu rupanya mengira saya hanya menggertak. Terbukti ia makin menggeronjal-geronjal dalam pelukan Joko yang mulai kewalahan. Tak mau berlama-lama membiarkan Joko bergulat dengan resiko mobil berpapasan atau disalip patroli polisi, saya tarik saja pelatuk beceng Babe. Dua peluru berserabutan menembus di leher, dan satu di pelipis. Spektakuler!

Kepala si Zus terkulai. Darah muncrat dari kening dan leher membasahi blusnya.Berkelojotan sebentar, tubuh sintal itupun, terkapar di jok.

Saat itulah, saya sudah mengambil alih kemudi. Dan seperti skenario yang kami rancang, sesampai di pinggir Taman Ria Monas, mobil saya parkir dalam keadaan hidup. Lantas kami kabur, setelah sebelumnya memasukkan dulu kaset Hold Me Tight-nya Wind dan menyetelnya keras-keras:

“ Believe me one fine morning, I’ll be gone, nobody in the world will find me . “

Esok paginya, lewat telepon, Joko mengabarkan, bahwa berita tewasnya si Zus memenuhi halaman satu semua surat kabar Ibukota.

Saya kaget tapi pura-pura cuek saja. Tentu saja kaget, bahwa pada akhirnya kami bisa membuat sesuatu pekerjaan yang besar. Sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Sehingga yang sekarang saya akan lakukan hanya ingin melihat reaksi Babe. Apa follow up Babe? Adakah perubahan pada mimik Babe yang angkuh itu?

Atau, apakah Babe masih mampu mempertahankan aktingnya yang seolah-olah, dunia ini sehat-sehat saja?

Saya menunggu dengan cemas ketika Babe melangkah gagah menuju ke meja makan untuk sarapan pagi. Tak bisa saya pungkiri, sesungguhnya saya juga mencintai Babe.

Satu-satunya kenangan saya bersama Babe yang paling menyenangkan adalah ketika saya berumur 10 tahun. Kami masih tinggal di rumah kontrakan sederhana. Hampir setiap hari rasanya, saya dan Titien dekat dengan Babe. Hampir setiap hari, rasanya, kami bertiga duduk, di teras rumah yang temboknya sudah menguning karena jerajak lumut yang menempel, di bawah lambaian rimbun daun pohon angsana. Saat itu juga, sering-sering Ibu muncul, melemparkan senyum iri. Babe seperti biasa, tetap angkuh, agak canggung dengan tatapannya yang khas: mata mencereng. Haha……. Celana Babe pun model Baggy, cuma bahannya drill murahan. Maklum, waktu itu Babe masih keroco.

Teringat jelas, begitu pas-pasannya gaji Babe, Ibu lalu membuka warung di depan rumah, persis di teras itu. Gembira hati saya dan Titien, Ibu membuka warung karena dengan demikian kami lalu bisa mencuri permen-permen Ibu dari stopless. Dan kalau Ibu memergoki dan mengudak-udak kami, Babe datang bagai dewa penolong. Babe mengeluarkan Dukati-nya, dan membawa kami berdua keliling kota. Rasa-rasanya, saat itu hanya Babe lelaki paling budiman di dunia ini yang pernah saya kenal.

Babe mengambil tempat duduk kesayangannya di depan lonceng besar. Di sampingnya, Ibu sudah sejak tadi duduk menunggu, sedang asyik mengoles roti. Persis di seberang Babe duduk Titien, yang sedang asyik mengunyah-ngunyah rotinya. Masih dengan tenang, saya lihat, Babe meraih serbet dan menggelar di pangkuannya. Saat itulah, saya lihat mata Babe mencereng ke arah tumpukan koran di sampingnya. Dan tak lama kemudian, berdenting suara nyaring karena pisau dan garpu dibanting di atas piring. Ibu yang duduk di samping Babe , kaget. Babe tak jadi sarapan!

Ia meraih selembar koran dan lalu menghempaskannya tak lama kemudian. Bergegas-gegas ia mencomot tas echolacnya, dan berteriak memanggil sopir. Baru ketika mobil BMW 518-I siap di pintu, Babe menoleh ke arah Ibu berpamitan. Ibu mengangguk cepat, seakan bego. Lalu mata Ibu mengawasi judul berita koran itu. “Peragawati TK terbunuh misterius.” Titien, seperti biasa ingin tahu.

Kami sekeluarga panik. Apalagi malam itu ternyata Babe tidak pulang. Padahal di kantor tidak ada rapat. Sampai menjelang subuh, Babe masih juga belum pulang. Di antara kami, Ibu paling panik. Babe punya maag. Bagaimana ia makan? Apakah di rumah makan, Babe yang terkenal gengsian itu tidak malu memesan bubur ayam? Apakah Babe ingat , ia selalu harus menelan sejumlah pil agar kadar gulanya tidak meningkat? Tidak sari-sarinya Babe tidak menelpon Ibu mengabarkan ia tidak bisa pulang? Itulah pikiran yang merusuhkan pikiran Ibu.

Sopir Babe diinterogasi bolak-balik. Ibu menginterogasi sore hari, saya menginterogasi tengah malam, dan Titien menginterogasi menjelang subuh. Tapi jawaban pak Amat tetap kekeuh: Ia tidak tahu nasib Babe. Sebab seperti biasa, begitu diturunkan di pintu kantor, Babe menyuruh pak Amat kembali untuk mengantar Ibu belanja ke supermarket atau mengantar Titien kuliah. Selanjutnya kemana Babe pergi, ia tidak tahu.

Subuh,---- seiring kumandang adzan subuh ---, saya dikejutkan lengkingan Titien dari kamar Ibu. Hanya mengenakan celana kolor, saya melompat panik untuk melongok. Ibu ternyata tengah terbaring tak sadarkan diri. Kaki Ibu tengah diusap-usap minyak gosok oleh Titien yang terus menggerung-gerung menangis.

Demi Tuhan, sungguh, saya tiba-tiba merasa kesal bukan main.

Perut saya mendadak seperti diaduk-aduk. Saya merasa mual sangat.

Ibu ini ada-ada saja. Pakai semaput segala. Sesungguhnya tak habis pikir, kenapa Ibu tetap setia pada Babe? Karena Ibu sabar? Atau justru Ibu sabar karena sesungguhnya Ibu tidak tahu apa-apa tentang kelakuan Babe di luar rumah? Atau sebetulnya tahu, tapi pura-pura tidak tahu? Atau tahu, tapi masalah tahu sama tahu? Atau sesungguhnya, hati Ibu diam-diamhancur di dalam? Dengan kata lain, apakah Ibu sesungguhnya tidak berdaya?

Dinding kamar Ibu bergetar hebat ketika saya jotos bertubi-tubi.

Saya kesal bukan main. Titien berteriak-teriak (nangis lagi) menahan tangan saya yang sudah seperti kesurupan.

Joko saya telepon.

“Jemput gua, Jok, lantas antar gua ke Teduh Teduh Riang.” Suara saya serak seperti malam. Saat itulah saya seperti melihat Babe berangkulan mesra dengan peragawati yang saya bunuh itu.

(Nama, karakter dan tempat kejadian adalah fiktif semata)


Serpong 2008.

DIMUAT DI SUARA PEMBARUAN 3 MEI 2009
http://202.46.159.139/indeks/News/2009/05/03/index.html

Jumat, 29 Agustus 2008

Opera Jakarta

Cerpen: Kurniawan Junaedhie

Opera Jakarta

Kedua tangan saya ditelikung. Seutas dadung[1], tali yang biasa untuk mengikat peti jenazah, melingkar kencang di kedua pergelangan tangan saya. Tak berdaya karena itu, saya menggejol-gejolkan kaki. Kedua bajingan itu rupanya sewot. Lutut saya ditebas. Teringat saya ketika dulu masih aktif sebagai pemain sepak bola. Begini rasanya, jika betis digampar lawan. Saya mengerang. Tanpa menghiraukan erangan saya, mereka mengikat kedua pergelangan kaki saya. Jangan tanya wajah dan badan saya, semua sudah bonyok 100 persen.

Aduh mak. Ingin benar saya mengeluarkan segala perbendaharaan sumpah serapah, tapi sia-sia. Sebab beberapa menit kemudian, mereka memberondongkan enam atau tujuh peluru ke tubuh saya. Dua di perut, satu dekat jantung, tiga nyungsep di batok kepala dan sebuah tembus persis di sekitar pinggang. Dan itu sudah cukup membuat saya, tidak saja mampus, tapi merasakan kesakitan luar biasa di dalam kemampusan saya.

Bayangan yang mula-mula muncul saat pelan-pelan nyawa meninggalkan raga adalah wajah-wajah orang-orang terdekat saya. Yang pertama muncul adalah wajah Astuti, istri saya. Oleh nasib, dia akan dikerubuti wartawan atas kematian saya. Mereka akan menghujani 1001 pertanyaan, yang mungkin akan membuat migrainnya kumat, terutama kalau wartawan-wartawan itu bodoh dan menanyakan bagaimana perasaannya. (Tanpa ditanya pun orang tahu Astuti jelas akan berduka ditinggal mati suaminya). Astuti juga akan bengong, kalau ditanya penyebab kematian saya (Mestinya pertanyaan terakhir itu diajukan kepada polisi yang masih sibuk melakukan visum et repertum.) Kecuali wartawan itu pintar, bisa jadi Astuti akan terpancing untuk menguak masa lalu saya dengan dia. Sehingga menghamburlah dari mulutnya semua kenangan manisnya bersama saya, termasuk memamerkan semua foto dokumentasi pribadi seperti foto waktu saya dianugerahi Bintang Mahaputra, Dr.HC. dan foto waktu saya mencium dia di depan Museum Louvre, Paris. (Aha, foto-foto itu rasanya sudah menguning, dan saya hapal guntingan di pinggirnya bergerigi, khas foto jadul.)

Para wartawan itu bukan tidak mungkin juga akan menguber-uber ketiga anak saya: Iwan Permata, Ida Baskoro, dan Tini Himawan demi untuk memperoleh komentar mengenai saya. Dasar bodoh, mereka lupa, tanpa ditanya pun, sudah pasti anak-anak saya akan mengatakan kehebatan ayah mereka. Dan tanpa ditanya, ketiga anak saya juga pasti akan menegas-negaskan bahwa selama hayat ayah tercintanya tidak punya musuh barang seorangpun.

Biar saja, wartawan-wartawan itu rupanya belum tahu, anak-anak saya adalah penganut semboyan: Right or wrong is my country yang suka diplesetkan menjadi right or wrong is my parent. (Dua anak perempuan saya, terang-terangan pemuja ayahnya. Gelas mug keduanya saja bertuliskan, My Father is My Hero).

Lalu, Pak Tumengung sopir saya, juga akan jadi sasaran berikut. Dia difoto, diberi pertanyaan sejenis. (Hahaha, wajahnya akan masuk koran dan layar televisi.)
Mendadak, saya merasa kangen bertemu mereka. Dimana mereka sekarang?
Hari itu, entah kenapa, setelah dua malam tidak pulang ke rumah (nginep di rumah simpanan saya), saya merasa kangen dan mencari Astuti di kamarnya. Saya lihat matanya terbeliak. Surprise.

“Tumben, kamu mencari saya,”

“Emang gak boleh?“

"Sudah sekian lama rasanya….”

“Sudah sekian lama apanya?”

“Kamu tidak nggombali saya.”

Lalu saya peluk dia. Hampir tidak saya lepaskan, kalau dia tidak mengingatkan,
“Ada anak-anak.”

Itu terjadi beberapa hari lalu di suatu pagi ketika saya akan pergi ke kantor. Sekarang saja baru teringat, pagi itu Astuti tidak berada di rumah ketika kedua zombie itu menjemput saya. Adakah hubungannya?

Iwan, anak saya menuturkan, sejak siang ibunya pergi menyetir sendiri mobil BMW 318i-nya keluar rumah. Iwan tidak curiga apa-apa, karena menduga ibunya ada janjian sama saya. Jadi ia cuek saja, terus memandikan American PitBull, anjing kesayangannya.
Ida dan Tini di kampus. Jadi tidak tahu apa-apa. Sibuk kuliah.Pak Tumenggung, sopir, menuturkan hal yang sama, ketika dia melap mobil satunya, majikan wanitanya tahu-tahu mengeluarkan mobil dari garasi, dan pergi sendirian. Dia tidak bertanya kemana (boro-boro bertanya: mau ngapain), takut dibilang cerewet, dan sotoy. [2] Dia hanya menyangka, nyonyanya ada janjian bertemu saya di sebuah tempat.

Jadi tidak ada yang tahu. Kenapa tidak ada yang tahu? Apakah ini merupakan firasat?
Anehnya, saya memang tidak menangkap firasat apa-apa dalam detik-detik penghabisan itu. Tidak ada sehelai rambut saya pun yang jatuh. Tidak ada satu gigi saya pun yang tanggal. Sama sekali tidak bermimpi yang aneh-aneh malam harinya sebagaimana tanda-tanda (katanya) orang yang mau meninggal..

Pokoknya, bussiness as usual. Sehingga saya tidak mencari Astuti atau menyuruh Iwan menghubungi ibunya lewat hand phone atau menyuruh Pak Tumenggung lapor polisi, siapa tahu bannya kempes di jalan atau kecelakaan. Atau memanggil Ida dan Tini untuk berkumpul, misalnya.

****
Rasa panas di bagian perut, dekat jantung, di dalam batok kepala dan di bagian pinggang menambah kenanaran saya. Kematian rupanya begitu sederhana datangnya. Tak ada beda kematian pejabat seperti saya dengan pemerkosa atau bahkan anjing kurap. Bahkan mungkin daun-daun kering yang berserakan di sekitar tubuh saya jauh lebih beruntung nasibnya dibanding saya.

Gerangan dosa apa sampai-sampai saya harus mengalami nasib senahas ini? Apakah ada sejawat yang ngiri karena belakangan nama saya disassuskan masuk bursa menteri? Apakah bukan soal harta, karena belum lama berselang Astuti sempat dikabarkan berhak menerima hak waris tapi dikangkangi adik lelakinya? Apa ada yang tahu saya mempunyai tabungan di Singapura malah di Swiss? Apa karena belakangan saya banyak menarik dana rupiah saya untuk saya belikan dollar? Atau karena korupsi? (Ah, berapa besarnya sih, kalau benar saya korupsi. Teman-teman lain lebih rakus dibanding saya.)
Astaga. Jangan-jangan soal perempuan.

Sampai di sini, tiba-tiba nyali saya ciut dan hati merasa kecut. Jangan-jangan Astuti sudah mencium affair saya dengan seorang wanita. Jangan-jangan justru karena itu, pembunuhan ini dirancang. Jangan-jangan kedua pembunuh itu adalah upahan Astuti. Jangan-jangan, memang Astutilah, actor intellectual-nya. Buktinya, tidak sari-sarinya hari ini dia menghilang entah kemana.

Juga tumben, dia tidak menelepon, atau kirim sms untuk saya mengabarkan dia lagi ke mana atau sedang apa. Miris hati saya tiba-tiba. Apakah dia berada di balik konspirasi ini? Kalau betul, apa motifnya sehingga tega-teganya dia menzolimi saya seperti ini? Apakah dia tahu kenakalan saya di luar rumah? Kalau pun tahu, kenapa dia tidak mengajak saya untuk membahas masalah ini secara baik-baik saja seperti masalah-masalah lainnya? Bukankah dia bisa melarang saya? Apa repotnya kalau bertengkar duluan? Dan kalau memang dia berkeberatan, bukankah saya bisa memutuskan pacar gelap saya itu?

Apa susahnya?

Di tengah gelimang darah yang rasanya mengucur dari delapan penjuru alam itu, saya menyesal. Seharusnya saya merasa beruntung mempunyai isteri seperti Astuti. Orangnya cantik, meski gemuk (waktu saya pacari dulu masih langsing). Dan lebih dari itu, dia adalah wanita legowo dan panjang sabar. Dikenal rajin beribadah, dan suka beramal. Dan termasuk jenis wanita yang tak mau ikut—ikutan urusan lelaki.

Dasar tidak tahu diri. Keunggulan pribadi wanita seperti Astuti itu, saya manipulasi dan sekaligus saya jadikan sebagai kelemahan dia. Kesabaran dan sikap cuek terhadap urusan suami yang tak berujung itu kemudian mengirim saya kepada serangkaian petualangan. Saya lalu berhubungan dengan wanita itu. Mula-mula iseng saja. Saya ajak dia menemani main golf. Karena tampaknya tidak ada penolakan, (karena iseng) saya mulai mengajak dia menemani kalau ada acara seminar di Tugu. (Belakangan malah saya ajak jalan-jalan ke Harrold London berduaan. Edun). Dan tanpa sadar, saya sudah berada di bawah cengkeramannya. Sering saya marah-marah tanpa alasan jika berada di rumah tapi merasa lebih plong kalau bersama dia. (Kalau Astuti peka, dia akan tahu, bahwa itu salah satu dari tanda suami selingkuh.)

Kalau kesadaran muncul, selalu saya katakan pada wanita itu agar dia hengkang saja dari kehidupan saya, karena saya sudah punya isteri, dan tiga anak, yang juga mungkin sebentar lagi nikah. Apakah dia tidak lebih baik mencari peruntungan lain dengan lelaki lain yang sebaya umurnya? Begitu kata saya. Tapi wanita sialan itu tampaknya tidak perduli. Bahkan ia tidak menyembunyikan kemesraannya jika saya ajak di tempat umum, dan makan-makan di hotel-hotel berbintang. Anehnya, saya ngikut saja. Seolah tetap ridho diporot habis-habisan olehnya. Apakah saya sudah dipelet?
Sampai di situ saya ternganga. Jangan-jangan pacar gelap saya itu salah seorang anggota sindikat narkotika internasional. Jangan-jangan dia agen rahasia dari CIA, KGB, GRU, Mossad atau intel dari negara asing lainnya yang ditugaskan untuk mengorek keterangan-keterangan rahasia dari saya. Jangan-jangan. Sialan. Jadi, beginilah akhir karir saya, berakhir tuntas karena terpedaya asmara.

Bau anyir darah yang menyergah hidung saya, menyadarkan bahwa mayat saya masih belum dikebumikan. Padahal saya sudah rela, dikuburkan dengan cara apa saja, asal tidak dibiarkan mayat saya digerogoti anjing. Heran, kenapa sampai lama saya dibiarkan terlentang di sini?

“Wajah Bapak ini kayaknya suka nampang di televisi,” kata pembunuh satu.

Pembunuh dua tergoda ingin tahu, lalu dia menatap wajah saya.

“Hm… ya, kayaknya dia selebritis,” terdengar sayup-sayup suara meresap lewat telinga saya yang pecah. Rupanya saya jadi tontonan. Setelah itu, saya lihat mereka kasak-kusuk. Rupanya, ada sesuatu yang dicarinya. Benar juga. Setelah sesuatu yang dicarinya ketemu, tergopoh-gopoh mereka mendatangi mayat saya. Seorang membawa selembar karung, seorang lagi ngerjain saya lagi. Badan saya, mereka lipat-lipat seperti piyama, lalu mereka masukkan ke dalam karung itu.

Lalu saya merintih yang tentu saja tidak didengar sedikitpun oleh para bajingan itu. Lalu saya rasakan mereka mengikat ujung karung itu sambil ngomel-ngomel. (Rupanya ikatannya masih dianggap kurang kuat, padahal talinya sudah habis. Haha…… Ingin saya tertawa. Tolol benar kedua orang ini. Pasti para pembunuh pemula. Apa dikiranya saya akan lari? Kan saya sudah jadi mayat? Atau takut saya hidup lagi? Emangnya saya bangsa jin genderuwo? Haha….)

“Apa kata saya,” tiba-tiba saya dengar sebuah suara lagi. “Kalau orang banyak dosanya memang selalu bikin repot. Contohnya Bapak ini. Sudah mati pun masih bikin repot kita.”

“Dasar PKI!”

Keringat seakan-akan langsung membasahi badan saya yang belum sempurna jadi jenazah itu. Tahu-tahu badan saya terangkat dan terayun. Gedubrak! Saya terpelanting dan jatuh nyungsep di papan kayu yang penuh jerami. Belum sadar apa yang terjadi, saya mendengar derum mesin melaju. Sadarlah saya, sekarang saya berada di bak sebuah truk yang sedang melejit ke sebuah tempat.***

Gading Serpong, 2009


[1] Tali berukuran besar
[2] Sotoy: Sok tahu, bahasa gaul


Dimuat Sinar Harapan, 23 Mei 2009